"Mas udah bayangin, kamar Prilly nanti, anak gadis kan sukanya pink. Mas akan sewa orang khusus buat atur kamar Prilly," lanjutnya lagi.
Aku bergeming mendengar Mas Dipta bercerita, masih aku dengarkan tanpa aku sela."Mas, bukankah kita sama-sama sudah dewasa, kita bicara layaknya orang dewasa," ucapku kemudian."Mungkin, bagi mas apa yang mas lakukan dulu padaku, itu hal yang biasa. Tapi, tidak bagiku. Mas menginjak harga diriku, menggoyaknya hingga tak berupa lagi. Masih ingatkan? sampai seperti apa mas menghinakan aku dulu. Enam bulan pernikahan kita, yang aku dapat hanya cacian dan hinaan. Mas selalu menyalahkanku, kata mas gara-gara diriku mas berpisah dengan kekasih mas."Sekuat tenaga aku menahan gejolak emosi dalam dada. Agar aku bisa menyelesaikan semua yang ingin aku sampaikan padanya."Mas, juga pastinya tidak lupa, bagaimana bisa Prilly hadir di dunia ini. Prilly hadir bukan karena sebuah cinta, bagi mas itu dulu kesalahanku, mas yang memaksaku, masBangun pagi ini, kepalaku sedikit pusing. Kejadian kemarin, terus berputar dalam benakku. Bayangan Prilly dan juga harapan yang terpancar dari sorot kedua matanya membuat pikiranku cukup kacau.Bukan aku egois, dengan bertahan untuk tak menerima Mas Dipta kembali, selain luka yang terlanjur menggores, akan banyak hati yang terluka. Termasuk hatiku sendiri, rasaku mulai memudar, seiring kehadiran Pak Ryan di hatiku. Setelah sholat subuh, aku menyiapkan baju kerja dan beberapa berkas pekerjaan kantor yang sempat aku bawa pulang. Merapikan dan memasukan berkas tersebut ke dalam sebuah map plastik. Menutup laptop kemudian mengembalikan ke dalam tas.Selesai dengan persiapanku sendiri, giliran menyiapkan keperluan Prilly. Aku memeriksa kembali buku-bukunya dan juga tugasnya. Setelah kupastikan semua beres, kembali aku masukkan ke dalam tas sekolahnya.Aku mengambil baju sekolah Prilly dari dalam lemari dan menyiapkannya di atas tempat tidur beserta pakaian dalamnya. Pan
"Saya bicara berdasarkan fakta yang ada, kenyataannya memang ada penyimpangan di cabang ini." Bu Rahma terlihat begitu yakin dengan ucapannya. Semua terdiam, suasana terasa begitu tegang. Begitu juga dengan yang aku rasakan, bukan takut karena aku merasa tidak melakukan hal yang wanita itu tuduhkan. Hanya saja dituduh dan dipermalukan di depan umum rasanya tidak bisa aku gambarkan."Bu Rahma, saya kepala cabang di sini, apapun yang terjadi di cabang adalah tanggung jawab saya, selaku pimpinan di sini. Seharusnya Ibu tau batas wewenang dari seorang wakil manajer area. Semua yang terjadi di cabang bukan wewenang Anda secara langsung."Pak Ryan bicara dengan tegas, dan penuh penekanan. Terlihat sekali dia mencoba mengendalikan emosinya. Wajah putihnya terlihat memerah."Pak Ryan, pembiaran atas sebuah penyimpangan akan merugikan perusahaan, saya ikut bertanggung jawab untuk sebisa mungkin agar perusahaan tidak sampai di rugikan." Wanita berambut coklat itu, ikut menai
"Kami juga permisi Pak,"ucapku kemudian. Pak Ryan melihat ke arahku dan Friska."Friska, minta ke bagian personalia cek CCTV ya!" perintah Pak Ryan pada Friska."Baik, Pak. Saya juga permisi." Pamit Friska."Kay, bisa tinggal sebentar." Ragu Pak Ryan memintaku untuk tidak beranjak. Aku melihat ke arah Friska, ada gurat senyum di wajah cantiknya."Baik, Pak," jawabku."Ehem … ehem," goda Pak Anshar. "Friska, nggak mau jadi obat nyamuk kan?"Friska tertawa kecil, kemudian bergelayut di tangan Pak Anshar. Pria setengah baya itu tertawa, kami sudah menganggapnya seperti orang tua sendiri.Aku masih berdiri di tempat semula, Pak Ryan menghampiriku. Tangannya meraih jemariku dan menggenggamnya."Maafkan aku, karena aku kamu jadi terkena masalah," ucap Pak Ryan kemudian."Apa kalian dulu memiliki hubungan?" tanyaku penasaran."Bu Rahma, terobsesi padaku. Aku sampai memilih keluar dari perusahaan untuk menghindar darinya. Tak terpikir dia akan mengeja
