"Teori macam apa itu?" sanggah Steve.
"Teori Lynn ulala yang membahanalah!" ujar Lynn dalam satu tarikan kecepatan penuh.
"Kau baru saja menyindirku?" Steve menyipitkan mata.
"Baguslah kalau kau merasa tersindir," jawab Lynn sambil lalu membawa cangkir teh kosong miliknya dan milik Steve. Steve memandang punggung Lynn yang tengah mencuci cangkir itu lalu meletakkannya di rak samping wastafel. Lynn mengeringkan tangannya kemudian mendekat ke arah meja.
"Berikan ponselmu!"
Steve melihat Lynn bergantian dengan tangannya yang kini menadah meminta ponsel."Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Steve membuat bola mata Lynn berputar 360 derajat.
"Berikan saja padaku!"
Steve terpaksa menyerahkan ponselnya menyadari nada paksaan Lynn. Terkadang, Steve memang merasa takut dengan Lynn. Lynn menerima ponsel itu, berusaha menahan senyum kemenangannya lantas mengotak-atik ponsel Steve.
"Nih!" sodor Lynn.
Mata Steve langsung melotot, ia langsung berdiri dari duduknya."Kau menghapusnya?!" teriak Steve.
"Tentu. Hal pertama yang harus kau lakukan untuk move on adalah menghapus semua foto-fotonya." Lynn melipat tangan di dada, tak ada nada bersalah dalam ucapannya. Berbeda dengan Steve yang kini menatap nanar galerinya. Lynn benar-benar menghapus semuanya tanpa tersisa. Itu berarti, Steve tak bisa lagi melihat wajah cantik Rose.
"Dengar, Steve, kau harus bisa melupakannya, kau harus move on darinya. Bagaimanapun caranya. Karena percuma saja kau menyimpan memori dengannya, Rose tak akan peduli dengan kenangan manis kalian dan Rose mustahil berlabuh kembali di hatimu. Yang ada justru kau yang semakin terluka, Rose pastinya sudah bersenang-senang dengan pacar barunya. Kalau Rose saja bisa kenapa kamu tidak, ya kan?!" Lynn menatap manik mata Steve, Lynn tak berniat mengungkit masa lalu. Namun, sepertinya itu perlu untuk menyadarkan Steve saat ini.
"Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya semudah itu jika dia tidak hanya membawa separuh jiwaku, tapi seluruh jiwaku!"
Lynn merasa sedikit bersalah, wajah Steve sudah murung di pagi yang cerah itu."Oleh sebabnya itu, kau harus membuktikannya," ujar Lynn dengan lembut. Lagi-lagi Steve hanya menatapnya kemudian mengangguk.
"Senyum, dong!"
Senyum terpaksa menghiasi bibir Steve."Langkah kedua apa?" Senyum Lynn merekah mendengar pertanyaan Steve.
"Bakar semua fotonya."
Steve memasuki kamarnya diikuti Lynn, pertama kalinya ia menginjakkan kaki di kamar lelaki itu. Aroma maskulin menusuk inderanya. Netra Lynn menatap setiap sudut-sudut dinding.
"Bolehkah?" izin Lynn.
Steve mengangguk diikuti helaan napasnya. Lynn merebut sebuah bingkai foto Rose yang sedang tertawa, tampak seperti foto yang diambil diam-diam. Namun, Rose tampak terlihat bahagia di foto itu. Rasanya bagai dongeng, Rose meninggalkan Steve begitu saja, apa perasaan Rose hancur seperti Steve atau Rose memang tak mencintai Steve? Batin Lynn.
Terkaan Lynn salah total kala dia mendapati foto Steve dan Rose yang saling merangkul. Di foto itu, Rose melirik ke arah Steve, tampak cinta yang besar di matanya. Sebenarnya apa motif Rose meninggalkan Steve? Pikir Lynn.
