Aku melangkah kesal sambil sedikit menghentakkan kaki setelah keluar dari ruangan Komandan Kompi. Sepanjang perjalanan pulang dari kesatuan, aku tak putus mengomel. "Ada berapa banyak lagi pejabat yang akan kita hadap?" tanyaku dongkol."Memangnya kenapa?" Ringan, ia balik bertanya tanpa langsung menjawab pertanyaanku. Kebiasaan buruk."Berapa banyak lagi?" kejarku."Lumayan.""Lumayan? Berarti masih banyak?""Iya, dari kesatuan sini sampai nanti ke Kodam," balasnya tetap ringan. Aku mendengkus mengetahui jawabannya."Apa setiap pejabat yang dihadap harus bertanya hal-hal seperti itu?""Mungkin. Memangnya kenapa?""Capek, ah," sungutku malas."Capek?""Iya. Enggak usah nikah kantor saja lah. Cukup begini saja. Enggak perlu lah nikah kantor segala. Untuk apa, sih?"Laki-laki itu tidak menjawab. Ia tetap melajukan sepeda motornya dengan tenang, membuatku semakin kesal."Mas!""Kita bicarakan di rumah," sahutnya membuatku mendengkus tidak sabar.Sesampai di rumah, aku melangkah dengan k
Setelah mendapat izin dari pimpinan satuan kerja masing-masing, besok rencananya aku dan Mas Farel akan bertolak ke Pontianak guna melanjutkan serangkaian urusan nikah kantor kami yang masih tersisa.Belum berangkat, rasaku sudah tidak karuan. Bahkan badan serasa panas dingin.Ada dua hal besar yang menungguku di sana. Yang pertama serangkaian urusan nikah kantor yang membuat jantung selalu berdegup takut saat masuk di setiap sesi, dan yang kedua yang paling mendebarkan serta membuatku nervous sejak awal adalah pertemuan dengan keluarga besar mertua. Baru membayangkan pertemuannya saja nyaliku sudah menciut. Bagaimana jika benar-benar sudah bertemu? Walaupun tempo hari pernah berkomunikasi melalui video call, bertemu langsung untuk pertama kali tetap membuatku gugup.Malam ini aku bahkan tidak bisa tidur, sibuk memikirkan akan seperti apa sikapku di depan Ayah dan Mama mertua nanti. Sejak tadi aku hanya gelimpak gelimpuk, miring ke kanan, telentang, miring ke kiri, lalu berulang posi
Udara pagi yang dingin, ditambah semalam kurang tidur membuatku mengantuk dengan cepat. Beberapa kali helm yang kupakai beradu dengan helm Mas Farel. Bahkan pegangan tanganku sempat terlepas dari pinggangnya. Aku nyaris terjatuh jika dia tidak memiliki refleks yang kuat dan berhasil menangkap tanganku."Kita istirahat dulu di depan, ya," ucapnya setelah mengurangi laju kendaraan. "Iya." Aku mengangguk.Di tepi jalan sebelum memasuki Kota Mempawah, setelah lebih satu jam menempuh perjalanan, terdapat banyak tempat persinggahan yang didirikan penduduk dengan latar panorama laut sebagai pemandangan.Tempat ini sangat nyaman dan strategis untuk dijadikan rest area. Beberapa tempat pun di desain berbentuk lesehan yang sekaligus bisa digunakan sebagai tempat tiduran bagi pengendara yang lelah dan mengantuk."Ayo." Dia mengajakku turun dari sepeda motor, menggandengku menuju salah satu tempat yang nyaman untuk melepas penat."Mau tidur dulu?" tanyanya setelah kami sampai pada tempat yang dit
