"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, mana pesanan mama?"Langkahku terhenti seketika, aku lupa. Saking panasnya hatiku melihat foto-foto itu, aku sampai melupakan pesanan mama."Kay, lupa ma. Abis inikah Kay anter belanja?""Tumben mukanya kusut gitu?""Iya Ma, ada sedikit masalah tadi di kantor. Tapi, dah nggak apa-apa kok," jawabku kemudian."Ya udah mandi sana, ntar aja abis maghrib antar mama belanja.""Iya, Mah," jawabku, kembali mengayunkan kaki berjalan menuju kamar.Sudah tau membuat panas, tapi entah mengapa aku kembali membuka ponsel dan melihat foto-foto yang dikirimkan mas Dipta. Sengaja aku kirimkan semua foto-foto itu ke nomor Pak Ryan.Aku mulai menghitung "Satu … dua … ti …." Ponselku bergetar, panggilan dari Pak Ryan masuk. Aku hanya memandangnya, panggilan terus berulang, aku meninggalkan ponsel yang terus bergetar itu, tergeletak di atas ranjang.Mandi sepertinya akan mengurangi rasa penat dan panasnya hati ini, sengaja aSesaat aku memandangi wajah tampan itu. Semoga apa yang kami harapkan akan menjadi sebuah kenyataan. Rasa ini tulus adanya, sosok tampan ini pun nyaris tanpa cela baik fisik maupun kepribadiannya. Yang semakin membuatku mencintainya, sangat."Sayang, tak adakah kopi untukku?" Aku tersenyum, bahkan aku tak menawarinya minum. Kekasih macam apa diriku."Aku buatin dulu ya," ucapku hendak beranjak."Jangan lama-lama," pintanya sambil memegang pergelangan tanganku."Nggak lama, paling Sewindu," jawabku asal bercanda.."Jangan, aku bisa gila karena rindu," canda Mas Ryan terdengar seperti sebuah gombalan receh. Tapi, cukup untuk membuat hatiku merasa senang dan juga bahagia."Gombal."Pria itu tertawa, aku segera beranjak ke dapur. Prilly sepertinya di kamar mama, aku menyusulnya."Ma, besok aja ya belanjanya," ucapku setelah membuka pintu."Iya, nggak apa-apa. Prilly juga sudah tidur," jawab Mama sambil merapikan tempat tidurnya."Tumben cepet bobokn
Melihat darah yang keluar, aku berteriak kencang, mengundang semua yang ada di sekitar berdatangan. Aku langsung berdiri menahan tubuh Friska yang hilang kesadaran. Dibantu security dan beberapa karyawan lain aku menopang tubuh Friska.Darah terus keluar, aku begitu panik. Tak bisa memikirkan apapun, begitu juga saat tubuh Friska diangkat ke dalam mobil, aku masih dalam kondisi syok. Sesampainya di rumah sakit Friska langsung dilarikan ke IGD. "Silahkan menunggu di luar, kami akan segera menangani pasiennya," pinta salah satu perawat sebelum menutup pintu ruangan. Dalam diam air mataku tak berhenti mengalir antara syok, kaget, takut, sedih, dan entah apa lagi."Apa yang terjadi?" Aku langsung menoleh ke arah suara, tangis tertahanku pecah seketika. Tujuan dari penusuk itu adalah diriku menurut pemikiranku, Friska hanya melindungiku. Dia bertaruh nyawa untukku."Friska … Friska …." Aku tak mampu berkata apapun, Pak Ryan memeluk tubuhku, mencoba menenangkank
Mobil yang Pak Ryan kemudikan mulai memasuki area parkiran rumah sakit. Parkiran di depan penuh, kami memutar ke parkiran samping yang sedikit jauh dari lobby rumah sakit.Setelah turun, kami langsung bergegas. Dari parkiran samping memang sedikit lebih jauh jalannya untuk menuju kamar Friska. Bila memutar lewat depan, akan semakin jauh."Lewat situ lebih dekat," ucapku sambil menunjuk sebuah lorong di sisi kanan. "Tapi, harus melewati kamar jenazah," ucapku lagi."Memangnya kenapa?" tanya Pak Ryan sambil menggandeng tanganku."Ya, nggak papa, toh semua yang hidup bakal mengalami hal yang sama," jawabku. Kami berjalan bersisian."Iya, jadi pengen cepet nikah.""Apa hubungannya?""Emang harus ada hubungannya?" tanya pria yang sore ini tampak manis dengan kaos putih dan bawahan gelap itu."Ya haruslah, kalau nggak ada hubungan ngapain nikah?" balasku.Pria itu menoleh ke arahku."Bisa aja jawabnya, tambah ngebet kan, pengen segera nikah."Aku yang
