Gadis itu sedang duduk di bangku kuliah. Menanti antrian pembagian hasil ujian. Ia duduk bersebelahan dengan teman dekatnya.
“Habis ini pulang, kan?”tanyanya menghabiskan denting jam yang terasa lama ini. Namanya tak kunjung dipanggil.
“Iya,” jawab temannya itu.
Kemudian terdengar suara yang bergema di telinga gadis yang rambutnya dikuncir kuda itu.
“Kinan?”
“Kinan?”
“KINAN!”
“Eh?” Gadis itu masih mencoba memfokuskan matanya yang sempat kabur. Sedari tadi matanya selalu searah dengan seorang pria yang sedang memasuki kelas ini. Pria bertopi golf yang menyita waktunya. Dengan tas ransel yang dijinjing di satu bahunya saja.
Setelah menyadari namanya dipanggil, ia hendak mengambil hasil ujiannya. Namun siapa sangka malah terjadi sesuatu yang tak terduga olehnya.
“Astaga Kinaaan! Tuh dipanggil Bu Mita!” Beberapa temannya menertawakan gadis yang terlihat sedang melamun itu.
Pandangan gadis kuliah itu masih kabur dan bingung harus ke mana.
Ada suara yang bergeming nyata di telinga Kinan. “Nih? Kamu nggak perlu ke depan.”
Ia pun mendongak setelah melihat sebuah kertas ujian disodorkan padanya.
“A … ehmm, i-iya. Ma-kasih,” jawab Kinan terbata-bata. Entah kenapa Kinan selalu merasa canggung di depan pria tersebut. Tidak pernah berani berbicara secara gamblang.
Kemudian orang itu pun duduk dengan deretan kursi yang sama dengan Kinan. Ia pun tak henti-hentinya memandang pria yang memakai topi tadi. Masih tak percaya bahwa pria itu mengambilkan kertas hasil ujiannya dan memberikan langsung padanya.
Kinan pun tersenyum pada pria tadi. Yang rupanya ia membalas senyuman Kinan.
“Senangnya senyumku dibalas,” batin Kinan.
***
“Bangun! Kamu nggak kerja?”
“Kinan bangun!”
Gadis itu membuka mata segera setelah mendengar suara perempuan.
“Astaga, Maaa! Aku baru mimpi indah, lhohhh?!”
“Mimpi apa? Paling juga mimpi lagi liburan, kan?”
“Bukan. Ya gitu deh, Ma?”
Mamanya Kinan berdiri di samping ranjang dengan dandanan yang sudah sangat rapi.
“Ya udah, sana mandi.”
Kinan membuka selimutnya perlahan. Namun bola matanya masih memandang heran mamanya yang sudah berdandan rapi. Padahal ini hari Minggu.
“Mama mau ke mana?”
“Ketemu temen lama mama. Mau ikut?”
Kinan menggeleng. “Eh? Kan Kinan mau kerja, Ma?”
“Mana ada? Ini hari Minggu! Masih mimpi ya kamu?”
“Lah? Mama sendiri tadi bilang begitu waktu bangunin aku?”
Mamanya menepok jidat. “Mama cuma bercanda. Biar kamu bisa bangun! Latihan jadi ibu rumah tangga gitu, lho?!”
Kinan mendesah lesu. “Mau jadi ibu rumah tangga gimana, Ma? Pasangan aja nggak punya!”
“Haha. Iya juga! Tapi setidaknya latihan dulu gitu? Dah! Mama mau pergi dulu! Daaa, Sayang!”
Kinan merentangkan badannya dan menguap. “Ya, Maa! Dadaa!”
***
Hari ini ia habiskan untuk bersantai di rumah. Sembari menunggu mamanya pulang.
Kinan duduk di depan laptop seiring menyelesaikan drama korea yang sedang viral. Di tangannya sudah ada sebuah mangkuk berisi sereal dan susu.
“Kinaaaan?” panggil seseorang.
Tenang saja. Kinan mengenali suara itu. Siapa lagi kalau bukan mamanya yang datang?