Lynn melepas foto-foto tersebut dari bingkainya, melepas jepitan-jepitan foto polaroid di kamar Steve. Steve hanya terduduk pasrah menyaksikan Lynn melepas semuanya.
Steve membawa Lynn ke taman belakang, menumpukkan ranting-ranting kecil kemudian menyalakan api. Mata Steve meredup, Lynn menatap bola mata Steve yang terpantul cahaya api.
"Kau bisa melakukannya, kan?" Lynn menyerahkan foto-foto kebersamaan Steve dan Rose. Lynn melangkah masuk ke rumah, memberikan ruang privasi untuk Steve.
Steve menatap foto-foto tersebut untuk terakhir kalinya. Menyaksikan satu-persatu foto-foto itu dilahap api. Steve memandang lama foto terakhir di tangannya, foto kala dia mengecup kening Rose. Foto itu seketika hangus kala bersentuhan dengan api dan perlahan api itu memadam, kehabisan ranting dan bahan bakarnya.
"Sudah?" tanya Lynn mengalihkan matanya dari majalah pria di meja ruang tamu. Steve mengangguk pelan lalu menyandarkan dirinya di kursi, matanya terpejam.
"Makasih, Lynn. Aku merasa sedikit lebih baik."
Lynn hanya mengangguk."Tapi, bagaimana aku bisa melupakan kenangannya?" tanya Steve kembali. Seumur hidup dia tak pernah mengalami kegalauan bertaraf ekstrem sebelum bertemu dengan Rose. Masih diingatnya mantan-mantannya; Indah, Clara, dan Jessi. Steve cukup santai saja walau memang Steve sendiri yang memutuskan hubungan dengan mantannya saat itu. Berbeda dengan Rose. Rose yang memutuskannya, secara tak terduga.
"Kau harus alihkan fokus pikiranmu. Cobalah kencan dengan wanita lain," saran Lynn.
"Aku tak dekat dengan seseorang saat ini," balas Steve.
"Kalau begitu, kencan denganku saja."
Steve lantas tertawa, dia menanggapi ucapan Lynn sekedar gurauan, itu sungguh menggelitik perutnya. Tapi, aku serius, Steve! Teriak Lynn dalam benaknya. Lynn lantas tersenyum paksa dan ikut tertawa.Steve merenungkan saran 'kencan' Lynn. Di kepalanya dominan memilih Jessica. Namun, Steve dilanda kebingungan, dia bahkan tak kenal Jessica, pertemuan mereka sedikit tragis. Steve jujur bahwa dia menaruh minat, tertarik dengan Jessica. Namun, bagaimana jika Jessica sedang dekat dengan seseorang? Pikiran Steve berkecamuk.
Steve memberanikan diri menghubungi Jessica yang langsung diangkat pada dering pertama. Lenyap sudah beban pikiran berkecamuknya kala mendengar sapaan Jessica, tawanya sungguh menenangkan. Obrolan keduanya mengalir hingga lima belas menit lamanya, degup jantung Steve menderu. Haruskah dia mengajaknya kencan atau tidak? Batin Steve. Namun, bagaimana jika dia menolak? Mau ditaruh mana mukaku? Lagi-lagi pikiran Steve berkecamuk. Jessica memanggil nama Steve, menyadari suara hening di teleponnya.
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Tentu. Apa yang ingin kau tanyakan?"
Steve menghela napas. Dia akan melakukannya, resiko ditanggung di belakang."Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" tanya Steve pelan. Suara hening seberang telepon memacu deru jantung Steve, tanpa sadar dia menggigit bibirnya.
"Tidak untuk saat ini, kenapa?"
Tubuh tegang Steve melemas kemudian menghela napas lega, senyum terbit di wajahnya."Aku hendak mengajakmu ke suatu tempat. Hm, sekedar perkenalan. Tapi, ya itu ... jika kau tak keberatan."
Jessica sedikit tertawa mendengar nada patah-patah ucapan Steve."Tentu," jawab Jessica.
