"What? Sebenarnya siapa yang butuh dan membutuhkan di sini?" Aluna masih terus membatin, ia merasa jengkel. Tidak mungkin Aluna mengatakan kalimat itu kepada Anton. Ia masih ingin selesai kuliah dengan aman.
"Baik, Pak! Aku akan menjadi guru les anak anda!" ucap Aluna, terpaksa dan pasrah.
"Okey, di mulai besok sore! Silahkan Keluar!" lanjut Anton setelah mendengar jawaban Aluna.
"Apaa? Aku langsung di usir? Dosen ini benar-benar kelewatan. Hatinya terbuat dari apa?" batin Aluna, ia berdiri dan langsung keluar dari Ruangan Anton.
"Sungguh sial aku hari ini. Harusnya aku masih bersantai ria di Rumah. Mengapa juga aku bisa lupa, jika hari ini tidak ada matakuliah? Dan sialnya lagi, aku harus bertemu dosen yang sangattt menyebalkan di dunia!" ucap Aluna dengan suara yang tak mungkin di dengar oleh orang. Aluna berjalan menuju Perpustakaan.
Setibanya, Aluna mengambil buku yang ingin ia baca dari dalam tas. Ia terlihat fokus membaca buku, tepatnya
*** Aluna tidak mengerti rencana Fatma. Saat ini ia sedang berhadapan dengan perias yang sudah di bayar oleh Fatma. "Entah berapa banyak uang yang sudah Fatma keluarkan? Membeli gaun dan menyewa perias, aku rasa tidak murah. Ingin menolak, tapi tidak mau membuat Fatma kecewa. Sebenarnya aku merasa malu, sebagai wanita, di dandani oleh lelaki," batin Aluna. Mata Aluna di beri softlens. Perih, hingga air matanya jatuh. Bukan karena rabun, ia tidak rabun, hanya untuk mempercantik mata. Wajah Aluna sudah selesai di rias, kini tangan lelaki itu berpindah pada rambut. "Ini rambutku akan dibuat seperti apa?" lirih Aluna, saat tangan mengambil sedikit rambut bagian atas. "Kamu tunggu saja hasilnya," tutur lelaki itu, mengikat rambut Aluna dengan pita, sisa rambut yang lain di biarkan terurai. "Sudah selesai! Sekarang waktunya ganti baju," lanjutnya dengan gaya yang ayu. Menuruti perintah, Aluna berdiri, melihatnya dengan intens, "Ia sangat ganteng jik
"Ini Aluna, teman Fatma!" jawab Fahmi. Dengan seyum yang Aluna tidak tahu apa maksudnya. "Aku, Aluna!" memperkenalkan diri pada Zolan. Tangannya terulur ke depan. "Apakah Zolan, lelaki yang di maksud Fatma beberapa hari lalu? Haruskah sekarang aku mengikuti permainannya? Berpura-pura tidak saling kenal! Jika ini yang diinginkan Zolan, baiklah, akan aku turuti. Zolan tidak ingin, Pernikahan kami ada yang tahu!" batin Aluna. "Zolan!" jawabnya singkat dan tersenyum. Sambil membalas uluran tangan Aluna. "Ini pertama kalinya tangan kotorku menyentuh tangan Zolan. Ini juga pertama kali aku melihat senyum Zolan, sangat manis. Tetapi senyuman itu untuk Aluna, teman Fatma. Bukan Aluna, istrinya!" batin Aluna, ia pun ikut tersenyum. "Malam ini Zolan terlihat sangat berwibawa. Dengan Jas berwarna silver dan rambut disisir rapi. Siapa pun yang melihatnya akan terpesona. Zolan memiliki tinggi 185 cm. Aku baru sadar, jika aku terlihat begitu kecil saat berhadapan dengan Zo
*** “Bro minggu depan kita akan ke Bali!” ucap Fahmi. Ia sedang makan di Ruangan Zolan. Zolan tidak menjawab pertanyaan Fahmi, ia justru balik bertanya, “Fahmi, siapa perempuan yang kemarin datang bersama adik kamu,” tuturnya. "Mengapa Aluna bisa mengenal adik Fahmi?" batin Zolan penasaran. “Dia sahabat Fatma, satu jurusan di kedokteran,” jawab Fahmi sambil tersenyum. Belum pernah Zolan menanyakan soal perempuan kepadanya. Sudah banyak perempuan yang Fahmi kenalkan pada Zolan, tetapi tidak satu pun yang ia gubris. “Semoga usahaku berhasil, ini