Pagi hari di akhir pekan ini Keira sudah bersiap untuk pergi ke toko paman Noir. Namun, karena sepagi itu toko belum dibuka, maka Keira pergi ke tempat kakaknya terlebih dahulu. Jika dihari-hari biasa dia pasti datang saat setelah selesai bekerja, namun diakhir pekan Keira datang pagi-pagi sekali untuk bertemu kakaknya.
Saat perjalanan menuju rumah sakit di pusat kota yang lumayan dekat dengan rumah Keira, ia menyempatkan untuk membeli bunga di toko bunga langganannya dekat rumah sakit. Toko tersebut memang sudah buka sedari subuh, dan tutup di jam yang sangat larut. Sehingga Keira selalu dapat membeli bunga disana ketika akan menemui kakaknya. Namun, kebiasaan Keira hanya membeli sebatang bunga saja. Yaitu sebatang bunga krisan bewarna ungu.
“Permisi!” sapa Keira pada sang penjual yang tampak sedang merangkai beberapa bunga di meja depan toko.
“Ahh, seperti biasa nona?” tanya wanita penjual bunga tersebut karena telah hafal dengan apa yang selalu Keira beli di tokonya.
“Yap, tepat sekali kak.”
Keira tersenyum lebar.
“Tunggu sebentar,” ucap wanita tersebut sambil berjalan menuju rak dalam toko yang berisi banyak sekali macam-macam bunga.
Tak lama wanita si penjual bunga keluar dari toko dengan membawa Bunga pesanan Keira.
“Khusus hari ini, bunga ini gratis untukmu. Hari ini aku sedang berbahagia karena kekasihku telah melamarku kemarin. Astaga... aku sampai tidak bisa tidur semalaman sangking bahagianya,” ucap wanita itu sambil tersenyum sangat lebar dengan pipi yang sedikit merona.
“Astaga kak, mukamu sekarang saja sudah seperti kepiting rebus. Aku tidak bisa mengira seberapa bahagianya engkau saat ini. Tapi untuk bunga gratisnya ini, terima kasih banyak!”
Keira melanjutkan perjalanannya menuju rumah sakit yang tinggal beberapa meter lagi. Ia menatap gedung tinggi tersebut. Entah kenapa rasa nyeri di hatinya mulai datang lagi, rasa sakit di hatinya karena melihat kondisi kakaknya kini dan ketidak pedulian orangtuanya pada mereka. Menciptakan beberapa luka yang dalam di hatinya.
Keira menaiki lift untuk menuju kamar kakaknya di lantai tiga gedung besar ini.
“ting”
Suara lift yang menandakan bahwa Keira telah sampai di lantai tujuannya. Ia segera keluar dan menuju kamar Rega.
“Selamat pagi, tuan Rega kesayangannya Keira!” ucap Keira setelah masuk ke kamar Rega dan melihatnya tengah melahap bubur serta sayur-mayur di atasnya yang terlihat segar.
“Selamat pagi, Kei!” jawab Rega dengan suara beratnya yang lirih karena memang tak memiliki banyak tenaga seperti Keira.
Keira menaruh bunganya di atas piano yang ada di dalam kamar kakaknya. Ya, Rega meminta keira menaruh sebuah piano di kamarnya agar setiap Keira datang Keira dapat bermain piano untuknya. Serta, agar ia dapat melihat semua kemajuan adiknya itu dalam bermain piano.
“Kak, kemarin dosen memberiku tugas mengaransemen sebuah lagu untuk bahan ujian semester nanti. Kau tahu? Dosenku memilih lagu canon, lagu yang sering kita mainkan dari dulu!” curhat Keira dengan wajah yang sumringah.
“Benarkah? Dosen itu sangat mempermudah dirimu, Kei. Kau bahkan bisa memainkan lagu itu dengan mata tertutup.”
“Tidak seperti itu juga, kak. Tapi pada tugas ini kan misinya untuk mengaransemen, aku bahkan belum mulai mengerjakannya sama sekali.”
“Segera mulailah, jangan mengerjakannya dengan mendadak. Nanti kau bisa tertekan dan membuat hasil kerjaanmu menjadi tidak memuaskan,” ujar Rega mengingatkan adiknya sambil memakan suapan terakhir sarapannya itu.
“Baiklah, tuan..” canda Keira yang kini duduk dismping ranjang kakaknya.
