Steve menyaksikan punggung Jessica yang berlalu dan mulai menerka-nerka yang mana mobil Jessica.
Steve menganga di tempat melihat Jessica dengan mobil Porsche putihnya, sangat kontras di malam yang pekat. Steve tersadar kala Jessica membunyikan klakson untuknya, tangan Steve terangkat melambai ke arah Jessica.Steve berbalik menuju mobilnya yang masih berdecak mengagumi mobil Jessica. Dalam hati, Steve merasa tidak sepadan dengan Jessica jelas bahwa perbedaan gaya kehidupan dan selera keduanya. Steve memang berasal dari kalangan atas. Namun Steve tak memegang prinsip untuk memamerkan hartanya. Steve lebih menyimpan uangnya yang menurutnya akan berguna untuk masa depan. Rumah Steve bahkan bisa dibilang sederhana dengan gaya interior klasik. Ayah Steve pernah menyuruh Steve mengubah gaya rumahnya, tapi Steve menolaknya mentah-mentah, selain menghamburkan uang, Steve juga sudah merasa nyaman dengan rumahnya. Berbeda dengan rumah orang tuanya yang glamor.
Steve memutuskan untuk mampir di rumah Lynn. Namun, kembali diurungkannya. Barangkali, Lynn sudah tidur, pikir Steve.
*****
Senin, pukul 7.00
Steve hendak menjemput Lynn namun mobil Lynn sudah tidak ada di halaman rumah Lynn. Steve menghela napas kemudian melajukan mobilnya. Steve buru-buru masuk men-scan kartu identitasnya. Lalu, Steve langsung berjalan cepat menuju meja Lynn mengabaikan panggilan Fianne.
"Lynn," sapa Steve.
Lynn yang sedang berbincang dengan Leiss lantas berbalik."Hai, Steve!" balas Lynn.
"Kau baik-baik saja, kan?" tanya Steve.
"Ya, seperti yang kau lihat!" Lynn tersenyum.
Steve memandang Lynn yang memang nampak seperti biasa, senyum ceria, dan cekikikannya."Maafkan aku membuatmu khawatir malam itu," ujar Lynn dengan suara rendah seolah takut jika Leiss mendengar ucapannya.
Steve hanya mengangguk.
"Kau punya waktu nanti malam?" tanya Lynn.
"Tentu," balas Steve kemudian berlalu meninggalkan ruangan Lynn.
Steve yang baru saja mendaratkan diri di kursi terkejut akan suara histeris yang berasal dari luar ruangannya. Fianne saja langsung berdiri, "Ada apa? Apa yang terjadi?"
Steve melangkah keluar dari ruangannya dan hampir saja bertubrukan dengan karyawan lain yang berlari lewat hadapannya. Steve melihat satu persatu karyawan berlari keluar meninggalkan mejanya. Steve sontak menatap pintu keluar yang sesak dengan manusia, lagi-lagi suara histeris karyawan wanita menggema. Kemudian, Steve ikut mengamati apa yang terjadi di luar. Namun terhalang dengan kepala-kepala orang lain. Samar-samar Steve mendengar ucapan histeris seorang wanita dan bisik-bisikan karyawati.
"Lantai 20?"
"Ugh, menjijikkan!"
"Apa yang terjadi?" tanya Steve tiba-tiba menangkap bahu seseorang yang sepertinya sudah menyaksikan peristiwa di luar.
"Bobin melompat dari lantai 20," jawab pria tersebut.
Mata Steve langsung membelalak kemudian menerobos kerumunan tak dihiraukannya kalimat umpatan karyawan lain.
Steve menganga di tempat, tubuh gempal Bobin berlumur darah dengan mata yang melotot tepat menatap Steve yang kini sudah berdiri kaku. Steve mendongak ke atas melihat semua balkon gedung dipenuhi karyawan. Tak menutup kemungkinan organ-organ vital Bobin hancur seketika. Terlebih, Bobin justru mendarat di taman gedung lantai satu. Bunga-bunga yang bermekaran hancur tertimpa tubuh Bobin dan berlumuran darah. Netra Steve menatap cabang pohon yang penuh dengan darah, berarti Bobin tersangkut di pohon kemudian mendarat lagi ke tanah. Bunyi sirene ambulan yang beberapa menit lalu samar-samar terdengar kian mendekat dan diikuti mobil polisi.
