5
Hari ini Mama sibuk di dapur sambil bernyanyi lagu Galaherang. Berulang-ulang kayak compact disc bajakan. Enggak mikir anaknya yang cakep ini jadi tambah sedih mendengar nyanyiannya yang mendayu-dayu dan menyayat kalbu.
Sedih, karena cinta bertepuk sebelah tangan. Niat hati untuk berjuang sepertinya sudah menghilang dan berganti dengan keputusasaan. (lebay)
Sudah dua minggu ini aku menghindar dari Aleea. Daripada tambah perih hati. Mending enggak usah ketemu. Beberapa kali aku ngumpet kala melihatnya berjalan bersama dayang-dayang setianya.
Kadang ngumpet di bawah tangga. Atau di bawah bangku taman. Atau di balik motor. Bahkan ngumpet di dalam loker. Pokoknya sebisa mungkin menghindari ketemu. Seperti hari ini, membolos kuliah dengan alasan lagi batuk parah. Uhuk, uhuk.
"Abang, ngapain ngumpet mulu dalam kamar? Sinilah, temani Mama!"
Suara Mama yang empat oktaf mulai berkumandang. Kadang aku heran, Mama itu enggak pernah sakit tenggorokan, padahal teriak-teriak mulu.
Kata Papa sih, orang seberang pulau emang begitu. Ngomongnya kencang. Mungkin karena zaman dulu jarak antara rumah itu jauh-jauh. Jadi kalau ngomong itu harus teriak-teriak.
Walaupun sebenarnya orang Betawi dan daerah lain juga sama, ya. Ngomongnya kayak pakai toa Masjid. Seperti tetangga sebelah rumah nih. Ngobrol hadap-hadapan tetapi kayak orang ngobrol dengan jarak satu kilometer.
Dengan enggan aku merangkak ke arah tengah rumah. Tempat Mama dan para asisten sedang sibuk membuat kue. Aku duduk bersila di lantai, menatap onggokan kertas tebal yang nantinya akan dibentuk persegi empat.
"Abang. Bantuin lipat dus kue, ya! Hari ini Mama dapat orderan 1000 box. Ntar Mama kasih upah deh!" ujar Mama sembari kedip-kedip merayu.
"Berapa upahnya?" tanyaku.
"100 per box."
"Cuma 10000? Ihhh. Pelit!"
"Kalo gak mau, ya, udah. Bayar uang kuliah sendiri aja!" Tatapannya berubah tajam. Ngeri. Hiii!
Aku beringsut mendekat ke sebelah Mbak Parmi dan mulai melipat dus dengan cekatan. Aku mengerjakan tugas dengan sepenuh hati, terutama sebagai bentuk bakti pada orang tua tersayang.
Suara motor Papa terdengar memasuki halaman rumah. Tak lama kemudian terdengar teriakan adik bungsuku, Khanza, yang baru berusia lima tahun. Gadis cilik duplikat Papa ini baru pulang sekolah. Dia masuk ke rumah sambil menyeret tas sekolah yang bermotif Hello Kitty.
"Mama, Dedek yang cantik pulang!" teriak Khanza dari ruang tamu.
"Assalamualaikum, Cantik Mama. Buka dulu sepatunya. Taro' di rak sepatu, ya, Sayang," ujar Mama seraya berdiri menyambut anak kesayangannya.
Khanza menurut. Dia membuka sepatu dan mencium tangan Mama dengan takzim. Kemudian meletakkan sepatunya di rak.
"Abang, kok gak sekolah?" tanya Khanza yang sudah duduk di sebelahku.
"Salam dulu dengan Abang," jawabku sambil mengulurkan tangan. Khanza mencium tanganku, ditempelkan ke pipi chubby-nya. "Abang lagi batuk. Gak enak badan. Jadi gak sekolah," jelasku seraya mengusap kepalanya yang mungil.
Gadis cilik dengan rambut ala kadarnya itu memandangku dengan penasaran kemudian menempelkan tangan ke dahiku, "Nggak panas tuh," ucapnya.
Aku cuma diam aja, terus melipat box kue dengan cepat.
"Abang, mau kue gak?"
"Kue apa?"