“Astaga! Ini piring-piring belum dicuci?”
Rita—mamanya Kinan, sedang mencaci anaknya sendiri sebab setumpuk piring yang masih kotor ada di wastafel dapur.
Kinan pun langsung berlari panik mendengar omelan mamanya tercinta itu. “Eh? Mama kok udah pulang?!”
“Kinaaan! Kamu tuh udah kerja, lho? Kok ya masih kayak anak SD aja?!”
“Iya, Ma. Nanti Kinan cuci. Tenang aja. Mama jangan ngomel-ngomel mulu, sih?”
Kinan mencoba rayuan ularnya. “Mama cantik jangan ngomel mulu. Nanti mukanya kerutan, lho?”
Rayuan ini selalu saja membuat Rita tersenyum. Sedikit menurunkan emosinya yang meluap karena melihat dapur yang berantakan ini. Ia sangat tak suka apabila dapurnya terlihat tak bersih dan rapi.
“Ini juga! Udah malem makan sereal?”
“Ya laper, lho, Ma?”
Rita berdecak dan menggelengkan kepalanya. “Haduh, anak mama.”
Kinan menyebar senyum lebarnya dan hendak kembali ke kamarnya melanjutkan drama korea yang sempat tertunda itu.
“Kinan?”
Langkah Kinan terhenti seketika. Panggilan itu terasa ambang di telinganya. Intonasi yang datar ini menandakan ada sesuatu serius yang akan dibahas.
“Ya?”
“Besok dandan yang cantik, ya?”
“Kenapa emang, Ma? Besok kan aku kerja?”
“Kamu kerjanya kan bebas. Orang kamu translator.”
Kinan menyunggingkan senyuman. “Ya juga, sih. Tapi emang kenapa, Ma?”
“Besok ketemu Alan, ya?”
Kontan Kinan langsung menaruh mangkuknya di meja makan. Matanya melotot tajam.
“Ha?!”
“Iya. Daripada kalian saling menjomblo, kan? Lagian kalian juga udah bersama sejak kalian SMP. Mama juga sudah kenal dekat sama keluarganya,” jelas Rita tenang.
Ketenangan Rita bukan berarti menjadi ketenangan Kinan. Keringat dingin malah hampir mengucur di keningnya.
“Maaa! Alan tuh nggak suka sama aku?! Dia cuek abis! Nggak, Ma! Nggak,” rengek Kinan. Kakinya sudah lemas tak berdaya.
“Lah? Orang mamanya udah setuju, kok! Kan kami berteman baik. Kalian juga selalu satu sekolah dan kuliah. Jadi kami berdua nggak perlu bekerja ekstra untuk ini.”
“Ini apa?”
“Ya … comblangin kalian berdua?”
Kinan mengusap wajahnya. “Udah nggak jaman jodohin anaknya kali, Ma?”
“Ya biarin. Terserah mama, kan?”
Kinan mengembuskan napas terakhir pembelaannya. “Ya udah, deh, Ma. Terserah,” imbuhnya lemas.
“Oke! Besok dandan cantik ya,” pesan Rita. Ia sangat girang sehingga menepukkan kedua tangannya beberapa kali seperti bayi yang sedang kegirangan.
“Besok jam 5 sore di Ambarrukmo Plaza, ya? Nanti mama kirimkan tiketnya,” ucapnya lagi.
Setelah perbincangan ini, Kinan kembali ke kamarnya tanpa suara. Tidak melanjutkan dramanya. Sebab pikirannya kini sudah terasa penuh.
Rasa groginya bermunculan. Padahal pertemuan ini masih besok sore.
Kerutan kini malah muncul di wajahnya.
Aku emang dulu pernah suka sama Alan, sih. Itu pun karena emang cewek-cewek tergila-gila sama dia. Jadi ya ikutan aja. Tapi kalau disuruh omongan sama dia mah aku nggak mau! Sombong begitu! Maunya sama yang pinter sama cantik doang!
