Mas Dipta terlihat di depan pagar, aku dan mama saling berpandangan. Jelas ini bukan hal yang menyenangkan. Papa muncul di belakang kami, berjalan melewat aku dan mama membuka pagar untuk Mas Dipta.
"Wahh, Teddy Bear besar banget," teriak Prilly dengan senyum lebar. Aku kembali saling berpandangan dengan mama. Ada rasa sesak menyergap, bukanya tak suka melihat wajah ceria Prilly, hanya saja hati belum sepenuhnya menerima."Suka?" tanya Mas Dipta lalu menggendong gadis kecilnya, setelah mencium tangan papa."Suka sekali," jawab Prilly sambil mendaratkan sebuah ciuman ke pipi Mas Dipta. Melihatnya entah kenapa badanku lemas tiba-tiba.Mas Dipta berjalan dan berhenti di hadapanku dan mama. Diturunkannya Prilly dari gendongan nya, sedikit membungkuk ingin bersalaman dengan mama. Wanita separuh baya itu bergeming. Dikibaskan tangan mantan menantunya itu."Oma, Papa mau salim," ucap Prilly, meraih tangan mama. Mas Dipta kembali membungkuk, mama terpaksa membiarkanKelelahan Prilly tertidur di jok belakang, aku ingin memangkunya tadi, tapi dia memilih duduk di jok belakang."Sayang, terima kasih ya," ucapku, saat mobil melaju pelan meninggalkan parkiran mall."Aku yang harusnya berterima kasih, malam minggu terindah di temani dua bidadari," balasnya."Bidadari? lebay," ucapku, lalu tertawa kecil."Aku serius sayang, kalian bidadari di hatiku," lanjutnya, aku kembali tertawa."Sayang, aku merasa nggak enak ama kamu, masalah Prilly dan Mas Dipta. Kamu tau betapa keras kepala sekali dia."Pak Ryan meraih tanganku, meletakkan di atas pahanya. Sesekali diketuknya mengikuti irama lagu yang sedang didengarnya."Bagaimanapun, pria itu Ayah Prilly. Tapi bagiku asal kamu tetap bersamaku, aku yakin bisa melewati halangan yang ada," ucapnya."Tau nggak, aku merasa menjadi wanita paling beruntung. Terima kasih untuk cinta ini, aku ingin menjadi bagian terpenting dalam hidupmu, menjadi separuh jiwamu, dan juga tulang rusukm
"Mama, Papa datang," teriak Prilly. Aku dan mama saling berpandangan, mama memiringkan sedikit kepalanya dengan ekspresi bibir terlihat malas."Iya, tunggu di situ," jawabku, lalu bergegas ke kamar, mengambil ponsel dan juga dua lembar uang ratusan dari dalam dompetku.Saat aku keluar, papa sudah tak ada. Sepertinha sudah berangkat. "Jalan kaki?" tanya mas Dipta."Iya Papa, olahlaga." Prilly yang menjawab pertanyaan mas Dipta."Siap," jawab mas Dipta, senyum tersunging di bibir itu, menampakkan lesung pipi yang sama dengan Prilly.Kami bertiga berjalan bersisian dengan menggandeng Prilly di tengah. Keceriaan nampak jelas di wajah mungil, milik putri kecilku itu."Hai," sapa mas Dipta padamu. Prilly menggoyang tanganku, saat tak dia dengar jawaban keluar dari bibirku."Hai," balasku."Selalu terlihat cantik, meski cemberut," ucapnya lagi. Aku hanya diam sambil mengedarkan pandangan."Sayang, capek nggak, papa gendong ya," tawar mas Dipta kem
"Mas udah bayangin, kamar Prilly nanti, anak gadis kan sukanya pink. Mas akan sewa orang khusus buat atur kamar Prilly," lanjutnya lagi.Aku bergeming mendengar Mas Dipta bercerita, masih aku dengarkan tanpa aku sela."Mas, bukankah kita sama-sama sudah dewasa, kita bicara layaknya orang dewasa," ucapku kemudian."Mungkin, bagi mas apa yang mas lakukan dulu padaku, itu hal yang biasa. Tapi, tidak bagiku. Mas menginjak harga diriku, menggoyaknya hingga tak berupa lagi. Masih ingatkan? sampai seperti apa mas menghinakan aku dulu. Enam bulan pernikahan kita, yang aku dapat hanya cacian dan hinaan. Mas selalu menyalahkanku, kata mas gara-gara diriku mas berpisah dengan kekasih mas."Sekuat tenaga aku menahan gejolak emosi dalam dada. Agar aku bisa menyelesaikan semua yang ingin aku sampaikan padanya."Mas, juga pastinya tidak lupa, bagaimana bisa Prilly hadir di dunia ini. Prilly hadir bukan karena sebuah cinta, bagi mas itu dulu kesalahanku, mas yang memaksaku, mas