"Uhuk!"Aku tersedak, sama sekali tidak menyangka dengan kalimat yang baru saja dia ucapkan, benar-benar surprise dan membuat nervous."Hanum." Laki-laki itu tampak terkejut. Tangannya refleks menepuk-nepuk punggungku, berharap dapat membuatku nyaman sehingga tersedakku berhenti. Akan tetapi, usahanya gagal. "Kenapa?" tanyanya agak panik ketika aku terus terbatuk hingga wajahku terasa panas dan mataku berair. Ia lantas sedikit berteriak memanggil pemilik rest area dan memesan air mineral."Minum dulu," ujarnya setelah karyawan membawa sebotol minuman mineral pada kami. Laki-laki itu segera mengarahkan botol yang tutupnya sudah ia buka padaku.Aku lekas meneguk beberapa, hingga tenggorokan yang terasa tidak nyaman, berangsur lega."Sudah enakan?" tanyanya setelah batukku sedikit mereda. "Iya." Aku mengangguk."Minum lagi?" Ia mengulurkan kembali botol minuman itu padaku."Enggak. Udah." Aku menolak."Kenapa, kok, tiba-tiba tersedak," tanyanya khawatir. Ibu jarinya mengusap sudut matak
Sebelum masuk waktu Zuhur, akhirnya kami tiba di Pontianak. Jantungku berpacu kian cepat seiring gerak kendaraan yang melaju menyisiri jalanan kota. Badanku panas dingin, sementara telapak tangan sudah sedingin es. Tubuhku langsung 'nderedeg' ketika sepeda motor yang Mas Farel kendarai memasuki sebuah rumah yang memiliki pekarangan cukup luas. "Ayo, Sayang." Ia tersenyum sambil mengulurkan tangan saat melihatku hanya berdiri terpaku di tempat."Rumah orang tua kamu di sini, Mas?" tanyaku meyakinkan. Tiba-tiba aku berharap perjalanan kami masih jauh, rumah kedua orang tuanya bukan di sini."Iya." Jawabannya memupus harapan absurd-ku."Ayo, masuk. Mereka pasti sudah menunggu di dalam," ujarnya."Aku takut, Mas," ungkapku jujur. Tidak ada kesempatan lagi untuk jaga image di depan laki-laki itu."Tidak usah takut," balasnya mencoba menenangkan."Bagaimana kalau Ayah, Mama, dan adik-adik, Mas, tidak menyukaiku?""Insya Allah mereka menyukaimu. Tadi waktu video call sudah lihat sendiri 'ka
Aku sudah tidak bisa lagi menikmati makan siang dengan nyaman. Hadiah yang diberikan Mama Anin dan Ayah Kusuma sukses membuat perasaanku tidak karuan. Rasa malu dan gugup membaur menjadi satu. Keluarga ini begitu kompak menggoda kami sebagai pasangan yang baru menikah. Mas Farel bisa menanggapi dengan santai godaan demi godaan saudara dan orangnya. Mungkin karena dia laki-laki dan sudah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lahir. Sementara aku yang baru datang beberapa jam yang lalu, harus berjuang keras untuk bisa tenang dan mengenyahkan rasa salah tingkah. Setelah makan siang, kami semua memutuskan untuk beristirahat. Maysa dan suaminya pun memilih beristirahat di sini sebelum kembali ke kediaman mereka nanti sore. Putri bungsu Mama Anin itu masih ingin melepas rindu bersama keluarga besarnya.Mas Farel melingkarkan tangannya di pinggangku, menggandengku menuju kamarnya yang tadi kami tempati. Hatiku berdebar seiring langkah kami. Sejak pembicaraan bulan madu di rest area tadi,
Beberapa lama kami hanyut dalam hangat yang sangat mendebarkan, hingga terdengar sayup-sayup seseorang memanggil nama laki-laki yang saat ini sedang bersamaku itu. Ia menghentikan sejenak aktivitasnya, memasang telinga dengan siaga. Suara yang kuyakini milik seorang perempuan itu semakin jelas terdengar."Siapa, Mas?" tanyaku.Aku tidak tahu sama sekali siapa orang itu. Namun, mengetahui dia seorang perempuan begitu saja hatiku tidak suka."Kamu tunggu di sini, ya. Jangan keluar." Laki-laki itu hendak beranjak."Mas!" Aku menahan geraknya."Kamu di sini saja. Jangan kemana-mana. Jangan keluar apa pun yang terjadi.""Tapi, Mas ...!""Di sini saja, Hanum. Pokoknya tidak boleh keluar!" Pungkasnya tegas. Aku terdiam, merengut kesal dalam hati. Curiga dan prasangka buruk seketika menyapa. Mengapa dia melarangku keluar? Ada hubungan apa dia dengan perempuan itu?Laki-laki itu segera keluar dari kamar, meninggalkanku yang diliputi kecewa dan sakit hati oleh sikapnya. Aku menatap punggungny