Rega kembali sedikit membaringkan tubuhnya lagi. Keira mengambil tangan Rega dan mengusapnya pelan. Ia benar-benar ingin kakaknya sembuh dan menjalani hari bersama dengan Keira.
“Tetaplah menjalani hidupmu dengan baik, Kei. Jadilah orang baik,” ucap Rega sambil menarik tangannya dari ganggaman Keira untuk mengusap kepala adiknya tersebut.
“Aku memang sudah menjadi orang baik dari dulu, kak!” jawab Keira sambil tertawa terbahak-bahak. Rega pun turut tertawa melihat tingkah Keira yang sangat menggemaskan itu, menurutnya.
“Aku akan pergi, kak. Sudah jam segini. Setelah ini toko paman Noir akan segera buka,” pamit Keira sambil berdiri dan memeluk kakaknya.
“Baiklah. Hati-hati di jalan, Kei.”
Keira berjalan menuju toko Bluestone. Ditengah perjalanan Keira membeli dua potong roti lapis, satu untuk ia sarapan dan yang satu lagi untuk paman Noir. Saat akan mengambil uang dari dompetnya, ada selembar kertas kecil ikut terjatuh. Ia segera mengambil dan menggenggamnya dengan segera lalu membayarkan roti lapisnya.
Perjalanan berlanjut setelah Keira membeli roti tersebut. Ia mengingat selembar kertas yang digenggamnya tadi, dengan segera Keira memeriksanya.
Ternyata kartu nama milik tuan Moza, Keira ingat dengan ajakan tuan Moza kemarin. Setelah dipikir-pikir, menurut Keira tawaran tuan Moza cukup menarik. Tapi yang membuat Keira sulit memutuskan adalah karena Keira belum pernah tampil di depan umum sebelumnya, sehingga ia belum terlalu percaya diri untuk menerimanya.
Tapi kesempatan tidak akan datang dua kali, Keira sangat tertarik untuk mengikuti kontes tersebut. Maka dari itu, Keira ingin menggunakan kesempatan itu.
Keira mengambil ponsel
dari sakunya dan menekan nomor sesuai dengan yang ada di kartu nama tuan Moza.“Halo, tuan Moza! Ini Keira, kemarin yang kau beri tawaran untuk tampil disebuah kontes yayasan. Dan aku tertarik untuk menerimanya.”
“Ahh Keira, iya... Aku sangat senang akan keputusanmu. Tapi kau tak perlu memanggilku formal seperti itu, panggil saja aku paman. Aku lebih nyaman dipanggil seperti itu,” ucap pria di seberang telepon tesebut.
“Baiklah, paman. Kapan acara itu dilaksanakan? Dan lagu apa yang harus kupersiapkan?” tanya Keira.
“Acaranya seminggu lagi, Kei. Kau tenang saja, lagu dan persiapan latihan akan kupersiapkan. Kau hanya perlu datang dan berlatih saja. Latihan dilaksanakan tiga kali pada hari Selasa, Kamis, dan Jum’at. Dan lagi, kau tidak perlu repot-repot pergi sendiri ke yayasan untuk berlatih. Akan ada yang menjemput dan mengantarmu pulang,” jelas pria tersebut.
“Astaga, paman. Kenapa kau perlu sampai seperti ini? Aku bisa berangkat sendiri.”
“Tidak apa, Kei. Saat pertama melihatmu aku sudah menganggapmu sebagai putriku sendiri. Oh iya, kau mau kubayar berapa untuk pertunjukan ini?”
“Tidak paman, aku ingin melakukan ini. Aku ikhlas melakukannya tanpa mengharap imbalan apapun. Lagipula paman sudah mempersiapkan segalanya, dan aku tinggal bermain saja kan?” tolaknya karena memang Keira sama sekali tak membutuhkan uang saat ini.
“Baiklah, tapi jika kapanpun kau menginginkan sesuatu katakana saja. Aku akan mengabulkannya untukmu.”
“Baik, paman. Terimakasih banyak atas tawarannya.”
“Aku juga berterima kasih padamu karena telah menerima tawaranku. Pasti anak-anak bahagia dengan kehadiranmu. Sampai jumpa dihari latihan, Kei!”
“baik, paman. Sampai jumpa!”
Setelah itu Keira melanjutkan perjalanan menuju toko Bluestone untuk bekerja seperti biasa.
Tak memakan watu yang lama untuk keira sampai di sana, Keira langsung menyapa paman Noir dan memberikan roti lapis yang ia beli tadi.