bisa jadi lampu merah untuk mereka berdua. Perempuan itu memang sangat cantik, tidak heran jika Zolan menanyakannya,” batin Fahmi. Kaget Zolan. Ia yang awalnya sedang mengetik berkas di laptopnya, mengangkat kepala dan menatap Fahmi. “Perempuan itu kuliah?” tanya Zolan. keningnya berkerut, heran. “Iya!” jawab Fahmi. Ia masih sibuk menyantap makanan yang ada di hadapannya. Tidak melihat respon Zol
“Kamu perempuan hebat, Aluna. Kamu terlalu kuat, beruntung anak saya menikah dengan kamu,” batin Marfel. "Zolan masih mengharapkan perempuan itu. Semenjak kepergiannya, Zolan banyak berubah. Ayah tahu, hingga sekarang Zolan masih mencarinya. Jangan membencinya karena ia yang belum bisa mencintaimu, Aluna. Ayah yakin suatu saat Zolan akan berubah," ucap Marfel, tersenyum pada Aluna, “Maafkan Ayah, buat kamu menangis! Bagaimana kuliahmu?” lanjut Marfel, mencairkan suasana. “Ayah tahu dari mana aku kuliah?” Mata Aluna membola mendengar pertanyaan Marfel. Lagi-lagi ia terkejut dengan ucapan Marfel. "Ternyata selama ini Ayah tahu semua tentangku! Dari mana Ayah tahu?" Aluna membatin. “Hahaha! Terlalu gampang buat Ayah untuk mencari tahu semua tentang kamu, Aluna!” ucap Marfel sambil terbahak-bahak. Aluna telah berhenti menangis. Berpikir ingin beralasan apa ke Marfel. “Mendingan sekarang jika di tanya, aku diam saja. Mengapa Ayah menanyakan sesuatu yang ia
*** Ada yang aneh dengan pagi ini, Zolan berada di depan kamar Aluna, ia menunggu. Aluna tidak tahu rencana Zolan. Saat Aluna membuka pintu, ia sudah berdiri gagah. “Yukk!” ucap Zolan lalu berjalan. Aluna masih berdiri di depan pintu kamar, “Bagaimana mungkin aku ikut dengannya? Aku akan ke kampus dan Zolan ke kantor. Tidak mungkin ia akan mengantarku ke kampus, ataukah perkiraanku salah?” Aluna membatin. Zolan berbalik. Ia menatap Aluna yang masih saja berdiri. “Mengapa masih di situ, kamu tidak ingin ke Kampus?” tanya Zolan. “A-a-aku, mau ke kampus,” jawab Aluna terbata, dan Bingung. "Apakah aku harus ikut dengannya? Rasanya tidak mungkin. Aku belum menyiapkan mental untuk berhadapan dengan Zolan hari ini. Rencananya aku akan menghindarinya. Ternyata dia yang menyambutku lebih dulu. Pagi ini, Zolan tidak seperti biasanya," batin Aluna. “Ya sudah, yuk!” Zolan berjalan dua langkah. Kemudian berbalik lagi. “Mengapa masih diam, Aluna? Yu
*** “Aluna, tadi kamu di cari Pak Anton!” tutur seorang teman kelas saat berpapasan dengan Aluna. “Kapan?” tanya Aluna menanggapi, alisnya berkerut. "Bukankah Pak Anton bisa langsung menghubungi lewat nomor telepon yang sudah aku kasih," batinnya. “Belum lama, tadi beliau masuk kelas,” jawabnya. “Oh iya, temakasih!” balas Aluna. "Aku tidak tahu Pak Anton ini orang yang seperti apa. Kemarin dulu menyuruh aku untuk menjadi guru les anaknya. Sesudah itu ia menghubungi, jika tidak jadi. Sekarang ada apa lagi?" batinya, sambil keluar kelas, menuju Ruangan Anton. Setibanya, pintu ruangan sedang tertutup. Aluna mulai mengetuk pintu. Tok tok! Tidak ada jawaban dari pemilik ruangan. Tok! “Masuk,” baru sekali ketukan, terdengar suara dari balik pintu. Itu suara Anton. Aluna membuka pintu. Terlihat Anton sedang duduk di kursi, sibuk membaca artikel yang ada di laptopnya. “Hari ini kamu ikut denganku. Matakuliah yang terakhir, jam
*** Anton benar-benar keterlaluan. Jika bukan karena takut mendapat nilai error di matakuliahnya, Aluna pasti akan pergi dari Rumah Anton saat ini juga. "Siapa bilang aku akan menjadi guru les. Tidak! Aku bukan menjadi guru les. Aku di suruh menjadi babysitter anaknya yang masih berusia tujuh tahun. Apa niat Pak Anton? Aku tidak pernah punya masalah dengannya. Aku juga selalu mendapat nilai tertinggi di matakuliahnya," batin Aluna, sambil memegang boneka. Ia sedang menemani Angel bermain. Pikiran Aluna kembali pada dua jam lalu, saat ia masih berada di Kampus. Aluna membaca pesan dari Anton yang ada di handphonenya. 