"Kay, jangan membahayakan dirimu. Menjauh dari pria ini, kecemburuan kekasihnya bisa saja membunuhmu. Dia bukan wanita sembarangan, aku sudah mencari tahu tentangnya." Kembali Mas Dipta melanjutkan bicaranya. "Jangan pernah bercerita omong kosong, aku tak memiliki hubungan apapun dengan wanita itu. Jadi jaga bicaramu!" Pak Ryan semakin tak bisa mengendalikan emosinya."Sudahlah, Mas tak perlu mencampuri urusan Kayana lagi. Ini hidupku, biarkan Kay menentukan jalan sendiri," ucapku akhitnya pada Mas Dipta, aku tau apa yang harus aku lakukan."Mas hanya mengkhawatirkan dirimu," ucap Mas Dipta kemudian."Tak perlu mencemaskan calon istriku," balas Pak Ryan."Justru aku mencemaskan dia, karenamu." Mas Dipta menunjuk ke arah wajah Pak Ryan dan suaranya juga meninggi."Sudah cukup, mas tolong tak perlu mencampuri urusanku lagi," tegasku lagi."Dengar, kalau sampai terjad
"Kita?" ulangku. "Iya, apakah tak sesuai dengan apa yang kamu impiakan?" tanyanya lagi, saat melihatku hanya terdiam.Aku menggeleng dengan cepat. Ini memang tidak sesuai dengan ekspetasi, bukan kurang tapi, lebih."Bukan, bukan begitu. Justru sebaliknya, ini luar biasa, lebih dari mimpiku," jawabku."Kamu suka?""Sangat suka.""Aku senang, mendengarnya.""Aku hanya tak mengira, mimpimu sudah sejauh ini. Semua sudah kamu siapkan dengan begitu sempurna.""Demi dirimu.""Aku tersanjung, terima kasih." Senyum dan haru berpadu menjadi satu. Tangannya meraih tubuhku, dia memberi sebuah pelukan hangat dan kecupan di kening. Bagaimana perasaanku sebenarnya sungguh sulit aku gambarkan.Selepasnya pria yang memiliki hatiku untuk saat ini kembali menarik tanganku guna melihat-lihat ruangan lainnya. Sebuah kamar untuk Prilly juga telah dia siapkan. Yang pastinya jauh lebih luas dibanding
Aku benar-benar tegang, rasanya perasaanku tak karuan, sungguh tak bisa aku gambarkan. Nafas aku tarik kuat-kuat dan menghembuskan perlahan kemudian. Badanku rasanya panas dingin.Yang ditunggu akhirnya datang juga, terdengar mobil berhenti. Jantungku berdetak semakin kencang. Ya Allah, semoga engkau memberi kelancaran dan membuka pintu hati Papa, untuk dapat menerima lamaran Pak Ryan malam ini.Mendengar suara mobil berhenti, Mama bergegas beranjak. Tangannya menarik Papa yang terlihat enggan beranjak. Aku menggandeng Prilly, yang terlihat cantik dengan dress putihnya."Assalamualaikum," salam Pak Ryan."Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab Prilly kencang, aku hanya lirih menjawabnya.Pak Ryan tersenyum, dia terlihat begitu tampan dalam balutan kemeja batik yang dominan warna hitam itu. Untuk pertama kalinya, aku bertemu langsung dengan Mamanya Pak Ryan, sangat cantik. Sepertinya umurnya tak berbeda