Steve bersorak menang dalam hati. Steve mulai mengatur jadwal pertemuannya dengan Jessica dan langsung disetujui Jessica.Steve bangun lebih pagi bersiap menuju tempat kerjanya, kemudian mengeluarkan mobilnya dari garasi. Sebelumnya, dia mampir di toko donat langganan Lynn, membeli se-boks donat favorit Lynn.
Lynn menatap bergantian boks donat dan wajah Steve yang menurutnya terlalu berbinar, tampak terlihat seperti baru saja memenangkan lotre.
"Sebagai ucapan terimakasih," jelas Steve.
"Aku baru saja mengajak Jessica kencan, bukan, tepatnya perkenalan ulang," lanjut Steve.
Alis Lynn bertautan, mengingat nama teman wanita Steve tapi tak kunjung menemukan nama Jessica. Lynn kembali menatap Steve menuntut penjelasan lebih, dilihatnya Steve mendengus.
"Tragedi putus!!!"Lynn lantas berujar 'oh' mengingat Jessica adalah tokoh utama dalam cerita Steve kemarin. Wajar saja Lynn lupa, Lynn memang kategori pendengar yang tak menaruh minat pada nama seseorang yang tak dikenalnya. "Jadi, kapan?" tanya Lynn mengambil donat rasa coklat dan mengunyahnya pelan. "Aku akan menceritakannya saat makan siang nanti!" balas Steve sembari berbalik meninggalkan meja Lynn dengan cekikikan melihat wajah cemberut Lynn. Netra Steve kembali fokus dengan layar monitornya, kesibukan kerja mengalihkan pusat pikiran Steve. Beberapa kali, Fianne berbalik ke arahnya untuk berbagi tugas mengerjakan laporan bulanan. "Jadi?" Steve dan Lynn baru saja menyelesaikan makan siangnya, Steve kembali memesan dua cappucino. "Kami sepakat bertemu di malam minggu," jawab Steve lalu menyesap cappucino-nya.
"Karena aku sudah memakai lipstik, maka kamu harus ...." Lynn berjinjit di hadapan Steve, melupakan sambungan ucapannya. Sedangkan, Steve mematung di tempat mendapati Lynn tengah menyapu kuas lipgloss di bibir bawah Steve. Jarak keduanya hanya tersisa beberapa senti saja, seorang pelanggan yang lewat di hadapan Steve sontak kaget, Steve menduga bahwa pelanggan itu mendapat perspektif pandang yang salah, mengira Steve dan Lynn tengah berciuman. "Wuah!" puji Lynn menatap warna softpink lipstik itu di bibir Steve. Lynn lantas mengambil lipstik baru yang sama. Steve masih dalam diamnnya sembari mengusap bibirnya, menghapus warna lipstik tadi. "Aku lapar," ujar Lynn lantas menarik tangan Steve menuju restoran mal di lantai tiga. Lynn memang tampak terlihat biasa saja. Namun jantungnya sudah berdegup kencang, Lynn juga tak mengerti darimana dia mendapatkan keberanian untuk melakukan hal tadi, Lynn meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya
Steve menyaksikan punggung Jessica yang berlalu dan mulai menerka-nerka yang mana mobil Jessica.Steve menganga di tempat melihat Jessica dengan mobil Porsche putihnya, sangat kontras di malam yang pekat. Steve tersadar kala Jessica membunyikan klakson untuknya, tangan Steve terangkat melambai ke arah Jessica. Steve berbalik menuju mobilnya yang masih berdecak mengagumi mobil Jessica. Dalam hati, Steve merasa tidak sepadan dengan Jessica jelas bahwa perbedaan gaya kehidupan dan selera keduanya. Steve memang berasal dari kalangan atas. Namun Steve tak memegang prinsip untuk memamerkan hartanya. Steve lebih menyimpan uangnya yang menurutnya akan berguna untuk masa depan. Rumah Steve bahkan bisa dibilang sederhana dengan gaya interior klasik. Ayah Steve pernah menyuruh Steve mengubah gaya rumahnya, tapi Steve menolaknya mentah-mentah, selain menghamburkan uang, Steve juga sudah merasa nyaman dengan rumahnya. Berbeda dengan rumah orang tuanya yang glamor.
