Sebelum masuk waktu Zuhur, akhirnya kami tiba di Pontianak. Jantungku berpacu kian cepat seiring gerak kendaraan yang melaju menyisiri jalanan kota. Badanku panas dingin, sementara telapak tangan sudah sedingin es. Tubuhku langsung 'nderedeg' ketika sepeda motor yang Mas Farel kendarai memasuki sebuah rumah yang memiliki pekarangan cukup luas. "Ayo, Sayang." Ia tersenyum sambil mengulurkan tangan saat melihatku hanya berdiri terpaku di tempat."Rumah orang tua kamu di sini, Mas?" tanyaku meyakinkan. Tiba-tiba aku berharap perjalanan kami masih jauh, rumah kedua orang tuanya bukan di sini."Iya." Jawabannya memupus harapan absurd-ku."Ayo, masuk. Mereka pasti sudah menunggu di dalam," ujarnya."Aku takut, Mas," ungkapku jujur. Tidak ada kesempatan lagi untuk jaga image di depan laki-laki itu."Tidak usah takut," balasnya mencoba menenangkan."Bagaimana kalau Ayah, Mama, dan adik-adik, Mas, tidak menyukaiku?""Insya Allah mereka menyukaimu. Tadi waktu video call sudah lihat sendiri 'ka
Aku sudah tidak bisa lagi menikmati makan siang dengan nyaman. Hadiah yang diberikan Mama Anin dan Ayah Kusuma sukses membuat perasaanku tidak karuan. Rasa malu dan gugup membaur menjadi satu. Keluarga ini begitu kompak menggoda kami sebagai pasangan yang baru menikah. Mas Farel bisa menanggapi dengan santai godaan demi godaan saudara dan orangnya. Mungkin karena dia laki-laki dan sudah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lahir. Sementara aku yang baru datang beberapa jam yang lalu, harus berjuang keras untuk bisa tenang dan mengenyahkan rasa salah tingkah. Setelah makan siang, kami semua memutuskan untuk beristirahat. Maysa dan suaminya pun memilih beristirahat di sini sebelum kembali ke kediaman mereka nanti sore. Putri bungsu Mama Anin itu masih ingin melepas rindu bersama keluarga besarnya.Mas Farel melingkarkan tangannya di pinggangku, menggandengku menuju kamarnya yang tadi kami tempati. Hatiku berdebar seiring langkah kami. Sejak pembicaraan bulan madu di rest area tadi,
Beberapa lama kami hanyut dalam hangat yang sangat mendebarkan, hingga terdengar sayup-sayup seseorang memanggil nama laki-laki yang saat ini sedang bersamaku itu. Ia menghentikan sejenak aktivitasnya, memasang telinga dengan siaga. Suara yang kuyakini milik seorang perempuan itu semakin jelas terdengar."Siapa, Mas?" tanyaku.Aku tidak tahu sama sekali siapa orang itu. Namun, mengetahui dia seorang perempuan begitu saja hatiku tidak suka."Kamu tunggu di sini, ya. Jangan keluar." Laki-laki itu hendak beranjak."Mas!" Aku menahan geraknya."Kamu di sini saja. Jangan kemana-mana. Jangan keluar apa pun yang terjadi.""Tapi, Mas ...!""Di sini saja, Hanum. Pokoknya tidak boleh keluar!" Pungkasnya tegas. Aku terdiam, merengut kesal dalam hati. Curiga dan prasangka buruk seketika menyapa. Mengapa dia melarangku keluar? Ada hubungan apa dia dengan perempuan itu?Laki-laki itu segera keluar dari kamar, meninggalkanku yang diliputi kecewa dan sakit hati oleh sikapnya. Aku menatap punggungny
"Hanum, masuk!" titah Mas Farel tegas. Rautnya datar. Matanya menyorotku dingin. Aku menatap tidak percaya laki-laki itu. Sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat dengan beberapa waktu lalu."Masuk!" ulangnya lagi. Meyakinkanku bahwa dia tidak sedang bercanda. "Jahat kamu, Mas!" Aku berteriak kecewa. Air mataku serta merta mengalir deras, menyampaikan begitu aku sangat terluka atas sikapnya.Kebisingan yang terjadi mengundang semua penghuni rumah keluar dari kamar masing-masing. Ayah Kusuma, Fatih, dan suami Maysa berdiri terpaku menatap kami. Sementara Mama Anin dan Maysa menghampiriku."Ayo masuk, Hanum," ucap Mama Anin sambil merangkul lembut pundakku."Iya, Mbak. Ayo kita masuk." Maysa ikut menimpali. Keduanya mengiringku kembali ke kamar Mas Farel. Aku menurut, mengikuti langkah mereka dalam diam. Namun, air mataku tak bisa diam, terus mengalir deras.Aku duduk sesenggukan di tepi tempat tidur. Semua terjadi begitu cepat dan di luar dugaan. Belum satu jam yang lalu semua