Pria itu tertawa mendengarku, dia terlihat begitu bahagia. "Sayang," panggilku setelah tawanya mereda."Iya sayang.""Kamu membuatku jatuh cinta, untuk kesekian kalinya," ucapku. Wajah pria itu merona mendengarku."Semua hal yang ada padamu, membuatku semakin jatuh cinta," lanjutku."Kenapa kau mengambil bagianku, harusnya aku yang mengatakan hal itu padamu," ucapnya, "Aku mencintaimu lebih besar dari yang aku sadari."Tuhan memberi lebih dari yang aku minta, semua begitu nampak sempurna. Restu yang kami dapatkan membuka jalan yang sempat aku takutkan akan terjal dan berliku.•••"Pa, terima kasih," ucapku pada Papa pagi itu, saat kami berkumpul untuk sarapan.Wajah Mama yang sedang menyiapkan air minum juga terlihat begitu sumringah, cerah ceria."Kalau kalian sudah saling cinta dan merasa cocok, Papa hanya bisa mendukung saja."Papa mengambil kopinya dan menyeruput kemudian."Semoga diberi kelancaran, untuk niat baik kalian berdua. Semua berkas sudah di urus, tinggal urusanmu di kan
Mama Pak Ryan, memilih tinggal di Apartemen, mungkin merasa belum nyaman meski sahabat, mereka sudah cukup lama tak bersua. Selepas pulang kantor aku biasa menemuinya. Mengantar makanan dan menemaninya sebentar. Pribadi yang sangat bersahaja.Hari ini sedari sore, Prilly sudah prepare untuk acara nanti malam, salah seorang temannya berulang tahun. Tak tanggung-tanggung orang tuanya menyewa ballroom hotel termewah di kota ini. Satu permintaan Prilly yang membutuhkan waktu lebih untuk aku memberi jawaban. Dia ingin ditemani Mama dan Papanya. Prilly sendiri langsung menghubungi Mas Dipta, yang dengan cepat mengatakan iya. Aku sampaikan pada Pak Ryan, pria itu mengizinkan demi Prilly. Meski dari suaranya terasa tak nyaman, aku cukup mengerti apa yang ia rasakan.Mama dan Papa mengunjungi Mama Pak Ryan, aku hanya berdua dengan Prilly. Menunggu Mas Dipta menjemput kami. Prilly bergegas lari kedepan saat terdengar mobil berhenti. Sambil membawa kado yang aku beli tadi siang, aku ikut kelua
Waktu terasa begitu lambat berjalan dan pandanganku mengarah ke pintu serta lampu yang berada di atas pintu ruang operasi. Kenapa terasa sangat lama sekali mereka berada di ruangan itu, rasa cemas membuat pikiranku semakin kacau.“Kita berdoa untuk mama dan adik ya,” bisikku pada Prilly, gadis kecilku itu mengangguk.Tanpa dikomando semua langsung berdiri saat pintu ruang operasi terbuka, terlihat beberapa orang keluar dari ruangan dan salah satunya dokter yang aku biasa panggil dokter Maria.“Puji Syukur Ibu dan anak selamat hanya masih memerlukan perawatan intensif jadi belum bisa ditemui.” Perkataan dokter Maria sedikit membuat perasaan lega dan tenang, Alhamdulillah istri dan anakku selamat meski aku belum bisa melihatnya.“Seorang jagoan, anaknya laki-laki dengan berat dua koma tujuh dan panjang lima puluh tiga centimeter.” Dokter Maria kembali menambahkan.“Alhamdulillah terima kasih Ya Allah, terima kasih dokter,” ucapku yang sekarang diatara perasaan senang dan juga cemas.“S
Meeting selesai menjelang jam tiga sore, selama itu pula aku mengabaikan panggilan serta pesan yang masuk di ponselku dan meng silentnya. Aku baruakan membuka pesan setelah aku benar-benar selesai dan sudah kembali berada di mobil. Sepertinya banyak sekali pesan dan panggilan masuk sedari tadi, baru saja aku akan melihat panggilan serta pesan yang masuk ponselku bergetar dan nama mama terlihat di layar ponsel.Buru-buru aku mengangkat panggilan dari mama yang sepertinya merupakan panggilan untuk kesekian kalinya, aku sempat melihat di panggilan tidak terjawab mama melakukan banyak panggilan. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak.“Hallo assalamualaikum, Ma.” Aku membuka percakapan dengan sebuah salam seperti biasanya.“Waalaikumsalam, Ryan kamu dimana?” Suara mama terdengar bergetar dan tidak terdengar baik.“Ini aku baru selesai meeting, Ma. Mama kayak lagi nangis, ada apa?” tanyaku kemudian.“Kayana … Kayana.” Mama kemudian benar-benar menangis dan menyebutkan nama Kay, istriku.”