"Minggir! Minggir!" teriak polisi tersebut sembari memasang pita garis polisi di area Bobin. Dua polisi masuk dengan seorang detektif berlari masuk menuju lantai 20. Di sisi lain, petugas medis mengangkat tubuh gempal Bobin dan petugas lain mulai membawa brankar dorong memasuki ambulan lalu mobil itu kembali melaju menuju rumah sakit.
"Silahkan bubar!!" teriak Yosen, atasan Steve. Kerumunan di area taman berangsur-angsur hening. Steve sendiri sedari tadi masuk menyaksikan Fianne yang masih menganga dan tak berkedip.
"Terdengar mustahil jika Bobin bunuh diri, aku bertemu dengannya di ruang Pak Yosen kemarin. Mukanya nampak berseri dengan celoteh khasnya," ujar Fianne mengingat pertemuan terakhirnya dengan Bobin.
Steve hanya mengedikkan bahu tak membalas ucapan Fianne. Jemarinya kembali mengetik laporan yang tertunda. Diluar ruangan sudah nampak biasa-biasa saja, seolah sedang tak terjadi apa-apa tadi pagi."Tidak makan diluar?" tanya Steve merebut jas kantornya, melirik bekal Fianne yang lagi-lagi hanya sayur.
"Tidak ada kata makan diluar selama Fianne bawa bekal!" balas Fianne menyendok salad sayurnya.
Steve memaksakan senyumnya lalu keluar dari ruangannya langsung berbelok menuju ruangan Lynn."Lynn izin pulang beberapa jam lalu," ucap Leiss kala mendapati Steve yang masuk memanggil nama Lynn.
"Kenapa?" tanya Steve.
"Dia merasa tak enak badan dan merasa mual," jelas Leiss lalu beranjak keluar.
Steve berbalik hendak keluar juga, tapi netranya tak sengaja menangkap botol pil kaca di atas meja Lynn dengan tutup yang terbuka. Steve langsung berlari keluar, menuju parkiran kemudian melajukan mobilnya dalam kecepatan tinggi.
**
"Lynn?" Steve langsung memasuki rumah Lynn kala mendapati rumah itu dalam keadaan tak terkunci. Steve mengetuk pelan pintu kamar Lynn yang kemudian menampakkan sosok pucat Lynn yang masih mengenakan setelan kantornya. Steve langsung menerobos masuk tanpa izin dahulu oleh Lynn, mengamati tubuh lemas Lynn.
"Kenapa kau kemari?" balas Lynn yang kini tengah berdiri di depan jendelanya.
"Aku mengkhawatirkanmu."
"Aku baik-baik saja. Kembalilah ke kantor," jawab Lynn yang masih menatap pemandangan luar jendela.
"Kau tentu tak baik-baik saja!" ujar Steve memperlihatkan botol pil kaca milik Lynn.
Lynn membuang muka setelah melihat botol pil kaca di telapak tangan Steve. Lynn masih terdiam.
"Kau menyembunyikan sesuatu dariku," lanjut Steve
lembut meraih tangan Lynn, seketika hening mengudara. Lynn lantas melepaskan tangannya berbalik duduk di ranjangnya."Trauma," jawab Lynn menunduk.
Steve mendekati Lyn, duduk di sampingnya. Dilihatnya Lynn yang nampak gusar, kedua tangannya meremas-remas sprei. Mata Lynn mulai memerah, deru napasnya mengencang."Tidak perlu." Lynn menggelengkan kepala menolak tawaran Steve yang menyodorkan pil penenang. Lynn kembali menghela napas.
"Mobil kami kecelakaan ...." Lynn terdiam.
Steve meraih tangan Lynn, menggenggamnya."Aku membunuh kakakku, aku memaksanya menemaniku ke taman hiburan ... Mobil kami mengalami kecelakaan di perempatan ...." Lynn menunduk lesu, bulir-bulir air matanya mulai runtuh satu-persatu.