Hari ini adalah hari pertama Keira akan pergi berlatih untuk kontes di yayasan Green Hill. Pagi tadi, paman Moza menghubungi Keira dan memberitahu bahwa orang suruhannya akan menjemput Keira di halte dekat toko pukul enam sore nanti. Halte yang dimaksud memang sangat dekat dengan toko Bluestone, hanya berjarak empat bangunan saja. Halte tersebut berada tepat di depan toko buku yang cukup besar di kota ini. Setelah selesai kuliah, Keira langsung menuju ke toko seperti biasa. Sore ini, ia ingin mulai menyicil untuk mengerjakan tugas mengaransemen lagunya di tempat paman Noir sambil menunggu waktu saat orang yang akan menjemputnya datang. Keira mulai mencoba lagu "Canon" pada bait awal, lalu ia mencoba menekan beberapa tuts untuk sedikit diganti dan ditambah pada barisan melodinya. Beberapa kali ia mengulang bait awal karena dirasa masih belum tepat dan selaras. Kertas partitur Keira pun mulai banyak coretan di barisan paling atasnya. Ia benar-benar ingin membuat aranse
“Paman, kita mau ke mana? Sepertinya sedari tadi kita berjalan tapi tak kunjung sampai, seberapa jauh lagi tempat tujuan kita?” tanya Keira gelisah. “Kita akan ke asrama anak-anak, kei. Letaknya memang di bagian belakang dari bangunan ini. Kita akan pergi berlatih di sana. Sebenarnya, seharusnya kau memang tidak turun dari parkiran depan tadi, akan tetapi melalui jalan memutar lewat gerbang belakang. Namun karena kakek Jo membawa barang-barang untuk persiapan kontes maka kakek Jo harus menaruhnya di aula utama yang berada di samping perpustakaan yang kita lewati tadi. Disanalah sanalah tempat kita akan mengadakan kontes besok,” ujar paman Moza menjelaskan pada Keira. “Ahh jadi begitu, paman. Aku sempat khawatir kita akan tersesat di tempat sebesar ini karena tak kunjung sampai, dan juga tempat ini kenapa terlihat sangat sepi sekali paman?” “Hahahaha.. tidak mungkin lah, Kei. Aku saja sudah hampir dua puluh tahun mengurus tempat ini, tidak mungkin kita tersesa
“Apakah aku perlu meminjamkan mataku agar kau dapat melihat dengan jelas? Lihatlah apa yang kau lakukan!” teriak Keira karena sedikit kaget dan menahan panasnya kopi yang mengenai tangan serta kakinya. Pria itu juga terlihat sangat kaget, lantas langsung menarik tangan Keira menuju kamar mandi untuk membantunya segera menyiram luka dari panasnya kopi yang ia bawa tadi sambil berkata, “Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja. Sekali lagi maafkan aku” Keira tak menjawab, ia masih sibuk menyingkap lengan bajunya agar kulitnya segera tersiram dengan air mengalir di kamar mandi. Wajah pria itu tampak khawatir, dengan hati-hati ia membantu Keira untuk menyiram kulitnya dibagian yang terkena kopi dengan air. Untung saja jari-jari Keira selamat, tak terluka sama sekali. Hanya sedikit punggung tangan serta bagian lengannya saja. Bagian kakinya hanya sedikit sekali yang terkena hingga tidak menimbulkan luka berarti. Tiba-tiba paman Moza datan
Paman Moza yang sedari tadi duduk mengawasi latihan mereka bangkit menghampiri. “Hari ini sudah cukup bagus. Kalian hanya harus menguatkan permainan masing-masing dahulu, lalu nanti tinggal menggabungkan dan menyelaraskan permainan kalian saja. Untuk hari ini mari kita akhiri dahulu,” ujar paman Moza dengan senyuman yang menandakan cukup puas akan latihan hari ini. “Baik, paman..” jawab Keira dan Ellish bersamaan. “Permainan mu bagus sekali, Ell. Kau dapat dengan cepat beradaptasi denganku, aku saja cukup kesulitan tadi. Tapi kau malah terlihat sangat rileks dan santai.” “Dulu aku memang sudah terbiasa berkolaborasi dengan paman Moza. Tapi permainan mu tadi juga tidak buruk, kak..” kata Ellish. “Keira, kau ikutlah makan malam bersama kami sekalian di sini. Kau pasti juga lapar karena belum makan malam, kan?” ajak paman Moza pada Keira. “Baiklah, paman. Terimakasih,” ucap Keira yang memang belum makan malam dan merasa bahwa cacing