"Lynn baik-baik saja, kan?" tanya Leiss kala mendapati Steve yang tengah melangkah masuk ruangannya. Steve hanya mengangguk sekilas dan tersenyum ke arah Leiss. Wanita itu langsung mengelus dada disertai helaan napas lega. "Aku tentunya akan menyalahkan diriku sendiri telah membiarkan Lynn pulang mengemudi sendiri. Syukurlah kalau dia baik-baik saja!. Aku terlalu khawatir saat melihatnya mual tadi pagi," jelas Leiss kemudian berbalik menuju mejanya. Steve menatap kursi kosong Lynn lalu menghela napas berat. Fianne yang cukup peka dengan situasi tak bertanya apapun pada Steve. Padahal, wanita itu biasanya tak berhenti mencerocos. Getaran di saku jas Steve mengintrupsinya, Steve merogoh sakunya mendapati pesan singkat dari Jessica. [Hai! Apa kabar?] Steve meletakkan ponselnya di meja tanpa niat membalasnya. Matanya berfokus di layar moni
"Kau pecinta seni?" tanya Jessica. "Hm, sepertinya begitu," jawab Steve.Hening kembali mengudara. "Aku ingin mengajakmu keluar!" ujar Jessica kemudian menatap manik mata Steve "Tentu. Kau punya tempat pilihan?" Senyum Jessica mengembang mendengar nada antusias Steve. "Tidak. Terserah saja kemana nantinya kita pergi!" jawab Jessica diakhiri kekehan kecilnya. Steve beranjak berdiri menuju kamarnya meraih jaket dan kunci mobil lalu Jessica menyampirkan tas kecilnya di bahu. Keduanya berjalan beriringan keluar pintu. "Maaf, tak se-mewah Porsche-mu!" ungkap Steve sembari membukakan pintu mobil untuk Jessica. "Jangan membandingkan, Steve! Aku tentu tak mempermasalahkan hal itu," ujar Jessica kemudian masuk dalam mobil. Mobil Steve pun melaju menuju alun-alun kota. "Kenapa kau tak ja
"Dua gelas wine," ujar Jessica. Steve menatap sekitar menyaksikan sekumpulan orang berjoget kesetanan, dentuman lagu terasa memecahkan kepala. Lalu, Steve bergeleng-geleng kepala melihat beberapa pasangan yang berhubungan intim secara buka-bukaan. Jessica menyodorkan segelas wine. Steve menatap bergantian wajah Jessica dan wine di tangannya. Jessica menatap balik Steve seolah menyiratkan kalimat, 'Ambillah!'. Steve mengambil wine tersebut. Steve meneguknya dan langsung berkecut muka. Dua hal yang paling dibenci Steve, klub malam dan kepopuleran. Namun, malam ini Steve terpaksa menginjakkan kaki di tempat laknat ini demi Jessica. "Pertama kalinya?" tanya Jessica lantas menenggak habis wine-nya. Steve mengerutkan kening tak dapat menangkap ucapan Jessica akibat ributnya suara musik. Jessica tertawa kecil lalu menjulurkan badannya ke arah Steve, mengalungkan kedua len
"Entahlah ... terkadang. Aku tak memahami Jessica, sebentar-sebentar dia tampak bagai wanita yang memang kuidamkan. Namun dia kadang bertingkah sebaliknya, wanita yang liar. Terkadang, aku jatuh hati padanya, terkadang pula aku merasa menyesal mendekatinya," jelas Steve. "Aku bahkan ragu akan perasaanku padanya," tambah Steve. Lynn menatap Steve, jelas sudah raut kebingungan di wajah Steve. Lynn hanya menghela napas, merasa lega dan gusar sekaligus. Dia bagai pecundang. "Kau sudah bertemu dengannya?"Steve hanya menatap Lynn tanpa membalasnya. "Belum. Dia hanya menelponku semalam, nada bicaranya sedikit marah."Lynn mengerutkan kening lalu tertawa. "Wanita siapa yang tak marah jika ditinggal sendiri di klub tanpa pamit?" sindir Lynn. Dalam hati, Lynn bersorak senang. Steve lebih memedulikan dirinya dibanding Jessica. "Ya