"Kakakku Cassandra meninggal di tempat, dia melindungiku dari serpihan kaca. Aku masih berumur 14 tahun."
"Tapi, kau–"
"Benar, aku memang anak tunggal sekarang," potong Lynn seolah mengerti pertanyaan Steve.
"Aku menjalani terapi hampir dua tahun, kecelakaan hari itu berpengaruh besar terhadap psikis dan mentalku, bahkan aku hampir dititpkan di rumah sakit jiwa. Orang tuaku kalang kabut ...." Ucapan Lynn menggantung tak kuasa melanjutkan kembali, kedua matanya kembali bergenang air mata, tangannya yang bebas genggaman mengepal.
Tangan kanan Steve terangkat menarik Lynn dalam pelukannya dan Lynn mulai terisak, bahu Lynn bergetar. Steve menepuk-nepuk pelan punggung Lynn. Hanya ada suara isakan Lynn dalam keheningan keduanya. Isakan Lynn bertahan kurang lebih dua belas menit tetiba Lynn jatuh tertidur dalam dekapan Steve. Steve langsung panik mengira Lynn pingsan, tapi melihat deru napas Lynn yang teratur membuatnya menghela napas.
Steve pelan membaringkan tubuh Lynn, melepas sandal rumah Lynn lalu menaikkan kedua kaki Lynn di atas ranjang. Steve menatap wajah sembab Lynn, masih terdengar isakan kecilnya. Tangan Steve tetiba terangkat mengelus wajah Lynn. Entah kenapa Steve juga ikut merasa hancur terlebih melihat wajah penderitaan Lynn yang selalu Lynn tutupi dengan kecerewetannya.
Steve kemudian mengecup kening Lynn lalu beranjak keluar dari kamar Lynn, kembali menuju kantornya, Steve sudah melewati batas waktu istirahat sepuluh menit.
"Lynn baik-baik saja, kan?" tanya Leiss kala mendapati Steve yang tengah melangkah masuk ruangannya. Steve hanya mengangguk sekilas dan tersenyum ke arah Leiss. Wanita itu langsung mengelus dada disertai helaan napas lega. "Aku tentunya akan menyalahkan diriku sendiri telah membiarkan Lynn pulang mengemudi sendiri. Syukurlah kalau dia baik-baik saja!. Aku terlalu khawatir saat melihatnya mual tadi pagi," jelas Leiss kemudian berbalik menuju mejanya. Steve menatap kursi kosong Lynn lalu menghela napas berat. Fianne yang cukup peka dengan situasi tak bertanya apapun pada Steve. Padahal, wanita itu biasanya tak berhenti mencerocos. Getaran di saku jas Steve mengintrupsinya, Steve merogoh sakunya mendapati pesan singkat dari Jessica. [Hai! Apa kabar?] Steve meletakkan ponselnya di meja tanpa niat membalasnya. Matanya berfokus di layar moni
"Kau pecinta seni?" tanya Jessica. "Hm, sepertinya begitu," jawab Steve.Hening kembali mengudara. "Aku ingin mengajakmu keluar!" ujar Jessica kemudian menatap manik mata Steve "Tentu. Kau punya tempat pilihan?" Senyum Jessica mengembang mendengar nada antusias Steve. "Tidak. Terserah saja kemana nantinya kita pergi!" jawab Jessica diakhiri kekehan kecilnya. Steve beranjak berdiri menuju kamarnya meraih jaket dan kunci mobil lalu Jessica menyampirkan tas kecilnya di bahu. Keduanya berjalan beriringan keluar pintu. "Maaf, tak se-mewah Porsche-mu!" ungkap Steve sembari membukakan pintu mobil untuk Jessica. "Jangan membandingkan, Steve! Aku tentu tak mempermasalahkan hal itu," ujar Jessica kemudian masuk dalam mobil. Mobil Steve pun melaju menuju alun-alun kota. "Kenapa kau tak ja
"Dua gelas wine," ujar Jessica. Steve menatap sekitar menyaksikan sekumpulan orang berjoget kesetanan, dentuman lagu terasa memecahkan kepala. Lalu, Steve bergeleng-geleng kepala melihat beberapa pasangan yang berhubungan intim secara buka-bukaan. Jessica menyodorkan segelas wine. Steve menatap bergantian wajah Jessica dan wine di tangannya. Jessica menatap balik Steve seolah menyiratkan kalimat, 'Ambillah!'. Steve mengambil wine tersebut. Steve meneguknya dan langsung berkecut muka. Dua hal yang paling dibenci Steve, klub malam dan kepopuleran. Namun, malam ini Steve terpaksa menginjakkan kaki di tempat laknat ini demi Jessica. "Pertama kalinya?" tanya Jessica lantas menenggak habis wine-nya. Steve mengerutkan kening tak dapat menangkap ucapan Jessica akibat ributnya suara musik. Jessica tertawa kecil lalu menjulurkan badannya ke arah Steve, mengalungkan kedua len
