***
Aluna tidak mengerti rencana Fatma. Saat ini ia sedang berhadapan dengan perias yang sudah di bayar oleh Fatma. "Entah berapa banyak uang yang sudah Fatma keluarkan? Membeli gaun dan menyewa perias, aku rasa tidak murah. Ingin menolak, tapi tidak mau membuat Fatma kecewa. Sebenarnya aku merasa malu, sebagai wanita, di dandani oleh lelaki," batin Aluna.
Mata Aluna di beri softlens. Perih, hingga air matanya jatuh. Bukan karena rabun, ia tidak rabun, hanya untuk mempercantik mata.
Wajah Aluna sudah selesai di rias, kini tangan lelaki itu berpindah pada rambut. "Ini rambutku akan dibuat seperti apa?" lirih Aluna, saat tangan mengambil sedikit rambut bagian atas.
"Kamu tunggu saja hasilnya," tutur lelaki itu, mengikat rambut Aluna dengan pita, sisa rambut yang lain di biarkan terurai. "Sudah selesai! Sekarang waktunya ganti baju," lanjutnya dengan gaya yang ayu.
Menuruti perintah, Aluna berdiri, melihatnya dengan intens, "Ia sangat ganteng jik
"Ini Aluna, teman Fatma!" jawab Fahmi. Dengan seyum yang Aluna tidak tahu apa maksudnya. "Aku, Aluna!" memperkenalkan diri pada Zolan. Tangannya terulur ke depan. "Apakah Zolan, lelaki yang di maksud Fatma beberapa hari lalu? Haruskah sekarang aku mengikuti permainannya? Berpura-pura tidak saling kenal! Jika ini yang diinginkan Zolan, baiklah, akan aku turuti. Zolan tidak ingin, Pernikahan kami ada yang tahu!" batin Aluna. "Zolan!" jawabnya singkat dan tersenyum. Sambil membalas uluran tangan Aluna. "Ini pertama kalinya tangan kotorku menyentuh tangan Zolan. Ini juga pertama kali aku melihat senyum Zolan, sangat manis. Tetapi senyuman itu untuk Aluna, teman Fatma. Bukan Aluna, istrinya!" batin Aluna, ia pun ikut tersenyum. "Malam ini Zolan terlihat sangat berwibawa. Dengan Jas berwarna silver dan rambut disisir rapi. Siapa pun yang melihatnya akan terpesona. Zolan memiliki tinggi 185 cm. Aku baru sadar, jika aku terlihat begitu kecil saat berhadapan dengan Zo
*** “Bro minggu depan kita akan ke Bali!” ucap Fahmi. Ia sedang makan di Ruangan Zolan. Zolan tidak menjawab pertanyaan Fahmi, ia justru balik bertanya, “Fahmi, siapa perempuan yang kemarin datang bersama adik kamu,” tuturnya. "Mengapa Aluna bisa mengenal adik Fahmi?" batin Zolan penasaran. “Dia sahabat Fatma, satu jurusan di kedokteran,” jawab Fahmi sambil tersenyum. Belum pernah Zolan menanyakan soal perempuan kepadanya. Sudah banyak perempuan yang Fahmi kenalkan pada Zolan, tetapi tidak satu pun yang ia gubris. “Semoga usahaku berhasil, ini bisa jadi lampu merah untuk mereka berdua. Perempuan itu memang sangat cantik, tidak heran jika Zolan menanyakannya,” batin Fahmi. Kaget Zolan. Ia yang awalnya sedang mengetik berkas di laptopnya, mengangkat kepala dan menatap Fahmi. “Perempuan itu kuliah?” tanya Zolan. keningnya berkerut, heran. “Iya!” jawab Fahmi. Ia masih sibuk menyantap makanan yang ada di hadapannya. Tidak melihat respon Zol
“Kamu perempuan hebat, Aluna. Kamu terlalu kuat, beruntung anak saya menikah dengan kamu,” batin Marfel. "Zolan masih mengharapkan perempuan itu. Semenjak kepergiannya, Zolan banyak berubah. Ayah tahu, hingga sekarang Zolan masih mencarinya. Jangan membencinya karena ia yang belum bisa mencintaimu, Aluna. Ayah yakin suatu saat Zolan akan berubah," ucap Marfel, tersenyum pada Aluna, “Maafkan Ayah, buat kamu menangis! Bagaimana kuliahmu?” lanjut Marfel, mencairkan suasana. “Ayah tahu dari mana aku kuliah?” Mata Aluna membola mendengar pertanyaan Marfel. Lagi-lagi ia terkejut dengan ucapan Marfel. "Ternyata selama ini Ayah tahu semua tentangku! Dari mana Ayah tahu?" Aluna membatin. “Hahaha! Terlalu gampang buat Ayah untuk mencari tahu semua tentang kamu, Aluna!” ucap Marfel sambil terbahak-bahak. Aluna telah berhenti menangis. Berpikir ingin beralasan apa ke Marfel. “Mendingan sekarang jika di tanya, aku diam saja. Mengapa Ayah menanyakan sesuatu yang ia
