Dua jam berada di dalam kelas, kuliah akhirnya selesai. Aluna dan Fatma menuju ke kantin. Mereka memilih kantin, sebagai tempat untuk bercerita. Fatma dan Aluna melangkah ke pojok yang tidak terlalu ramai.
Setelah tiba, Aluna langsung duduk dan Fatma menuju salah satu stand booth minuman untuk memesan. Saat mereka menunggu pesanan, Lilis datang meghampiri.
Setelah pesanan mereka datang. Fatma membuka suara, “jadi bagaimana? Apa yang sebenarnya terjadi, Aluna! Siapa tadi yang sudah membuat kamu menangis.”
“Aku tidak menyalahkannya, karena tentang perasaanku, aku yang bertangung jawab. Hanya saja, ada sakit yang tidak bisa aku tahan. Dan hanya bisa sembuh jika aku sudah meluapkan lewat tangisan,” tutur Aluna, pelan. Ia menatap kosong ke depan.
“Puitis bangat, sih. Ini lagi bahas apa? Maksudnya apa? Aku benar-benar tidak mengerti," tutur Lilis, ia sudah duduk di samping Aluna.
“Nggak usah dijadikan bahan candaan, Li
Di tempat berbeda, Robin mengumpulkan kembali orang-orang suruhannya. Sambil duduk di kursi, Robin menatap mereka satu persatu.“Bagaimana? Kabar apa yang akan kalian kasih ke aku?” ucap Robin, kaki ia letakan di atas meja.Semua terdiam dan menunduk. Melihat itu, Robin tertawa sinis dan kembali berucap, “kamu yang paling ujung, maju ke sini!”Orang yang di tunjuk, melangkah mendekat. Robin berdiri dari duduknya, orang itu masih menunduk. “Informasi apa yang kamu sudah dapat?” tanya Robin sambil berhadapan. Kedua tangan bertolak pinggang.“Belum ada, Bos,” tuturnya, dengan suara gemetar.Robin langsung melayangkan pukulan tepat di perut, sepersekian detik orang itu terlempar jauh dari hadapannya. “Kembali ke tempatmu!” perintah Robin, tanpa melihat wajah orang yang sudah ia buat terkapar di lantai, darah mengalir dari bibir.“Kamu maju ke sini!” ucap Robin tegas untuk or
***Hari minggu, Aluna masih harus ke kampus. Bagi anak kedokteran tidak semua minggu itu libur. Pukul enam pagi, ia sudah bersiap-siap. Hingga sore jam tiga ia kembali ke rumah. Janji bersama dua sahabat, ia batalkan. Aluna sudah punya agenda yang sudah lama selalu tidak kesampean.Aluna melihat Marfel sedang membaca buku di taman samping rumah. Ia menghampiri, setelah jarak mereka tinggal satu meter, Aluna berucap, “Ayah sore ini ada agenda apa?” Sambil melangkah.Marfel tidak menyadari kedatangan Aluna. Mengangkat wajah, ia langsung menutup buku dan menaruh di atas paha. Marfel pun tersenyum lembut melihat Aluna.Setelah duduk di samping Marfel, Aluna lanjut berucap, “Ayah dari tadi di sini?”“Iya, Nak,” jawab Marfel, ada jeda dalam ucapan, ia kembali melanjutkan, “tadi kamu tanya apa ... agenda?”Aluna tersenyum, menganggukan kepala.“Agenda ayah itu, hanya istrahat. Memangnya
Di tempat berbeda, di sebuah rumah sakit. Anton kaget, ia melihat ada pergerakan di tangan Angel. Meskipun masih menutup mata, jari-jari mungil tangan kanan Angel bergerak. Ia memencet tombol untuk memanggil perawat jaga, yang terletak tidak jauh dari hospital bed. Tidak menunggu lama, tiga orang perawat bersama seorang dokter datang dengan membawa beberapa alat yang mereka butuhkan. “Bagaimana keadaanya?” tanya Anton. ketika dokter menempelkan stetoskop di tubuh Angel. Ada sedikit kebahagian terpancar di wajah Anton. “Dokter Anton, bisa ikut aku ke ruangan?” ujar seorang lelaki yang memakai jas putih. “Apa yang terjadi? Aku tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini,” ucap Anton tegas, sambil menatap Angel. “Ini juga untuk Angel. Ada yang ingin aku beritahu, dan aku tidak bisa mengatakannya di sini.” Kembali membujuk Anton yang terlihat kukuh dengan keinginan. “Nanti dua orang perawat ini, yang akan menggantikan kamu menjaga Angel,” lanjutnya.
