“Jadi kita mau di sini saja atau cari tempat nongkrong,” ucap Lilis lagi.
“Di sini saja, nggak apa!” jawab Aluna. Menggeser duduknya, “Kamu duduk di tengah!” lanjut Aluna melihat Lilis.
“Rempong sekali yah, ibu ibu ini,” Fatma menyela ucapan Lilis dan Aluna, ia mengakhiri perkataan dengan tawa kecil keluar dari bibir.
Lilis pun duduk di perantara Fatma dan Aluna, ia lalu berkata, “Jadi ini terserah aku, mau bercerita dari mana?” Aluna dan Fatma mengganguk. Dan memberi isyarat untuk Lilis bercerita.
Sambil berucap, pikiran Lilis mengingat kembali pertemuan dengan Fatma saat di parkiran.
Lilis memperlambat langkah, ketika melihat Fatma duduk di atas motornya sambil memainkan handphone. Mata mereka bertemu, ketika Fatma mengangkat wajah. Fatma langsung turun dari motor dan berdiri di samping. Ia lalu berucap ketika Lilis sudah berada di dekatnya, “kita bisa bicara sebentar, Lilis? A
***Zolan sedang menelepon orang di kamarnya. Tiga hari sekali ia akan menghubungi, menanyakan tentang seseorang yang sampai saat ini masih ia cari.“Hallo!” ucap Zolan, mendengar sapaan dari orang di balik handphone, Zolan kembali berucap. “Bagaimana, sudah ada informasi tentang Sindy!” Selalu, pertanyaan itu terucap dari bibir Zolan. Ia tidak pernah bosan mengucap kalimat yang sama.“Belum ada, Pak! Belum ada satu pun informasi yang aku dapatkan!” jawab orang dari seberang telepon dengan singkat.“Bagaimana mungkin? Kamu sudah bekerja selama tiga tahun, hanya mencari tahu keberadaan Sindy saja kamu tidak bisa!” ucap Zolan, emosi.“Seperti yang pernah aku katakan dulu, Pak! Sepertinya sepuluh tahun yang lalu, data perjalanan Sindy sengaja di hilangkan oleh pihak bandara. Jadi sangat sulit untuk mengetahui keberadaan Sindy. Maaf kalau aku lancang berucap, Pak. Buktinya, orang suruhan
“Permisi, Kak! Kak Zolannya ada?” ucap Aluna. Laura mengangkat wajah dari Komputer yang ada di hadapan.Laura melihat dari ujung kaki sampai kepala. Aluna membatin, “selalu saja, ada orang yang melihatku seperti ini. Apa tidak bisa, tatapan itu biasa saja? Tapi semoga dia lupa, jika aku yang dulu pernah mengotori gaunnya.” Aluna memperbaiki kacamata besar yang menempel di wajah.Sambil tersenyum, Laura berucap. “Oh adiknya Zolan, ya! Masuk saja, Zolan ada di dalam!”“Adik!” Mimik wajah Aluna nampak heran, ia belum beranjak dari tempatnya berdiri.“Aku Laura! Sekretaris Zolan,” tutur Laura, sambil mengulurkan tangan.Aluna tersadar. Ia pun tersenyum, dan menjabat tangan Laura. “Aku Aluna! Senang bisa kenalan dengan Kakak!”Laura melepas tangan, sambil berkaa, “Kamu jangan kaget ya, kenapa aku tidak memanggil Zolan dengan embel-embel bapak! Aku dan Zolan sudah bertem
Kurang lebih tiga puluh menit mengendara, Aluna sudah tiba di kampus. “Alunaa!” Suara cempreng Fatma memanggil dari belakang langkah Aluna. Fatma sudah kembali seperti dulu, ia kembali ceria, dan memberi warna dihidup Aluna. Setelah kejadian di rumah sakit, semua berubah. Fatma sebagai orang yang juga berpengaruh di lingkungan kampus berhasil mengubah citra Aluna. Tidak ada lagi yang menganggap Aluna murahan. Mereka semua akhirnya tahu jika selama ini Aluna bekerja sebagai pengasuh Angel, anak Anton. Meskipun, sesekali masih ada yang membully. Tetapi, Aluna tidak mengganggap bullyan itu sebagai hal yang menyakitkan. Sekarang jika ada yang yang mengganggu, alasannya hanya satu, gaya berpakaian Aluna yang di anggap cupu. Penampilan seperti itu adalah pilihan hidup Aluna. Jadi, bagi Aluna tidak masalah. Aluna menghentikan langkah.“Kenapa sih, suka kebiasaan, teriak-teriak,” ujar Aluna. Ia selalu malu jika Fatma memanggilnya dari kejauhan. “Supaya