"Entahlah ... terkadang. Aku tak memahami Jessica, sebentar-sebentar dia tampak bagai wanita yang memang kuidamkan. Namun dia kadang bertingkah sebaliknya, wanita yang liar. Terkadang, aku jatuh hati padanya, terkadang pula aku merasa menyesal mendekatinya," jelas Steve. "Aku bahkan ragu akan perasaanku padanya," tambah Steve. Lynn menatap Steve, jelas sudah raut kebingungan di wajah Steve. Lynn hanya menghela napas, merasa lega dan gusar sekaligus. Dia bagai pecundang. "Kau sudah bertemu dengannya?"Steve hanya menatap Lynn tanpa membalasnya. "Belum. Dia hanya menelponku semalam, nada bicaranya sedikit marah."Lynn mengerutkan kening lalu tertawa. "Wanita siapa yang tak marah jika ditinggal sendiri di klub tanpa pamit?" sindir Lynn. Dalam hati, Lynn bersorak senang. Steve lebih memedulikan dirinya dibanding Jessica. "Ya
"Steve!" Lynn yang bediri di depan pintu rumah Steve, melihat Steve yang berjalan menunduk lesu. "Kau darimana?" Lynn mengamati raut muka Steve yang sudah murung di pagi itu. Steve tak menggubris pertanyaan Lynn lalu berlalu di hadapannya mendorong pintu. Lynn mengikut di belakangnya, Steve menghempaskan diri di sofa menerawang ke langit-langit rumahnya. Lynn hanya mengamati Steve, menunggunya membuka mulut. "Aku baru saja bertemu dengan Jessica!" Steve menghela napas, terdengar berat. "Dia benar-benar marah padaku. Bahkan mengataiku pria tak tahu diri, pria tak peka. Padahal selama ini aku terus mencoba memahaminya, memaklumi kegilaannya. Rose saja tak pernah mengeluh ...." Steve tersedak dengan omongannya sendiri, dia mengacak rambutnya. Dalam keadaan genting seperti ini mengapa Steve harus teringat dengan mantan kekasihnya, Rose. Dalam beberapa detik hening mengudara. &
"Kau mengagetkanku!" Lynn memegang dadanya. Dia memang berdiri membelakangi pintu masuk, tanpa tahu Steve sedari tadi berdiri mengamatinya dan mengisenginya dengan menepuk bahunya. "Maafkan aku!" ucap Steve sembari tertawa melihat kekagetan Lynn. Keduanya berjalan berdampingan keluar, Steve merogoh sakunya, mencari kunci mobilnya. Sore itu, Lynn pulang bersama dengan Steve, Lynn memang sengaja tak membawa mobil ke kantor. "Mampir makan?" tawar Steve. Lynn yang memang belum lapar hanya menggeleng membalasnya. Mobil Steve melaju menuju rumah Lynn. "Mau kujemput besok?" tawar Steve. "Tak perlu!" balas Lynn lalu beranjak turun dari mobil. Steve menurunkan kaca mobilnya, matanya mengikuti langkah Lynn memasuki halaman rumahnya. Steve mengerutkan kening melihat langkah Lynn terhenti. Tiba-tiba Lynn menjerit, jatuh terduduk di ha
"Rahasia," jawab Lynn dengan senyum yang terpaksa. Steve menaikkan satu alisnya lalu tertawa kecil menggeleng-gelengkan kepala. Pesanan Steve dan Lynn baru saja datang, keduanya menyantapnya dalam diam. "Biarkan aku membayarnya kali ini, Steve," ucap Lynn sembari menahan tangan Steve yang sedang menyodorkan kartu debit pada pelayan. Steve mengerutkan kening menatap Lynn. "Kumohon!" pinta Lynn. Steve hanya menghela napas lalu menatap sekilas pelayan yang menyaksikannya, lalu Steve menarik tangannya. Lynn lantas merogoh tas kecilnya tersenyum menyodorkan dua lembar uang seratus. "Sisanya ambil saja!" pelayan tersebut tersenyum menundukkan kepala lalu berbalik. "Temani aku belanja nanti sepulang kerja. Tak ada penolakan!" titah Lynn. "Kapan aku menolakmu? Menolak perintahmu!" balas Steve terkekeh kecil.  