“Prilly yang bilang demikian, untuk apa aku membuat buat atau mengarang cerita.” Mas Dipta masih bersikeras dan terus menyanggah. “Beneran Prilly yang bilang,” lanjutnya lagi.“Sudahlah, Mas. Sekarang tolong bawa Prilly ke mobil, atau aku sendiri yang akan bangunkan Prilly.” Aku sudah semakin malas berbasa basi. Dan juga malas mendengar ocehan yang tidak jelas dari Mas Dipta.“Pulanglah, biarkan Prilly di sini.” Ekspresi wajah Mas Dipta mulai berubah tidak enak. Umur memang tidak menjamin kedewasaan seseorang, aku bisa merasakan Mas Dipta mulai kesal karena aku sedari tadi bersikap dingin kepadanya.“Prilly ikut aku pulang,” paksaku lagi. “Nggak bisa.” Mas Dipta bersikeras menahan Prilly.“Aku nggak ingin ribut, apalagi di depan Prilly. Ayolah Mas, bersikaplah sedikit bijak dan dewasa jangan seperti ini. Hal kayak gini nggak baik buat perkembangan psikis Prilly, harusnya Mas Dipta paham itu.” Sebisa mungkin aku menahan diri karena kalau aku sampai emosi pastinya tidak akan baik un
“Iya, Oma. Terima kasih banyak atas kepercayaannya,” ucapku kemudian dengan senyum dan sedikit menurunkan kepala.“Ya sudah, mau belanja lagi, borong buat cucu saya.” Aku mengangguk dan masih tersenyum lebih tepatnya menahan tawa senang.“Nis … temanin kalau mau ambil ganti,” ucapku pada Ninis. “Pak, kalau masih ribut, bawa keluar toko saja, sudah menganggu kenyamanan belanja yang lain,” perintahku pada Pak Puji.Aku tidak memperdulikan ocehan perempuan itu dan beranjak meninggalkan toko untuk kembali keruanganku. Sesampainya di ruangan aku meminta maaf pada Bu Rahayu yang telah menunggu sedari tadi dan kemudian menyelesaikan pertemuan hari ini.*Tetap saja perutku terasa kaku akibat kejadian tadi, meski aku bilang masa bodoh sedari tadi otakku terus berputar akan masalah tadi. Bukan sebuah kebetulan pastinya akan kejadian tadi, seperti sebuah hal yang memang disengaja dan direncanakan. Kalau mendengar ucapan perempuan itu, sepertinya tujuannya untuk menjatuhkan usahaku.Aku merasa
“Siapa?” tanyaku kemudian.“Maaf kurang tau,” jawab Titin sambil menggeleng.“Bu Rahayu, maaf permisi sebentar.” Aku membalikkan badan dan bicara pada rekananku itu karena akan ke depan untuk melihat ada keributan apa.“Oh iya, Jeng … silahkan.” Bu Rahayu mengangguk mempersilahkan.Aku segera beranjak menuju ke ruang toko tempat keributan terjadi. Terlihat seorang perempuan dengan balutan dress merah dan rambut pirang tengah berbicara dengan nada tinggi. Di tangannya terlihat beberapa pakaian bayi yang diacung- acungkan ke salah satu karyawanku.“Apa apaan ini, baju kayak gini di jual. Belum juga dipakai jahitan pada lepas. Produk sampah kok dijual." Perempuan itu melempar baju baju tersebut ke arah Ninis, karyawanku dan mendorongnya.“Maaf, Bu. Tolong jangan kasar … kalau ada yang ingin disampaikan bisa dibicarakan baik- baik, saya pemilik toko ini.” Aku berdiri di depan perempuan berambut pirang tersebut.“Bu? A … apa panggil aku tadi? Bu, kamu kira aku setua itu.” Nada suara peremp
“Selamat tidur anak papa.”Sebuah kecupan Mas Ryan layangkan di kening Prilly, pria itu baru saja mengangkat tubuh mungil Prilly yang tengah tertidur masuk ke dalam kamar. Seperti yang sudah pria itu janjikan tadi kepada Prilly, mala mini kami membuat tenda di taman dan juga membakar jagung serta daging. Mungkin karena kecapaian dan mengantuk Prilly tertidur lebih dahulu.“Aku lepas dulu tendanya,” ucap Mas Ryan beringsut dari atas tempat tidur.“Besok aja, Mas. Dah malem juga kan, istirahat aja.” Aku mendekati Prilly dan mengecup kening putri kecilku itu kemudian kembali berdiri.“Ya udah … lumayan capek, ngantuk juga.” Mas Ryan terlihat menggeliat kemudian berjalan ke arahku yang lebih dekat dengan pintu. “Tidur,” ucapnya sambil merangkul pundakku.“Huum, ngantuk juga,” timpalku sembari menguap, kantuk mulai mendekapku.“Sayang, kalau bayi gini ikut bobo nggak ya kalau kita tidur?” tanya Mas Ryan saat kami berjalan ke kamar sambil mengusap perut buncitku.Sebuah pertanyaan yang aku
