06
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah memacu motor kesayangan di jalan raya yang padat bin macet. Hal ini terjadi setiap hari kerja, kalau di penghujung minggu biasanya lebih lengang.
Setibanya di kampus, senyumanku mengembang kala melihat mobil sang putri pujaan hati sudah terparkir di tempat biasa. Setelah memasang standar dengan baik dan benar, aku mengunci setang motor sebelum beranjak berdiri dan jalan menjauh.
Sembari melepaskan helm dan merapikan rambut, mataku melirik ke sana kemari, berharap bisa menangkap sosok gadis yang kian lama kian melekat dalam hati. Entahlah, sepertinya aku harus pasrah akan terus menyayangi Aleea, meskipun hanya bisa dilakukan dari jauh tanpa punya kesempatan untuk diungkapkan.
"Udah sembuh?" tanya Ijan yang tengah berdiri menyandar di dinding kelas, mungkin menyamar jadi cicak.
"Hu um," jawabku sembari menaikkan tali ransel yang agak melorot.
Alisku terangkat saat menyadari penampilan Ijan yang berbeda dari biasanya. Bila sehari-hari sahabatku yang mengaku mirip David Beckham itu hanya mengenakan celana jin belel dan kemeja motif abstrak, kali ini berbeda.
Ijan tampil cukup rapi dengan celana kain hitam dan kemeja polos hijau daun pohon jambu biji. Rambut belah tengahnya disisir rapi dan sepertinya diolesi gel pewangi dan pengeras, karena sedikit pun tidak ada helaian yang tertiup angin.
Aroma parfum yang kutahu belinya eceran botol kecil isi ulang itu menyergap penciuman dan membuatku agak engap saat kami berdekatan.
"Kamu mandi parfum?" selorohku.
"Berisik!" desisnya.
"Oh, berarti nggak mandi."
"Ken!"
"Hmm?"
"Bisa nggak, kalau sekali-sekali nggak rese?"
"Emangnya aku rese? Orang kalem, tampan dan gagah gini."
Mulut Ijan sudah terbuka dan sepertinya tengah bersiap untuk memuntahkan omelan, tetapi tiba-tiba bibirnya terkatup dan berubah membentuk senyuman. Alisnya yang mirip ulat bulu itu dinaikturunkan dan mata bergerak cepat ke kanan membuatku penasaran, serta segera menoleh ke arah pandangannya tertuju.
Aku langsung paham kenapa Ijan tampil rapi dan bergaya bak fotomodel papan reklame, ternyata dia tengah menebar pesona pada teman sekelas kami yang bernama Seftyani, biasa dipanggil Tie.
"Hai, Tie," sapaku seraya mengulaskan senyuman manis.
"Halo, Ken, ke mana aja nih? Bolos mulu," sahutnya sembari memandangiku dan Ijan bergantian.
"Lagi sibuk jadi kuli panggul," balasku.
Sudut bibir Tie terangkat membentuk sebuah senyuman memikat. Hal itulah yang membuat Ijan terpesona dan sejak tadi hanya cengengesan tanpa menyapa gadis pujaan.
"Ehh, Ijan, nanti kita kerja kelompok lagi. Yang kemaren belum beres," tukas Tie yang dibalas anggukan oleh Ijan. "Aku ke kelas duluan, ya. Mau ngecek sesuatu," lanjutnya sambil jalan memasuki ruangan di sebelah kananku.
Aku memandangi Ijan yang tubuhnya masih miring dan kepala terjulur mengikuti langkah Tie. Aku menunduk dan menutupi area hidung dengan tangan, tetapi tawa yang hendak ditahan akhirnya tumpah juga tanpa sempat dicegah.
Ijan mengulum senyum dan menyugar rambut dengan gerakan canggung. Mungkin dia malu karena tertangkap basah sedang memperhatikan Tie yang kuakui cukup manis.