"Hanum, masuk!" titah Mas Farel tegas. Rautnya datar. Matanya menyorotku dingin. Aku menatap tidak percaya laki-laki itu. Sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat dengan beberapa waktu lalu."Masuk!" ulangnya lagi. Meyakinkanku bahwa dia tidak sedang bercanda. "Jahat kamu, Mas!" Aku berteriak kecewa. Air mataku serta merta mengalir deras, menyampaikan begitu aku sangat terluka atas sikapnya.Kebisingan yang terjadi mengundang semua penghuni rumah keluar dari kamar masing-masing. Ayah Kusuma, Fatih, dan suami Maysa berdiri terpaku menatap kami. Sementara Mama Anin dan Maysa menghampiriku."Ayo masuk, Hanum," ucap Mama Anin sambil merangkul lembut pundakku."Iya, Mbak. Ayo kita masuk." Maysa ikut menimpali. Keduanya mengiringku kembali ke kamar Mas Farel. Aku menurut, mengikuti langkah mereka dalam diam. Namun, air mataku tak bisa diam, terus mengalir deras.Aku duduk sesenggukan di tepi tempat tidur. Semua terjadi begitu cepat dan di luar dugaan. Belum satu jam yang lalu semua
"Benarkan?" tanyanya meminta penegasan."Hmm," sahutku seadanya. Aku memilih fokus menikmati sarapan yang ada di piringku. Laki-laki itu terkekeh. Tampak sekali dia begitu bahagia dan bersemangat."Mas seolah enggak bisa berhenti memikirkan itu," ucapku sambil mengerling padanya."Ciri-ciri laki-laki normal, ya, seperti itu, Sayang.""Normal apa doyan?""Ya, normal. Ya, doyan. Dua-duanya. Ditanya doyan, ya, doyan banget," sahutnya sekenanya. "Ish! Dasar suami omes!" Aku kembali mengerling dengan greget. Laki-laki itu terkekeh geli."Omes sama istri sendiri itu wajar. Bahkan harus. Itu 'kan sesuatu yang mutlak untuk mendukung kebahagiaan kita," alibinya. "Heh!" Aku mencebik tidak acuh."Kamu tahu enggak, Sayang?" "Apa?""Mandinya seorang istri karena melakukan ibadah bersama suaminya itu lebih baik dari pada dia melakukan mengorbankan seribu ekor kambing untuk fakir miskin.""Heh!" Lagi-lagi aku mencebik."Laki-laki selalu paham ilmunya kalau untuk masalah beginian." Laki-laki itu
"Mirip mama, ya, Yah? Iya 'kan, mirip mama?" "Mana ada mirip kamu. Ini mirip Ayah.""Enggak mungkin mirip Ayah. Ini perempuan, lho, Yah. Kalau anak Maysa, iya, memang mirip Ayah. Dia laki-laki.""Apa kalau perempuan jadi enggak boleh mirip ayah? Ini coba perhatikan baik-baik, mirip ayah 'kan? Matanya, hidungnya, bibirnya, dan yang paling kelihatan itu warna kulitnya. Enggak ada beda dengan anak Maysa."Aku tersenyum geli memerhatikan tingkah Mama Anin dan Ayah Kusuma yang saling berebut mengakui kemiripan putriku dan Mas Farel dengan mereka. Mama Anin bahkan sampai menunjukkan ekspresi kecewa, walaupun aku tahu itu hanya sekadar kelakar. Kekesalan beliau terpancing saat Ayah Kusuma seolah begitu membanggakan diri di depannya, bahwa cucu-cucu mereka mirip dengan dirinya."Fatih, kalian nanti kalau punya anak mirip mama, ya. Kamu harapan mama satu-satunya," ucap Mama Anin pada Fatih. Putra keduanya itu sedang duduk di sofa bed yang tersedia di ruang rawat bersama seorang gadis yang ia
