Roseletta Lee, wanita yang berkebangsaan Ukraina yang mengikuti program pertukaran pelajar internasional lima tahun lalu. Sebuah kesialan yang membawa keberuntungan. Indonesia bukan negara yang ingin ditujunya namun karena paksaan orang tuanya –yang memiliki mitra bisnis yang cukup banyak yang berasal dari Indonesia. Rose terpaksa menurut saja.
Lynn Meinen menjadi teman pertama Rose di universitas tersebut, keduanya menjadi lebih akrab. Awalnya, Rose merasa tak yakin bisa berteman dengan Lynn. Perawakan Lynn tampak bagai mahasiswi nakal, rambut berwarna-warni yang digonta-ganti tiap akhir bulan. Tampak mengerikan. Namun, nyatanya Lynn benar-benar gadis yang hangat, ceria, dan paling mudah mencairkan suasana canggung.
Sebuah kesalahan fatal Lynn yang memperkenalkan Rose pada Steve. Apa yang terjadi? Steve jatuh cinta pada pandang pertama dengan Rose, bukan karena perawakan cantik Rose melainkan apa yang ada dalam diri Rose memenuhi kriteria wanita yang dicari Steve. Sederhana, anggun, senyumnya menenangkan, lesung pipi di kedua pipi Rose tampak sangat manis saat tersenyum dan manik mata abu-abu Rose membuat Steve hanyut.
Hanya butuh sebulan, Rose dan Steve menjalin hubungan kekasih dan itu adalah penyesalan terbesar Lynn.
Lynn jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri, mungkin karena selalu bersama-sama, Steve Robinson memorak-porandakan hati Lynn. Semenjak Steve dan Rose menjadi kekasih, Lynn mengubur dalam perasaannya. Namun justru membangkitkan luka di dadanya. Pelan-pelan kian dalam dan menganga.
***
"Apa kau tuli? Kubilang lepaskan!!" Wanita itu meronta hendak dilepaskan namun cengkeraman lelaki itu kian menguat.
Dia adalah Roseletta Lee, menatap garang Steve Robinson yang mencengkram pergelangan tangannya.
"Jangan tinggalkan aku, Rose!" pinta Steve memohon di hadapan Rose. Tatapan sendu Steve tak meluluhkan hati Rose, justru wanita itu kian diselubungi emosi.
"Apa kau tak mengerti ucapanku barusan, huh? Lepaskan, Steve!" teriak Rose sekuat tenaga berusaha melepas tangannya.
Memalukan, tapi kata hina itu sudah tak dipedulikan Steve. Dia tak peduli dengan tatapan orang-orang yang berlalu lalang. Bahkan, sebagian orang dengan lantang mengatainya pria tak tahu malu, pengemis cinta.
Pengemis cinta? Ya, Steve memang mengemis cinta Rose saat ini. Satu hal yang tak dipahami Steve, Rose tiba-tiba menjadi wanita ganas bahkan dalam kurung waktu yang sangat sempit. Kemarin, keduanya masih bercumbu mesra, menorehkan janji-janji manis untuk kehidupan keduanya ke depan. Namun, hari ini ... entah apa yang semesta inginkan.
Plak
"Aku sudah memperingatimu berkali-kali," ujar Rose menarik tangannya. Pergelangan tangannya memerah.
Steve terduduk, tak menyangka perlakuan Rose barusan. Steve tahu, Rose benci dengan kekerasan. Namun, apa yang barusan dia dapatkan? Bagaimana mungkin tamparan telapak tangan mungilnya terasa sangat perih di wajahnya.
"Jangan coba mencariku, aku tentu tak segan akan membunuhmu!"
Rose berbalik menarik kopernya menuju pesawat yang sebentar lagi akan lepas landas. Bahkan, Rose tak berbalik sedikitpun ke arah Steve. Segitu bencinya Rose padaku? pikir Steve. Lututnya seketika melemas menyaksikan pesawat Rose lepas landas, membelah angkasa, meninggalkan retak di hati Steve.