***Setelah tiga tahun lebih menjalani kuliah, hari ini Aluna sidang akhir. Fatma dan Lilis menunggu di luar ruang sidang. Di tangan mereka ada satu buket bunga yang akan di berikan untuk Aluna. Sedangkan di dalam sana, Aluna masih menghadapi rentetan pertanyaan dari penguji.Satu jam lebih berlalu, Aluna di suruh keluar oleh dosen pembimbingnya. Menunggu di luar ruangan.“Alunaa!” Suara cempreng Fatma terdengar, ketika melihat Aluna membuka pintu. Ia dan Lilis berdiri menghampiri.“Bagaimana, kamu di kasih nilai apa?” tanya Fatma ketika mereka sudah berada di samping Aluna.“Ya, belum di tahu lah, Fatma … dosen ‘kan masih rembuk di dalam. Aku di suruh keluar dulu. Nanti masuk lagi kalau sudah ada perintah untuk masuk,” tutur Aluna, sambil berjalan menuju tempat duduk.“Kamu yang sidang, aku yang degdegan, Aluna. Gimana nanti kalau aku yang ujian yah?” Fatma berucap, ketika mereka
Empat puluh menit mengendara motor, ia sudah memasuki gerbang rumah sakit. Tadi setelah tiba di parkiran kampus Aluna menelepon Bi Sarti, menanyakan rumah sakit tempat Marfel dirawat. Aluna mengendara dengan sangat laju, tiga kali ia mendapatkan lampu merah yang macet. Dengan langkah terburu ia masuk, menuju ruang ICU.Di sana ada enam orang asisten yang menunggu di depan pintu. Aluna mempercepat langkah. Setibanya, dengan napas yang masih terengah-engah, Aluna langsung berucap, “apa yang terjadi? .. Tadi pagi ayah masih baik-baik saja. Kami sarapan pagi bersama dan aku juga meminnta doa karena sidang hari ini. Kenapa ini bisa terjadi?”“Kami tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi. Tadi setelah Non Aluna ke kampus. Tuan besar memanggil tuan muda di dalam kamar. Kami tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Bi Sarti menemukan tuan besar pingsan di lantai dekat ranjang,” ucap asisten yang berada di hadapan Aluna.“Zolan sudah tahu
Asisten itu menarik lembut Aluna. Ia langsung memeluk tanpa banyak berkata. Ia tahu bagaimana rapuhnya Aluna. “Ada kami, Non. Non Aluna masih punya kami, tidak sendiri,” ia berbisik pelan di telinga Aluna, berusaha menguatkan.Semua asisten mengetahui hubungan Aluna dan Zolan. Meskipun sudah tidur sekamar, tetapi masih nampak di mata semua asisten, jika Zolan tidak mencintai Aluna. Bukan hanya itu, asisten yang setiap hari membersihkan rumah mengetahui, jika Zolan masih menyimpan semua baju di kamarnya, tidak memindahkan ke kamar Aluna.Di tempat lain, Zolan masih berada di depan sekolah. Setelah bertengkar hebat dengan Marfel, ia tidak bisa fokus untuk bekerja, sehingga ia pergi meninggalkan kantor dan menuju sekolah yang sudah mempertemukannya dengan Sindy. Zolan juga tidak mengaktifkan handphone, ia sedang tidak ingin di ganggu.Zolan memarkir mobil di seberang sekolah. Dari jauh ia melihat anak-anak sekolah keluar dari gerbang. Ada yang jail, ada
***Hari ini, tepat sepekan Marfel berpulang. Aluna sedang berada di kamar Zolan. Sudah seminggu Zolan tidak keluar rumah, begitupun dengan Aluna.“Aku masih kenyang, Aluna. Kamu saja yang makan,” tutur Zolan, melihat Aluna masih memegang sendok berisi makan, dari tadi Aluna terus memaksa.“Kamu harus makan Zolan! Hari ini kamu belum makan. Tiga sendok saja, terus aku akan keluar dari kamar kamu.” Aluna terus berusaha merayu. Sejak meninggalnya Marfel, Zolan sudah jarang makan. Makanan yang sering di antar ke kamar, selalu di ambil kembali dalam keadaan utuh.Melihat Zolan, yang masih menutup mulut. Aluna berdiri untuk menyimpan piring yang di tangan ke atas meja. Ia lalu kembali duduk di dekat Zolan. “Aku tahu kamu merasa bersalah! Aku tidak tahu sebelumnya apa yang terjadi antara kamu dengan ayah! ... Tetapi, kamu tidak bisa begini terus ... Badan kamu juga punya hak untuk sehat!” Aluna berkata dengan suara sedi
Aluna kembali ke kamar dan memilih berbaring di atas ranjang. Mata menatap langit-langit dan tidak berpindah. “Tidak mengapa Aluna. Sebentar lagi kamu akan koas. Kalian akan jarang bertemu, jadi kamu pasti bisa kuat,” batin Aluna menyemangati diri, "apa aku harus menyerah?" Aluna memiringkan badan ke samping. Menatap tempat Zolan jika tidur di kamarnya. Tangan mengusap bantal yang sering digunakan suaminya, ia berucap lirih, “aku harusnya sadar dari dulu, jika tidak boleh mencintai kamu, Zolan. Ini akibatnya, karena telah lancang berharap dicintai.” Tidak terasa, air mata yang sudah ia tahan sejak berada di kamar Zolan, akhirnya tumpah. “Aku tidak pernah meminta takdir seperti ini. Mengapa harus aku yang merasakan?” Bantal yang digunakan Aluna telah basah. Tangan menutup mulut dan membiarkan air di mata keluar begitu deras.Satu jam lebih ia berbaring di atas kasur, meratapi hati yang di rasa begitu sakit. Aluna akhirnya bangkit menuju meja belajar,