"Mau bermain game?" tawar Steve. Lynn mengangguk lalu keduanya berlari menuju ruang keluarga. Keduanya memainkan game yang sangat mudah dimenangkan. Namun Lynn tak pernah bisa memenangkannya. Lynn berdecak sebal, Steve benar-benar tak memberinya celah untuk menang. "Biarkan aku menang kali ini, Steve!" rajuk Lynn. Steve tertawa bahkan mengusap sudut matanya yang berair. Lalu membiarkan Lynn menang. Lynn bersorak senang bahkan melompat-lompat akhirnya menang juga. Steve tiba-tiba menarik tangan Lynn menyuruhnya diam. Keduanya menajamkan pendengarannya. Steve lantas bangkit menuju pintu, tampak terdengar suara seseorang yang mengetuk pintu padahal waktu sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Steve membuka pelan pintunya dan terkejut setelahnya. "Jessica?" Steve membatu di tempat mendapati Jessica yang berdiri menatapnya. Steve b
"Aku menolak."Rahang Steve terbuka. Apa yang baru saja dia dengar? Sebuah penolakan? Hell no."Kamu ...."Rose tersenyum kecil, kening Steve berkerut dibuatnya. Gelak tawanya terasa ingin meledak."Aku menolak menikahi pria lain selain Steve Robinson."Seketika tawa Rose meledak. Wajah cengo Steve jauh lebih buruk dibanding ekspresi kagetnya sebelumnya.Rose menepuk pipi Steve pelan, menyadarkan keterkejutannya. "Steve!""Maksudmu?"Ucapan Steve spontan membuat Rose memutar bola mata, merasa gemas dengan Steve."You look like an idiot. Just give me a propose, that is all you should do. Right now, in here!"(Kamu terlihat seperti idiot. Lamarlah aku, satu hal yang harus kamu lakukan sekarang.)Mata Steve berkilat-kilat. Diraihnya jemari Rose, menggenggamnya erat, lalu menciumi punggung tangannya lembut.Steve mengatur napasnya. "Roseletta Lee, menikahlah denganku."Sudut bibir Rose kian tertar
[Tepati ucapanmu semalam]Steve membaca pesan masuk. Dia tersenyum tipis. Dia pun menggeletakkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan Rose.Steve mengatur napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Hanya mengenakan pakaian kasual agar memberinya kesan santai, tapi wajahnya kendati demikian nampak tegang.Meraih kunci mobil di nakas, mengayun-ayunkannya di telunjuknya, ponsel yang hanya diselipkan di saku. Tak lama ponselnya ikut bergetar. Tertera nama Rose di sana.[Kamu akan berangkat, kan?]"Kau mengira aku ini apa? Tentu saja aku menepati omonganku. Namun ...."[Apa ada masalah, Steve?]Helaan napas berat lolos di bibir Steve."Kau benar-benar tak ingin menemaniku?"Rose menggigit pelan bibir bawahnya, dia bisa saja terlena dengan suara lesu Steve, tapi dia berusaha menahan diri.[Bukankah lebih baik jika kalian mengobrol empat mata?]Lagi dan lagi, Rose mendengar helaan napas di seberang.