Beberapa meter dari keduanya, Lynn Meinen menyaksikan segalanya. Rintik-rintik air matanya jatuh satu persatu. Hatinya juga retak, Lynn Meinen menaruh rasa untuk Steve entah sejak kapan. Lynn mencintai Steve. Namun pria itu justru mencintai wanita lain.
Lynn mengikhlaskan perasaannya, turut bahagia saat Rose menyandang status sebagai kekasih Steve. Lynn bahagia jika Steve bahagia walau tak dipungkiri hatinya sering kali terasa sesak. Namun, hari ini, kisah percintaan Steve dan Rose kandas setelah 3 tahun lamanya tanpa adanya alasan jelas dibalik putusnya keduanya. Hari ini menjadi misteri besar bagi Steve dan Lynn. Tak ada yang tahu alasan Rose memutuskan Steve tiba-tiba.
Lynn berlari memeluk pria itu, direngkuhnya tubuh bergetar Steve. Hati Lynn sungguh sakit, melihat lelaki yang dicintainya kini menangis. Dia bagai pria lemah. Beberapa orang terang-terangan mengatainya pria banci yang menangis bahkan ada beberapa yang memotretnya. Lynn menyembunyikan wajah Steve dalam dekapannya. Setidaknya kesedihannya hari ini bukan untuk dipertontonkan publik atau sedang mencari sensasi layaknya artis.
Pandangan Steve kosong menatap pohon-pohon yang berlalu. Sesekali, Lynn meliriknya. Lynn tengah menyetir, dia tak mungkin membiarkan Steve menyetir dalam perasaan kalutnya. Lynn hendak mampir di sebuah restoran tahu bahwa Steve belum makan sedari pagi. Namun, Steve menolaknya mentah-mentah. Lynn menghela napas, menuruti kemauan Steve. Steve langsung keluar dari mobil Lynn, berjalan tunduk memasuki rumahnya. Air mata Lynn mulai berjatuhan yang segera diusapnya lalu menyusul Steve.
"Steve ...," panggil Lynn lesu.
"Tinggalkan aku sendiri!" balas Steve seraya menutup pintu kamarnya. Lynn terdiam di tempatnya, menatap pintu kamar Steve, berbalik menjauh membawa pulang retak di hatinya.
Esoknya, Lynn kembali berkunjung ke rumah Steve dengan menenteng dua kantong besar. Lynn mengetuk pintu kamar Steve bahkan memanggil namanya namun tak ada sahutan. Lynn khawatir, takut jika Steve melakukan hal yang berbahaya pada dirinya sendiri. Lynn memejamkan matanya menjauhkan segala praduga negatifnya. Lynn kembali mengatur beberapa makanan siap saji di lemari Steve, memasukkan botol-botol minuman dalam kulkas, meletakkan roti dengan selai di meja, barangkali Steve akan keluar kamar. Lynn sesekali melirik kamar Steve, tetap tertutup rapat.
Seminggu berlalu, Steve bahkan tak pernah menampakkan batang hidungnya sedikitpun. Namun, makanan yang disediakan Lynn beberapa hari lalu sudah berkurang. Lynn tersenyum sekilas, mengeluarkan barang belanjaannya dan mulai menyusunnya.
"Steve ...." Lynn terpaku sebentar mengamati Steve, ini pertemuan pertama mereka setelah peristiwa nahas itu. Steve tersenyum samar, menyambar sekaleng minuman soda yang masih berada dalam kantongan satunya.
"Maafkan aku, Lynn," ujarnya pelan.
Lynn hanya mengangguk sembari melanjutkan menyusun kaleng-kaleng soda di kulkas. Otak Lynn berkelana, dalam rangka apa Steve berujar maaf padanya. Namun, Lynn tak mengambil pusing hal itu. Lynn mengambil kaleng soda, ikut duduk dihadapan Steve.
"Bagaimana perasaanmu?" Lynn menyelisik ke dalam matanya yang kosong.
"Sedikit lebih baik," balas Steve pelan.