"Steve!" Lynn yang bediri di depan pintu rumah Steve, melihat Steve yang berjalan menunduk lesu. "Kau darimana?" Lynn mengamati raut muka Steve yang sudah murung di pagi itu. Steve tak menggubris pertanyaan Lynn lalu berlalu di hadapannya mendorong pintu. Lynn mengikut di belakangnya, Steve menghempaskan diri di sofa menerawang ke langit-langit rumahnya. Lynn hanya mengamati Steve, menunggunya membuka mulut. "Aku baru saja bertemu dengan Jessica!" Steve menghela napas, terdengar berat. "Dia benar-benar marah padaku. Bahkan mengataiku pria tak tahu diri, pria tak peka. Padahal selama ini aku terus mencoba memahaminya, memaklumi kegilaannya. Rose saja tak pernah mengeluh ...." Steve tersedak dengan omongannya sendiri, dia mengacak rambutnya. Dalam keadaan genting seperti ini mengapa Steve harus teringat dengan mantan kekasihnya, Rose. Dalam beberapa detik hening mengudara. &
"Aku menolak."Rahang Steve terbuka. Apa yang baru saja dia dengar? Sebuah penolakan? Hell no."Kamu ...."Rose tersenyum kecil, kening Steve berkerut dibuatnya. Gelak tawanya terasa ingin meledak."Aku menolak menikahi pria lain selain Steve Robinson."Seketika tawa Rose meledak. Wajah cengo Steve jauh lebih buruk dibanding ekspresi kagetnya sebelumnya.Rose menepuk pipi Steve pelan, menyadarkan keterkejutannya. "Steve!""Maksudmu?"Ucapan Steve spontan membuat Rose memutar bola mata, merasa gemas dengan Steve."You look like an idiot. Just give me a propose, that is all you should do. Right now, in here!"(Kamu terlihat seperti idiot. Lamarlah aku, satu hal yang harus kamu lakukan sekarang.)Mata Steve berkilat-kilat. Diraihnya jemari Rose, menggenggamnya erat, lalu menciumi punggung tangannya lembut.Steve mengatur napasnya. "Roseletta Lee, menikahlah denganku."Sudut bibir Rose kian tertar
[Tepati ucapanmu semalam]Steve membaca pesan masuk. Dia tersenyum tipis. Dia pun menggeletakkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan Rose.Steve mengatur napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Hanya mengenakan pakaian kasual agar memberinya kesan santai, tapi wajahnya kendati demikian nampak tegang.Meraih kunci mobil di nakas, mengayun-ayunkannya di telunjuknya, ponsel yang hanya diselipkan di saku. Tak lama ponselnya ikut bergetar. Tertera nama Rose di sana.[Kamu akan berangkat, kan?]"Kau mengira aku ini apa? Tentu saja aku menepati omonganku. Namun ...."[Apa ada masalah, Steve?]Helaan napas berat lolos di bibir Steve."Kau benar-benar tak ingin menemaniku?"Rose menggigit pelan bibir bawahnya, dia bisa saja terlena dengan suara lesu Steve, tapi dia berusaha menahan diri.[Bukankah lebih baik jika kalian mengobrol empat mata?]Lagi dan lagi, Rose mendengar helaan napas di seberang.
