37Tiga puluh menit kemudian aku sudah berada di motor yang mengarah ke kafe. Sementara Aleea membuntuti dengan mobilnya bersama duo dayang-dayang. Sesampainya di tempat parkir kafe, aku menitipkan motor beserta kunci dan helmnya. Kemudian segera memasuki mobil pada bagian penumpang di samping pengemudi. Ketiga gadis itu berbincang nyaris tidak ada putus-putusnya. Sementara aku hanya mendengarkan sambil mengusap wajah dan leher dengan tisu basah. Aku menyempatkan untuk menghidu aroma ketiak dan seketika tersenyum karena di sana masih tetap harum mewangi sepanjang hari. Tralala trilili. Setibanya di tempat tujuan, kami turun dan jalan berdampingan sambil bergenggaman tangan. Sekali-sekali kami berhenti dan memasuki toko yang menyediakan pakaian serta aksesori pria. Aku mengerjap-ngerjapkan mata ketika melihat angka yang tertera di satu kotak dasi, membatin bahwa harga yang tercantum itu setara dengan uang jajanku seminggu di luar bensin. Aku mengangkat alis ketika Aleea menunjuk ke
38Gedoran di pintu dan teriakan Mama bernada D mayor mengusik ketenangan bersemediku di bilik termenung. Dengan terpaksa aku menuntaskan acara membersihkan raga dan keluar sambil berputar beberapa kali, melatih gerakan nari terbaru yang akan ditampilkan nanti malam di kafe. Belasan menit berlalu, aku tengah menikmati hidangan sarapan ketika mendengar suara beberapa motor mendekat dan diiringi teriakan orang-orang dari depan rumah. Aku sempat beradu pandang dengan Mama, sebelum kemudian aku berdiri dan jalan ke luar."Ken, kelas diundur satu jam lagi," ujar Willy yang tengah jalan mendekat. "Waalaikumsalam," sahutku. Willy spontan cengengesan. "Iya, assalamualaikum," imbuhnya. "Terus, ke sini mau ngapain?" tanyaku. "Nongkronglah," sahut Ijan yang menghampiri bersama Sandy. "Kalian pasti pengen numpang makan," tuturku. "Nggak, aku udah sarapan kok," jawab Sandy. "Tapi kalau mamamu maksa, aku nggak bakal nolak," sambungnya yang membuatku mengeluh dalam hati. "Pura-pura nolak. Bu
39"Sudah makan?" tanyanya tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. "Sudah, Om," jawabku, terpaksa berbohong karena nafsu makan yang tadi menggelora tiba-tiba lenyap setelah berhadapan dengan beliau. "Kalau begitu, pesan minuman dan desert saja." Om Yoga mengangkat tangan kanan dan seorang perempuan segera mendekat. "Mau pesan apa, Kenzo?" tanyanya. "Ehm, es lemon tea, sama ini." Aku menunjuk ke gambar kue di daftar menu yang tersedia di meja. "Ada lagi?" "Nggak, udah cukup." Pria yang berpenampilan rapi itu memesan kue yang sama denganku. Pegawai restoran beranjak menjauh dan aku kembali tegang karena merasa ngeri berhadapan dengan pengusaha yang merupakan keturunan ketiga dari keluarga Ardana, salah satu grup perusahaan yang cukup terkenal. "Kamu pasti bertanya-tanya kenapa saya mengajak bertemu," tuturnya yang kubalas dengan anggukan. "Saya ingin menawarkan bisnis untukmu," lanjutnya sembari memandangiku saksama. "Dua bulan lagi ada acara gathering di perusahaan saya. Nah, saya i
40Sabtu siang hari ini kuhabiskan waktu dengan berlatih vokal di bawah arahan Mas Mono. Pria berkacamata itu mengajarkanku memperdalam teknik agar bisa memperhalus falsetto, hal yang selama ini belum dikuasai. Setelah lima jam lebih berlatih akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk berhenti serta beristirahat, sambil berbaring di kasur lipat yang berada di ruang tamu kontrakan Mas Fa. "Kamu tugas hari apa selain besok, Ken?" tanya Mas Mono yang tengah menyandarkan badan ke dinding. "Rabu, Mas," jawabku. "Berarti Selasa latihan lagi." "Tapi Selasa aku kuliah sampai jam tiga." "Ya, udah, kita ketemu di kafe aja." "Oke deh." "Sekalian latihan dance, Ken. Buat perform di acara gathering kantor papanya Aleea, kita harus tampil beda. Cari lagu yang bisa mancing penonton buat ikut bergoyang," timpal Mas Fa. "Dangdut," seloroh Bang Ali. "Nggak bisa aku, Bang. Kalau cengkok Melayu, aku bisa," jelasku. "Nah, cakep tuh. Melayu juga enak buat mancing nari. Cari yang musiknya full, j