Lynn mengamati rupa Steve, kantung mata terhias di wajahnya, rambutnya terlihat lebih berantakan dibanding terakhir kalinya, mukanya lebih tirus. Lynn meneguk kembali sodanya. Hatinya tersayat, Steve benar-benar mabuk kepayang akan Rose, efek putus dengan Rose benar-benar berpengaruh besar pada diri Steve.
"Aku hanya tak terima diputuskan begitu saja. Aku bahkan tak tahu letak kesalahanku dimana." Steve memainkan kaleng sodanya yang sudah tandas.
"Kau tak memiliki salah apapun," balas Lynn. Rasanya Lynn ingin mengatakan bahwa Rose memang tak pantas untuk Steve, Rose tak pantas mendapat cinta Steve. Namun, kalimat itu hanya menggantung di kepalanya. Dia tak mungkin berani mengatakan hal itu pada Steve.
"Aku bisa membantumu ... move on dari dia!" ujar Lynn
sontak Steve memandangnya. Tatapannya redup, berkabung luka patah hati. Lynn membalas tersenyum, mengangguk menyakinkan Steve bahwa dia benar-benar bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Steve menghela napas kasar. Seluruh jiwanya direbut Rose, apakah masih ada cela melupakannya? Steve bahkan tak yakin dengan dirinya sendiri.
"Kapan kau akan masuk kerja? Kau sudah melebihi masa batas wajar izin sakit." Lynn mengalihkan topik pembicaraan, ditenggaknya kembali sodanya, netranya menatap Steve. Dalam hati, Steve membenarkan ucapan Lynn, atasannya tentu curiga jika Steve menambah masa cuti izinnya lagi. "Besok," balas Steve. "Aku akan menjemputmu besok!" Lynn mengelus punggung tangan Steve. Lagi-lagi Steve hanya menunduk melihat tangan Lynn yang masih mengelus tangannya. Steve bekerja di salah satu cabang perusahaan multinasional, di divisi administrasi keuangan. Sedangkan Lynn berada di divisi manajemen personalia. Steve tengah menikmati sarapan paginya bersamaan dengan Lynn yang datang dengan setelan kantornya. Tak ada pembicaraan berlangsung, Steve menenggak habis segelas susu, meraih tanda pengenalnya dan mengalungkannya di lehernya. Lynn duduk di kursi kemudi, Steve memaksa agar dirinya sa
Steve meraih kacamata di laci yang selalu dipakainya saat bekerja. Netranya mulai fokus menatap di layar monitor. "Jadi, ceritakan!" tuntut Lynn sembari mengunyah nasi pecel lele-nya. Keduanya memutuskan makan siang di luar, tidak terlalu jauh dari kantornya. "Setidaknya biarkan aku makan dulu. Aku lapar!" balas Steve membuat wajah Lynn berkali-kali lipat lebih cemberut dibanding paginya. 15 menit terasa lama bagi Lynn, dia menyedot es teh-nya menatap Steve yang masih menyantap makanannya. Steve tak menggubris Lynn yang sedari tadi menuntut penjelasan. "Ayolah!!" rengek Lynn. Steve tak habis pikir watak Lynn yang satu itu, terlalu penasaran dengan cerita orang terdekatnya. Bahkan Lynn mendapat julukan dari teman-temannya 'ratu kepo dari Belanda' Lynn memang setengah bule setengah indonesia. Namun, Lynn tak peduli dengan julukan itu, menuntaskan rasa penasarann
"Itu karena donatnya gagal move on, hatinya sudah lebur jadi abu. Makanya bolong," jelas Lynn dalam satu tarikan napas.Wajah Steve langsung cengo, gigitan donat dalam mulutnya hampir jatuh. "Teori macam apa itu?" sanggah Steve. "Teori Lynn ulala yang membahanalah!" ujar Lynn dalam satu tarikan kecepatan penuh. "Kau baru saja menyindirku?" Steve menyipitkan mata. "Baguslah kalau kau merasa tersindir," jawab Lynn sambil lalu membawa cangkir teh kosong miliknya dan milik Steve. Steve memandang punggung Lynn yang tengah mencuci cangkir itu lalu meletakkannya di rak samping wastafel. Lynn mengeringkan tangannya kemudian mendekat ke arah meja. "Berikan ponselmu!"Steve melihat Lynn bergantian dengan tangannya yang kini menadah meminta ponsel. "Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Steve membuat bola mata Lynn berputar 360 derajat.