Khanza menarik tas sekolah. Membuka ritsleting dan mengeluarkan sekantong penuh jajanan.
"Ehh. Kamu jajan banyak amat?" Segera kutarik bungkusan penuh jajanan yang menggiurkan itu.
"Ini dari mamanya Devi. Hari ini dia ulang tahun. Tadi tiup lilin dan makan kue ultahnya. Enak," ujar Khanza polos. Jempolnya teracung. Tak ayal membuatku tersenyum.
"Abang minta, ya?"
"Boleh. Tapi gak boleh cokelat, ya. Nanti batuk."
Mama cengengesan. Mbak Parmi dan Mbak Sarni cekikikan. Aku hanya bisa mengangguk pasrah saat Khanza mengulurkan sebungkus biskuit rasa keju. Aku merobek bungkusnya dan mulai mengunyah jajanan ber-MSG ini dengan cepat.
"Ma, tadi ada yang ngasih DP buat nasi box. Katanya kemarin udah ngasih order ke Mama," ujar Papa yang masuk sambil membawa bungkusan dan meletakkannya di atas meja makan.
"Oo, Bu Rita, ya? Yang pake motor Beat kan?" Mama balik bertanya ke Papa.
"Iya. Ini uangnya." Papa menyerahkan sebuah amplop putih. Mama meraih dengan cepat. Lalu membuka amplop dan menghitung uangnya.
"Nanti habis makan, tolong temani Mama ke pasar, ya, Bang!" Mama berdiri, mengambil beberapa mangkok dan menuangkan lauk pauk yang tadi dibeli Papa.
"Kok gak sama Papa?" tanyaku.
"Papa mau ngantar box kue. Habis itu kan mau jemput Kai pulang sekolah." Papa menjawab sambil selonjoran di atas sofa.
Kai, adik keduaku yang berumur tiga belas tahun. Nama lengkapnya Kaidavani. Sering diledek teman-temannya karena keunikan namanya. Untunglah dia tipe anak periang. Cuek aja kalau diledek. Kai ini laki-laki. Wajahnya perpaduan antara Mama dan Papa. Ganteng juga. Akan tetapi lebih ganteng aku pastinya.
***
Suasana pasar di siang hari tidak sepadat di pagi hari. Dengan langkah cepat aku mengikuti gerak gesit Mama. Tubuhnya yang langsing, dengan tinggi sekitar 162cm, membuat gerakannya sangat cepat.
Beberapa kali aku terpaksa berlari untuk mengejarnya.
Pada kedua tangan kami sudah penuh dengan kantong berisi belanjaan. Kami berjalan cepat menuju parkiran. Kemudian Mama berbelok ke toko plastik. Aku nyaris terjungkal saat ada yang meneriakkan namaku. Dengan penasaran berbalik ke arah suara dan seketika membeku.
Aleea terlihat berjalan bersama Bibik dan Bapak penjaga rumahnya. "Hai," sapanya dengan ramah.
"Ha-haii," jawabku terbata secuil.
"Kok gak kuliah? Tadi aku nyariin kamu, tapi kata Sandy, kamu gak masuk."
"I-iya, aku lagi gak enak body."
"Hai, temannya Abang, ya?" Terdengar suara Mama yang baru keluar dari toko plastik. Mama mengulurkan belanjaannya yang segera kugantung di kaitan motor.
"Iya,Tante," jawab Aleea lembut. Dia meraih tangan Mama dan menciumnya dengan takzim.
"Cantiknya. Mirip Kirana Larasati, ya," celoteh Mama sambil memandangi Aleea dengan lekat.
"Makasih,Tante," Aleea tersenyum simpul dengan semburat merah jambu yang meronai pipinya.
"Ayo, main ke rumah. Gak jauh kok dari sini," ajak Mama.
"Boleh, Tante. Aleea juga males mau ikut ke dalam pasar."
Aleea berbisik ke Bibik dan Pak penjaga. Kemudian menarik tangan Mama, menuju parkiran mobil. "Kamu duluan, ya, ntar aku tinggal ngikutin!" teriaknya.