Bangun pagi ini, kepalaku sedikit pusing. Kejadian kemarin, terus berputar dalam benakku. Bayangan Prilly dan juga harapan yang terpancar dari sorot kedua matanya membuat pikiranku cukup kacau.Bukan aku egois, dengan bertahan untuk tak menerima Mas Dipta kembali, selain luka yang terlanjur menggores, akan banyak hati yang terluka. Termasuk hatiku sendiri, rasaku mulai memudar, seiring kehadiran Pak Ryan di hatiku. Setelah sholat subuh, aku menyiapkan baju kerja dan beberapa berkas pekerjaan kantor yang sempat aku bawa pulang. Merapikan dan memasukan berkas tersebut ke dalam sebuah map plastik. Menutup laptop kemudian mengembalikan ke dalam tas.Selesai dengan persiapanku sendiri, giliran menyiapkan keperluan Prilly. Aku memeriksa kembali buku-bukunya dan juga tugasnya. Setelah kupastikan semua beres, kembali aku masukkan ke dalam tas sekolahnya.Aku mengambil baju sekolah Prilly dari dalam lemari dan menyiapkannya di atas tempat tidur beserta pakaian dalamnya. Pan
"Saya bicara berdasarkan fakta yang ada, kenyataannya memang ada penyimpangan di cabang ini." Bu Rahma terlihat begitu yakin dengan ucapannya. Semua terdiam, suasana terasa begitu tegang. Begitu juga dengan yang aku rasakan, bukan takut karena aku merasa tidak melakukan hal yang wanita itu tuduhkan. Hanya saja dituduh dan dipermalukan di depan umum rasanya tidak bisa aku gambarkan."Bu Rahma, saya kepala cabang di sini, apapun yang terjadi di cabang adalah tanggung jawab saya, selaku pimpinan di sini. Seharusnya Ibu tau batas wewenang dari seorang wakil manajer area. Semua yang terjadi di cabang bukan wewenang Anda secara langsung."Pak Ryan bicara dengan tegas, dan penuh penekanan. Terlihat sekali dia mencoba mengendalikan emosinya. Wajah putihnya terlihat memerah."Pak Ryan, pembiaran atas sebuah penyimpangan akan merugikan perusahaan, saya ikut bertanggung jawab untuk sebisa mungkin agar perusahaan tidak sampai di rugikan." Wanita berambut coklat itu, ikut menai
"Kami juga permisi Pak,"ucapku kemudian. Pak Ryan melihat ke arahku dan Friska."Friska, minta ke bagian personalia cek CCTV ya!" perintah Pak Ryan pada Friska."Baik, Pak. Saya juga permisi." Pamit Friska."Kay, bisa tinggal sebentar." Ragu Pak Ryan memintaku untuk tidak beranjak. Aku melihat ke arah Friska, ada gurat senyum di wajah cantiknya."Baik, Pak," jawabku."Ehem … ehem," goda Pak Anshar. "Friska, nggak mau jadi obat nyamuk kan?"Friska tertawa kecil, kemudian bergelayut di tangan Pak Anshar. Pria setengah baya itu tertawa, kami sudah menganggapnya seperti orang tua sendiri.Aku masih berdiri di tempat semula, Pak Ryan menghampiriku. Tangannya meraih jemariku dan menggenggamnya."Maafkan aku, karena aku kamu jadi terkena masalah," ucap Pak Ryan kemudian."Apa kalian dulu memiliki hubungan?" tanyaku penasaran."Bu Rahma, terobsesi padaku. Aku sampai memilih keluar dari perusahaan untuk menghindar darinya. Tak terpikir dia akan mengeja