"Tragedi putus!!!"Lynn lantas berujar 'oh' mengingat Jessica adalah tokoh utama dalam cerita Steve kemarin. Wajar saja Lynn lupa, Lynn memang kategori pendengar yang tak menaruh minat pada nama seseorang yang tak dikenalnya. "Jadi, kapan?" tanya Lynn mengambil donat rasa coklat dan mengunyahnya pelan. "Aku akan menceritakannya saat makan siang nanti!" balas Steve sembari berbalik meninggalkan meja Lynn dengan cekikikan melihat wajah cemberut Lynn. Netra Steve kembali fokus dengan layar monitornya, kesibukan kerja mengalihkan pusat pikiran Steve. Beberapa kali, Fianne berbalik ke arahnya untuk berbagi tugas mengerjakan laporan bulanan. "Jadi?" Steve dan Lynn baru saja menyelesaikan makan siangnya, Steve kembali memesan dua cappucino. "Kami sepakat bertemu di malam minggu," jawab Steve lalu menyesap cappucino-nya.
"Karena aku sudah memakai lipstik, maka kamu harus ...." Lynn berjinjit di hadapan Steve, melupakan sambungan ucapannya. Sedangkan, Steve mematung di tempat mendapati Lynn tengah menyapu kuas lipgloss di bibir bawah Steve. Jarak keduanya hanya tersisa beberapa senti saja, seorang pelanggan yang lewat di hadapan Steve sontak kaget, Steve menduga bahwa pelanggan itu mendapat perspektif pandang yang salah, mengira Steve dan Lynn tengah berciuman. "Wuah!" puji Lynn menatap warna softpink lipstik itu di bibir Steve. Lynn lantas mengambil lipstik baru yang sama. Steve masih dalam diamnnya sembari mengusap bibirnya, menghapus warna lipstik tadi. "Aku lapar," ujar Lynn lantas menarik tangan Steve menuju restoran mal di lantai tiga. Lynn memang tampak terlihat biasa saja. Namun jantungnya sudah berdegup kencang, Lynn juga tak mengerti darimana dia mendapatkan keberanian untuk melakukan hal tadi, Lynn meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya
Steve menyaksikan punggung Jessica yang berlalu dan mulai menerka-nerka yang mana mobil Jessica.Steve menganga di tempat melihat Jessica dengan mobil Porsche putihnya, sangat kontras di malam yang pekat. Steve tersadar kala Jessica membunyikan klakson untuknya, tangan Steve terangkat melambai ke arah Jessica. Steve berbalik menuju mobilnya yang masih berdecak mengagumi mobil Jessica. Dalam hati, Steve merasa tidak sepadan dengan Jessica jelas bahwa perbedaan gaya kehidupan dan selera keduanya. Steve memang berasal dari kalangan atas. Namun Steve tak memegang prinsip untuk memamerkan hartanya. Steve lebih menyimpan uangnya yang menurutnya akan berguna untuk masa depan. Rumah Steve bahkan bisa dibilang sederhana dengan gaya interior klasik. Ayah Steve pernah menyuruh Steve mengubah gaya rumahnya, tapi Steve menolaknya mentah-mentah, selain menghamburkan uang, Steve juga sudah merasa nyaman dengan rumahnya. Berbeda dengan rumah orang tuanya yang glamor.