Dua jam berada di dalam kelas, kuliah akhirnya selesai. Aluna dan Fatma menuju ke kantin. Mereka memilih kantin, sebagai tempat untuk bercerita. Fatma dan Aluna melangkah ke pojok yang tidak terlalu ramai.Setelah tiba, Aluna langsung duduk dan Fatma menuju salah satu stand booth minuman untuk memesan. Saat mereka menunggu pesanan, Lilis datang meghampiri.Setelah pesanan mereka datang. Fatma membuka suara, “jadi bagaimana? Apa yang sebenarnya terjadi, Aluna! Siapa tadi yang sudah membuat kamu menangis.”“Aku tidak menyalahkannya, karena tentang perasaanku, aku yang bertangung jawab. Hanya saja, ada sakit yang tidak bisa aku tahan. Dan hanya bisa sembuh jika aku sudah meluapkan lewat tangisan,” tutur Aluna, pelan. Ia menatap kosong ke depan.“Puitis bangat, sih. Ini lagi bahas apa? Maksudnya apa? Aku benar-benar tidak mengerti," tutur Lilis, ia sudah duduk di samping Aluna.“Nggak usah dijadikan bahan candaan, Li
Di tempat berbeda, Robin mengumpulkan kembali orang-orang suruhannya. Sambil duduk di kursi, Robin menatap mereka satu persatu.“Bagaimana? Kabar apa yang akan kalian kasih ke aku?” ucap Robin, kaki ia letakan di atas meja.Semua terdiam dan menunduk. Melihat itu, Robin tertawa sinis dan kembali berucap, “kamu yang paling ujung, maju ke sini!”Orang yang di tunjuk, melangkah mendekat. Robin berdiri dari duduknya, orang itu masih menunduk. “Informasi apa yang kamu sudah dapat?” tanya Robin sambil berhadapan. Kedua tangan bertolak pinggang.“Belum ada, Bos,” tuturnya, dengan suara gemetar.Robin langsung melayangkan pukulan tepat di perut, sepersekian detik orang itu terlempar jauh dari hadapannya. “Kembali ke tempatmu!” perintah Robin, tanpa melihat wajah orang yang sudah ia buat terkapar di lantai, darah mengalir dari bibir.“Kamu maju ke sini!” ucap Robin tegas untuk or
***Hari minggu, Aluna masih harus ke kampus. Bagi anak kedokteran tidak semua minggu itu libur. Pukul enam pagi, ia sudah bersiap-siap. Hingga sore jam tiga ia kembali ke rumah. Janji bersama dua sahabat, ia batalkan. Aluna sudah punya agenda yang sudah lama selalu tidak kesampean.Aluna melihat Marfel sedang membaca buku di taman samping rumah. Ia menghampiri, setelah jarak mereka tinggal satu meter, Aluna berucap, “Ayah sore ini ada agenda apa?” Sambil melangkah.Marfel tidak menyadari kedatangan Aluna. Mengangkat wajah, ia langsung menutup buku dan menaruh di atas paha. Marfel pun tersenyum lembut melihat Aluna.Setelah duduk di samping Marfel, Aluna lanjut berucap, “Ayah dari tadi di sini?”“Iya, Nak,” jawab Marfel, ada jeda dalam ucapan, ia kembali melanjutkan, “tadi kamu tanya apa ... agenda?”Aluna tersenyum, menganggukan kepala.“Agenda ayah itu, hanya istrahat. Memangnya
Di tempat berbeda, di sebuah rumah sakit. Anton kaget, ia melihat ada pergerakan di tangan Angel. Meskipun masih menutup mata, jari-jari mungil tangan kanan Angel bergerak. Ia memencet tombol untuk memanggil perawat jaga, yang terletak tidak jauh dari hospital bed. Tidak menunggu lama, tiga orang perawat bersama seorang dokter datang dengan membawa beberapa alat yang mereka butuhkan. “Bagaimana keadaanya?” tanya Anton. ketika dokter menempelkan stetoskop di tubuh Angel. Ada sedikit kebahagian terpancar di wajah Anton. “Dokter Anton, bisa ikut aku ke ruangan?” ujar seorang lelaki yang memakai jas putih. “Apa yang terjadi? Aku tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini,” ucap Anton tegas, sambil menatap Angel. “Ini juga untuk Angel. Ada yang ingin aku beritahu, dan aku tidak bisa mengatakannya di sini.” Kembali membujuk Anton yang terlihat kukuh dengan keinginan. “Nanti dua orang perawat ini, yang akan menggantikan kamu menjaga Angel,” lanjutnya.