'tunggu aku di parkiran.' isi pesan Anton. Aluna mengikuti perintah, menuju parkiran. Setibanya, Aluna melihat Anton. Ia menuju tempat Anton berada. "Kamu ikuti aku!" ucap Anton. "Maksud, Bapak?" tanya Aluna. "Aku akan menggunakan mobil, tidak mungkin kamu semobil denganku! Motormu siapa yang akan bawa?" uca
Di tempat berbeda, Zolan sedang duduk di Teras Rumah, menunggu Aluna. Ingin menghubungi, ia tidak memiliki nomor teleponya. Menunggu dengan panik di ruang tamu. "Sekarang sudah jam delapan malam. Tidak seperti biasanya, aku pulang kantor, Aluna belum ada di rumah. Tidak mungkin aku menanyakan pada Fatma, adik Fahmi. Itu terlaluh bodoh untukku. Tidak mungkin pula aku menanyakan pada Ayah. Pasti akan ketahuan jika aku tidak memiliki nomor telepon Aluna," tutur Zolan, pelan. Sambil sesekali melihat handphone dan jam di pergelangan tanganya, Zolan berharap Aluna segera pulang. Di lain tempat, Aluna sudah menidurkan Angel di kasurnya. Beberapa jam menemani Angel, tak terasa, sangat menyenangkan. "Entah mengapa, perasaan sayang dan ingin melindungi, itu muncul. Meskipun di awal pertemuan, kamu sangat jutek, tetapi tingkah jutek itu membuat kamu terlihat sangat lucu. Mungkin ini maksud Pak Anton, mengapa ia menyuruhku untuk tidak menyimpan motor di kampus, aku akan
“Itu benaran Aluna. Tanpa bedak tebal saja, dia sudah menjadi perempuan paling cantik hari ini. Apalagi jika Aluna, menggunakan jasa perias,” tutur Lilis pelan pada Fatma. Mereka duduk berdampingan. “Aluna punya trauma, dia tidak ingin berdandan seperti layaknya perempuan lain dan akan di puji cantik. Aluna sangat membenci jika ada yang mengagumi kecantikannya,” ucap Fatma, sambil menatap Aluna yang saat ini sedang berbicara di podium. “Trauma … kenapa bisa?” tanya Lilis, menoleh ke Fatma. “Ceritanya panjang. Nanti saja aku ceritakan. Sekarang aku ingin fokus mendegar Aluna bicara,” ucap Fatma, tanpa melihat wajah penasaran Lilis. Ia mendengar Aluna yang sedang berucap, “atas apa yang dapat di raih hari ini, kita patut berterimakasih pada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu semua proses. Untuk itu perkenankanlah saya mewakili wisudawan untuk menyampaikan banyak terimakasih.” Lilis tidak melanjutkan percakapan mereka. Ia pun ikut fokus meny
*** Aluna sedang bersiap-siap, ia menggunakan kebaya berwarna biru nafi, dipadukan dengan rok batik bermotif kupu-kupu kecil. Kemudian ia menutupi dengan baju toga hitam pemberian kampus untuk wisudawan. Aluna tidak menggunakan jasa perias. Dengan kemampuan pas-pasan, ia menempel tipis bedak di wajah. Tidak lupa, Aluna juga memakai lip cream di bibir agar tidak terlihat kering. Kali ini, Aluna tidak akan mengepang dua rambut. Ia sudah membeli pengikat khusus agar bagian kepala terlihat cantik. Ia lalu memakai anting cantik berukuran kecil di telinga. Aluna hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk selesai. Ia lalu memakai high hells. Bercermin kembali, untuk memastikan jika ia sudah selesai. Aluna mengambil toga yang