"Lynn baik-baik saja, kan?" tanya Leiss kala mendapati Steve yang tengah melangkah masuk ruangannya. Steve hanya mengangguk sekilas dan tersenyum ke arah Leiss. Wanita itu langsung mengelus dada disertai helaan napas lega. "Aku tentunya akan menyalahkan diriku sendiri telah membiarkan Lynn pulang mengemudi sendiri. Syukurlah kalau dia baik-baik saja!. Aku terlalu khawatir saat melihatnya mual tadi pagi," jelas Leiss kemudian berbalik menuju mejanya. Steve menatap kursi kosong Lynn lalu menghela napas berat. Fianne yang cukup peka dengan situasi tak bertanya apapun pada Steve. Padahal, wanita itu biasanya tak berhenti mencerocos. Getaran di saku jas Steve mengintrupsinya, Steve merogoh sakunya mendapati pesan singkat dari Jessica. [Hai! Apa kabar?] Steve meletakkan ponselnya di meja tanpa niat membalasnya. Matanya berfokus di layar moni
"Kau pecinta seni?" tanya Jessica. "Hm, sepertinya begitu," jawab Steve.Hening kembali mengudara. "Aku ingin mengajakmu keluar!" ujar Jessica kemudian menatap manik mata Steve "Tentu. Kau punya tempat pilihan?" Senyum Jessica mengembang mendengar nada antusias Steve. "Tidak. Terserah saja kemana nantinya kita pergi!" jawab Jessica diakhiri kekehan kecilnya. Steve beranjak berdiri menuju kamarnya meraih jaket dan kunci mobil lalu Jessica menyampirkan tas kecilnya di bahu. Keduanya berjalan beriringan keluar pintu. "Maaf, tak se-mewah Porsche-mu!" ungkap Steve sembari membukakan pintu mobil untuk Jessica. "Jangan membandingkan, Steve! Aku tentu tak mempermasalahkan hal itu," ujar Jessica kemudian masuk dalam mobil. Mobil Steve pun melaju menuju alun-alun kota. "Kenapa kau tak ja
"Aku menolak."Rahang Steve terbuka. Apa yang baru saja dia dengar? Sebuah penolakan? Hell no."Kamu ...."Rose tersenyum kecil, kening Steve berkerut dibuatnya. Gelak tawanya terasa ingin meledak."Aku menolak menikahi pria lain selain Steve Robinson."Seketika tawa Rose meledak. Wajah cengo Steve jauh lebih buruk dibanding ekspresi kagetnya sebelumnya.Rose menepuk pipi Steve pelan, menyadarkan keterkejutannya. "Steve!""Maksudmu?"Ucapan Steve spontan membuat Rose memutar bola mata, merasa gemas dengan Steve."You look like an idiot. Just give me a propose, that is all you should do. Right now, in here!"(Kamu terlihat seperti idiot. Lamarlah aku, satu hal yang harus kamu lakukan sekarang.)Mata Steve berkilat-kilat. Diraihnya jemari Rose, menggenggamnya erat, lalu menciumi punggung tangannya lembut.Steve mengatur napasnya. "Roseletta Lee, menikahlah denganku."Sudut bibir Rose kian tertar
[Tepati ucapanmu semalam]Steve membaca pesan masuk. Dia tersenyum tipis. Dia pun menggeletakkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan Rose.Steve mengatur napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Hanya mengenakan pakaian kasual agar memberinya kesan santai, tapi wajahnya kendati demikian nampak tegang.Meraih kunci mobil di nakas, mengayun-ayunkannya di telunjuknya, ponsel yang hanya diselipkan di saku. Tak lama ponselnya ikut bergetar. Tertera nama Rose di sana.[Kamu akan berangkat, kan?]"Kau mengira aku ini apa? Tentu saja aku menepati omonganku. Namun ...."[Apa ada masalah, Steve?]Helaan napas berat lolos di bibir Steve."Kau benar-benar tak ingin menemaniku?"Rose menggigit pelan bibir bawahnya, dia bisa saja terlena dengan suara lesu Steve, tapi dia berusaha menahan diri.[Bukankah lebih baik jika kalian mengobrol empat mata?]Lagi dan lagi, Rose mendengar helaan napas di seberang.