"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, mana pesanan mama?"Langkahku terhenti seketika, aku lupa. Saking panasnya hatiku melihat foto-foto itu, aku sampai melupakan pesanan mama."Kay, lupa ma. Abis inikah Kay anter belanja?" "Tumben mukanya kusut gitu?" "Iya Ma, ada sedikit masalah tadi di kantor. Tapi, dah nggak apa-apa kok," jawabku kemudian."Ya udah mandi sana, ntar aja abis maghrib antar mama belanja.""Iya, Mah," jawabku, kembali mengayunkan kaki berjalan menuju kamar.Sudah tau membuat panas, tapi entah mengapa aku kembali membuka ponsel dan melihat foto-foto yang dikirimkan mas Dipta. Sengaja aku kirimkan semua foto-foto itu ke nomor Pak Ryan.Aku mulai menghitung "Satu … dua … ti …." Ponselku bergetar, panggilan dari Pak Ryan masuk. Aku hanya memandangnya, panggilan terus berulang, aku meninggalkan ponsel yang terus bergetar itu, tergeletak di atas ranjang.Mandi sepertinya akan mengurangi rasa penat dan panasnya hati ini, sengaja a
Sesaat aku memandangi wajah tampan itu. Semoga apa yang kami harapkan akan menjadi sebuah kenyataan. Rasa ini tulus adanya, sosok tampan ini pun nyaris tanpa cela baik fisik maupun kepribadiannya. Yang semakin membuatku mencintainya, sangat."Sayang, tak adakah kopi untukku?" Aku tersenyum, bahkan aku tak menawarinya minum. Kekasih macam apa diriku."Aku buatin dulu ya," ucapku hendak beranjak."Jangan lama-lama," pintanya sambil memegang pergelangan tanganku."Nggak lama, paling Sewindu," jawabku asal bercanda.."Jangan, aku bisa gila karena rindu," canda Mas Ryan terdengar seperti sebuah gombalan receh. Tapi, cukup untuk membuat hatiku merasa senang dan juga bahagia."Gombal."Pria itu tertawa, aku segera beranjak ke dapur. Prilly sepertinya di kamar mama, aku menyusulnya."Ma, besok aja ya belanjanya," ucapku setelah membuka pintu."Iya, nggak apa-apa. Prilly juga sudah tidur," jawab Mama sambil merapikan tempat tidurnya."Tumben cepet bobokn
Waktu terasa begitu lambat berjalan dan pandanganku mengarah ke pintu serta lampu yang berada di atas pintu ruang operasi. Kenapa terasa sangat lama sekali mereka berada di ruangan itu, rasa cemas membuat pikiranku semakin kacau.“Kita berdoa untuk mama dan adik ya,” bisikku pada Prilly, gadis kecilku itu mengangguk.Tanpa dikomando semua langsung berdiri saat pintu ruang operasi terbuka, terlihat beberapa orang keluar dari ruangan dan salah satunya dokter yang aku biasa panggil dokter Maria.“Puji Syukur Ibu dan anak selamat hanya masih memerlukan perawatan intensif jadi belum bisa ditemui.” Perkataan dokter Maria sedikit membuat perasaan lega dan tenang, Alhamdulillah istri dan anakku selamat meski aku belum bisa melihatnya.“Seorang jagoan, anaknya laki-laki dengan berat dua koma tujuh dan panjang lima puluh tiga centimeter.” Dokter Maria kembali menambahkan.“Alhamdulillah terima kasih Ya Allah, terima kasih dokter,” ucapku yang sekarang diatara perasaan senang dan juga cemas.“S
Meeting selesai menjelang jam tiga sore, selama itu pula aku mengabaikan panggilan serta pesan yang masuk di ponselku dan meng silentnya. Aku baruakan membuka pesan setelah aku benar-benar selesai dan sudah kembali berada di mobil. Sepertinya banyak sekali pesan dan panggilan masuk sedari tadi, baru saja aku akan melihat panggilan serta pesan yang masuk ponselku bergetar dan nama mama terlihat di layar ponsel.Buru-buru aku mengangkat panggilan dari mama yang sepertinya merupakan panggilan untuk kesekian kalinya, aku sempat melihat di panggilan tidak terjawab mama melakukan banyak panggilan. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak.“Hallo assalamualaikum, Ma.” Aku membuka percakapan dengan sebuah salam seperti biasanya.“Waalaikumsalam, Ryan kamu dimana?” Suara mama terdengar bergetar dan tidak terdengar baik.“Ini aku baru selesai meeting, Ma. Mama kayak lagi nangis, ada apa?” tanyaku kemudian.“Kayana … Kayana.” Mama kemudian benar-benar menangis dan menyebutkan nama Kay, istriku.”