“Sudah? Mari.. akan segera ku antar kau pulang. Ini sudah larut,” ajak Sean lalu berjalan mendekati Keira dengan gaya sok kerennya. “Iya.. sebentar,” ucap Keira sambil turun dari ranjang anak-anak dengan sangat perlahan, agar mereka tidak terbangun karena pergerakan Keira. Mereka berjalan bersama, keluar dari asrama menuju ke parkiran belakang. Untuk pergi ke tempat itu mereka harus melewati sebuah lorong yang sedikit gelap, mungkin karena lampunya ada beberapa yang mati karena rusak. Di yayasan itu di setiap sisinya selalu terang, hanya bagian itu saja yang tergelap. Saat mereka sudah keluar dari bangunan, tempat itupun juga minim penerangan. Entah mengapa, di tempat seperti ini malah banyak lampu yang rusak. Di sekitar parkiran itu terdapat banyak sekali pepohonan yang mengitari, dan juga semak-semak yang sedikit rimbun. Tepat sebelum mereka memasuki area parkiran, tiba-tiba ada suara seperti pergerakan seseorang di balik semak-semak dekat mereka. M
Mereka tiba di rumah sakit. Keira menuruni motor sambil membuka helm yang dipakainya tadi lalu memberikannya pada Sean. “Terimakasih banyak karena telah mengantarkanku sampai ke sini dengan selamat.” “Sama-sama gadis tomat. Tapi omong-omong suaramu tadi lumayan,” kata Sean sambil menggantungkan helm yang diberikan Keira tadi ke jok bagian depan. “Kau tidak perlu meledekku seperti itu, aku bisa sadar diri kok. Dan ya, untuk sebutan gadis tomat itu, lumayan lucu. Aku hampir saja tertawa lagi karena kau hari ini,” kata Keira dengan ekspresi yang entah, sangat sulit diartikan oleh Sean. “Aku serius, suaramu sama sekali tidak buruk. Dan lagu tadi,.. apa judulnya?” tanya Sean yang penasaran karena merasa seperti pernah mendengarnya sebelumnya. “Terima kasih, judul lagunya Yesterday-The Beatles. Aku pergi dulu,” jawab Keira dengan tersenyum tipis sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi. Keira berjalan masuk menuju dalam rumah sa
“Iya.. sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu, Kei. Ini tentang orangtuamu,” ucap paman Gio dengan nada serius. Keira sedikit cemas, kenapa paman Gio terlihat sangat serius sekali. Sepertinya ini bukanlah hal yang main-main. “Ada apa dengan orangtuaku paman?” tanya Keira dengan wajah yang terlihat sangat penasaran. “Mereka tidak bisa pulang dulu untuk beberapa bulan, ada proyek di luar kota. Mereka memintaku untuk mengabarimu. Karena mereka tidak sempat pulang hari ini dan harus segera berangkat menuju bandara,” jelas paman Gio. Paman Gio memang bekerja bersama orangtua Keira, di perusahaan yang sama sebagai bawahan papanya. Paman Gio pun juga sering mengirimi pesan pada Keira, untuk mengabari jika orangtuanya sedang akan bertugas selama berbulan-bulan di luar kota. Entah betapa tidak pedulinya orangtua Keira, hingga untuk mengabari anaknya saja selalu diwakilkan oleh orang lain. Keira pun sama sekali tidak ingat kapan terakhir kali ia b
(Sean pov.) Hari ini, Sean akan pergi mencari orang yang ingin ia cari sejak pulang ke negara ini. Ia berencana untuk naik angkutan umum saja, karena daerah itu dekat dengan halte. Mungkin saja, ia akan bertemu dengan mereka saat di perjalanan. Sebelum pergi dari asrama yayasan, Sean meminta ijin dari paman Moza terlebih dahulu agar beliau tidak khawatir bila melihat Sean tidak berada di tempatnya. Tak lama menunggu di halte terdekat dari asrama itu, bus yang menuju ke tujuan Sean telah tiba. Ia segera naik, lalu menggesekkan kartu angkutan umum yang diberikan pamannya pada mesin pembayaran otomatis dan segera mencari duduk di bagian belakang bus ini. Sudah lama sekali rasanya, Sean tidak menumpangi kendaraan umum seperti saat ini. Terlihat banyak sekali yang telah berubah. Semua sudah serba canggih dan terlihat lebih modern dibanding dulu. -------------------- Setelah sampai di sana, Sean langsung turun dan mulai