sudah ia siapkan di atas meja belajar. “Kok rasanya, aku malu. Ini pertama kali aku memakai bedak ke kampus,” tutur Aluna, ia memalingkan pandangan pada kacamata. “Sepertinya untuk hari ini, aku tidak memakai kacamata. Hanya untuk hari
Mengikuti kata hati, Sindy akhirnya masuk ke dalam warung untuk memesan makanan yang akan di bawa pulang. Ia bercerita dengan seorang ibu yang juga menunggu pesanan. Lima belas menit keasyika, Sindy menyadari jika lelaki itu sudah tidak ada. Dengan cepat Sindy membayar ketika namanya di panggil. Sambil memperbaiki masker dan topi yang ia pakai, Sindy melangkah lebar menuju rumah kos. Setibanya, sebelum memasuki rumah Sindy menoleh ke kiri dan ke kanan. Ingin memastikan jika tidak ada lagi yang mengikuti. "Sekarang aku harus lebih berhati-hati," Sindy berucap lirih sambil mengusap dada dari balik pintu. Beberapa jam telah berlalu. Waktu menunjukan pukul sepuluh malam, Fahmi masih berada di sebuah kafe menunggu seseorang. Saat ia meneguk kopi, orang yang di tunggu akhirnya datang. “Maaf aku telat, bos,” ucap lelaki yang sedang memakai topi hitam. Ia membuka masker yang ada di wajah dan menarik kursi untuk duduk. “Informasi apa yang sudah kamu dapa
Aluna kembali ke kamar dan memilih berbaring di atas ranjang. Mata menatap langit-langit dan tidak berpindah. “Tidak mengapa Aluna. Sebentar lagi kamu akan koas. Kalian akan jarang bertemu, jadi kamu pasti bisa kuat,” batin Aluna menyemangati diri, "apa aku harus menyerah?" Aluna memiringkan badan ke samping. Menatap tempat Zolan jika tidur di kamarnya. Tangan mengusap bantal yang sering digunakan suaminya, ia berucap lirih, “aku harusnya sadar dari dulu, jika tidak boleh mencintai kamu, Zolan. Ini akibatnya, karena telah lancang berharap dicintai.” Tidak terasa, air mata yang sudah ia tahan sejak berada di kamar Zolan, akhirnya tumpah. “Aku tidak pernah meminta takdir seperti ini. Mengapa harus aku yang merasakan?” Bantal yang digunakan Aluna telah basah. Tangan menutup mulut dan membiarkan air di mata keluar begitu deras.Satu jam lebih ia berbaring di atas kasur, meratapi hati yang di rasa begitu sakit. Aluna akhirnya bangkit menuju meja belajar,
***Hari ini, tepat sepekan Marfel berpulang. Aluna sedang berada di kamar Zolan. Sudah seminggu Zolan tidak keluar rumah, begitupun dengan Aluna.“Aku masih kenyang, Aluna. Kamu saja yang makan,” tutur Zolan, melihat Aluna masih memegang sendok berisi makan, dari tadi Aluna terus memaksa.“Kamu harus makan Zolan! Hari ini kamu belum makan. Tiga sendok saja, terus aku akan keluar dari kamar kamu.” Aluna terus berusaha merayu. Sejak meninggalnya Marfel, Zolan sudah jarang makan. Makanan yang sering di antar ke kamar, selalu di ambil kembali dalam keadaan utuh.Melihat Zolan, yang masih menutup mulut. Aluna berdiri untuk menyimpan piring yang di tangan ke atas meja. Ia lalu kembali duduk di dekat Zolan. “Aku tahu kamu merasa bersalah! Aku tidak tahu sebelumnya apa yang terjadi antara kamu dengan ayah! ... Tetapi, kamu tidak bisa begini terus ... Badan kamu juga punya hak untuk sehat!” Aluna berkata dengan suara sedi
Asisten itu menarik lembut Aluna. Ia langsung memeluk tanpa banyak berkata. Ia tahu bagaimana rapuhnya Aluna. “Ada kami, Non. Non Aluna masih punya kami, tidak sendiri,” ia berbisik pelan di telinga Aluna, berusaha menguatkan.Semua asisten mengetahui hubungan Aluna dan Zolan. Meskipun sudah tidur sekamar, tetapi masih nampak di mata semua asisten, jika