"Masuk, yuk!" ajak Ijan beberapa menit kemudian.
"Duo tukang makan itu ke mana? Tumben belum nongol," tanyaku.
"Nggak tau, mungkin masih di jalan."
Ijan merangkul pundak dan menyeretku masuk ke ruang kelas yang suasananya cukup ramai. Tak berselang lama dosen yang tidak ditunggu pun hadir dan langsung memberikan kuis tanpa boleh mencari data dari Mbah G ataupun buku.
Mati!
***Malam harinya, tepat seusai salat Magrib aku berangkat menuju kafe tempat janji temu dengan Aleea dan tunangannya. Jujur, menyebut kata tunangannya itu membuat hatiku teriris, pedih banget. Kayak diiris pakai pisau plastik mainannya Khanza.Di tengah perjalanan aku sempat berhenti di depan mini market yang buka dua puluh empat jam. Ijan, Sandy dan Willy yang sudah menunggu sejak zaman Fir'aun itu sempat mengomeliku yang kata mereka terlambat.
Sandy langsung menaiki motorku, sementara Ijan memboncengi Willy. Motor kami meliuk-liuk lincah di jalanan yang tidak terlalu padat tetapi tetap ramai. Tidak berani untuk mengebut karena ingat nyawa itu cuma satu, enggak ada yang jual cadangannya.
Setibanya di tempat tujuan, aku menguatkan hati untuk jalan dengan tubuh tegap, tidak mau menampilkan suasana hati yang enggak karuan. Sedapat mungkin memperlihatkan ketegaran dan ketampanan yang hakiki.
"Kirain nggak jadi datang!" sungut Aleea sambil menepuk lengan kiriku.
"Sorry telat, tadi dandan dulu ke salon," selorohku yang dibalasnya dengan pelototan, tetapi bibirnya membingkai senyuman.
"Ayo, kuantar ke kantor, kalian bertiga tunggu di sini!" titah Aleea pada ketiga bujangan di belakang.
"Kami nggak nolak ditraktir, Lea," ungkap Sandy tanpa basa basi.
"Iya, pesan aja, nanti aku yang bayar," sahut Aleea sebelum menarik tangan dan menyeretku menaiki tangga yang berada di sudut kanan ruangan.
"Aku deg-degan," imbuhku dengan jujur.
"Santai, jangan tegang gitu deh," jawab Aleea.
"Nih, tanganku dingin kan?" Aku sengaja menyentuhkan telapak tangan kanan ke tangan kirinya yang halus.
"Ehh, iya, dingin banget ini."
Aleea berhenti tepat di pinggir tangga teratas dan menarik kedua tanganku. Meletakkan kedua tangannya di masing-masing tangan dan menatapku dengan lekat.
"Tenang, Ken. Ini cuma interview ringan. Gimana kalau kamu mau sidang skripsi? Pasti lebih tegang dari ini," ujarnya seraya mengulaskan senyuman yang membuatku terpana.
"Kayaknya aku bakal lebih tegang kalau ngelamar kamu," timpalku yang langsung dibalasnya cubitan di lengan.
"Masih aja ngegombal. Udah tau aku punya tunangan juga!"
"Baru tunangan kan? Belum nikah, dan berarti aku masih punya kesempatan."
"Ken!"
"Ya?"
"Aku serius!"
"Aku dua rius!"
Aleea menarik napas panjang, seakan-akan tengah menenangkan diri. Sementara aku tetap memandanginya seraya mengulum senyum.
Gadis yang malam ini mengepang rambutnya yang panjang dan mengenakan setelan blus putih motif bunga-bunga kecil itu mendelik, kemudian melangkah menjauh dan meninggalkanku yang terpaksa mengekori.
"Kang, ini orangnya udah muncul," ujar Aleea sesaat setelah kami memasuki ruangan kerja milik Ryan.
"Halo, selamat malam semuanya," sapaku dengan suara sehangat kuah bakso.