Sore itu, Rose memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Mobilnya berbelok memasuki kawasan kompleks perumahan Steve."Hai," sapa Rose saat pintu terbuka. Pria itu hanya tersenyum lebar, tapi Rose tahu sesuatu tengah menjanggal pikiran kekasihnya.Rose membalas tersenyum seraya menyelonong masuk rumah Steve."Ada apa kemari?" tanya Steve sedikit kikuk."Ada apa kemari?" ulang Rose. "Apa salah jika seorang pacarmu mendatangi rumahmu?"Steve menggelar tawa kecil sesaat sambil menekan pangkal hidungnya. "Bukan itu maksudku—""Terus?" Rose memangku dagu, tersenyum geli mendapati wajah kejut Steve.Sejenak kemudian, Steve memutar bola mata, sedang Rose sudah tertawa menyisakan garis lurus di matanya. Rose berpindah duduk di samping Steve. Menatap sejenak iris mata Steve, lalu menghembuskan napas."Kapan kamu akan mene
[Aku di perjalanan menuju rumahmu sekarang.]Lynn membaca pesan masuk dari Rose. Senyumnya terukir, senang rasanya bisa dimaafkan walau dia masih bisa belum bisa memaafkan dirinya seutuhnya.Lynn meletakkan ponsel di pangkuannya. Akhir-akhir ini, halaman belakang menjadi tempat favoritnya terlebih saat menjelang sore. Di dalam rumah hanya makan dan tidur saja, sisanya dia habiskan di taman, memandang air mancur lekat-lekat, atau hanya memejamkan mata menikmati semilir angin yang tak menenangkan gundahnya sedikitpun.Suara bel pintu terdengar. Rose sudah tiba.[Aku di halaman belakang.]Lynn mengirim pesan. Selang beberapa menit, Rose muncul. Kemeja kedodorannya berkibar-kibar seiring langkah besar-besarnya. Rambut pirangnya dikuncir rendah, nampak berkilau saat mentari sore menyoroti.Rose tersenyum lebar. "Hai!" Dia beralih duduk di bangku panjang depan Lynn. Kotak yang ditentengnya tadi dibuka dari kantongnya."Apa kabarmu?" tanyanya
Lynn terduduk termangu, memandang kosong air mancur di halaman belakang rumahnya. Airnya berkilau seiring gemerlap lampu yang menyinari. Biasanya air mancur itu akan menenangkannya, deru airnya yang mengalun layaknya melodi yang indah, tapi kali ini tidak. Lynn tak merasakan ketenangan secuil pun.Jeff muncul dengan mug di tangan. Dadanya berdesir cemas melihat orang yang dicintainya masih terpuruk duka. Dia tahu betul bagaimana Lynn yang kini merasa hidup dalam bayang-bayang dosanya. Wanita itu belum memaafkan dirinya atas apa yang telah diperbuatnya."Kamu tak kedinginan?" Jeff memaksakan senyum tipisnya, dia menyodorkan mug berisi cokelat panas.Lynn membalas senyum Jeff kikuk. Dia menerima gelas itu, menghirup aroma manis dan wangi, tapi dia tak meminumnya. Dia hanya menggenggam mug itu, menatap kepulan kecil yang mengudara."Kamu tak boleh terus menerus seperti ini, Lynn. Bagaimanapun, kamu tetap harus melanjutkan hidup setelah—""Pantas
"Apa kabar, Rose?"Rose melirik ke arah Steve sebelum dia menjawab, "Lebih buruk!"Dia merasa lebih buruk, dia baru saja mendapat ingatannya dan Lynn menemuinya di hari itu juga. Sebut saja jackpot sialan."Maaf, aku baru menemuimu hari ini ...." Kalimat Lynn tercekat. Dia akui dirinya seperti pengecut. Terlalu takut dan malu menemui Rose.Rose melirik Steve dan pria di seberang kursi. Steve mengangguk kecil memahami arti tersirat tatapan Rose. Wanita itu ingin berempat mata saja dengan Lynn.Steve beranjak dari duduknya, merangkul Jeff meninggalkan ruangan itu. Sebelum Jeff benar-benar pergi, dia melirik Lynn seolah meyakinkan wanita itu akan baik-baik saja.Roe mengatur napasnya, berpindah duduk di samping Lynn yang duduk di kursi roda."Aku menyesal," lirih Lynn menatap Rose dan menunduk lagu.Rose memaksakan senyum tipisnya. Jika dia mau, dia bisa membalas perbuatan Lynn. Namun, dia enggan. Melihat kondisi Lynn yang cacat sep