Sore itu, Rose memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Mobilnya berbelok memasuki kawasan kompleks perumahan Steve."Hai," sapa Rose saat pintu terbuka. Pria itu hanya tersenyum lebar, tapi Rose tahu sesuatu tengah menjanggal pikiran kekasihnya.Rose membalas tersenyum seraya menyelonong masuk rumah Steve."Ada apa kemari?" tanya Steve sedikit kikuk."Ada apa kemari?" ulang Rose. "Apa salah jika seorang pacarmu mendatangi rumahmu?"Steve menggelar tawa kecil sesaat sambil menekan pangkal hidungnya. "Bukan itu maksudku—""Terus?" Rose memangku dagu, tersenyum geli mendapati wajah kejut Steve.Sejenak kemudian, Steve memutar bola mata, sedang Rose sudah tertawa menyisakan garis lurus di matanya. Rose berpindah duduk di samping Steve. Menatap sejenak iris mata Steve, lalu menghembuskan napas."Kapan kamu akan mene
[Aku di perjalanan menuju rumahmu sekarang.]Lynn membaca pesan masuk dari Rose. Senyumnya terukir, senang rasanya bisa dimaafkan walau dia masih bisa belum bisa memaafkan dirinya seutuhnya.Lynn meletakkan ponsel di pangkuannya. Akhir-akhir ini, halaman belakang menjadi tempat favoritnya terlebih saat menjelang sore. Di dalam rumah hanya makan dan tidur saja, sisanya dia habiskan di taman, memandang air mancur lekat-lekat, atau hanya memejamkan mata menikmati semilir angin yang tak menenangkan gundahnya sedikitpun.Suara bel pintu terdengar. Rose sudah tiba.[Aku di halaman belakang.]Lynn mengirim pesan. Selang beberapa menit, Rose muncul. Kemeja kedodorannya berkibar-kibar seiring langkah besar-besarnya. Rambut pirangnya dikuncir rendah, nampak berkilau saat mentari sore menyoroti.Rose tersenyum lebar. "Hai!" Dia beralih duduk di bangku panjang depan Lynn. Kotak yang ditentengnya tadi dibuka dari kantongnya."Apa kabarmu?" tanyanya
Lynn terduduk termangu, memandang kosong air mancur di halaman belakang rumahnya. Airnya berkilau seiring gemerlap lampu yang menyinari. Biasanya air mancur itu akan menenangkannya, deru airnya yang mengalun layaknya melodi yang indah, tapi kali ini tidak. Lynn tak merasakan ketenangan secuil pun.Jeff muncul dengan mug di tangan. Dadanya berdesir cemas melihat orang yang dicintainya masih terpuruk duka. Dia tahu betul bagaimana Lynn yang kini merasa hidup dalam bayang-bayang dosanya. Wanita itu belum memaafkan dirinya atas apa yang telah diperbuatnya."Kamu tak kedinginan?" Jeff memaksakan senyum tipisnya, dia menyodorkan mug berisi cokelat panas.Lynn membalas senyum Jeff kikuk. Dia menerima gelas itu, menghirup aroma manis dan wangi, tapi dia tak meminumnya. Dia hanya menggenggam mug itu, menatap kepulan kecil yang mengudara."Kamu tak boleh terus menerus seperti ini, Lynn. Bagaimanapun, kamu tetap harus melanjutkan hidup setelah—""Pantas
"Apa kabar, Rose?"Rose melirik ke arah Steve sebelum dia menjawab, "Lebih buruk!"Dia merasa lebih buruk, dia baru saja mendapat ingatannya dan Lynn menemuinya di hari itu juga. Sebut saja jackpot sialan."Maaf, aku baru menemuimu hari ini ...." Kalimat Lynn tercekat. Dia akui dirinya seperti pengecut. Terlalu takut dan malu menemui Rose.Rose melirik Steve dan pria di seberang kursi. Steve mengangguk kecil memahami arti tersirat tatapan Rose. Wanita itu ingin berempat mata saja dengan Lynn.Steve beranjak dari duduknya, merangkul Jeff meninggalkan ruangan itu. Sebelum Jeff benar-benar pergi, dia melirik Lynn seolah meyakinkan wanita itu akan baik-baik saja.Roe mengatur napasnya, berpindah duduk di samping Lynn yang duduk di kursi roda."Aku menyesal," lirih Lynn menatap Rose dan menunduk lagu.Rose memaksakan senyum tipisnya. Jika dia mau, dia bisa membalas perbuatan Lynn. Namun, dia enggan. Melihat kondisi Lynn yang cacat sep