Seorang pria sedang duduk di bangku santai. Aroma tanah yang dibasahi oleh air hujan cukup menyita perasaannya.Entah apa yang sedang ada di benaknya. Namun pria itu terlihat sangat tenang memandangi tanaman hijau dengan rintik hujan yang memperindah setiap helai daun itu, baginya.Tak ada satupun yang bisa mengganggunya menikmati momen ini. Dengan headset yang terpasang di telinganya. Ia hanyut dalam alunan musik menenangkan.“On your lips just leave it, if you don’t mean it,”rintihnya mengikuti lagu tersebut.“Alan?”Tentu saja ia tak menggubris hal yang lain karena sekarang yang ia pedulikan hanya aroma hujan dan musik. Sembari memejamkan mata saat lagu kesukaannya diputar.
Satu jam sudah mereka semua menunggu. Menunggu sang putri keluar menyambut sang pangeran.Ya, hari ini tiba. Rupanya bukan pertunangan yang diadakan.Waktu sudah berjalan sangat cepat setelah pertemuan itu. Kinan masih tak menyangka bahwa hari ini merupakan hari lamaran. Hari di mana Alan melamar Kinan seperti yang sesuai dengan adat mereka berdua.Cakrawala yang berwarna abu itu menyelimuti kota Klaten. Kota kecil dengan segala kenangannya. Ditambah hari ini, semoga hari ini menjadi kenangan manis bagi pasangan tersebut.Semua rangkaian acara telah terlewati. Sejak dari penyerahan seserahan, doa, hingga penyerahan seserahan balik ke calon mempelai lelaki. Hingga kini mereka semua berdiri di depan panggung dekor.Mereka semua berfoto bersama. Hanya dihadiri oleh keluarga besar dan teman dekat Kinan.Setelah sem
Author bakalan semangat update kalau kalian tinggalin komentar ya pokoknya xp***“Itu apa, Nan?”Tak ada kata satu detik, Kinan langsung membalikkan badan. Menoleh ke arah pintu kamarnya.“Eh? Nggak kok, Tante,” jawabnya pada Vina sembari mencibirkan bibirnya yang tebal dengan lipstik ombre bernuansa merah muda itu.Kinan mendekati Vina sembari menunduk. “Mari, Tante.”Mata Kinan yang tadi hanya menengadah ke bawah sembari melihat lantai rumahnya saat berjalan keluar, kini sudah berubah. Ia memfokuskan matanya lurus ke depan sesaat ketika langkahnya terhenti.“Panggil saya ‘mama’ jangan ‘tante’ lagi. Saya kan mama kamu dan Mas Alan.”Kinan menoleh perlahan kepada sumber suara di sampingnya.“Eh? Iya, Ma.”&
Senja ini Kinan berdiri di sebuah cermin panjangnya. Ia melihat perawakannya sendiri yang sudah lengkap dengan dandanan sederhana namun manis. Rok batik A-line berwarna mix pastel di bawah lutut dan baju putih lengan panjang.Kedua perpaduan itu membuat kulitnya tampak bersinar dan cantik. Namun Kinan tak menyadari hal itu.Ia mengembuskan napas rendah dirinya. “Mau dandan secantik apa aku tetap nggak cantik,” batinnya bersedih.Telinga Kinan kemudian mendengarkan suara panggilan dari luar kamar. Pertanda ia harus segera keluar dari dalam kamarnya. Sudah pasti Rita memanggilnya.Selama ia berjalan menuju pintu, ia pun mendengar bunyi yang semakin mendekati rumahnya.Brum brumIa pun membuka pintu dengan sedikit rasa heran. Mungkin mamanya sedang akan menerima tamu.“Ma, ak