“Ada apa ?” tanya mama yang ternyata sedari tadi memperhatikanku.“Mas Dipta,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kesalku.“Kenapa lagi anak itu?” Kembali mama bertanya sambil mengangkat dagunya.“Dia ingin mengambil Prilly.”“Apa? Nggak waras itu anak.” Suara mama terdengar sedikit emosi. “Kalau itu masalahnya mama nggak bisa tinggal diam, enak saja mau main ambil. Atas dasar apa juga dia mau ambil Prilly, selama ini Prilly baik-baik dan aman-aman saja bersama kita. Bukan berarti karena dia ayah kandungnya bisa seenaknya main ambil.”Sudah bisa aku tebak kalau respon mama akan seperti ini. Papa menepuk pelan lengan mama, sepertinya agar mama lebih tenang dan tidak terbawa emosi.“Biar papa nanti bicara sama Mas Herman, tidak perlu ada keributan atau sampai rebutan hakatas Prilly. Kita bisa bersama-sama dalam menjaga dan mengasuh Prilly,” ucap Papa yang sedari tadi hanya diam. “Nanti papa yang urus dan bicara pada mereka.”“Suka heran mama sama Dipta, kenapa sepertinya tid
“Semoga tidak menurun ke Prilly,” harapku kemudian. Semoga hanya wajah rupawannya yang menurun di Prilly, tapi, tidak untuk sifat dan kelakuannya,“Mama Papa Dipta mana?” tanya Prilly yang baru turun dari tangga sambil melihat kea rah ruang tamu depan.“Pergi sama Papa aja, tadi Papa Dipta ada urusan.” Mas Ryan yang sedari tadi diam langsung angkat bicara.“Yah … kan sudah sering sama papa, kalau sama Papa Dipta kan jarang-jarang.” Raut wajah kecewa nampak sekali di wajah Prilly.Aku memahami yang dia rasakan, bagaimanapun ikatan darah memang lebih kental. Masih sebuah hal yang wajar dan tidak berlebihan karena bagaimanapun Mas Dipta adalah papa kandung Prilly. Apalagi saat bersama Mas Dipta apa yang Prilly mau selalu dipenuhi oleh papa kandungnya itu. Sangat berbeda saat bersamaku yang selalu memiliki aturan untuk setiap hal yang dilakukannya.Sebenarnya tidak ada yang kurang dari kehidupan Prilly semua hal juga telah aku dan Mas Ryan penuhi. Hanya saja untuk hal-hal tertentu kami m
Mendengar aku dan Mas Dipta yang mulai saling berargumen Mama dan Papa juga Mama Jani beranjak meninggalkan kami bertiga. Aku, Prilly dan juga Mas Dipta masih berdiri di teras, bila menjemput Prilly, Mas Dipta memang jarang mau masuk ke dalam rumah. Keras kepala dan keegoisan pria itu tidak berkurang-kurang juga.“Iya aku tahu, tapi, ini juga demi kebaikan Prilly juga nantinya. Karena semua hal yang dia ingginkan nggak semunya bisa dia dapatkan.” Aku kembali menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku.“Kalau kamu nggak bisa atau nggak mau, biar aku saja yang mengurus Prilly, memberikan apa yang anakku mau.”“Bukan begitu Mas, ah … haarus seperti apa aku menjelaskan.” Aku mulai merasa kesal. “Kita nggak boleh memanjakan anak, menuruti semua kemauannya. Sedari kecil kita harus mendidiknya dengan baik agar tidak menjadi pribadi yang manja dan semaunya sendiri.”Entah apa yang ada dalam kepala pria di depanku itu, selama ini aku sudah mendidik Prilly dengan cara yang aku anggap benar dan b