"Kamu tahu, Mas? Sakit sekali rasanya. Kamu telah begitu berharap banyak tentangmu sebagai seorang imam yang shalih, bertanggung jawab, penuh kasih sayang. Tapi ternyata kamu tidak ubahnya dari seorang pecundang!" Aku tergugu, membiarkan tangisku menggema di kamarnya."Kamu jahat, Mas. Apa sebenarnya mau kamu? Bahkan sepertinya Mama, Ayah, dan adik-adik kamu mengetahui semua ini. Kalian bersekongkol mengkhianatiku. Aku sakit, Mas. Sakiiit sekali." Aku meremas dada, menahan rasa yang begitu menyesak di sana."Tidak, Hanum. Tidak ada yang mengkhianati kamu," tuturnya parau."Tolong jelaskan semua ini padaku. Aku masih menuntut penjelasan. Siapa Dewi? Mas tidak pernah menceritakannya sebelumnya. Mas hanya menyebut nama Aisya."Laki-laki itu kembali bergeming. Aku menganjur napas kasar. Dia selalu diam setiap aku meminta penjelasan. Aku muak dengan sikap diamnya. "Kalau begitu biarkan aku pergi. Kita batalkan rencana pernikahan kita. Kita ini hanya menikah siri. Sangat mudah bagi kita me
"Maafkan Farel, ya, Hanum," ucap Mama Anin. Wanita itu meraih tanganku, lalu menggenggamnya lembut.Sore itu sembari menunggu senja berlabuh, kami semua berkumpul di ruang keluarga. Suasana terasa sedikit berbeda setelah kedatangan Dewi tadi siang. Tidak sehangat dan seceria saat jam-jam pertama aku datang ke rumah ini. Saat ini suasana terasa sendu, dingin seolah dibalut kesedihan. Mungkin kenangan saat kecelakaan Mbak Nadin beberapa tahun silam terangkat kembali dengan kedatangan Dewi. Seperti yang Mas Farel sampaikan padaku, kehadiran Dewi membuka ingatannya pada tiga kecelakaan yang pernah terjadi. Barangkali demikian juga yang dirasakan anggota keluarga yang lain."Kesalahan Farel mungkin karena dia tidak bercerita jujur tentang Dewi. Tapi percayalah, Hanum, tentang kesetiaan Farel, kamu tidak perlu ragu. Sebagai orang yang telah melahirkannya, mama menjamin Farel paham bagaimana cara memuliakan seorang istri. Mama menjamin cinta dan kesetiaannya," lanjut beliau.Aku mengangguk
Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, kami tetap menjalankan kegiatan sesuai rencana. Pagi ini seusai sarapan, aku dan Mas Farel meneruskan rangkaian syarat nikah kantor kami ke Kesdam untuk pemeriksaan kesehatan. "Untuk sementara kalian pakai mobil saja kalau mau ke mana-mana, Farel. Supaya lebih aman," titah Ayah Kusuma ketika kami akan berangkat. Beliau kemudian menyerahkan kunci mobil miliknya kepada Mas Farel."Siap, Ayah. Terima kasih," sahut Mas Farel menurut. Laki-laki itu menerima kunci mobil yang diulurkan padanya."Hmm. Hati-hati," balas Ayah Kusuma."Iya, Ayah. Kami berangkat. Mohon doanya.""Semoga lancar."Usai berpamitan dengan Ayah Kusuma dan Mama Anin, kami langsung bertolak menuju Kesdam. Aku menghenyakkan tubuh di kursi depan samping kemudi. Ini merupakan perjalanan pertamaku bersama Mas Farel menggunakan roda empat. Rasanya sedikit berbeda. Jujur saja aku merasa kurang nyaman, apalagi memahami alasan di balik penggunaan kendaraan itu."Kenapa aku merasa seola
Akhirnya lembaran seluruh hasil pemeriksaan kesehatan kami terima. Mas Farel begitu semringah. Bibir laki-laki itu menyungging senyum ketika membaca hasil tes terakhirku. Lekas ia masukkan kembali lembaran pemeriksaan itu ke dalam amplopnya, lalu menarik tanganku buru-buru."Ayo," ucapnya seperti orang tidak sabar. Ia melangkah sedikit tergesa. "Kemana?" tanyaku heran."Ke hotel," sahutnya ringan."Hah?" Aku meneguk ludah.Seharusnya aku tidak perlu terkejut lagi sebab hal ini memang sudah kami rencanakan sejak awal. Tadi pagi kami sudah menyiapkan segala keperluan untuk menginap. Kami sudah sepakat sepulang dari Kesdam langsung menuju hotel saja, mengambil hadiah paket menginap dan tidak kembali lagi ke rumah orang tua Mas Farel lagi. Untuk urusan administrasi nikah kantor besok pun akan kami lanjutkan langsung berangkat dari hotel saja.Aku sebenarnya bukan terkejut, hanya merasa gugup dan berdebar saja demi membayangkan ritual yang akan kami lakukan nanti di sana. Entah bagaimana