“Mmm,” lirih Kinan sembari menggigit bibirnya yang sedang gemetaran. Ia masih memejamkan matanya lekat-lekat.“Ngapain kamu?!”Alan seketika berkata seperti itu setelah melihat Kinan yang seperti es. Mematung dingin.“Ng-nggak, kok!”Kinan langsung salah tingkah dan mencoba merapi-rapikan bajunya. Meski tak ada yang salah dengan bajunya yang sudah ia pakai sejak tadi.KLIK!Siapa yang membuka pintu? Sedangkan Kinan dan Alan masih saling berhadapan. Apakah Vina?“Eh? Maaf maaf! Aku nggak tau kalau kalian berdua sedang ber … berpacaran.”Muncul ucapan dari seorang wanita. Langsung setelah pintu kamar terbuka.“Kita nggak ngapa-ngapain, Stev! A
Krik krik krikKeheningan ini membuat Kinan tak bisa menyembunyikan pikirannya. Sudah lebih dari pukul sepuluh malam. Ia masih tak bisa tidur. Mengingat ia sedang berada di sebuah ruangan asing baginya. Hanya ditemani oleh bunyi jangkrik nan kadang menyita ketertarikannya.Meski katanya kamar calon suaminya ini jarang ditempati, aromanya masih khas parfum Alan yang selalu bersliweran di hidungnya setiap kali mereka bertemu.Kinan sangat merapatkan kelopak matanya mencoba untuk melabuhi pulau kapuknya. Namun usaha itu tampak tak berarti.Aduh? Aku nggak bisa tidur nyenyak ini mah!Sampai ratusan domba pun ia hitung. Ia hanya bergerak ke sana ke mari tanpa adanya tanda-tanda terlelap.Tiba-tiba Kinan iseng. Ia mengambil ponsel miliknya yang ia letakkan di nakas. Di bawah lampu tidur.“Udah tidur?”Setelah me
Waktu sudah berganti petang dengan ngebutnya. Rasa cemas yang dialami Kinan dan Vina sudah berangsur turun.“Aku nggak apa-apa, Ma,” kata Alan tenang tetapi sembari melirik sinis pada Kinan. Seolah menyalahkan keaadaan ini semua karena Kinan.“Mas,” ucap Kinan dan hampir menyentuh tangan kiri Alan yang terluka.“Apa sih?! Nggak usah pegang-pegang,” bentak Alan. Meski ada mamanya di situ jugaSetelah melihat Alan memasuki kamarnya, Kinan menunjukkan wajah sedih.“Ma, Kinan pulang dulu,” pamitnya pada Vina.“Alan? Antar Kinan dulu?” ucap Vina saat Alan sudah hampir menutup pintu kamarnya.“Eh? Nggak, Ma. Kinan pulang pakai ojek online aja.”“Beneran kamu?”Kinan mengan
Hari yang ditunggu oleh kedua pasangan orang tua itu pun akhirnya tiba. Rencana matang ini tidak akan berjalan mulus kalau bukan karena wedding organizer yang membantu. Karena memang waktu persiapan yang terbilang singkat.Wanita yang masih memakai gaun bak putri kerajaan itu sedang melamun di samping es berbentuk angsa yang terpampang dekat pintu masuk gedung pernikahan ini. Ia berdiri di situ setelah menyalami semua tamu yang hendak pulang.“Kinan, ayo?” ajak Rita pada Kinan agar segera naik ke lantai dua. Di mana ada beberapa kamar khusus untuk keluarga.Kinan mengikuti mamanya untuk masuk ke dalam kamar keluarganya.“Malam ini kamu pindah ke kamar dengan Alan, ya?”“Lho? Kenapa, Ma?”Rita berdecak. “Kamu lupa sudah bersuami sekarang?”Kinan menggaruk kepalanya. “Oh, iya. Tapi tolon
Kepala Alan terasa pening ketika diseruduk oleh pertanyaan tersebut. Makanan yang ia kunyah tadi juga tak kunjung ia telan. Mengapa demikian? Mungkinkah memang Alan memiliki wanita lain yang memang dicintainya?“Kenapa nanya gitu, Ra?” Rupanya pertanyaan tadi datang dari Nara.Nara pun terkekeh. “Ah! Aku cuma bercanda. Soalnya … kalian nggak keliatan kayak pasangan menikah. Nggak bucin!”Kinan berdeham kecil. Tenggorokannya tiba-tiba terasa gatal. “Gitu, ya?”Lantas Nara kembali memandang Kinan dengan tatapan candanya. “Kalian cuma malu kan kalau di depan umum?” ledeknya.“Ah, nggak! Kata siapa?” ucap Alan.Sesuatu menyita momen Kinan. Ketika Alan membalas Nara. Tak hanya dengan perkataan. Ia juga langsung merangkul pinggangnya. Sehingga Kinan t