41 Hari berganti hari dengan sangat cepatnya. Sabtu pagi ini aku turun dari rumah tepat pukul 6. Mengendarai motor dengan kecepatan sedang dan sangat berhati-hati agar bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat. Bang Ali, Mas Fa dan Mbak Yeni telah tiba terlebih dahulu dan tengah mengetes peralatan musik. Seorang pria yang merupakan operator sekaligus pemilik alat-alat tersebut ikut membantu mereka menyesuaikan nada. Tak berselang lama Linda datang bersama Mas Steven. Mas Mono dan Kak Carol menyusul sambil membawa nasi uduk yang tadi dipesan Mas Fa. Kami bergantian sarapan agar tetap ada yang menangani peralatan, sebelum akhirnya siap untuk dimainkan sebagai ajang latihan. Seorang perempuan yang mengenakan kebaya merah muda, jalan menghampiri sambil memanggilku. Setelah dekat, barulah aku sadar bila orang itu adalah Bu Ardila. Penampilannya yang sangat berbeda daripada biasanya membuatku pangling. "Ken, bisa sekalian jadi pemandu acara?" tanya Bu Ardila. "Bisa, Bu. Tapi aku harus
42Aku tidak menjawab dan akhirnya menutup aplikasi novel online ungu kesukaan. Selanjutnya aku berdiri dan memutar tubuh ke kanan serta kiri hingga tulang berbunyi. "Abang mau pulang duluan, ya, Ma," pintaku. "Iya, ingetin Khanza buat ngaji," sahut Mama. "Entar sekalian Abang anterin ke masjid." "Kai kalau lagi nyantai, nanti anterin ke sini pas Abang berangkat. Mama mau ngerjain pesanan orang, di sini nanti tinggal Mbak Titin sendirian karena Papa mau pergi." Aku mengangguk mengiakan dan merunduk untuk menyalami Papa dan Mama. Kemudian aku melambaikan tangan pada Mbak Titin yang membalas dengan senyuman lebar dan memamerkan giginya yang bertumpuk-tumpuk. Beberapa belas menit berselang aku sudah berbaring di kasur. Niat untuk beristirahat sebentar akhirnya berlanjut sampai sore. Aku terbangun karena panggilan dan gedoran Kai. Bergegas aku bangkit dan terperangah sesaat ketika melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 4 sore. Aku bergegas berdiri dan jalan ke luar. Menya
43"Kamu ganti baju di kamar Kakak." Aleea menunjuk ke kamar yang berada di seberang tangga. "Ehm, di kamar mandi aja deh. Kagok aku kalau masuk ke kamar orang," tolakku. Benar-benar tidak enak hati kalau harus memasuki kamar orang lain saat penghuninya tidak berada di tempat."Nggak apa-apa, Mama udah ngizinin," ungkapnya.Aku hendak menolak lagi, tetapi Aleea telanjur mendorongku hingga tiba di depan pintu bercat abu-abu gelap tersebut. Aleea membuka benda besar itu dan menyalakan lampu menerangi ruangan yang cukup luas.Seketika aku terperangah melihat interior ruangan. Tanpa sadar aku melangkah memasuki kamar dan berhenti di tengah-tengah. Tatapan terarah ke dinding di mana tiga buah gitar elektrik yang kuketahui berharga mahal tergantung rapi. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan kembali berdecak saat menyaksikan belasan poster band rock luar negeri yang disusun dengan artistik. Sepertinya Kak Devan adalah seorang pemusik. Hal itu terlihat jelas dari hiasan di meja belaj
44Suasana di grand ballroom hotel bintang lima di kawasan Jakarta Selatan ini sangat ramai. Aku dan Aleea berkeliling dari satu meja stand ke tempat lain untuk mencicipi semua hidangan yang mewah dan enak. Sementara Mama Anita berkumpul bersama rekan-rekannya sesama pebisnis. Sesuai permintaan beliau, mulai saat ini aku memanggilnya dengan sebutan Mama. Hal itu membuatku bahagia karena artinya beliau telah memberikan restu buatku dan Aleea. Tugas terberat masih menanti dan aku akan berjuang sampai titik nada penghabisan demi mendapatkan restu dari Om Yoga. Sebab aku adalah anak gembala, ehh maksudnya penyanyi, jadi harus sampai titik nada dan bukan darah. Lagi pula terdengarnya sedikit menyeramkan, darah penghabisan, seakan-akan tengah berada di medan pertempuran.Tepukan di pundak kanan membuatku refleks menoleh. Senyuman langsung mengembang di wajah kala mengenali siapa yang telah menepuk dan mengajakku bersalaman. "Ibu, kok bisa ada di sini?" tanyaku pada perempuan bergaun mera
Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri
Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta
Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta
Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r
Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian
"Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg
Sorot lampu dari berbagai arah membuatku silau. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakannya menatap cahaya berkekuatan penuh yang mengiringi gerakan serta langkahku ke semua sudut panggung. Setelah lagu keenam, aku berpindah ke belakang panggung. Linda menggantikan posisiku untuk menyanyikan tiga lagu sebagai pengisi kekosongan. Aku membuka baju yang lembap dan melemparkannya ke tas biru tua di ujung kursi. Ijan mengulurkan handuk kecil merah dan aku mengambilnya untuk menyeka peluh di wajah serta leher. Ijan mengarahkan kipas kecil bertenaga baterai ke badanku. Sementara Sandy menyiapkan pakaian ganti. Belum hilang keringat, aku bergegas berganti pakaian dan berias seadanya. Rambut yang basah segera dikeringkan Ijan menggunakan hairdryer, sedangkan Sandy memegangi kipas elektrik sekaligus kipas konvensional. Teriakan Mas Fa yang tadi mengecek penampilan Linda menyadarkanku untuk bergerak lebih cepat. Pria berkemeja putih pas badan berpindah ke dekat kursi dan membantuku men
Mimpi buruk akhirnya menimpaku. Hal yang paling ditakuti oleh semua penyanyi adalah memburuknya kualitas pita suara. Aku diminta Papa untuk menghemat bicara. Selama beberapa hari di rumah aku membawa kertas dan pulpen ke mana-mana. Bila ada yang bertanya aku menjawabnya dengan tulisan. Semua jadwal kerja ditangguhkan hingga minggu berikutnya. Mas Fa dan yang lainnya benar-benar ketat pengawasan agar suaraku benar-benar pulih. Mereka bahkan melarangku berlatih karena takut suara kian rusak dan akhirnya menghilang.Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Akhirnya suaraku kembali normal dan bisa bekerja lagi, walaupun porsinya sedikit. Jadwal manggung di tiga tempat hanya tiga hari di akhir pekan, empat hari berikutnya difokuskan pada promosi. Bulan berganti, aku dan teman-teman bersiap melakukan ujian. Seperti biasa, Humaira dan Tie menjadi andalanku untuk menjelaskan semua mata kuliah. Selain itu, setiap malam aku dan Ijan belajar bersama untuk mengejar ketertinggalan. "Ya,
Tepat pukul 07.00 WIB, aku dan kelompok keluar dari hotel menuju tempat wisata terkenal di daerah Lembang. Aku ikut dalam mobil yang dikemudikan Aleea. Nin dan Maia berada di kursi belakang. Sementara yang lainnya menaiki mobil SUV milik Papa. Suasana jalan raya yang padat, tidak mengurangi semangat kami untuk meneruskan perjalanan. Aleea mengemudi dengan cekatan dan membuatku terintimidasi karena masih belum lancar menyetir. Sesampainya di Farm House Susu Lembang, para gadis begitu heboh untuk melakukan swa foto. Gaya khas cerianya perempuan muda membuatku tersenyum menyaksikan tingkah mereka yang alami dan tanpa dibuat-buat. Namun, seruan beberapa orang membuatku meringis karena dikenali sebagai artis baru. Mau tidak mau aku melayani acara foto bersama dan sesi tanda tangan. Sedapat mungkin berusaha ramah meskipun sudah ingin kabur dan melanjutkan berlibur. "Sudah cukup, ya, Akang-akang dan teteh-teteh. Abang Kenzo mau berwisata dulu," tutur Ijan sembari memegangi pundakku. "Per