“Prilly yang bilang demikian, untuk apa aku membuat buat atau mengarang cerita.” Mas Dipta masih bersikeras dan terus menyanggah. “Beneran Prilly yang bilang,” lanjutnya lagi.“Sudahlah, Mas. Sekarang tolong bawa Prilly ke mobil, atau aku sendiri yang akan bangunkan Prilly.” Aku sudah semakin malas berbasa basi. Dan juga malas mendengar ocehan yang tidak jelas dari Mas Dipta.“Pulanglah, biarkan Prilly di sini.” Ekspresi wajah Mas Dipta mulai berubah tidak enak. Umur memang tidak menjamin kedewasaan seseorang, aku bisa merasakan Mas Dipta mulai kesal karena aku sedari tadi bersikap dingin kepadanya.“Prilly ikut aku pulang,” paksaku lagi. “Nggak bisa.” Mas Dipta bersikeras menahan Prilly.“Aku nggak ingin ribut, apalagi di depan Prilly. Ayolah Mas, bersikaplah sedikit bijak dan dewasa jangan seperti ini. Hal kayak gini nggak baik buat perkembangan psikis Prilly, harusnya Mas Dipta paham itu.” Sebisa mungkin aku menahan diri karena kalau aku sampai emosi pastinya tidak akan baik un
“Iya, Oma. Terima kasih banyak atas kepercayaannya,” ucapku kemudian dengan senyum dan sedikit menurunkan kepala.“Ya sudah, mau belanja lagi, borong buat cucu saya.” Aku mengangguk dan masih tersenyum lebih tepatnya menahan tawa senang.“Nis … temanin kalau mau ambil ganti,” ucapku pada Ninis. “Pak, kalau masih ribut, bawa keluar toko saja, sudah menganggu kenyamanan belanja yang lain,” perintahku pada Pak Puji.Aku tidak memperdulikan ocehan perempuan itu dan beranjak meninggalkan toko untuk kembali keruanganku. Sesampainya di ruangan aku meminta maaf pada Bu Rahayu yang telah menunggu sedari tadi dan kemudian menyelesaikan pertemuan hari ini.*Tetap saja perutku terasa kaku akibat kejadian tadi, meski aku bilang masa bodoh sedari tadi otakku terus berputar akan masalah tadi. Bukan sebuah kebetulan pastinya akan kejadian tadi, seperti sebuah hal yang memang disengaja dan direncanakan. Kalau mendengar ucapan perempuan itu, sepertinya tujuannya untuk menjatuhkan usahaku.Aku merasa
“Siapa?” tanyaku kemudian.“Maaf kurang tau,” jawab Titin sambil menggeleng.“Bu Rahayu, maaf permisi sebentar.” Aku membalikkan badan dan bicara pada rekananku itu karena akan ke depan untuk melihat ada keributan apa.“Oh iya, Jeng … silahkan.” Bu Rahayu mengangguk mempersilahkan.Aku segera beranjak menuju ke ruang toko tempat keributan terjadi. Terlihat seorang perempuan dengan balutan dress merah dan rambut pirang tengah berbicara dengan nada tinggi. Di tangannya terlihat beberapa pakaian bayi yang diacung- acungkan ke salah satu karyawanku.“Apa apaan ini, baju kayak gini di jual. Belum juga dipakai jahitan pada lepas. Produk sampah kok dijual." Perempuan itu melempar baju baju tersebut ke arah Ninis, karyawanku dan mendorongnya.“Maaf, Bu. Tolong jangan kasar … kalau ada yang ingin disampaikan bisa dibicarakan baik- baik, saya pemilik toko ini.” Aku berdiri di depan perempuan berambut pirang tersebut.“Bu? A … apa panggil aku tadi? Bu, kamu kira aku setua itu.” Nada suara peremp
“Selamat tidur anak papa.”Sebuah kecupan Mas Ryan layangkan di kening Prilly, pria itu baru saja mengangkat tubuh mungil Prilly yang tengah tertidur masuk ke dalam kamar. Seperti yang sudah pria itu janjikan tadi kepada Prilly, mala mini kami membuat tenda di taman dan juga membakar jagung serta daging. Mungkin karena kecapaian dan mengantuk Prilly tertidur lebih dahulu.“Aku lepas dulu tendanya,” ucap Mas Ryan beringsut dari atas tempat tidur.“Besok aja, Mas. Dah malem juga kan, istirahat aja.” Aku mendekati Prilly dan mengecup kening putri kecilku itu kemudian kembali berdiri.“Ya udah … lumayan capek, ngantuk juga.” Mas Ryan terlihat menggeliat kemudian berjalan ke arahku yang lebih dekat dengan pintu. “Tidur,” ucapnya sambil merangkul pundakku.“Huum, ngantuk juga,” timpalku sembari menguap, kantuk mulai mendekapku.“Sayang, kalau bayi gini ikut bobo nggak ya kalau kita tidur?” tanya Mas Ryan saat kami berjalan ke kamar sambil mengusap perut buncitku.Sebuah pertanyaan yang aku