"Hai, Ken. Ayo, duduk sini. Dan perkenalkan, ini Sarah, dia manajer di sini," sambut Ryan yang kali ini tampak sangat tampan dan membuatku sedikit terintimidasi.
Seorang perempuan dewasa yang tampak sangat anggun segera berdiri dan jalan mendekat. "Hai, senang berkenalan denganmu, dan aku sudah mendengar tentang suaramu yang bagus dari Aleea," ucap Sarah seraya menyunggingkan senyuman tipis.
"Iya, Mbak. Aku juga senang berkenalan dengan seorang perempuan cantik dan anggun kayak Mbak," tukasku yang membuat senyuman di wajah Sarah melebar.
"Mulai!" desis Aleea yang masih berdiri di sebelah kanan.
"Apa sih? Cemburu?" timpalku dengan memasang wajah santai. Sementara mata sipit Aleea langsung membeliak, sedangkan Ryan tertawa kecil. Mungkin pria itu tidak menyadari bila aku tengah menggoda tunangannya.
Obrolan kami berlanjut dengan pembahasan mengenai deskripsi pekerjaan yang akan menjadi tanggung jawabku. Rupanya Ryan dan Sarah tengah menggagas konsep live musik setiap malam sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pengunjung.
Selain sebagai penyanyi, aku juga diharapkan bisa menjadi pemandu acara untuk beberapa event yang akan diadakan dalam waktu dekat. Ryan dan rekan bisnisnya telah menandatangani nota kesepakatan, sehingga kafe yang lokasinya strategis dan berkapasitas cukup besar itu menjadi tempat jumpa penggemar sebuah agensi artis Indonesia.
Pendapatan yang akan kuterima ternyata cukup besar untuk ukuran pendatang baru. Demi menyukseskan acara, Ryan tidak tanggung-tanggung menggelontorkan dana.
"Bagaimana, Kenzo. Kamu setuju?" tanya Ryan seusai menjelaskan semuanya.
Aku menimbang-nimbang sejenak dalam hati, kemudian mengangguk mengiakan ucapannya.
"Oke, selamat bergabung dengan kami, Kenzo. Kapan kamu siap untuk memulai bertugas?" tanya Rian sambil menjabat tanganku dengan kuat.
"Besok, Kang. InsyaAllah," jawabku mantap.
07Suara lembut milik Linda, teman satu band-ku mengalun lembut di ruangan yang masih kosong ini. Perempuan berambut panjang dan berwajah manis itu tampak sangat menghayati lagu berjudul Love is in the air, milik penyanyi Tarmiga & 2 Bad itu, dengan sesekali mengulaskan senyuman, seakan-akan benar-benar tengah jatuh cinta. Aku yang tengah mengiringi nyanyiannya dengan menggunakan gitar, menatap wajah gadis yang usianya lebih tua dua tahun dariku itu seraya mengulum senyum. Gaya menyanyi Linda sangat berbeda dengan kesehariannya. Bila saat menjadi penyanyi Linda akan sangat anggun, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari dia agak tomboi dan humoris, serta sedikit latah, yang menjadikan dirinya sebagai bahan ledekan teman-teman band. Selain aku dan Linda, ada juga Mbak Yeni dan Mas Fabian yang biasa dipanggil Fa. Mereka merupakan pasangan suami istri yang bertemu dan saling jatuh cinta di kafe ini. Mereka pula merupakan anggota band pertama yang dibentuk oleh Ryan, sang bos. Selain it