“Lho? Anakmu ke mana? Kok nggak ikutan kita aja?”Lantas Vina menjawab pertanyaan salah satu temannya itu. “Ohh … iya, biarin aja mereka berdua. Kita senang-senang aja.”Vina dan teman-temannya yang sesama sudah menjadi ibu maupun nenek itu segera memasuki restoran ala jawa tersebut.Saat sudah memesan makanan, mereka pun mengobrol.“Kamu kapan gendong cucu, Jeng?” tanya satu orang pada Vina.Vina terkekeh tanpa jawaban.Rupanya malah membuat bibir temannya itu semakin menjadi. “Cucumu yang di Jakarta kan nggak pernah diajakin pulang ke Klaten?”“Iya lho, Jeng. Kapan? Suruh Alan cepet-cepet punya anak,” sambung teman satunya.Vina tertawa lagi. “Ya juga. Mungkin mereka juga baru berusaha.” Lalu ia pun berbisik pada dirinya sendiri, “u
Bukan pernikahan seperti ini yang Kinan inginkan. Ia hanya ingin bahagia bersama orang yang ia cintai sampai maut memisahkan. Namun malah tangisan yang ia dapatkan.Mereka berdua masih saling memandang tetapi Alan menatap Kinan dengan penuh ceria.Dok dok dokSeketika suara ketukan pintu itu membuyarkan kesedihan Kinan.Alan mengkerutkan dahinya dan langsung membuka pintu depan. Siapa pagi-pagi begini datang?“Mama?” Alan kaget.Setelah saling menyapa, Vina masuk ke dalam rumah.Harapannya datang ke rumah ini untuk melihat kedua anaknya berbahagia sebagai pasangan baru. Namun bukan itu yang ia pandang sekarang.“Kinan kenapa nangis!?” tanya Vina. Melihat mata sembab menantunya itu.Alan datang dan kembali tertawa lagi.
Kinan sangat paham bahwa ini tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Mengharap sesuatu yang sepertinya susah untuk didapatkan yaitu hati suaminya sendiri.Sebab sejak tadi Alan memanggilnya, belum ada secercah ucapan lagi yang keluar dari mulut sang suami.Menunduklah Kinan karena merasa kecewa lagi. Sepertinya memang Alan masih berada di alam bawah sadarnya sehingga ia tak merasa benar-benar memanggil nama istrinya.Mungkinkah Mas Alan bukan memanggilku? Melainkan wanita lain? ‘Nan?’ Siapa dia? Nanda? Nana? Nancy?“Kinan? Udah baikan?”Pertanyaan yang mampu membuat mulut Kinan bungkam. Rupanya memang namanya yang dipanggil.Entah mengapa Kinan sering merasa tidak perlu sulit-sulit untuk menjelaskan hal yang ada di pikirannya. Alan selalu bisa membacanya. Namun mungkin semua hany
Selamat membaca…***Setelah selesai mengunci pintu rumah, Alan masuk ke dalam kamarnya. Ia pun berbaring di kasur.Niatnya untuk beristirahat. Namun apa daya jika otaknya tidak bisa diajak bekerja sama? Sama sekali? Iya. Sama sekali.Sebetulnya ini tidak terlalu larut malam. Lamun bukankah overthinking tidak mengenal waktu?Alan berbaring ke sana ke mari. Ia merasa tidak nyaman tidur di ranjang sendiri. Mengecek ponselnya berkali-kali. Berharap malam ini sama seperti malam yang lalu sebelum ia menyandang status menjadi seorang suami. Kinan mengiriminya pesan, inginnya.“Kinan baik-baik saja, kan?” Berulang kali ia ucapkan dalam hati. Mengapa terlihat sangat cemas? Bukankah ia berniat mendiamkan Kinan sejak awal menikah?Ia masih berusaha memejamkan mata tetapi bukannya semakin berlabuh di pulau m