Aku hanya bisa mengangguk lemah. Kemudian aku menyalakan mesin motor, lalu memakai helm. Tak lupa membayar uang parkir ke Mamang tukang parkir gaib, yang tadi entah ke mana, kemudian memacu motor dengan kecepatan sedang.
Dalam hati aku mengumpat. Kenapa harus ketemu dengan Aleea di saat aku lagi kucel bin kumal. Baju kaos oblong yang gambarnya sudah usang. Celana pendek selutut dan badan bau pasar.
Sesampainya di rumah, kami disambut teriakan Khanza. Celotehannya yang lucu disambut Aleea dengan hangat. Obrolan mereka yang absurd terdengar sangat akrab. Khanza bahkan sampai mengeluarkan karung berisi mainannya. Dituang begitu saja isinya di ruang tamu.
Tak lama kemudian Papa dan Kai datang, dan seperti yang kuduga, Papa langsung mengeluarkan jurus-jurus andalannya bila bertemu perempuan cantik. Dasar mantan playboy yang keok sama kerlingan maut Mama. Kai tampak malu-malu menegur Aleea. Adikku yang masih ABG ini sepertinya juga terpesona pada keelokan paras Aleea.
Mama sibuk menyiapkan cemilan. Saat dihidangkan kami langsung berebut memakannya. Kemudian Papa dan Mama pamit ke kamar untuk istirahat. Kai sibuk mengerjakan PR di atas meja makan. Khanza yang kelelahan, tertidur nyenyak di kursi ruang tamu.
"Keluarga kamu seru, ya. Rame," ujar Aleea dengan mata yang berbinar.
"Gitu, deh," timpalku pelan.
"Aku pengen punya keluarga kayak gini. Gak kayak di rumahku, sepi macam kuburan."
Aku menatapnya dengan saksama. Mencoba menahan mulutku untuk tidak mengoceh. Sepertinya Aleea lagi butuh teman mencurahkan hati.
"Emang kamu gak punya sodara?"
"Ada Kakak laki-laki, tapi tinggalnya di Singapura. Papa dan Mama pulang malam terus dan jarang ketemu. Di rumah, ya paling cuma bertiga sama Bibik dan Pak Idim. Makanya aku suka ngajak Nin dan Maia buat nginap. Atau sekadar nemenin aku di rumah."
"Kami udah sobatan dari SMU. Papanya Nin itu karyawan di kantor papiku. Sedangkan kakak Maia yang tertua itu asistennya Mami di kantor. Maia itu sudah yatim piatu. Di sini nge-kost berdua sama kakaknya, Kak Rita. Mami udah pernah ngajak mereka tinggal di rumah. Tapi Kak Rita gak mau. Pengen mandiri katanya."
Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya yang nyaris terucap dalam satu tarikan napas.
"Ehh tadi kamu bilang nyariin aku, kenapa?"
"Oo, iya. Itu, kamu dicariin Kang Ryan."
"Ngapain?" Alisku bertaut mengingat sosok tunangannya itu.
"Katanya mau nawarin kamu jadi penyanyi di cafenya. Sebisa kamu aja. Gak terikat, kok. Lumayan kan duitnya bisa ditabung."
Aku berpikir sejenak. Menimbang-nimbang dalam hati. "Ntar aku tanya ke ortu dulu, ya. Kalo diizinin, ya, kuambil."
"Sip, deh. Ntar kalo udah ada keputusan, chat aku, ya. Kita ke cafenya sama-sama."
Aku mengangguk. Aleea tersenyum manis. Semanis madu asli dari lebah pilihan terbaik.
Eeeaaaa.
06Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah memacu motor kesayangan di jalan raya yang padat bin macet. Hal ini terjadi setiap hari kerja, kalau di penghujung minggu biasanya lebih lengang. Setibanya di kampus, senyumanku mengembang kala melihat mobil sang putri pujaan hati sudah terparkir di tempat biasa. Setelah memasang standar dengan baik dan benar, aku mengunci setang motor sebelum beranjak berdiri dan jalan menjauh. Sembari melepaskan helm dan merapikan rambut, mataku melirik ke sana kemari, berharap bisa menangkap sosok gadis yang kian lama kian melekat dalam hati. Entahlah, sepertinya aku harus pasrah akan terus menyayangi Aleea, meskipun hanya bisa dilakukan dari jauh tanpa punya kesempatan untuk diungkapkan. "Udah sembuh?" tanya Ijan yang tengah berdiri menyandar di dinding kelas, mungkin menyamar jadi cicak. "Hu um," jawabku sembari menaikkan tali ransel yang agak melorot. Alisku terangkat saat menyadari penampilan Ijan yang berbeda dari biasanya. Bila sehari-hari
07Suara lembut milik Linda, teman satu band-ku mengalun lembut di ruangan yang masih kosong ini. Perempuan berambut panjang dan berwajah manis itu tampak sangat menghayati lagu berjudul Love is in the air, milik penyanyi Tarmiga & 2 Bad itu, dengan sesekali mengulaskan senyuman, seakan-akan benar-benar tengah jatuh cinta. Aku yang tengah mengiringi nyanyiannya dengan menggunakan gitar, menatap wajah gadis yang usianya lebih tua dua tahun dariku itu seraya mengulum senyum. Gaya menyanyi Linda sangat berbeda dengan kesehariannya. Bila saat menjadi penyanyi Linda akan sangat anggun, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari dia agak tomboi dan humoris, serta sedikit latah, yang menjadikan dirinya sebagai bahan ledekan teman-teman band. Selain aku dan Linda, ada juga Mbak Yeni dan Mas Fabian yang biasa dipanggil Fa. Mereka merupakan pasangan suami istri yang bertemu dan saling jatuh cinta di kafe ini. Mereka pula merupakan anggota band pertama yang dibentuk oleh Ryan, sang bos. Selain it
08 Waktu terus bergulir. Hari berubah menjadi minggu tanpa sanggup dihentikan. Aku masih disibukkan dengan berbagai aktivitas sehari-hari yang sangat menyita waktu. Tibalah masa-masa paling mendebarkan bagi mahasiswa, terutama yang kesulitan mengatur waktu seperti aku. Sudah dua bulan berlalu aku kejar-kejaran dengan hitungan jam antara kuliah dengan kerja. Kadang sukses, kadang juga terlambat bangun dan akhirnya absen di kampus. Sebab itulah sekarang hatiku kebat-kebit enggak karuan, terutama karena mata ujian pertama adalah satu-satunya yang paling tidak dikuasai. Udah pada tahu kan maksudku? Akhirnya dengan terpaksa aku melakukan cara licik, yaitu menghitung kancing kemeja motif abstrak yang biasanya menjadi baju pembawa kabar baik alias keberuntungan untukku. Berharap kali ini baju tersebut kembali membawa inspirasi mengarang bebas di saat mengerjakan soal-soal esai. Namun, sepertinya kekuatan sakti baju ini telah berakhir. Sampai waktu ujian selesai, aku hanya bisa menyelesa
09Peristiwa kemarin malam masih terbayang di benak. Sama sekali tidak menyangka bila sosok yang sangat dibanggakan oleh Aleea ternyata telah mengkhianati gadis itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya bila tahu tentang perselingkuhan sang tunangan.Aku mengalami dilema. Perdebatan hati yang membuatku makin gundah gulana bak para penanam modal yang ternyata dibohongi pihak pengelola arisan atau multi level marketing. Apalagi saat bertemu Aleea kala aku dan ketiga sahabat tengah menikmati bakso di kantin kampus siang ini. Aleea dan kedua dayang-dayang menyapa kami terlebih dahulu sebelum menduduki kursi di meja sebelah kiri. Bakso yang tengah ditelan seakan-akan menyangkut dan membuatku nyaris tersedak. Ijan bergerak cepat menepuk punggungku hingga bakso itu akhirnya meluncur mulus memasuki lambung tanpa dikunyah halus. "Kenapa sih? Kayaknya kamu grogi gitu," tanya Ijan dengan suara yang pelan. "Nggak apa-apa, cuma agak kaget aja," jawabku sambil mengambil botol minuman