"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, mana pesanan mama?"Langkahku terhenti seketika, aku lupa. Saking panasnya hatiku melihat foto-foto itu, aku sampai melupakan pesanan mama."Kay, lupa ma. Abis inikah Kay anter belanja?" "Tumben mukanya kusut gitu?" "Iya Ma, ada sedikit masalah tadi di kantor. Tapi, dah nggak apa-apa kok," jawabku kemudian."Ya udah mandi sana, ntar aja abis maghrib antar mama belanja.""Iya, Mah," jawabku, kembali mengayunkan kaki berjalan menuju kamar.Sudah tau membuat panas, tapi entah mengapa aku kembali membuka ponsel dan melihat foto-foto yang dikirimkan mas Dipta. Sengaja aku kirimkan semua foto-foto itu ke nomor Pak Ryan.Aku mulai menghitung "Satu … dua … ti …." Ponselku bergetar, panggilan dari Pak Ryan masuk. Aku hanya memandangnya, panggilan terus berulang, aku meninggalkan ponsel yang terus bergetar itu, tergeletak di atas ranjang.Mandi sepertinya akan mengurangi rasa penat dan panasnya hati ini, sengaja a
Sesaat aku memandangi wajah tampan itu. Semoga apa yang kami harapkan akan menjadi sebuah kenyataan. Rasa ini tulus adanya, sosok tampan ini pun nyaris tanpa cela baik fisik maupun kepribadiannya. Yang semakin membuatku mencintainya, sangat."Sayang, tak adakah kopi untukku?" Aku tersenyum, bahkan aku tak menawarinya minum. Kekasih macam apa diriku."Aku buatin dulu ya," ucapku hendak beranjak."Jangan lama-lama," pintanya sambil memegang pergelangan tanganku."Nggak lama, paling Sewindu," jawabku asal bercanda.."Jangan, aku bisa gila karena rindu," canda Mas Ryan terdengar seperti sebuah gombalan receh. Tapi, cukup untuk membuat hatiku merasa senang dan juga bahagia."Gombal."Pria itu tertawa, aku segera beranjak ke dapur. Prilly sepertinya di kamar mama, aku menyusulnya."Ma, besok aja ya belanjanya," ucapku setelah membuka pintu."Iya, nggak apa-apa. Prilly juga sudah tidur," jawab Mama sambil merapikan tempat tidurnya."Tumben cepet bobokn
Melihat darah yang keluar, aku berteriak kencang, mengundang semua yang ada di sekitar berdatangan. Aku langsung berdiri menahan tubuh Friska yang hilang kesadaran. Dibantu security dan beberapa karyawan lain aku menopang tubuh Friska.Darah terus keluar, aku begitu panik. Tak bisa memikirkan apapun, begitu juga saat tubuh Friska diangkat ke dalam mobil, aku masih dalam kondisi syok. Sesampainya di rumah sakit Friska langsung dilarikan ke IGD. "Silahkan menunggu di luar, kami akan segera menangani pasiennya," pinta salah satu perawat sebelum menutup pintu ruangan. Dalam diam air mataku tak berhenti mengalir antara syok, kaget, takut, sedih, dan entah apa lagi."Apa yang terjadi?" Aku langsung menoleh ke arah suara, tangis tertahanku pecah seketika. Tujuan dari penusuk itu adalah diriku menurut pemikiranku, Friska hanya melindungiku. Dia bertaruh nyawa untukku."Friska … Friska …." Aku tak mampu berkata apapun, Pak Ryan memeluk tubuhku, mencoba menenangkank
Mobil yang Pak Ryan kemudikan mulai memasuki area parkiran rumah sakit. Parkiran di depan penuh, kami memutar ke parkiran samping yang sedikit jauh dari lobby rumah sakit.Setelah turun, kami langsung bergegas. Dari parkiran samping memang sedikit lebih jauh jalannya untuk menuju kamar Friska. Bila memutar lewat depan, akan semakin jauh."Lewat situ lebih dekat," ucapku sambil menunjuk sebuah lorong di sisi kanan. "Tapi, harus melewati kamar jenazah," ucapku lagi."Memangnya kenapa?" tanya Pak Ryan sambil menggandeng tanganku."Ya, nggak papa, toh semua yang hidup bakal mengalami hal yang sama," jawabku. Kami berjalan bersisian."Iya, jadi pengen cepet nikah.""Apa hubungannya?""Emang harus ada hubungannya?" tanya pria yang sore ini tampak manis dengan kaos putih dan bawahan gelap itu."Ya haruslah, kalau nggak ada hubungan ngapain nikah?" balasku.Pria itu menoleh ke arahku."Bisa aja jawabnya, tambah ngebet kan, pengen segera nikah."Aku yang
"Kay, jangan membahayakan dirimu. Menjauh dari pria ini, kecemburuan kekasihnya bisa saja membunuhmu. Dia bukan wanita sembarangan, aku sudah mencari tahu tentangnya." Kembali Mas Dipta melanjutkan bicaranya. "Jangan pernah bercerita omong kosong, aku tak memiliki hubungan apapun dengan wanita itu. Jadi jaga bicaramu!" Pak Ryan semakin tak bisa mengendalikan emosinya."Sudahlah, Mas tak perlu mencampuri urusan Kayana lagi. Ini hidupku, biarkan Kay menentukan jalan sendiri," ucapku akhitnya pada Mas Dipta, aku tau apa yang harus aku lakukan."Mas hanya mengkhawatirkan dirimu," ucap Mas Dipta kemudian."Tak perlu mencemaskan calon istriku," balas Pak Ryan."Justru aku mencemaskan dia, karenamu." Mas Dipta menunjuk ke arah wajah Pak Ryan dan suaranya juga meninggi."Sudah cukup, mas tolong tak perlu mencampuri urusanku lagi," tegasku lagi."Dengar, kalau sampai terjad