***Setelah tiga tahun lebih menjalani kuliah, hari ini Aluna sidang akhir. Fatma dan Lilis menunggu di luar ruang sidang. Di tangan mereka ada satu buket bunga yang akan di berikan untuk Aluna. Sedangkan di dalam sana, Aluna masih menghadapi rentetan pertanyaan dari penguji.Satu jam lebih berlalu, Aluna di suruh keluar oleh dosen pembimbingnya. Menunggu di luar ruangan.“Alunaa!” Suara cempreng Fatma terdengar, ketika melihat Aluna membuka pintu. Ia dan Lilis berdiri menghampiri.“Bagaimana, kamu di kasih nilai apa?” tanya Fatma ketika mereka sudah berada di samping Aluna.“Ya, belum di tahu lah, Fatma … dosen ‘kan masih rembuk di dalam. Aku di suruh keluar dulu. Nanti masuk lagi kalau sudah ada perintah untuk masuk,” tutur Aluna, sambil berjalan menuju tempat duduk.“Kamu yang sidang, aku yang degdegan, Aluna. Gimana nanti kalau aku yang ujian yah?” Fatma berucap, ketika mereka
“Itu benaran Aluna. Tanpa bedak tebal saja, dia sudah menjadi perempuan paling cantik hari ini. Apalagi jika Aluna, menggunakan jasa perias,” tutur Lilis pelan pada Fatma. Mereka duduk berdampingan. “Aluna punya trauma, dia tidak ingin berdandan seperti layaknya perempuan lain dan akan di puji cantik. Aluna sangat membenci jika ada yang mengagumi kecantikannya,” ucap Fatma, sambil menatap Aluna yang saat ini sedang berbicara di podium. “Trauma … kenapa bisa?” tanya Lilis, menoleh ke Fatma. “Ceritanya panjang. Nanti saja aku ceritakan. Sekarang aku ingin fokus mendegar Aluna bicara,” ucap Fatma, tanpa melihat wajah penasaran Lilis. Ia mendengar Aluna yang sedang berucap, “atas apa yang dapat di raih hari ini, kita patut berterimakasih pada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu semua proses. Untuk itu perkenankanlah saya mewakili wisudawan untuk menyampaikan banyak terimakasih.” Lilis tidak melanjutkan percakapan mereka. Ia pun ikut fokus meny
*** Aluna sedang bersiap-siap, ia menggunakan kebaya berwarna biru nafi, dipadukan dengan rok batik bermotif kupu-kupu kecil. Kemudian ia menutupi dengan baju toga hitam pemberian kampus untuk wisudawan. Aluna tidak menggunakan jasa perias. Dengan kemampuan pas-pasan, ia menempel tipis bedak di wajah. Tidak lupa, Aluna juga memakai lip cream di bibir agar tidak terlihat kering. Kali ini, Aluna tidak akan mengepang dua rambut. Ia sudah membeli pengikat khusus agar bagian kepala terlihat cantik. Ia lalu memakai anting cantik berukuran kecil di telinga. Aluna hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk selesai. Ia lalu memakai high hells. Bercermin kembali, untuk memastikan jika ia sudah selesai. Aluna mengambil toga yang sudah ia siapkan di atas meja belajar. “Kok rasanya, aku malu. Ini pertama kali aku memakai bedak ke kampus,” tutur Aluna, ia memalingkan pandangan pada kacamata. “Sepertinya untuk hari ini, aku tidak memakai kacamata. Hanya untuk hari
Mengikuti kata hati, Sindy akhirnya masuk ke dalam warung untuk memesan makanan yang akan di bawa pulang. Ia bercerita dengan seorang ibu yang juga menunggu pesanan. Lima belas menit keasyika, Sindy menyadari jika lelaki itu sudah tidak ada. Dengan cepat Sindy membayar ketika namanya di panggil. Sambil memperbaiki masker