“Terkutuklah, kau, Setan sialan!” teriak Keira sambil memejamkan mata.“Enak saja setan, dokter tampan seperti ini tidak pantas di sama-samakan dengan setan manapun. Ternyata kau ini juga penakut rupanya,” ujar sang pelaku yang membuat jantung Keira hampir terpental dari asalnya ini.Keira langsung menyadarkan diri, lalu melihat siapa pria di hadapannya saat ini. Dan setelah mengenalinya Keira mulai menarik napas jengah, sambil menampakkan muka yang sangat datar.“Sepertinya aku tidak salah, tuh. Kau kan memang manusia berperilaku seperti setan, mengageti orang seperti itu. Itulah pekerjaan setan, dan kau melakukannya dengan sangat baik.”Astaga, Keira berusaha setengah mati menahan rasa malunya dan berusaha mengalihkan pembicaraan saat ini. Mengingat tingkahnya yang ketakutan tadi, ia benar-benar menyesal sempat bercerita horror dengan Rega sebelumnya. Karena hal itulah ia jadi merasa lebih was-was terhadap sekitarnya,
“Kau mengaku saja!” seru Noel dengan nada santai, namun penuh selidik. “Itu tadi kekasihmu yang waktu itu kan?” lanjutnya sambil tersenyum menggoda menatap Keira yang telah duduk di mejanya kini. Keira pun hanya memutar bola matanya malas. Pria satu ini sepertinya memang sangat kurang kegiatan, hingga memiliki banyak waktu luang untuk mengganggunya saat ini. “Paman Noir, kenapa Paman membiarkan orang aneh ini masuk, sih?” tanya Keira kesal. “Aku kira dia temanmu, Kei. Katanya dulu dia juga sering bermain denganmu,” ucap Paman Noir sambil fokus menatap layar komputer di depannya. Seperti biasa, Paman Noir pasti sedang memainkan permainan katak Zuma kesukaannya. “Tidak, dia bukan temanku,” jawab Keira acuh, sambil memutar bola matanya malas. Paman Noir hanya terkekeh mendengarnya, ia berpikir bahwa mungkin Keira dan Sean sedang bertengkar saat ini. “Paman, apakah Paman ingat dulu aku suka bermain di depan toko ini juga? Bahkan ak
“Matamu sangat indah. Jadi, aku ingin melihatnya dari dekat seperti ini... Sebentar saja,” ujar Noel sambil memajukan mukanya dan terus menatap mata Keira dalam-dalam.Sangking terkejutnya dengan perlakuan Noel tersebut, Keira hanya bisa terdiam tanpa melakukan apapun. Ia hanya bisa sedikit melebarkan matanya dengan degupan jantung yang tidak karuan karena semua yang terjadi terlalu tiba-tiba.Namun, dengan waktu yang sangat singkat mata Noel dengan mudah dapat mengunci pandangan milik Keira. Disaat yang bersamaan pun Keira ikut tenggelam di dalam mata Noel yang tampak sangat dalam itu. Rasanya terlalu dalam hingga hatinya ingin ikut terbawa, di sisi lain juga ada ketakutan jika ia akan terjatuh terlalu dalam dan sulit untuk keluar dari dasar sana.Hingga beberapa detik berlalu. Angin pun berhembus mengarah ke dataran muka milik Keira yang membuat anak-anak rambutnya ikut tersampir oleh gelombang angin yang lembut, serta membawa sebuah aroma khas mas
“Halo, Noel! Ada apa?”“..........”“Ah, iya..”“..........”“Baiklah..”“.........”“Iya, sampai jumpa besok!”Panggilan terputus.Setelah panggilan berakhir, Keira pun menaruh ponselnya kembali ke tempat asalnya lalu kembali berbaring dan memejamkan mata. Baru saja ia memejamkan matanya, lagi-lagi dering ponselnya berbunyi nyaring. Dan entah mengapa kini rasanya dering tersebut semakin terdengar menyebalkan saja, sebab Keira benar-benar sudah hampir terlelap tadi. Tapi, ada saja yang membuatnya memaksakan kedua matanya untuk terbuka secara mendadak.Keira duduk dengan perasaan fustasi, ia mengambil poselnya dengan tidak santai. Ia sekilas melihat layar ponsel, yang ternyata nama Sean lah yang terpampang di sana dan membuatnya sangat kesal. Dengan terpaksa, ia menekan tombol hijau dan mengerahkan benda pipih i
