"Kami saling mencintai, Wid."Hatiku bagai disayat bambu mendengar kalimat itu. Namun, sekuat mungkin aku mencoba menahan untuk tidak menangis. "Jiwa mudaku berontak saat itu, Wid. Bukankah laki-laki bisa menikahkan dirinya sendiri? Akhirnya aku tetap melangkah walau tanpa restu. Toh, Hana sudah mengalah dan menjadi muallaf. Namun, ternyata restu orang tua adalah kunci kebahagiaan hidup. Lima tahun menikah, kami tak dikaruniai keturunan."Mas Zaki bangkit dan kembali duduk. Tangannya mengusap kedua mata yang kini merah. Baru kali ini aku melihatnya menangis."Hana tahu tentang pernikahan kita?""Ya. Dia datang saat akad, dan pulang di pertengahan acara resepsi."Memoriku berputar. Kini aku tahu kenapa malam pertama kami baru berlangsung di hari kedua."Dia yang menelepon kamu di malam pertama kita?"Mas Zaki mengangguk dan kembali meraih tanganku. Menciuminya berulang kali. "Maafkan aku."Aku memalingkan wajah. Menahan sesak yang menyumbat di dada dan seperti ingin meledak. "Hana m
"Dia bisa tetap bahagia, walau hanya bersama ibunya," sanggahku. "Nggak, Wid. Hidupnya akan pincang. Tak ada figur ayah, adalah bencana untuknya.""Aku bisa mencarikan figur ayah untuknya."Mata lelaki di depanku itu membulat. Mulutnya setengah terbuka. Detik berikutnya ia meraih daguku dan sedikit mengangkatnya. Perlahan wajahnya mendekat, hingga hampir tak ada jarak di antara kami. Bibirnya bergerak, lalu mengucap satu kalimat."Kamu pikir, aku rela dia hidup dengan ayah tiri?"Napas Mas Zaki terasa panas menyapu seluruh wajahku. Aroma khas tubuh kekar itu sejenak membuatku ingin memeluknya. Namun, semua yang terjadi beberapa hari terakhir masih meninggikan egoku. Sekali lagi, aku ingin menjajaki kedalaman rasa di hatinya."Kalau bertahan hanya demi anak ini, bukankah kita berdua akan hancur? Untuk apa menahanku, kalau nggak ada cinta di hatimu?"Mata suamiku seketika berkilat marah. Ia meletakkan mangkuk ke meja di samping tempat tidur. Tangan kirinya kini menahan kepalaku dari be
Mas Zaki tersenyum. "Memangnya, kamu udah siap?"Hening menyelimuti kami beberapa menit. Aku diam tak mampu mengucap kata, juga tidak bergerak. Hanya tangan Mas Zaki yang terus menelusuri wajahku. Mata, hidung, pipi, dan bibir. Gerakan itu dilakukannya berulang-ulang, hingga ia menjatuhkan tubuh, dan membenamkan wajahnya di lebat rambutku. "Aku hanya akan melakukan yang kamu suka," lirihnya. ***Sejak hamil, Mas Zaki hampir tak pernah mengajakku ke rumah Ibu. Mertuaku itulah yang kini sering berkunjung bersama Laras. Tak jarang mereka bahkan menginap. Seperti hari ini. Sejak kemarin keduanya bermalam di rumahku. Kangen katanya. Aku dengan senang hati menyambut keduanya, apalagi Mas Zaki ada jadwal tugas keluar kota.Namun, Ibu dan anak itu sepertinya sudah diamanahi oleh Mas Zaki agar menjaga dan mengawasiku. Laras terutama. Dia sangat protektif dan seakan menggantikan posisi Mas Zaki saat suamiku itu tidak di rumah. "Udah, Mbak Widia duduk aja di sini. Nonton drakor sama aku. Bia
Tak lama setelahnya suara bel terdengar. Aku sengaja menunggu hingga dia menekannya tiga kali, baru kemudian membukakan pintu."Wah, aku tersanjung karena tuan rumah langsung yang membukakan pintu," ujar perempuan itu disertai senyum yang lebih mirip seringai.Dia memiliki kulit putih tanpa cela, dengan garis wajah seperti yang kulihat bertebaran di majalah mode. Berbeda denganku, mata Hana cenderung sipit, ditambah softlens yang membuatnya terlihat biru.Dari jarak dekat seperti ini, aku bisa tahu, semua yang dikenakannya memang brand kelas atas. Termasuk pashmina yang dipakainya. Tidak, aku bukan iri. Mas Zaki memberikan uang yang berlebih setiap bulannya. Dia juga membekaliku tiga kartu debit dengan saldo yang terus bertambah setiap bulan. Walau sebanyak apapun aku berbelanja, jumlah uang di tiga rekening itu terus saja membukit. Hanya saja aku memang tidak berminat untuk mengoleksi barang mewah."Maaf, Mbak siapa dan ada keperluan apa?" tanyaku pura-pura tak mengenalinya. Dia tert