“Ada apa ?” tanya mama yang ternyata sedari tadi memperhatikanku.“Mas Dipta,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kesalku.“Kenapa lagi anak itu?” Kembali mama bertanya sambil mengangkat dagunya.“Dia ingin mengambil Prilly.”“Apa? Nggak waras itu anak.” Suara mama terdengar sedikit emosi. “Kalau itu masalahnya mama nggak bisa tinggal diam, enak saja mau main ambil. Atas dasar apa juga dia mau ambil Prilly, selama ini Prilly baik-baik dan aman-aman saja bersama kita. Bukan berarti karena dia ayah kandungnya bisa seenaknya main ambil.”Sudah bisa aku tebak kalau respon mama akan seperti ini. Papa menepuk pelan lengan mama, sepertinya agar mama lebih tenang dan tidak terbawa emosi.“Biar papa nanti bicara sama Mas Herman, tidak perlu ada keributan atau sampai rebutan hakatas Prilly. Kita bisa bersama-sama dalam menjaga dan mengasuh Prilly,” ucap Papa yang sedari tadi hanya diam. “Nanti papa yang urus dan bicara pada mereka.”“Suka heran mama sama Dipta, kenapa sepertinya tid
“Semoga tidak menurun ke Prilly,” harapku kemudian. Semoga hanya wajah rupawannya yang menurun di Prilly, tapi, tidak untuk sifat dan kelakuannya,“Mama Papa Dipta mana?” tanya Prilly yang baru turun dari tangga sambil melihat kea rah ruang tamu depan.“Pergi sama Papa aja, tadi Papa Dipta ada urusan.” Mas Ryan yang sedari tadi diam langsung angkat bicara.“Yah … kan sudah sering sama papa, kalau sama Papa Dipta kan jarang-jarang.” Raut wajah kecewa nampak sekali di wajah Prilly.Aku memahami yang dia rasakan, bagaimanapun ikatan darah memang lebih kental. Masih sebuah hal yang wajar dan tidak berlebihan karena bagaimanapun Mas Dipta adalah papa kandung Prilly. Apalagi saat bersama Mas Dipta apa yang Prilly mau selalu dipenuhi oleh papa kandungnya itu. Sangat berbeda saat bersamaku yang selalu memiliki aturan untuk setiap hal yang dilakukannya.Sebenarnya tidak ada yang kurang dari kehidupan Prilly semua hal juga telah aku dan Mas Ryan penuhi. Hanya saja untuk hal-hal tertentu kami m
Mendengar aku dan Mas Dipta yang mulai saling berargumen Mama dan Papa juga Mama Jani beranjak meninggalkan kami bertiga. Aku, Prilly dan juga Mas Dipta masih berdiri di teras, bila menjemput Prilly, Mas Dipta memang jarang mau masuk ke dalam rumah. Keras kepala dan keegoisan pria itu tidak berkurang-kurang juga.“Iya aku tahu, tapi, ini juga demi kebaikan Prilly juga nantinya. Karena semua hal yang dia ingginkan nggak semunya bisa dia dapatkan.” Aku kembali menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku.“Kalau kamu nggak bisa atau nggak mau, biar aku saja yang mengurus Prilly, memberikan apa yang anakku mau.”“Bukan begitu Mas, ah … haarus seperti apa aku menjelaskan.” Aku mulai merasa kesal. “Kita nggak boleh memanjakan anak, menuruti semua kemauannya. Sedari kecil kita harus mendidiknya dengan baik agar tidak menjadi pribadi yang manja dan semaunya sendiri.”Entah apa yang ada dalam kepala pria di depanku itu, selama ini aku sudah mendidik Prilly dengan cara yang aku anggap benar dan b