Kepalanya terasa disengat dan diikuti pukulan-pukulan yang mendentum. Sakitnya menyerangnya, hingga Rose lupa apa dia masih hidup atau mati.Sebelum penglihatannya gelap, dia menyerukan nama Steve.Lalu dia tersadar.Rose berada pada ruangan putih, sangat luas. Tak ada seorang pun disana selain dirinya. Rose berputar, barangkali dia akan menemukan pintu. Namun, tidak ada sama sekali."Apa aku sudah mati? Apa ini surga?" tanya Rose. Tapi itu terdengar mustahil baginya. Dia tak mungkin mati semudah itu. Mati karena menabrak pembatas jalan? Bah, keren sekali! Batin Rose.Lalu, dia memeriksa pakaiannya. Kalau dia mati, harusnya pakai putih-putih, tapi dia justru berbalut kaus kuning pucat dan legging, pakaian olahraganya tadi.Cahaya silau berpendar, dan dentum di kepalanya mendera."Akh!"Rose menahan kepalanya yang serasa ingin meledak. Dia berlutut. Lama-kelamaan dia bergelung di lantai putih itu."Kalau aku t
Steve kian mendekap tubuh bergetar Rose, mengecup pucuk kepalanya setidaknya menenangkan wanita itu. Namun, tidak tenang sama sekali."Jangan paksakan dirimu," lirih Steve."Aku tak bisa seperti ini, Steve. Aku ... tersiksa!" ujarnya dengan suara terputus-putus.Steve memindahkan Rose ke ranjang, mengusap pipi Rose yang basah."Kau tentu akan mengingatnya!" ucap Steve, terdengar yakin. Namun, dia sendiri meragukannya.Rose tak menyahut lagi, dia masih terisak-isak. Ucapan terakhir Steve tak menenangkan sedikitpun baginya, justru dia muak mendengar kalimat itu. Dia akan mengingatnya, tapi kapan? Itu membuat Rose kian tersiksa."Tinggalkan aku sendiri," lirih Rose sambil menepis pelan tangan Steve di pipinya."Rose–""Keluar," katanya, "aku ingin sendiri!"Steve menghela napas. "Berjanji padaku, kau tak akan mengacau seperti itu!"Rose tak menggubrisnya. Dia merasa kesal dengan Steve."Aku tak akan kelu
Malam itu, Rose termenung dalam kamarnya, jendela sengaja dia buka, rembulan bersinar masuk dalam kamarnya yang gelap itu, Rose sengaja mematikan lampunya.Dia menyandarkan punggungnya di dinding, semilir angin menerpa menembus tulang. Rambutnya yang melorot terumbai-umbai.Rose memejamkan matanya, berusaha mengingat kembali ingatan yang dilupakannya. Dia mulai tersiksa dengan ketidaktahuan peristiwa yang dia alami."Argh!" erang Rose frustrasi, dia tak mengingatnya.Dia mengacak rambutnya, cepolan rambutnya sudah terurai dan nampak kian semrawut.Rose mengulangnya kembali. Memfokuskan titik pencariannya.Gelap.Suara datang bergemuruh.Gelap."Argghhh!"Deru napas Rose memburu, dia menyapu alat-alat kosmetiknya di meja rias, menendang kursi riasnya terpelanting menabrak pintu hingga terdengar suara gebuman."Kenapa aku tak bisa mengingatnya!" Rose menatap pantulan bayangannya di cermin yang kini tampak menye