dan topi yang ia pakai, Sindy melangkah lebar menuju rumah kos. Setibanya, sebelum memasuki rumah Sindy menoleh ke kiri dan ke kanan. Ingin memastikan jika tidak ada lagi yang mengikuti. "Sekarang aku harus lebih berhati-hati," Sindy berucap lirih sambil mengusap dada dari balik pintu. Beberapa jam telah berlalu. Waktu menunjukan pukul sepuluh malam, Fahmi masih berada di sebuah kafe menunggu seseorang. Saat ia meneguk kopi, orang yang di tunggu akhirnya datang. “Maaf aku telat, bos,” ucap lelaki yang sedang memakai topi hitam. Ia membuka masker yang ada di wajah dan menarik kursi untuk duduk. “Informasi apa yang sudah kamu dapa
Aluna kembali ke kamar dan memilih berbaring di atas ranjang. Mata menatap langit-langit dan tidak berpindah. “Tidak mengapa Aluna. Sebentar lagi kamu akan koas. Kalian akan jarang bertemu, jadi kamu pasti bisa kuat,” batin Aluna menyemangati diri, "apa aku harus menyerah?" Aluna memiringkan badan ke samping. Menatap tempat Zolan jika tidur di kamarnya. Tangan mengusap bantal yang sering digunakan suaminya, ia berucap lirih, “aku harusnya sadar dari dulu, jika tidak boleh mencintai kamu, Zolan. Ini akibatnya, karena telah lancang berharap dicintai.” Tidak terasa, air mata yang sudah ia tahan sejak berada di kamar Zolan, akhirnya tumpah. “Aku tidak pernah meminta takdir seperti ini. Mengapa harus aku yang merasakan?” Bantal yang digunakan Aluna telah basah. Tangan menutup mulut dan membiarkan air di mata keluar begitu deras.Satu jam lebih ia berbaring di atas kasur, meratapi hati yang di rasa begitu sakit. Aluna akhirnya bangkit menuju meja belajar,
***Hari ini, tepat sepekan Marfel berpulang. Aluna sedang berada di kamar Zolan. Sudah seminggu Zolan tidak keluar rumah, begitupun dengan Aluna.“Aku masih kenyang, Aluna. Kamu saja yang makan,” tutur Zolan, melihat Aluna masih memegang sendok berisi makan, dari tadi Aluna terus memaksa.“Kamu harus makan Zolan! Hari ini kamu belum makan. Tiga sendok saja, terus aku akan keluar dari kamar kamu.” Aluna terus berusaha merayu. Sejak meninggalnya Marfel, Zolan sudah jarang makan. Makanan yang sering di antar ke kamar, selalu di ambil kembali dalam keadaan utuh.Melihat Zolan, yang masih menutup mulut. Aluna berdiri untuk menyimpan piring yang di tangan ke atas meja. Ia lalu kembali duduk di dekat Zolan. “Aku tahu kamu merasa bersalah! Aku tidak tahu sebelumnya apa yang terjadi antara kamu dengan ayah! ... Tetapi, kamu tidak bisa begini terus ... Badan kamu juga punya hak untuk sehat!” Aluna berkata dengan suara sedi
Asisten itu menarik lembut Aluna. Ia langsung memeluk tanpa banyak berkata. Ia tahu bagaimana rapuhnya Aluna. “Ada kami, Non. Non Aluna masih punya kami, tidak sendiri,” ia berbisik pelan di telinga Aluna, berusaha menguatkan.Semua asisten mengetahui hubungan Aluna dan Zolan. Meskipun sudah tidur sekamar, tetapi masih nampak di mata semua asisten, jika Zolan tidak mencintai Aluna. Bukan hanya itu, asisten yang setiap hari membersihkan rumah mengetahui, jika Zolan masih menyimpan semua baju di kamarnya, tidak memindahkan ke kamar Aluna.Di tempat lain, Zolan masih berada di depan sekolah. Setelah bertengkar hebat dengan Marfel, ia tidak bisa fokus untuk bekerja, sehingga ia pergi meninggalkan kantor dan menuju sekolah yang sudah mempertemukannya dengan Sindy. Zolan juga tidak mengaktifkan handphone, ia sedang tidak ingin di ganggu.Zolan memarkir mobil di seberang sekolah. Dari jauh ia melihat anak-anak sekolah keluar dari gerbang. Ada yang jail, ada