Zolan tidak mencintai Aluna. Bukan hanya itu, asisten yang setiap hari membersihkan rumah mengetahui, jika Zolan masih menyimpan semua baju di kamarnya, tidak memindahkan ke kamar Aluna.Di tempat lain, Zolan masih berada di depan sekolah. Setelah bertengkar hebat dengan Marfel, ia tidak bisa fokus untuk bekerja, sehingga ia pergi meninggalkan kantor dan menuju sekolah yang sudah mempertemukannya dengan Sindy. Zolan juga tidak mengaktifkan handphone, ia sedang tidak ingin di ganggu.Zolan memarkir mobil di seberang sekolah. Dari jauh ia melihat anak-anak sekolah keluar dari gerbang. Ada yang jail, ada
Empat puluh menit mengendara motor, ia sudah memasuki gerbang rumah sakit. Tadi setelah tiba di parkiran kampus Aluna menelepon Bi Sarti, menanyakan rumah sakit tempat Marfel dirawat. Aluna mengendara dengan sangat laju, tiga kali ia mendapatkan lampu merah yang macet. Dengan langkah terburu ia masuk, menuju ruang ICU.Di sana ada enam orang asisten yang menunggu di depan pintu. Aluna mempercepat langkah. Setibanya, dengan napas yang masih terengah-engah, Aluna langsung berucap, “apa yang terjadi? .. Tadi pagi ayah masih baik-baik saja. Kami sarapan pagi bersama dan aku juga meminnta doa karena sidang hari ini. Kenapa ini bisa terjadi?”“Kami tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi. Tadi setelah Non Aluna ke kampus. Tuan besar memanggil tuan muda di dalam kamar. Kami tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Bi Sarti menemukan tuan besar pingsan di lantai dekat ranjang,” ucap asisten yang berada di hadapan Aluna.“Zolan sudah tahu
***Setelah tiga tahun lebih menjalani kuliah, hari ini Aluna sidang akhir. Fatma dan Lilis menunggu di luar ruang sidang. Di tangan mereka ada satu buket bunga yang akan di berikan untuk Aluna. Sedangkan di dalam sana, Aluna masih menghadapi rentetan pertanyaan dari penguji.Satu jam lebih berlalu, Aluna di suruh keluar oleh dosen pembimbingnya. Menunggu di luar ruangan.“Alunaa!” Suara cempreng Fatma terdengar, ketika melihat Aluna membuka pintu. Ia dan Lilis berdiri menghampiri.“Bagaimana, kamu di kasih nilai apa?” tanya Fatma ketika mereka sudah berada di samping Aluna.“Ya, belum di tahu lah, Fatma … dosen ‘kan masih rembuk di dalam. Aku di suruh keluar dulu. Nanti masuk lagi kalau sudah ada perintah untuk masuk,” tutur Aluna, sambil berjalan menuju tempat duduk.“Kamu yang sidang, aku yang degdegan, Aluna. Gimana nanti kalau aku yang ujian yah?” Fatma berucap, ketika mereka
Di tempat berbeda, di sebuah rumah sakit. Anton kaget, ia melihat ada pergerakan di tangan Angel. Meskipun masih menutup mata, jari-jari mungil tangan kanan Angel bergerak. Ia memencet tombol untuk memanggil perawat jaga, yang terletak tidak jauh dari hospital bed. Tidak menunggu lama, tiga orang perawat bersama seorang dokter datang dengan membawa beberapa alat yang mereka butuhkan. “Bagaimana keadaanya?” tanya Anton. ketika dokter menempelkan stetoskop di tubuh Angel. Ada sedikit kebahagian terpancar di wajah Anton. “Dokter Anton, bisa ikut aku ke ruangan?” ujar seorang lelaki yang memakai jas putih. “Apa yang terjadi? Aku tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini,” ucap Anton tegas, sambil menatap Angel. “Ini juga untuk Angel. Ada yang ingin aku beritahu, dan aku tidak bisa mengatakannya di sini.” Kembali membujuk Anton yang terlihat kukuh dengan keinginan. “Nanti dua orang perawat ini, yang akan menggantikan kamu menjaga Angel,” lanjutnya.