Sore itu, Rose memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Mobilnya berbelok memasuki kawasan kompleks perumahan Steve."Hai," sapa Rose saat pintu terbuka. Pria itu hanya tersenyum lebar, tapi Rose tahu sesuatu tengah menjanggal pikiran kekasihnya.Rose membalas tersenyum seraya menyelonong masuk rumah Steve."Ada apa kemari?" tanya Steve sedikit kikuk."Ada apa kemari?" ulang Rose. "Apa salah jika seorang pacarmu mendatangi rumahmu?"Steve menggelar tawa kecil sesaat sambil menekan pangkal hidungnya. "Bukan itu maksudku—""Terus?" Rose memangku dagu, tersenyum geli mendapati wajah kejut Steve.Sejenak kemudian, Steve memutar bola mata, sedang Rose sudah tertawa menyisakan garis lurus di matanya. Rose berpindah duduk di samping Steve. Menatap sejenak iris mata Steve, lalu menghembuskan napas."Kapan kamu akan mene
[Aku di perjalanan menuju rumahmu sekarang.]Lynn membaca pesan masuk dari Rose. Senyumnya terukir, senang rasanya bisa dimaafkan walau dia masih bisa belum bisa memaafkan dirinya seutuhnya.Lynn meletakkan ponsel di pangkuannya. Akhir-akhir ini, halaman belakang menjadi tempat favoritnya terlebih saat menjelang sore. Di dalam rumah hanya makan dan tidur saja, sisanya dia habiskan di taman, memandang air mancur lekat-lekat, atau hanya memejamkan mata menikmati semilir angin yang tak menenangkan gundahnya sedikitpun.Suara bel pintu terdengar. Rose sudah tiba.[Aku di halaman belakang.]Lynn mengirim pesan. Selang beberapa menit, Rose muncul. Kemeja kedodorannya berkibar-kibar seiring langkah besar-besarnya. Rambut pirangnya dikuncir rendah, nampak berkilau saat mentari sore menyoroti.Rose tersenyum lebar. "Hai!" Dia beralih duduk di bangku panjang depan Lynn. Kotak yang ditentengnya tadi dibuka dari kantongnya."Apa kabarmu?" tanyanya
Lynn terduduk termangu, memandang kosong air mancur di halaman belakang rumahnya. Airnya berkilau seiring gemerlap lampu yang menyinari. Biasanya air mancur itu akan menenangkannya, deru airnya yang mengalun layaknya melodi yang indah, tapi kali ini tidak. Lynn tak merasakan ketenangan secuil pun.Jeff muncul dengan mug di tangan. Dadanya berdesir cemas melihat orang yang dicintainya masih terpuruk duka. Dia tahu betul bagaimana Lynn yang kini merasa hidup dalam bayang-bayang dosanya. Wanita itu belum memaafkan dirinya atas apa yang telah diperbuatnya."Kamu tak kedinginan?" Jeff memaksakan senyum tipisnya, dia menyodorkan mug berisi cokelat panas.Lynn membalas senyum Jeff kikuk. Dia menerima gelas itu, menghirup aroma manis dan wangi, tapi dia tak meminumnya. Dia hanya menggenggam mug itu, menatap kepulan kecil yang mengudara."Kamu tak boleh terus menerus seperti ini, Lynn. Bagaimanapun, kamu tetap harus melanjutkan hidup setelah—""Pantas
"Apa kabar, Rose?"Rose melirik ke arah Steve sebelum dia menjawab, "Lebih buruk!"Dia merasa lebih buruk, dia baru saja mendapat ingatannya dan Lynn menemuinya di hari itu juga. Sebut saja jackpot sialan."Maaf, aku baru menemuimu hari ini ...." Kalimat Lynn tercekat. Dia akui dirinya seperti pengecut. Terlalu takut dan malu menemui Rose.Rose melirik Steve dan pria di seberang kursi. Steve mengangguk kecil memahami arti tersirat tatapan Rose. Wanita itu ingin berempat mata saja dengan Lynn.Steve beranjak dari duduknya, merangkul Jeff meninggalkan ruangan itu. Sebelum Jeff benar-benar pergi, dia melirik Lynn seolah meyakinkan wanita itu akan baik-baik saja.Roe mengatur napasnya, berpindah duduk di samping Lynn yang duduk di kursi roda."Aku menyesal," lirih Lynn menatap Rose dan menunduk lagu.Rose memaksakan senyum tipisnya. Jika dia mau, dia bisa membalas perbuatan Lynn. Namun, dia enggan. Melihat kondisi Lynn yang cacat sep