Empat puluh menit mengendara motor, ia sudah memasuki gerbang rumah sakit. Tadi setelah tiba di parkiran kampus Aluna menelepon Bi Sarti, menanyakan rumah sakit tempat Marfel dirawat. Aluna mengendara dengan sangat laju, tiga kali ia mendapatkan lampu merah yang macet. Dengan langkah terburu ia masuk, menuju ruang ICU.Di sana ada enam orang asisten yang menunggu di depan pintu. Aluna mempercepat langkah. Setibanya, dengan napas yang masih terengah-engah, Aluna langsung berucap, “apa yang terjadi? .. Tadi pagi ayah masih baik-baik saja. Kami sarapan pagi bersama dan aku juga meminnta doa karena sidang hari ini. Kenapa ini bisa terjadi?”“Kami tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi. Tadi setelah Non Aluna ke kampus. Tuan besar memanggil tuan muda di dalam kamar. Kami tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Bi Sarti menemukan tuan besar pingsan di lantai dekat ranjang,” ucap asisten yang berada di hadapan Aluna.“Zolan sudah tahu
***Setelah tiga tahun lebih menjalani kuliah, hari ini Aluna sidang akhir. Fatma dan Lilis menunggu di luar ruang sidang. Di tangan mereka ada satu buket bunga yang akan di berikan untuk Aluna. Sedangkan di dalam sana, Aluna masih menghadapi rentetan pertanyaan dari penguji.Satu jam lebih berlalu, Aluna di suruh keluar oleh dosen pembimbingnya. Menunggu di luar ruangan.“Alunaa!” Suara cempreng Fatma terdengar, ketika melihat Aluna membuka pintu. Ia dan Lilis berdiri menghampiri.“Bagaimana, kamu di kasih nilai apa?” tanya Fatma ketika mereka sudah berada di samping Aluna.“Ya, belum di tahu lah, Fatma … dosen ‘kan masih rembuk di dalam. Aku di suruh keluar dulu. Nanti masuk lagi kalau sudah ada perintah untuk masuk,” tutur Aluna, sambil berjalan menuju tempat duduk.“Kamu yang sidang, aku yang degdegan, Aluna. Gimana nanti kalau aku yang ujian yah?” Fatma berucap, ketika mereka
Di tempat berbeda, di sebuah rumah sakit. Anton kaget, ia melihat ada pergerakan di tangan Angel. Meskipun masih menutup mata, jari-jari mungil tangan kanan Angel bergerak. Ia memencet tombol untuk memanggil perawat jaga, yang terletak tidak jauh dari hospital bed. Tidak menunggu lama, tiga orang perawat bersama seorang dokter datang dengan membawa beberapa alat yang mereka butuhkan. “Bagaimana keadaanya?” tanya Anton. ketika dokter menempelkan stetoskop di tubuh Angel. Ada sedikit kebahagian terpancar di wajah Anton. “Dokter Anton, bisa ikut aku ke ruangan?” ujar seorang lelaki yang memakai jas putih. “Apa yang terjadi? Aku tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini,” ucap Anton tegas, sambil menatap Angel. “Ini juga untuk Angel. Ada yang ingin aku beritahu, dan aku tidak bisa mengatakannya di sini.” Kembali membujuk Anton yang terlihat kukuh dengan keinginan. “Nanti dua orang perawat ini, yang akan menggantikan kamu menjaga Angel,” lanjutnya.