42Aku tidak menjawab dan akhirnya menutup aplikasi novel online ungu kesukaan. Selanjutnya aku berdiri dan memutar tubuh ke kanan serta kiri hingga tulang berbunyi. "Abang mau pulang duluan, ya, Ma," pintaku. "Iya, ingetin Khanza buat ngaji," sahut Mama. "Entar sekalian Abang anterin ke masjid." "Kai kalau lagi nyantai, nanti anterin ke sini pas Abang berangkat. Mama mau ngerjain pesanan orang, di sini nanti tinggal Mbak Titin sendirian karena Papa mau pergi." Aku mengangguk mengiakan dan merunduk untuk menyalami Papa dan Mama. Kemudian aku melambaikan tangan pada Mbak Titin yang membalas dengan senyuman lebar dan memamerkan giginya yang bertumpuk-tumpuk. Beberapa belas menit berselang aku sudah berbaring di kasur. Niat untuk beristirahat sebentar akhirnya berlanjut sampai sore. Aku terbangun karena panggilan dan gedoran Kai. Bergegas aku bangkit dan terperangah sesaat ketika melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 4 sore. Aku bergegas berdiri dan jalan ke luar. Menya
43"Kamu ganti baju di kamar Kakak." Aleea menunjuk ke kamar yang berada di seberang tangga. "Ehm, di kamar mandi aja deh. Kagok aku kalau masuk ke kamar orang," tolakku. Benar-benar tidak enak hati kalau harus memasuki kamar orang lain saat penghuninya tidak berada di tempat."Nggak apa-apa, Mama udah ngizinin," ungkapnya.Aku hendak menolak lagi, tetapi Aleea telanjur mendorongku hingga tiba di depan pintu bercat abu-abu gelap tersebut. Aleea membuka benda besar itu dan menyalakan lampu menerangi ruangan yang cukup luas.Seketika aku terperangah melihat interior ruangan. Tanpa sadar aku melangkah memasuki kamar dan berhenti di tengah-tengah. Tatapan terarah ke dinding di mana tiga buah gitar elektrik yang kuketahui berharga mahal tergantung rapi. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan kembali berdecak saat menyaksikan belasan poster band rock luar negeri yang disusun dengan artistik. Sepertinya Kak Devan adalah seorang pemusik. Hal itu terlihat jelas dari hiasan di meja belaj
44Suasana di grand ballroom hotel bintang lima di kawasan Jakarta Selatan ini sangat ramai. Aku dan Aleea berkeliling dari satu meja stand ke tempat lain untuk mencicipi semua hidangan yang mewah dan enak. Sementara Mama Anita berkumpul bersama rekan-rekannya sesama pebisnis. Sesuai permintaan beliau, mulai saat ini aku memanggilnya dengan sebutan Mama. Hal itu membuatku bahagia karena artinya beliau telah memberikan restu buatku dan Aleea. Tugas terberat masih menanti dan aku akan berjuang sampai titik nada penghabisan demi mendapatkan restu dari Om Yoga. Sebab aku adalah anak gembala, ehh maksudnya penyanyi, jadi harus sampai titik nada dan bukan darah. Lagi pula terdengarnya sedikit menyeramkan, darah penghabisan, seakan-akan tengah berada di medan pertempuran.Tepukan di pundak kanan membuatku refleks menoleh. Senyuman langsung mengembang di wajah kala mengenali siapa yang telah menepuk dan mengajakku bersalaman. "Ibu, kok bisa ada di sini?" tanyaku pada perempuan bergaun mera
45Aku tersenyum, kemudian mengangguk. "Itu koreografernya Linda. Dia bilang, aku harus berani tampil beda karena lirik lagunya juga seksi.""Dan aku suka." "Thanks." "Tapi kalau bisa, jangan nari kayak gitu lagi depan orang." "Maksudnya?" "Khusus di depanku aja." Aku menggigit bibir bawah untuk menahan tawa, tetapi akhirnya gelak itu menyembur juga. Demikian pula dengan Aleea. Mata sipitnya hingga tersisa segaris dan membuat tampilan wajahnya kian lucu. "Udah, ya. Sekarang aku beneran mau pulang. Udah mau jam sebelas." Aku menunjuk ke benda besar di dinding kiri. Aleea tidak menjawab dan hanya mengangguk. Kami saling beradu pandang sesaat, sebelum sama-sama melangkah ke luar dan baru berhenti di dekat motor. Aku menarik helm dari gantungan dan memakainya, sebelum menaiki motor serta memasukkan kunci ke tempatnya. "Besok malam aku ke kafe," ucap Aleea. "Emangnya dibolehkan?" tanyaku. "Maksa aja pergi, mau ngajak Nin dan Maia." "Tapi kalau nggak dibolehkan jangan maksa. Hari