"Jangan senang dulu," lanjutnya. "Jika berpikir akan bisa membuat dia bahagia sepanjang hidup, kau sangat keliru.”Aku tersenyum dingin, sampai perempuan berbibir tebal itu kembali berbisik.“Dia memiliki kebutuhan yang aku yakin tak bisa kau berikan."Saat ini rasanya kemarahanku sudah terbit. Kutepis tangannya yang ada di bahu. Lonjakan adrenalin di dalam sini semakin terasa. Berani-beraninya wanita itu menghina tuan rumah tempatnya bertamu. Kupikir Hana adalah perempuan terhormat yang juga punya etika saat bicara. Ternyata tidak sama sekali.“Kau membuat kesalahan besar di sini, Hana. Tak usah mengajari tentang apa yang harus kulakukan untuk memuaskan kebutuhan Mas Zaki. Lelaki yang kau panggil Indra itu awalnya memang tidak memilihku. Widia Afridia Sukma ini memang ditakdirkan untuk hadir dalam hidupnya," ucapku dengan napas memburu."Hah, percaya diri sekali." Dia tertawa sejenak. "Kau pikir dirimu spesial, Widia? Nggak sama sekali. Kita lihat, berapa lama lagi Indra akan mempert
Aku menelan ludah dan menarik diri jadi tegak. Perlahan bangkit dan berjalan ke arahnya. Tangannya yang masih terkepal itu hendak kuraih, tapi dia menghalangi. Matanya masih berkilat mengerikan.Dia menarikku. Merengkuhku dalam pelukan erat. Aroma khas tubuhnya langsung menyergap.Tiba-tiba dia menggendongku dan berjalan ke arah ranjang. Meletakkan tubuhku dengan sangat hati-hati, seolah yang ada di tangannnya kini adalah boneka porselen. Mudah hancur saat diperlakukan salah.Dia mendekatkan wajah kami. Matanya menatap lekat, dan memberi pesan yang sangat kukenal. Detik berikutnya dia telah sangat menuntut."Terima kasih," bisiknya lembut setelah kami selesai.Aku tak menjawab. Ini kali pertama penyatuan kami sejak aku hamil. Kali pertama pula dia melakukannya di tengah gelombang amarah"Aku nggak akan pernah memaafkan diri sendiri, kalau sampai Hana menyakitimu, Wid."Aku menatap ke dalam mata kelamnya. Bukankah sakit tak hanya tersebab laku, tapi juga kata, pikirku. Setelah ini, b
"Udah kuduga dia bakal melakukan ini. Keyakinannya memang belum terlalu mantap, tapi sangat tidak bisa ditolerir kalau ini dilakukannya sebagai aksi protes terhadapku. Biar saja dulu. Aku tetap berangkat seperti jadwal biasa."Aku memeluknya. Menghirup lebih dalam wangi tubuhnya yang menyegarkan. Dia mengusap rambutku perlahan. Mas Zaki butuh ketenangan saat ini, membuat kami tetap dalam posisi itu, hingga jarum jam menunjukkan sudah waktunya dia berangkat.Sejak insiden Hana datang ke rumah ini beberapa bulan lalu, aku sudah tidak ambil pusing, apakah dia akan berangkat langsung ke kantor atau ke apartemen. Aku mencoba menerima kenyataan, bahwa Hana lebih dulu berhak atas dirinya. Saat kami berjalan menuju pintu, handphone Mas Zaki kembali berbunyi. Kembali Rizal yang menghubunginya."Ya.""....""Ngapain dia ke sana?""....""Oke. Aku berangkat sekarang."Mas Zaki menatapku dengan pandangan lemah. Aku tak berani bertanya. Hanya menunggu dia menjelaskan kegalauan di wajahnya. "Hana
Hana menoleh ke arah wartawan yang mengenakan kerudung hitam itu. Ada kilat tak suka yang segera dia tutupi dengan senyuman. "Gosip macam apa itu? Kami baik-baik aja, bahkan tambah hot sekarang. Lagi program hamil. Mohon doanya, ya," ujarnya sambil menatap kamera.Tatapannya seakan mengejekku. Dia kembali melempar senyuman dari bibirnya yang merah merona. Entah kenapa ada yang tergores di dalam sini menyaksikan video singkat itu. Ternyata benar, harusnya aku mengikuti perintah Mas Zaki untuk tidak membuka media sosial. Segera aku menutup layar Instagram. Mengambil remote dan hendak mematikan televisi. Namun, sebuah tayangan telah lebih dulu menyita perhatianku. Tampak para wartawan yang mengejar Hana persis seperti di akun gosip tadi. Perempuan itu mengenakan stelan kerja yang terlihat elegan dan sangat cocok dengan tubuhnya. Di tangannya ada handphone dan sebuah buku kecil berlogo KGE. Kiprah Group Enterprise.Adegan dalam tayangan itu hampir sama dengan di Instagram. Bedanya ada
Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam
Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d
Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan
"Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul
Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening
"Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca
Aku menatap wajah tiga lelaki itu satu persatu. Apakah mereka tidak berpikir tentang hatiku saat ini? Sosok yang ada di hadapan mereka jelas bukan barang yang bisa diperebutkan begitu saja. Apakah mereka tidak berpikir tentang luka yang hadir setelah perceraian? Apalagi dengan sebab yang tanpa pernah terucap. Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Tanpa senyum dan kata-kata. Untuk sesaat kulihat sepasang mata yang terluka. Tatapan itu tak pernah kusangka akan hadir, dari dia yang pernah mengucap talak. Langkahku kemudian terhenti di depan pintu kamar saat Nela bertanya lirih. "Bu Widia butuh sesuatu? Biar saya siapkan.""Nggak usah. Saya hanya ingin istirahat. Cegah siapapun yang ingin bertemu saya.""Baik, Bu."Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Tiba-tiba tubuhku merasa sangat lelah.Kuhempaskan diri di atas pembaringan yang dingin. Sejenak memandangi langit-langit kamar. Sekelebat bayang Mas Zaki muncul di sana. Wajahnya terlihat lebih tirus dibanding saat sebelumn
Mas, tentu kau tahu, aku sangat senang memandangi bintang saat gelap. Di waktu seperti itulah aku bisa mendengar isi kepala sendiri. Namun, bintang-bintang itu terasa jauh hari ini. Seperti dirimu.Aku berusaha menutupi semua yang terjadi. Tak ingin Ayah tahu tentang perceraian yang tidak pernah kusepakati. Namun, saat kamu telah bicara di depan media, aku bisa apa?Yang kutakutkan bukan kemurkaan Ayah, melainkan Bang Deri. Kakak sepupu dari garis Ibu. Kami tumbuh besar bersama. Ia menjagaku laksana boneka porselen yang tak boleh jatuh. Bang Deri juga yang paling menentang saat aku dijodohkan dengan Mas Zaki. "Kamu nggak butuh lelaki lain, Wid. Cukup aku yang akan menjadi segalanya buat kamu."Kalimat itu ia ucapkan saat tahu aku tak menolak dijodohkan dengan Mas Zaki. "Aku ngerti perasaan Abang, tapi ini keputusan Ayah karena harus menjalankan wasiat Ibu. Apalagi, kita adalah sepupu.""Kita bisa nikah, Wid. Nggak ada larangan dalam agama untuk menikahi sepupu.""Ya, tapi di keluarg
Pernahkah kamu jatuh cinta, lalu alih-alih bahagia justru menderita kerenanya? Aku punya cinta pertama, tapi harus meninggalkannya karena perjodohan yang dilakukan para tetua tanpa peduli hati yang terluka. Lalu kubiasakan kalbu dan raga untuk menerima cinta yang baru. Merawatnya hingga benih cinta pun tumbuh di taman hati. Namun, sekali lagi aku harus terluka. Semestinya dulu aku menjaga jarak dan menarik batas. Menjaga hati agar tak terluka saat cintanya kemudian surut. Tidak. Cinta Mas Zaki tentulah masih tetap sama untukku. Kami bahkan masih bercinta hingga kelelahan di pagi hari. Namun, kenapa kemudian kata cerai yang terucap?Ia sama sekali tak menyebut sebuah alasan. Bahkan telah melangkah jauh sebelum aku tahu kenapa. Pagi itu seluruh hidupku berubah seratus delapan puluh deraja. Mas Zaki ternyata telah membereskan semua perlengkapanku, Cyra, Nela, Vita, dan Bi Ani. Mulai dari pakaian dan aneka kebutuhan. "Kamu harus pindah dari rumah ini. Tenang aja, semua sudah aku urus