Kepalanya terasa disengat dan diikuti pukulan-pukulan yang mendentum. Sakitnya menyerangnya, hingga Rose lupa apa dia masih hidup atau mati.Sebelum penglihatannya gelap, dia menyerukan nama Steve.Lalu dia tersadar.Rose berada pada ruangan putih, sangat luas. Tak ada seorang pun disana selain dirinya. Rose berputar, barangkali dia akan menemukan pintu. Namun, tidak ada sama sekali."Apa aku sudah mati? Apa ini surga?" tanya Rose. Tapi itu terdengar mustahil baginya. Dia tak mungkin mati semudah itu. Mati karena menabrak pembatas jalan? Bah, keren sekali! Batin Rose.Lalu, dia memeriksa pakaiannya. Kalau dia mati, harusnya pakai putih-putih, tapi dia justru berbalut kaus kuning pucat dan legging, pakaian olahraganya tadi.Cahaya silau berpendar, dan dentum di kepalanya mendera."Akh!"Rose menahan kepalanya yang serasa ingin meledak. Dia berlutut. Lama-kelamaan dia bergelung di lantai putih itu."Kalau aku t
Steve kian mendekap tubuh bergetar Rose, mengecup pucuk kepalanya setidaknya menenangkan wanita itu. Namun, tidak tenang sama sekali."Jangan paksakan dirimu," lirih Steve."Aku tak bisa seperti ini, Steve. Aku ... tersiksa!" ujarnya dengan suara terputus-putus.Steve memindahkan Rose ke ranjang, mengusap pipi Rose yang basah."Kau tentu akan mengingatnya!" ucap Steve, terdengar yakin. Namun, dia sendiri meragukannya.Rose tak menyahut lagi, dia masih terisak-isak. Ucapan terakhir Steve tak menenangkan sedikitpun baginya, justru dia muak mendengar kalimat itu. Dia akan mengingatnya, tapi kapan? Itu membuat Rose kian tersiksa."Tinggalkan aku sendiri," lirih Rose sambil menepis pelan tangan Steve di pipinya."Rose–""Keluar," katanya, "aku ingin sendiri!"Steve menghela napas. "Berjanji padaku, kau tak akan mengacau seperti itu!"Rose tak menggubrisnya. Dia merasa kesal dengan Steve."Aku tak akan kelu
Malam itu, Rose termenung dalam kamarnya, jendela sengaja dia buka, rembulan bersinar masuk dalam kamarnya yang gelap itu, Rose sengaja mematikan lampunya.Dia menyandarkan punggungnya di dinding, semilir angin menerpa menembus tulang. Rambutnya yang melorot terumbai-umbai.Rose memejamkan matanya, berusaha mengingat kembali ingatan yang dilupakannya. Dia mulai tersiksa dengan ketidaktahuan peristiwa yang dia alami."Argh!" erang Rose frustrasi, dia tak mengingatnya.Dia mengacak rambutnya, cepolan rambutnya sudah terurai dan nampak kian semrawut.Rose mengulangnya kembali. Memfokuskan titik pencariannya.Gelap.Suara datang bergemuruh.Gelap."Argghhh!"Deru napas Rose memburu, dia menyapu alat-alat kosmetiknya di meja rias, menendang kursi riasnya terpelanting menabrak pintu hingga terdengar suara gebuman."Kenapa aku tak bisa mengingatnya!" Rose menatap pantulan bayangannya di cermin yang kini tampak menye