10Hari ini seharusnya aku bisa bangun siang. Akan tetapi, sepertinya Mama tidak mau membiarkanku menikmati liburan dan berusaha sedapat mungkin untuk membuatku sibuk. Mulai dari menemaninya ke pasar, bantu menyiapkan kotak-kotak berisi pesanan pelanggannya, hingga mengantarkan puluhan kotak itu bersama dengan Kai. Berboncengan dengan hati-hati menuju komplek perumahan yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari rumah, tetapi karena aku tidak diperkenankan untuk mengebut, jarak pendek yang ditempuh itu seakan-akan sangat jauh. Kompleks yang kami tuju ini merupakan cluster baru yang ternyata belum terlalu banyak penghuninya. Saat kami tiba di alamat tujuan, aku dan Humaira sama-sama melongo, sebelum kemudian tertawa tanpa alasan yang jelas. "Ini rumahmu?" tunjukku pada bangunan dua lantai yang sepertinya baru selesai direnovasi itu. Karena bangunannya sudah sangat berbeda dari rumah di sekitar. "Iya, aku baru pindah seminggu di sini, Ken," jawab gadis berjilbab putih itu seraya mengula
11"Dasar pembohong! Udah ketahuan juga masih ngeles aja!" pekik Aleea sambil menunjuk wajah Rian yang tampak pucat. "Kamu salah paham, Sayang. Denger dulu penjelasan Akang," pinta pria berpakaian rapi sembari memegangi pundak Aleea yang seketika ditepis oleh gadis itu. Adegan berikutnya membuatku tercengang. Tiba-tiba saja tubuh Rian sudah tersungkur dengan posisi tubuh menekuk bak janin dalam kandungan dan tangan memegangi perut. Tanpa sadar mulutku membuka, demikian pula dengan Kai. Setelah berhasil mengatasi rasa keterkejutan, aku bergegas menghampiri kedua orang tersebut dan memegangi Aleea yang sudah bersiap untuk memukul Rian lagi."Lea, stop!" seruku. Aleea memberontak dan hendak berbalik memukul, tetapi kemudian dia tersadar dan menghentikan gerakan tangan yang sudah terangkat ke atas dan membentuk tinjuan. "Kenzo?" tanyanya sambil melebarkan mata. "Iya." Aku menariknya hingga menjauh dari Rian. Sementara Kai membantu pria itu berdiri dan menyandar ke pintu mobil. "Lep
12Hampir tengah malam saat sopir keluarga menjemput Aleea di rumah. Kedua orang tuanya tengah dalam perjalanan pulang dari Bandung, setelah dihubungi oleh Aleea satu setengah jam yang lalu. Aku memandangi kala gadis itu memasuki mobil sedan putih milik sang mama, lalu melambaikan tangan seraya tersenyum tipis, tetapi matanya masih sendu. Beberapa menit berdiri di depan pagar, barulah aku kembali memasuki rumah. Papa memanggilku dan mengajak bicara di ruang tengah. Mama juga ikut duduk sambil sekali-sekali menguap. Sementara Kai dan Khanza telah tidur sejak tadi di kamar masing-masing. "Gimana ceritanya itu tunangan Aleea bisa kebongkar rahasianya?" tanya Papa sembari menatapku lekat-lekat."Abang nggak tau persisnya gimana. Aleea ngamuk di depan mini market, terus mukulin Kang Ryan. Ehm, terus Mbak Sarah datang dan ngungkapin rahasia hubungannya dengan Kang Ryan, yang ternyata udah terjalin tiga tahun," jawabku. "Tadi mama coba ngorek keterangan, tapi susah karena dia nangis mul
13 Hari pun berganti. Masa usia sembilan belas tahun pun terlewati dengan ciuman dan pelukan hangat dari Papa, Mama dan Khanza. Sedangkan Kai hanya menyalamiku tanpa mengucapkan apa pun, lalu melenggang menuju meja makan dan duduk dengan santai, menyantap nasi kuning dengan lauk komplet yang sengaja disiapkan Mama sedari subuh. "Mau dirayakan nggak, Bang?" tanya Papa seraya mengulaskan senyuman yang kurasa agak menggoda. "Iya, Pa. Nanti malam kita makan-makan di restoran yang baru buka itu. Abang juga mau ngajak teman-teman kampus. Kalau teman-teman band, nanti siang Abang mau traktir mereka makan pizza, pada minta ke situ," sahutku. "Aleea diajak kan?" timpal Mama. Sekian detik aku terdiam, kemudian mengangkat bahu tanda bingung. Semenjak pengakuanku tempo hari, Aleea belum memberikan jawaban apakah menolak atau menerima ajakanku untuk menjadikannya pacar. Hingga satu bulan berlalu, nasibku masih digantung bak cucian terlupakan di tiang jemuran. Dari basah, terus kering, sampai
Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri
Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta
Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta
Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r
Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian
"Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg
Sorot lampu dari berbagai arah membuatku silau. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakannya menatap cahaya berkekuatan penuh yang mengiringi gerakan serta langkahku ke semua sudut panggung. Setelah lagu keenam, aku berpindah ke belakang panggung. Linda menggantikan posisiku untuk menyanyikan tiga lagu sebagai pengisi kekosongan. Aku membuka baju yang lembap dan melemparkannya ke tas biru tua di ujung kursi. Ijan mengulurkan handuk kecil merah dan aku mengambilnya untuk menyeka peluh di wajah serta leher. Ijan mengarahkan kipas kecil bertenaga baterai ke badanku. Sementara Sandy menyiapkan pakaian ganti. Belum hilang keringat, aku bergegas berganti pakaian dan berias seadanya. Rambut yang basah segera dikeringkan Ijan menggunakan hairdryer, sedangkan Sandy memegangi kipas elektrik sekaligus kipas konvensional. Teriakan Mas Fa yang tadi mengecek penampilan Linda menyadarkanku untuk bergerak lebih cepat. Pria berkemeja putih pas badan berpindah ke dekat kursi dan membantuku men
Mimpi buruk akhirnya menimpaku. Hal yang paling ditakuti oleh semua penyanyi adalah memburuknya kualitas pita suara. Aku diminta Papa untuk menghemat bicara. Selama beberapa hari di rumah aku membawa kertas dan pulpen ke mana-mana. Bila ada yang bertanya aku menjawabnya dengan tulisan. Semua jadwal kerja ditangguhkan hingga minggu berikutnya. Mas Fa dan yang lainnya benar-benar ketat pengawasan agar suaraku benar-benar pulih. Mereka bahkan melarangku berlatih karena takut suara kian rusak dan akhirnya menghilang.Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Akhirnya suaraku kembali normal dan bisa bekerja lagi, walaupun porsinya sedikit. Jadwal manggung di tiga tempat hanya tiga hari di akhir pekan, empat hari berikutnya difokuskan pada promosi. Bulan berganti, aku dan teman-teman bersiap melakukan ujian. Seperti biasa, Humaira dan Tie menjadi andalanku untuk menjelaskan semua mata kuliah. Selain itu, setiap malam aku dan Ijan belajar bersama untuk mengejar ketertinggalan. "Ya,
Tepat pukul 07.00 WIB, aku dan kelompok keluar dari hotel menuju tempat wisata terkenal di daerah Lembang. Aku ikut dalam mobil yang dikemudikan Aleea. Nin dan Maia berada di kursi belakang. Sementara yang lainnya menaiki mobil SUV milik Papa. Suasana jalan raya yang padat, tidak mengurangi semangat kami untuk meneruskan perjalanan. Aleea mengemudi dengan cekatan dan membuatku terintimidasi karena masih belum lancar menyetir. Sesampainya di Farm House Susu Lembang, para gadis begitu heboh untuk melakukan swa foto. Gaya khas cerianya perempuan muda membuatku tersenyum menyaksikan tingkah mereka yang alami dan tanpa dibuat-buat. Namun, seruan beberapa orang membuatku meringis karena dikenali sebagai artis baru. Mau tidak mau aku melayani acara foto bersama dan sesi tanda tangan. Sedapat mungkin berusaha ramah meskipun sudah ingin kabur dan melanjutkan berlibur. "Sudah cukup, ya, Akang-akang dan teteh-teteh. Abang Kenzo mau berwisata dulu," tutur Ijan sembari memegangi pundakku. "Per