"Jadi bagaimana?" Aku bertanya pasrah, "Mas penjual baksonya sudah menunggu di depan.""Ya, suruh pulang saja. Enggak jadi," sahutnya enteng."Enggak enak, Sayang. Kasihan dia sudah menunggu." Aku mencoba bernegosiasi. Mana tahu buah cinta kami di dalam sana yang 'katanya' pengen bakso itu mau merubah kriterianya dari hitam menjadi putih."Jadi, Mas, lebih kasihan sama penjual baksonya? Enggak lebih kasihan sama aku dan anak, Mas, sendiri?" Matanya kembali berkaca-kaca.Allahu Akbar ....Aku menyandar pasrah di dinding, menyadari bahwa jika ingin hidupmu aman, jangan pernah mencoba untuk nekad melawan ibu hamil yang hormonnya sedang tidak stabil.Oke! Aku memutuskan untuk berhenti bernegosiasi, tidak ada gunanya. Bahkan hanya akan menambah rumit masalah yang ada."Kalau begitu sana, Mas, tidur sama tukang baksonya saja."Nah, kan? Hancur Mina!"Jangan begitu, dong, Sayang. Masa saya disuruh tidur sama tukang bakso. Mana enak. Pentol semua. Ya, sudah. Tak suruh pulang lagi dia. Semoga
PoV Farel (Ngidam)Sebenarnya sangat malu untuk menanyakan hal itu. Apalagi dokternya perempuan. Akan tetapi, pepatah mengatakan malu bertanya sesat di jalan. Aku tidak mau sesat dalam berbuat. Jujur saja aku takut jika hubungan suami istri dapat membahayakan janin yang ada di dalam kandungan Hanum. Banyak sekali aku mendengar selentingan seperti itu. Akan tetapi, di sisi lain aku tidak akan sanggup menepis pesona wanita tercintaku itu. Dia bagaikan candu. Cintaku yang begitu besar padanya membuatku tidak tahan untuk tidak berbuat apa-apa padanya. Setelah berbuat, rasanya ingin selalu lagi dan lagi."Oh ...." Dokter itu mengangguk ringan sambil tertawa renyah. Jujur saja aku merasa malu sampai ke ubun-ubun. Apalagi perempuan di sampingku. Ekor mataku dapat menangkap wajahnya yang tampak memerah. Sepertinya dia pun merasa malu atas pertanyaan yang aku ajukan pada dokter Herlina. Pasti nanti di rumah dia akan marah dan protes. Masa bodohlah. Semakin dia marah, semakin kelihatan seksi.
"Masya Allah." Laki-laki itu langsung memelukku erat. Sementara bibirnya menguntai sebait doa."Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami'ud du'a.""Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."Usai melafazkan doa itu, dia melabuhkan kecupan bertubi-tubi di ubun-ubunku. "Alhamdulilah, Ya Allah," ucapnya penuh syukur. Dia kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Lalu kecupan bertubi-tubi yang tadi mendarat di ubun-ubunku, beralih ke setiap inchi bagian wajahku. "Terima kasih, Sayang. Kamu telah menjadikan hidup saya begitu sempurna. Saya akan menjadi ayah dari anak yang akan lahir dari rahim kamu. Saya benar-benar bahagia." Ungkapan kebahagiaan seolah tidak berhenti dari bibirnya. Matanya menatapku penuh diselimuti oleh binar bahagia. "Aku juga sangat bahagia, Mas. Allah telah memberiku kepercayaan untuk mengandung benih dari laki-laki yang sangat aku cintai secepat ini." Aku membalas tat
Aku tercenung mendengar penuturannya. Apa yang dia katakan memang benar. Semuanya tidak menyambung alias salah sasaran. Mengapa aku jadi aneh begini? Terbawa emosi tidak jelas.Laki-laki itu lantas meraihku ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggungku penuh sayang."Semua masalah yang terjadi akan ada solusinya, Sayang. Tapi kita harus melewati setiap prosesnya untuk mencapai solusi itu. Tolong bersabarlah membersamai saya. Kamu adalah penyemangat ketika saya lemah, penyejuk ketika saya gerah. Kamu permata hati saya, belahan jiwa saya. Kamu adalah rumah untuk saya pulang ketika saya lelah. Tolong jangan katakan kamu menyesal telah menikah dengan saya," ucapnya lembut."Enggak!" Aku menggeleng tegas, "Bukan seperti itu. Aku sangat mencintai Mas Farel. Enggak mungkin aku menyesal telah menikah dengan Mas."Laki-laki itu tersenyum,. Dia menjauhkan wajahku dari dadanya."Terima kasih, Sayang." Jemarinya kembali menghapus air mataku. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti Umak lihat, bisa iku