Sepanjang hari Kinan merasa tak ada harapan. Semua keoptimisannya telah sirna.Setelah melihat-lihat furnitur, Kinan dan Alan duduk berdua di sebuah restoran Thailand. Di hadapan mereka sudah tertata panci rebus berisi kuah tomyam dan pemanggang. Serta beberapa sayuran dan daging-dagingan yang telah dibumbui.Aroma kuah itu semerbak. Meski begitu, Kinan seolah tak bernafsu untuk memakannya segera. Reaksinya sangat berbeda saat berada di rumah mertuanya kala itu. Ia sangat semangat untuk mengambil makan.“Bentar lagi mereka datang,” kata Alan. Namun tak mendapat respon dari Kinan.Diam seribu bahasa. Itu yang dilakukan Kinan setelah sampai di restoran ini.“Kamu kenapa diam aja?”Alan berusaha menghidupkan suasana yang memang sudah tampak mati ini semenjak mereka menikah.
Meski sudah berstatus sebagai pasangan sah, tak bisa dipungkiri bahwa perasaan mereka masih belum bisa menyatu.Hari demi hari telah terlewati. Suasana rumah baru itu masih sesunyi biasanya. Pasti akan terbilan sepi seterusnya apabila mereka berdua tidak ada perubahan yang signifikan.Menikah namun sama-sama saling dingin. Sepertinya Kinan juga sudah sedikit menyerah untuk mengambil hati Alan. Lantas mengapa mereka harus menikah kalau Alan memang tak berniat belajar mencintai pernikahan ini? Bahkan mereka sudah saling berjanji di hadapan Tuhan dan keluarga.Memang perjodohan ini terlihat salah. Namun ketika mengiyakan acara seperti ini sudah menjadi pilihan mereka sendiri. Lantas seharusnya sudah menjadi tanggung jawab mereka, kan?“Kinan?” panggil Alan setelah mengetuk pintu kamar istrinya.Setelah mendengar panggilan
“Oi!”Sebuah hentakan mengejutkan Kinan. Seseorang telah menepuk pundaknya dari belakang.“Astaga, Stevi!”Stevi tersenyum tidak jelas. Seolah menggoda temannya yang statusnya baru saja berubah menjadi istri orang.“Cie hari pertama jadi sepupuku,” goda Stevi. “Gimana malam pertamanya?”Alan langsung meletakkan kembali alat makannya mendengar sepupunya sudah keterlaluan.“Stev!” bentak Alan saat mereka sedang makan bersama di meja makan.Tadi Alan langsung menyusul keluar kamar sebab saat ia meraba sebelahnya, Kinan tak ada di situ.“Ya, iya! Aku diam,” ucap Stevi memelas. Dilihatnya Kinan sedang menund
Kinan membuka matanya lebar-lebar. Segera menilik ke dalam selimut. Ia sudah tak lagi memakai pakaian apapun.“Astaga! Semalam aku sama Mas Alan mmm main!?” Ia pun membatin. Lalu ia kembali mendekap selimut tebal tersebut. Tangan Alan juga masih memeluknya.Sepertinya ini akan menjadi kenangan manis untuk Kinan. Betapa lembutnya cara Alan memperlakukannya di ranjang.KRIIIIING“HAH!” Kinan tersentak oleh bunyi yang sangat memekakkan telinganya. Dirinya langsung duduk tegak di atas tempat tidur nan empuk itu.Mengingat kejadian tadi, Kinan meraba d*danya. Apakah selimut itu masih menutupi bagian tersebut dengan rapat?Kinan langsung menunduk. Memastikan dirinya sendiri. “Oh! Aku masih pakai baju,” ucapnya pelan.Setelah merasa te