08 Waktu terus bergulir. Hari berubah menjadi minggu tanpa sanggup dihentikan. Aku masih disibukkan dengan berbagai aktivitas sehari-hari yang sangat menyita waktu. Tibalah masa-masa paling mendebarkan bagi mahasiswa, terutama yang kesulitan mengatur waktu seperti aku. Sudah dua bulan berlalu aku kejar-kejaran dengan hitungan jam antara kuliah dengan kerja. Kadang sukses, kadang juga terlambat bangun dan akhirnya absen di kampus. Sebab itulah sekarang hatiku kebat-kebit enggak karuan, terutama karena mata ujian pertama adalah satu-satunya yang paling tidak dikuasai. Udah pada tahu kan maksudku? Akhirnya dengan terpaksa aku melakukan cara licik, yaitu menghitung kancing kemeja motif abstrak yang biasanya menjadi baju pembawa kabar baik alias keberuntungan untukku. Berharap kali ini baju tersebut kembali membawa inspirasi mengarang bebas di saat mengerjakan soal-soal esai. Namun, sepertinya kekuatan sakti baju ini telah berakhir. Sampai waktu ujian selesai, aku hanya bisa menyelesa
09Peristiwa kemarin malam masih terbayang di benak. Sama sekali tidak menyangka bila sosok yang sangat dibanggakan oleh Aleea ternyata telah mengkhianati gadis itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya bila tahu tentang perselingkuhan sang tunangan.Aku mengalami dilema. Perdebatan hati yang membuatku makin gundah gulana bak para penanam modal yang ternyata dibohongi pihak pengelola arisan atau multi level marketing. Apalagi saat bertemu Aleea kala aku dan ketiga sahabat tengah menikmati bakso di kantin kampus siang ini. Aleea dan kedua dayang-dayang menyapa kami terlebih dahulu sebelum menduduki kursi di meja sebelah kiri. Bakso yang tengah ditelan seakan-akan menyangkut dan membuatku nyaris tersedak. Ijan bergerak cepat menepuk punggungku hingga bakso itu akhirnya meluncur mulus memasuki lambung tanpa dikunyah halus. "Kenapa sih? Kayaknya kamu grogi gitu," tanya Ijan dengan suara yang pelan. "Nggak apa-apa, cuma agak kaget aja," jawabku sambil mengambil botol minuman
10Hari ini seharusnya aku bisa bangun siang. Akan tetapi, sepertinya Mama tidak mau membiarkanku menikmati liburan dan berusaha sedapat mungkin untuk membuatku sibuk. Mulai dari menemaninya ke pasar, bantu menyiapkan kotak-kotak berisi pesanan pelanggannya, hingga mengantarkan puluhan kotak itu bersama dengan Kai. Berboncengan dengan hati-hati menuju komplek perumahan yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari rumah, tetapi karena aku tidak diperkenankan untuk mengebut, jarak pendek yang ditempuh itu seakan-akan sangat jauh. Kompleks yang kami tuju ini merupakan cluster baru yang ternyata belum terlalu banyak penghuninya. Saat kami tiba di alamat tujuan, aku dan Humaira sama-sama melongo, sebelum kemudian tertawa tanpa alasan yang jelas. "Ini rumahmu?" tunjukku pada bangunan dua lantai yang sepertinya baru selesai direnovasi itu. Karena bangunannya sudah sangat berbeda dari rumah di sekitar. "Iya, aku baru pindah seminggu di sini, Ken," jawab gadis berjilbab putih itu seraya mengula
11"Dasar pembohong! Udah ketahuan juga masih ngeles aja!" pekik Aleea sambil menunjuk wajah Rian yang tampak pucat. "Kamu salah paham, Sayang. Denger dulu penjelasan Akang," pinta pria berpakaian rapi sembari memegangi pundak Aleea yang seketika ditepis oleh gadis itu. Adegan berikutnya membuatku tercengang. Tiba-tiba saja tubuh Rian sudah tersungkur dengan posisi tubuh menekuk bak janin dalam kandungan dan tangan memegangi perut. Tanpa sadar mulutku membuka, demikian pula dengan Kai. Setelah berhasil mengatasi rasa keterkejutan, aku bergegas menghampiri kedua orang tersebut dan memegangi Aleea yang sudah bersiap untuk memukul Rian lagi."Lea, stop!" seruku. Aleea memberontak dan hendak berbalik memukul, tetapi kemudian dia tersadar dan menghentikan gerakan tangan yang sudah terangkat ke atas dan membentuk tinjuan. "Kenzo?" tanyanya sambil melebarkan mata. "Iya." Aku menariknya hingga menjauh dari Rian. Sementara Kai membantu pria itu berdiri dan menyandar ke pintu mobil. "Lep