Sekolah memberiku cuti menikah selama satu Minggu. Dua hari digunakan untuk persiapan, satu hari untuk pelaksanaan, tiga hari kami manfaatkan untuk masa berdua menikmati pasca resepsi, dan satu hari masa untuk beristirahat sebelum melaksanakan tugas negara kembali.Setelah satu Minggu melalui hari-hari awal penuh bahagia, hari ini aku dan Mas Farel merapat ke tempat tugas.Pukul enam pagi aku sudah rapi dengan seragam dan polesan make up tipis. Kami akan bersiap untuk sarapan ketika notifikasi pesan singkat dari aplikasi pepesanan warna hijau di ponselku berbunyi.Sebuah pesan dari Mbak Rissa masuk. "Hanum, hari ini Mbak enggak masuk. Tadi sudah ijin sama kepala sekolah. Mbak ada giat upacara pelepasan pindah Mas Cahyo. Nanti tolong sampaikan tugas-tugas Mbak ke siswa, ya," tulisnya. Om Cahyo pindah? Dahiku mengernyit. Bukankah Om Cahyo leting Mas Farel. Apakah Mas Farel juga ikut pindah? Tapi mengapa dia tidak memberitahuku?"Om Cahyo pindah, Mbak?" tanyaku meminta penegasan. Selam
Aku titipkan diaLanjutkan perjuanganku 'tuknyaBahagiakan dia, kau sayangi diaSeperti ku menyayanginya'Kan kuikhlaskan diaTak pantas ku bersanding dengannya'Kan kuterima dengan lapang dadaAku bukan jodohnyaDahiku mengernyit. Mataku sontak mencari sumber suara pada iringan musik organ tunggal yang menjadi hiburan di resepsi pernikahan kami. Aku seperti mengenal suara yang membawakan lagu Aku Bukan Jodohnya dari Tri Suaka yang sedang mengalun itu. "Mantan kamu."Mas Farel menaikkan kedua alisnya. Matanya melirik pada satu arah, memberi kode agar aku melihat ke sudut yang di maksud. "Apa, sih?" Aku merengut saat melihat pada sosok yang dia sebut sebagai mantanku. Pantas saja aku seperti mengenal suara orang yang membawakan lagu itu, rupanya Hadi sedang berada di atas panggung. Dia memang terkenal dengan suara merdunya sejak kami masih kuliah. Hadi sering mengisi waktu luang dengan memetik gitar di taman kampus bersama beberapa rekannya. Suaranya itu juga yang menjadi salah satu
Aku rindu, Ayah. Rindu sebenar-benarnya rindu."Hanum." Umak yang sedang tadi memerhatikanku dirias MUA dari sofa bed yang tersedia kamar, melangkah mendekat dan duduk di sampingku. Beliau mengusap punggungku lembut. Aku mengangkat wajah, menatap sendu satu-satunya orang tua yang kumiliki saat ini."Mak." Aku memanggil beliau lirih, ingin mengadukan perasaan yang berkecamuk di hati. Namun, aku tahu tanpa kuceritakan pun beliau sudah paham apa yang kurasakan."Jangan menangis, Hanum. Nanti riasan kamu rusak." Bukannya khawatir kondisi putrinya, Umak justru memikirkan riasanku. Walaupun, aku tahu apa yang baru saja beliau ucapkan itu hanya sekadar untuk menghiburku.Tangan tua beliau kemudian mengusap lembut butiran bening yang mulai banyak pecah di sudut mataku. Akan tetapi, semakin beliau mengusap, butiran itu justru semakin banyak. "Mak."Aku menjatuhkan diri ke dalam tubuh tua Umak, memeluk erat wanita yang telah berjasa mengantarku ke dunia itu. Tubuhku berguncang menahan tangi