46Tiga puluh menit kemudian aku dan Linda sudah berboncengan di motor. Menuruti nasihat Papa, kami mencari kontrakan sedikit jauh daripada yang lama. Walaupun nantinya Linda terpaksa melakukan perjalanan lebih jauh menuju kampus, tetapi jaraknya lebih dekat dengan kafe dan pastinya tidak jauh dari kontrakannya Mas Fa dan Bang Ali. Kami menyempatkan diri untuk mengunjungi kedua orang tersebut yang tengah berada di rumahnya Mas Steven. Ketiga pria itu tampak emosi ketika Linda menceritakan peristiwa kemarin malam yang membuatnya harus mengungsi ke rumah orang tuaku. "Minta hajar itu si Angga!" desis Bang Ali. "Kita bilang ke Kang Rian dan para pengelola agar dia diblack list jadi pengunjung kafe," balas Mas Steven. "Setuju!" seru Mas Fa. "Nantilah itu, Mas-mas. Aku lagi pusing nyari kontrakan. Udah enam tempat yang didatangi, nggak ada yang cocok. Ada yang bagus tapi harganya melebihi budget," ungkap Linda. "Kamu nyari yang kayak gimana, Lin?" tanya Mas Fa. "Yang satu kamar dan
47Sepanjang jalan menuju rumah aku bersusah payah menahan emosi. Benar-benar ingin menghajar pria yang usianya beberapa tahun lebih tua dariku, tetapi kelakuannya menyamai rekan-rekan Kai di sekolah, yang menyebalkan, maksudku.Sesampainya di rumah, Linda ternyata sudah bangun dan tengah membantu Mama membuat brownies. Aku menuju dapur dan menuangkan air ke gelas sebelum meneguknya hingga habis. Hal itu diulang sampai tiga kali karena aku masih merasa haus.Ketika aku kembali ke depan, Papa memanggil dan mengajakku ke warung kopi langganan beliau yang berada di ujung blok. Kami duduk berdampingan sambil memandangi jalan utama kompleks yang tampak cukup ramai oleh para pejalan kaki serta pengendara sepeda. Hal yang lumrah terjadi di hari Minggu pagi menjelang siang. "Jadi, dia orang yang udah mukul Linda?" tanya Papa, sesaat setelah aku menceritakan semuanya. "Iya. Tadi Abang nahan-nahan buat nabok. Kesel!" sungutku. "Sabar, nggak boleh langsung hajar. Lagi pula kita baru dengar ce
48Malam ini suasana kafe sangat ramai dan semuanya adalah rekan-rekan Kang Rian. Pria berkemeja hijau lumut mendatangi setiap meja dan berbincang sesaat sebelum berpindah ke meja lain. Sifatnya yang ramah itulah yang paling kusuka, demikian pula dengan rekan-rekan band lainnya. Tidak hanya pada teman-teman, Kang Rian juga ramah pada semua karyawan. Akan tetapi, sampai pukul 9 Mbak Sarah tidak juga menampakkan diri dan hal itu membuatku bertanya-tanya. Ternyata bukan hanya aku yang memperhatikan hal itu, tetapi juga teman-teman band. Saat waktu istirahat tiba, kami duduk bergerombol di belakang panggung sambil menikmati sajian khusus yang disediakan Pak Jo untuk semua karyawan di kafe, termasuk kami. "Mbak Sarah dari tadi nggak muncul-muncul," ujar Mbak Yeni. "Kemaren dia juga pulang duluan," sahut Linda. "Mungkin lagi sedih," timpal Kak Carol. "Bisa jadi. Hubungan mereka udah lama, bahkan sebelum Kang Rian sama Aleea. Bener 'kan, Ken?" tanya Bang Ali."Iya, Mbak Sarah udah pacar
49Sepanjang kuliah hari ini aku sulit berkosentrasi. Selain karena masih mengantuk, ucapan Papa kembali terngiang-ngiang di telinga. Aku tahu Papa sangat mengkhawatirkan anaknya yang manis ini, terutama karena beliau hafal dengan sifatku yang terkadang nekat. Sore seusai kuliah, aku memacu motor menuju kediaman Mas Fa. Bukan untuk berlatih seperti biasa, tetapi untuk menumpang tidur sebentar, sebelum nantinya kami akan berangkat ke kafe. Sesampainya di tempat tujuan, aku mengucapkan salam, kemudian langsung masuk dan merebahkan diri di kasur lipat. Namun, Mbak Yeni yang hari ini tidak bekerja, mengulurkan piring beraroma harum dan membuatku kembali bangkit. "Tadi loyo, disodorin kue langsung semangat," seloroh Mas Fa yang masih sibuk di depan laptop. "Martabak kan kesukaanku, jadi nggak boleh ditolak," kilahku di sela-sela mengunyah. "Kamu tuh, martabak kesukaan, donat favorit, gorengan kegemaran, cake kedemenan. Semuanya diborong." Aku mengulaskan senyuman lebar. Perkataan Mas
Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri
Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta
Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta
Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r
Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian
"Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg
Sorot lampu dari berbagai arah membuatku silau. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakannya menatap cahaya berkekuatan penuh yang mengiringi gerakan serta langkahku ke semua sudut panggung. Setelah lagu keenam, aku berpindah ke belakang panggung. Linda menggantikan posisiku untuk menyanyikan tiga lagu sebagai pengisi kekosongan. Aku membuka baju yang lembap dan melemparkannya ke tas biru tua di ujung kursi. Ijan mengulurkan handuk kecil merah dan aku mengambilnya untuk menyeka peluh di wajah serta leher. Ijan mengarahkan kipas kecil bertenaga baterai ke badanku. Sementara Sandy menyiapkan pakaian ganti. Belum hilang keringat, aku bergegas berganti pakaian dan berias seadanya. Rambut yang basah segera dikeringkan Ijan menggunakan hairdryer, sedangkan Sandy memegangi kipas elektrik sekaligus kipas konvensional. Teriakan Mas Fa yang tadi mengecek penampilan Linda menyadarkanku untuk bergerak lebih cepat. Pria berkemeja putih pas badan berpindah ke dekat kursi dan membantuku men
Mimpi buruk akhirnya menimpaku. Hal yang paling ditakuti oleh semua penyanyi adalah memburuknya kualitas pita suara. Aku diminta Papa untuk menghemat bicara. Selama beberapa hari di rumah aku membawa kertas dan pulpen ke mana-mana. Bila ada yang bertanya aku menjawabnya dengan tulisan. Semua jadwal kerja ditangguhkan hingga minggu berikutnya. Mas Fa dan yang lainnya benar-benar ketat pengawasan agar suaraku benar-benar pulih. Mereka bahkan melarangku berlatih karena takut suara kian rusak dan akhirnya menghilang.Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Akhirnya suaraku kembali normal dan bisa bekerja lagi, walaupun porsinya sedikit. Jadwal manggung di tiga tempat hanya tiga hari di akhir pekan, empat hari berikutnya difokuskan pada promosi. Bulan berganti, aku dan teman-teman bersiap melakukan ujian. Seperti biasa, Humaira dan Tie menjadi andalanku untuk menjelaskan semua mata kuliah. Selain itu, setiap malam aku dan Ijan belajar bersama untuk mengejar ketertinggalan. "Ya,
Tepat pukul 07.00 WIB, aku dan kelompok keluar dari hotel menuju tempat wisata terkenal di daerah Lembang. Aku ikut dalam mobil yang dikemudikan Aleea. Nin dan Maia berada di kursi belakang. Sementara yang lainnya menaiki mobil SUV milik Papa. Suasana jalan raya yang padat, tidak mengurangi semangat kami untuk meneruskan perjalanan. Aleea mengemudi dengan cekatan dan membuatku terintimidasi karena masih belum lancar menyetir. Sesampainya di Farm House Susu Lembang, para gadis begitu heboh untuk melakukan swa foto. Gaya khas cerianya perempuan muda membuatku tersenyum menyaksikan tingkah mereka yang alami dan tanpa dibuat-buat. Namun, seruan beberapa orang membuatku meringis karena dikenali sebagai artis baru. Mau tidak mau aku melayani acara foto bersama dan sesi tanda tangan. Sedapat mungkin berusaha ramah meskipun sudah ingin kabur dan melanjutkan berlibur. "Sudah cukup, ya, Akang-akang dan teteh-teteh. Abang Kenzo mau berwisata dulu," tutur Ijan sembari memegangi pundakku. "Per