12Hampir tengah malam saat sopir keluarga menjemput Aleea di rumah. Kedua orang tuanya tengah dalam perjalanan pulang dari Bandung, setelah dihubungi oleh Aleea satu setengah jam yang lalu. Aku memandangi kala gadis itu memasuki mobil sedan putih milik sang mama, lalu melambaikan tangan seraya tersenyum tipis, tetapi matanya masih sendu. Beberapa menit berdiri di depan pagar, barulah aku kembali memasuki rumah. Papa memanggilku dan mengajak bicara di ruang tengah. Mama juga ikut duduk sambil sekali-sekali menguap. Sementara Kai dan Khanza telah tidur sejak tadi di kamar masing-masing. "Gimana ceritanya itu tunangan Aleea bisa kebongkar rahasianya?" tanya Papa sembari menatapku lekat-lekat."Abang nggak tau persisnya gimana. Aleea ngamuk di depan mini market, terus mukulin Kang Ryan. Ehm, terus Mbak Sarah datang dan ngungkapin rahasia hubungannya dengan Kang Ryan, yang ternyata udah terjalin tiga tahun," jawabku. "Tadi mama coba ngorek keterangan, tapi susah karena dia nangis mul
13 Hari pun berganti. Masa usia sembilan belas tahun pun terlewati dengan ciuman dan pelukan hangat dari Papa, Mama dan Khanza. Sedangkan Kai hanya menyalamiku tanpa mengucapkan apa pun, lalu melenggang menuju meja makan dan duduk dengan santai, menyantap nasi kuning dengan lauk komplet yang sengaja disiapkan Mama sedari subuh. "Mau dirayakan nggak, Bang?" tanya Papa seraya mengulaskan senyuman yang kurasa agak menggoda. "Iya, Pa. Nanti malam kita makan-makan di restoran yang baru buka itu. Abang juga mau ngajak teman-teman kampus. Kalau teman-teman band, nanti siang Abang mau traktir mereka makan pizza, pada minta ke situ," sahutku. "Aleea diajak kan?" timpal Mama. Sekian detik aku terdiam, kemudian mengangkat bahu tanda bingung. Semenjak pengakuanku tempo hari, Aleea belum memberikan jawaban apakah menolak atau menerima ajakanku untuk menjadikannya pacar. Hingga satu bulan berlalu, nasibku masih digantung bak cucian terlupakan di tiang jemuran. Dari basah, terus kering, sampai
14"Akhirnya nongol juga dia, kirain nggak jadi datang," tukas Mas Steven sambil berdiri dan menyalamiku. "Happy birthday, Adikku yang katanya ganteng, semoga bahagia selalu," imbuhnya sambil menepuk-nepuk pundak. "Makasih, Mas," sahutku seraya mengulaskan senyuman lebar. Selanjutnya Mas Fa, Mbak Yeni dan Bang Ali bergantian menyalami dan mengucapkan selamat hari lahir buatku. Linda yang berdiri paling akhir tampak menyunggingkan senyuman sembari mengulurkan kotak berhiaskan pita merah. "Buatku?" selorohku sembari mengambil benda persegi panjang itu dari tangannya. "Bukan, buat Ijan," jawab Linda sambil mengerucutkan bibir, tetapi kemudian dia tersenyum lagi. "Kita makan dulu, baru nanti dibuka kadonya. Aku sudah lapar," tukas Bang Ali, bertepatan dengan kedatangan tiga pan pizza berukuran besar yang ternyata sudah mereka pesan sejak tadi. Aku hanya bisa mengelus dada, kala mengetahui berapa banyak uang yang harus dikeluarkan. Namun, aku tidak bisa perhitungan dengan mereka, kar
Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri
Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta
Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta
Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r
Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian
"Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg
Sorot lampu dari berbagai arah membuatku silau. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakannya menatap cahaya berkekuatan penuh yang mengiringi gerakan serta langkahku ke semua sudut panggung. Setelah lagu keenam, aku berpindah ke belakang panggung. Linda menggantikan posisiku untuk menyanyikan tiga lagu sebagai pengisi kekosongan. Aku membuka baju yang lembap dan melemparkannya ke tas biru tua di ujung kursi. Ijan mengulurkan handuk kecil merah dan aku mengambilnya untuk menyeka peluh di wajah serta leher. Ijan mengarahkan kipas kecil bertenaga baterai ke badanku. Sementara Sandy menyiapkan pakaian ganti. Belum hilang keringat, aku bergegas berganti pakaian dan berias seadanya. Rambut yang basah segera dikeringkan Ijan menggunakan hairdryer, sedangkan Sandy memegangi kipas elektrik sekaligus kipas konvensional. Teriakan Mas Fa yang tadi mengecek penampilan Linda menyadarkanku untuk bergerak lebih cepat. Pria berkemeja putih pas badan berpindah ke dekat kursi dan membantuku men
Mimpi buruk akhirnya menimpaku. Hal yang paling ditakuti oleh semua penyanyi adalah memburuknya kualitas pita suara. Aku diminta Papa untuk menghemat bicara. Selama beberapa hari di rumah aku membawa kertas dan pulpen ke mana-mana. Bila ada yang bertanya aku menjawabnya dengan tulisan. Semua jadwal kerja ditangguhkan hingga minggu berikutnya. Mas Fa dan yang lainnya benar-benar ketat pengawasan agar suaraku benar-benar pulih. Mereka bahkan melarangku berlatih karena takut suara kian rusak dan akhirnya menghilang.Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Akhirnya suaraku kembali normal dan bisa bekerja lagi, walaupun porsinya sedikit. Jadwal manggung di tiga tempat hanya tiga hari di akhir pekan, empat hari berikutnya difokuskan pada promosi. Bulan berganti, aku dan teman-teman bersiap melakukan ujian. Seperti biasa, Humaira dan Tie menjadi andalanku untuk menjelaskan semua mata kuliah. Selain itu, setiap malam aku dan Ijan belajar bersama untuk mengejar ketertinggalan. "Ya,
Tepat pukul 07.00 WIB, aku dan kelompok keluar dari hotel menuju tempat wisata terkenal di daerah Lembang. Aku ikut dalam mobil yang dikemudikan Aleea. Nin dan Maia berada di kursi belakang. Sementara yang lainnya menaiki mobil SUV milik Papa. Suasana jalan raya yang padat, tidak mengurangi semangat kami untuk meneruskan perjalanan. Aleea mengemudi dengan cekatan dan membuatku terintimidasi karena masih belum lancar menyetir. Sesampainya di Farm House Susu Lembang, para gadis begitu heboh untuk melakukan swa foto. Gaya khas cerianya perempuan muda membuatku tersenyum menyaksikan tingkah mereka yang alami dan tanpa dibuat-buat. Namun, seruan beberapa orang membuatku meringis karena dikenali sebagai artis baru. Mau tidak mau aku melayani acara foto bersama dan sesi tanda tangan. Sedapat mungkin berusaha ramah meskipun sudah ingin kabur dan melanjutkan berlibur. "Sudah cukup, ya, Akang-akang dan teteh-teteh. Abang Kenzo mau berwisata dulu," tutur Ijan sembari memegangi pundakku. "Per