*** Ada yang aneh dengan pagi ini, Zolan berada di depan kamar Aluna, ia menunggu. Aluna tidak tahu rencana Zolan. Saat Aluna membuka pintu, ia sudah berdiri gagah. “Yukk!” ucap Zolan lalu berjalan. Aluna masih berdiri di depan pintu kamar, “Bagaimana mungkin aku ikut dengannya? Aku akan ke kampus dan Zolan ke kantor. Tidak mungkin ia akan mengantarku ke kampus, ataukah perkiraanku salah?” Aluna membatin. Zolan berbalik. Ia menatap Aluna yang masih saja berdiri. “Mengapa masih di situ, kamu tidak ingin ke Kampus?” tanya Zolan. “A-a-aku, mau ke kampus,” jawab Aluna terbata, dan Bingung. "Apakah aku harus ikut dengannya? Rasanya tidak mungkin. Aku belum menyiapkan mental untuk berhadapan dengan Zolan hari ini. Rencananya aku akan menghindarinya. Ternyata dia yang menyambutku lebih dulu. Pagi ini, Zolan tidak seperti biasanya," batin Aluna. “Ya sudah, yuk!” Zolan berjalan dua langkah. Kemudian berbalik lagi. “Mengapa masih diam, Aluna? Yu
*** “Aluna, tadi kamu di cari Pak Anton!” tutur seorang teman kelas saat berpapasan dengan Aluna. “Kapan?” tanya Aluna menanggapi, alisnya berkerut. "Bukankah Pak Anton bisa langsung menghubungi lewat nomor telepon yang sudah aku kasih," batinnya. “Belum lama, tadi beliau masuk kelas,” jawabnya. “Oh iya, temakasih!” balas Aluna. "Aku tidak tahu Pak Anton ini orang yang seperti apa. Kemarin dulu menyuruh aku untuk menjadi guru les anaknya. Sesudah itu ia menghubungi, jika tidak jadi. Sekarang ada apa lagi?" batinya, sambil keluar kelas, menuju Ruangan Anton. Setibanya, pintu ruangan sedang tertutup. Aluna mulai mengetuk pintu. Tok tok! Tidak ada jawaban dari pemilik ruangan. Tok! “Masuk,” baru sekali ketukan, terdengar suara dari balik pintu. Itu suara Anton. Aluna membuka pintu. Terlihat Anton sedang duduk di kursi, sibuk membaca artikel yang ada di laptopnya. “Hari ini kamu ikut denganku. Matakuliah yang terakhir, jam
*** Anton benar-benar keterlaluan. Jika bukan karena takut mendapat nilai error di matakuliahnya, Aluna pasti akan pergi dari Rumah Anton saat ini juga. "Siapa bilang aku akan menjadi guru les. Tidak! Aku bukan menjadi guru les. Aku di suruh menjadi babysitter anaknya yang masih berusia tujuh tahun. Apa niat Pak Anton? Aku tidak pernah punya masalah dengannya. Aku juga selalu mendapat nilai tertinggi di matakuliahnya," batin Aluna, sambil memegang boneka. Ia sedang menemani Angel bermain. Pikiran Aluna kembali pada dua jam lalu, saat ia masih berada di Kampus. Aluna membaca pesan dari Anton yang ada di handphonenya. 'tunggu aku di parkiran.' isi pesan Anton. Aluna mengikuti perintah, menuju parkiran. Setibanya, Aluna melihat Anton. Ia menuju tempat Anton berada. "Kamu ikuti aku!" ucap Anton. "Maksud, Bapak?" tanya Aluna. "Aku akan menggunakan mobil, tidak mungkin kamu semobil denganku! Motormu siapa yang akan bawa?" uca
Di tempat berbeda, Zolan sedang duduk di Teras Rumah, menunggu Aluna. Ingin menghubungi, ia tidak memiliki nomor teleponya. Menunggu dengan panik di ruang tamu. "Sekarang sudah jam delapan malam. Tidak seperti biasanya, aku pulang kantor, Aluna belum ada di rumah. Tidak mungkin aku menanyakan pada Fatma, adik Fahmi. Itu terlaluh bodoh untukku. Tidak mungkin pula aku menanyakan pada Ayah. Pasti akan ketahuan jika aku tidak memiliki nomor telepon Aluna," tutur Zolan, pelan. Sambil sesekali melihat handphone dan jam di pergelangan tanganya, Zolan berharap Aluna segera pulang. Di lain tempat, Aluna sudah menidurkan Angel di kasurnya. Beberapa jam menemani Angel, tak terasa, sangat menyenangkan. "Entah mengapa, perasaan sayang dan ingin melindungi, itu muncul. Meskipun di awal pertemuan, kamu sangat jutek, tetapi tingkah jutek itu membuat kamu terlihat sangat lucu. Mungkin ini maksud Pak Anton, mengapa ia menyuruhku untuk tidak menyimpan motor di kampus, aku akan
Beberapa detik berdiri, Zolan tersadar, Aluna telah meninggalkannya sendiri di Ruang Tamu. Ia berjalan, menuju kamar. "Tidak meyangka, jika akan terjadi seperti ini. Aku hanya ingin perhatian ke Aluna. Mengapa justru membawa masalah baru untuk kami? Aku yang salah, tadi berkata kasar padanya!" Batin Zolan. Ia pun bingung dengan sikap Aluna akhir-akhir ini. Biasanya Aluna yang berusaha mendekatinya, tetapi sekarang semua berubah. “Apakah Aluna menyerah, karena sikapku yang sudah keterlaluan padanya?” Saat ini Zolan telah berada di Balkon kamar. Menatap langit, mengajak diskusi bintang-bintang dan berharap ada solusi untuknya. "Mengapa tidak dari dulu saja aku berteman dengan Aluna? Mengapa aku harus membuat perjanjian nikah? Perempuan mana yang tidak tersinggung, jika akad nikah baru saja selesai, sudah di suguhi dengan surat perjanjian nikah. Bahkan aku sudah merencanakan, untuk secepatnya menceraikan Aluna," sesal Zolan. “Maafkan aku, Aluna! Kalau ti