Kepalanya terasa disengat dan diikuti pukulan-pukulan yang mendentum. Sakitnya menyerangnya, hingga Rose lupa apa dia masih hidup atau mati.Sebelum penglihatannya gelap, dia menyerukan nama Steve.Lalu dia tersadar.Rose berada pada ruangan putih, sangat luas. Tak ada seorang pun disana selain dirinya. Rose berputar, barangkali dia akan menemukan pintu. Namun, tidak ada sama sekali."Apa aku sudah mati? Apa ini surga?" tanya Rose. Tapi itu terdengar mustahil baginya. Dia tak mungkin mati semudah itu. Mati karena menabrak pembatas jalan? Bah, keren sekali! Batin Rose.Lalu, dia memeriksa pakaiannya. Kalau dia mati, harusnya pakai putih-putih, tapi dia justru berbalut kaus kuning pucat dan legging, pakaian olahraganya tadi.Cahaya silau berpendar, dan dentum di kepalanya mendera."Akh!"Rose menahan kepalanya yang serasa ingin meledak. Dia berlutut. Lama-kelamaan dia bergelung di lantai putih itu."Kalau aku t
Steve kian mendekap tubuh bergetar Rose, mengecup pucuk kepalanya setidaknya menenangkan wanita itu. Namun, tidak tenang sama sekali."Jangan paksakan dirimu," lirih Steve."Aku tak bisa seperti ini, Steve. Aku ... tersiksa!" ujarnya dengan suara terputus-putus.Steve memindahkan Rose ke ranjang, mengusap pipi Rose yang basah."Kau tentu akan mengingatnya!" ucap Steve, terdengar yakin. Namun, dia sendiri meragukannya.Rose tak menyahut lagi, dia masih terisak-isak. Ucapan terakhir Steve tak menenangkan sedikitpun baginya, justru dia muak mendengar kalimat itu. Dia akan mengingatnya, tapi kapan? Itu membuat Rose kian tersiksa."Tinggalkan aku sendiri," lirih Rose sambil menepis pelan tangan Steve di pipinya."Rose–""Keluar," katanya, "aku ingin sendiri!"Steve menghela napas. "Berjanji padaku, kau tak akan mengacau seperti itu!"Rose tak menggubrisnya. Dia merasa kesal dengan Steve."Aku tak akan kelu
Malam itu, Rose termenung dalam kamarnya, jendela sengaja dia buka, rembulan bersinar masuk dalam kamarnya yang gelap itu, Rose sengaja mematikan lampunya.Dia menyandarkan punggungnya di dinding, semilir angin menerpa menembus tulang. Rambutnya yang melorot terumbai-umbai.Rose memejamkan matanya, berusaha mengingat kembali ingatan yang dilupakannya. Dia mulai tersiksa dengan ketidaktahuan peristiwa yang dia alami."Argh!" erang Rose frustrasi, dia tak mengingatnya.Dia mengacak rambutnya, cepolan rambutnya sudah terurai dan nampak kian semrawut.Rose mengulangnya kembali. Memfokuskan titik pencariannya.Gelap.Suara datang bergemuruh.Gelap."Argghhh!"Deru napas Rose memburu, dia menyapu alat-alat kosmetiknya di meja rias, menendang kursi riasnya terpelanting menabrak pintu hingga terdengar suara gebuman."Kenapa aku tak bisa mengingatnya!" Rose menatap pantulan bayangannya di cermin yang kini tampak menye