“Apa?!” tanya Keira sewot.“Sudah, ikut saja. Aku jamin kau akan merasa sangat senang nanti,” jawab Sean sambil memberikan salah satu helm nya.“Tidak, pergilah!” cetus Keira sambil melipat tanganya di depan dada.Sean menghembuskan napas sambil berpikir bagaimana cara untuk membujuk gadis pemarah di depannya ini.“Ayolah..”“Tidak!” gertak Keira lalu berbalik pergi meninggalkan Sean menuju halte di depan sana.Sean tak tinggal diam, ia sedang dalam mode pantang menyerah saat ini. Ia turun dari motor dan memarkirkannya sembarangan lalu mengekor pada Keira.“Kalau begitu aku akan terus mengikutimu seperti ini,” ancam Sean.Ia terus mengekori Keira dengan banyak tingkah. Ia mengikutinya dengan keadaan masih mengenakan helm. Kelakuannya tersebut sampai membuat Keira malu, karena beberapa orang di halte menatap mereka dengan tatapan yang sedikit aneh.Ke
Ia terlihat berdiri dengan tatapan yang sangat sulit diartikan, sangat aneh, dan terlihat seperti tengah bersedih.“Apakah Sean menangis?” batin Keira sambil mengerutkan dahi.Ia berjalan mendekati Sean dengan langkah cepat dan raut yang khawatir. Ia takut, mungkin saja saat ini Sean sedang kerasukan hantu Noni Belanda yang tengah bersedih ria.Sedangkan di sisi yang berlawanan, Sean terus menatap Keira yang kini tengah berjalan ke arahnya. Keira, dengan gaun indah serta rambut panjangnya yang terurai itu menunjukkan raut khawatir.Sean menghembuskan napas yang semakin memberat sejak beberapa waktu terakhir, banyak sekali penyesalan yang harus ia tanggung sendirian selama bertahun-tahun ini. Namun disaat yang bersamaan, ada kelegaan di hatinya. Usaha pencariannya kini telah menemui akhir, dan sama sekali tidak terduga.Beberapa bulan terakhir memang terasa makin sulit bagi Sean, ia terus terpikirkan oleh rasa bersalahnya t
Keira...Untuk pertama kalinya kini dengan berani menunjukkan diri di depan banyaknya pasang mata. Menunjukkan hal yang paling ia sukai, serta hal yang paling berharga dalam hidupnyamusik.Kakinya perlahan melangkah menaiki tangga kecil untuk segera mencapai tengah panggung di depan sana. Suara langkah kakinya yang memakai flat shoes putih polos itu beradu dengan riuhnya tepuk tangan dari para penonton.Mendadak suasana terasa semakin semu, seperti berada di dunia yang lain. Sebuah dunia baru yang tampak penuh dengan ribuan debaran. Detak jantung yang begitu terasa asing bagi Keira, namun kini ia sangat menyukainya. Waktu pun terasa memberat untuk bergulir maju, hingga memberi kesempatan padanya untuk bisa bernapas sangat panjang.Hingga sampai tepat berada di samping piano atas panggung, dua manusia yang telah siap menampilkan kumpulan melodi indah ini pun sedikit membungkuk untuk memberi salam pada ratusan pasang mata di depan sana.
Sementara itu, paman Moza dan Sean mengurus acara di aula depan sana. Mereka mengawasi tata panggung serta menyambut para tamu yang baru datang. Seringkali berbincang, menyapa, serta beberapa kali sedikit membungkuk untuk menyapa tamu lain yang baru saja hadir.Aula yayasan tersebut pun telah disulap menjadi sebuah tempat yang sangat indah. Hiasan-hiasan yang tidak terlalu kekanak-kanakan, akan tetapi tetap terlihat meriah. Panggungnya pun didirikan sedemikian rupa hingga tampak seperti panggung-panggung teater di gedung-gedung teater besar di pusat kota. Sangat mengesankan.Suasana di sana sudah sangat ramai oleh tamu. Juga, paman Noir yang telah datang dan menempati kursinya yang terletak tepat di depan panggung.Setelah jam menunukkan pukul sepuluh tepat, paman Moza dan Sean pun menghentikan kegiatannya lalu pergi ke tempat duduk masing-masing karena acara akan segera dimulai. Semua urusan tatanan acara, bahkan MC, telah disiapkan oleh para staff
Hari ini, Keira bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan diri sebelum pentas. Kemarin setelah bertemu dengan kakaknya, ia langsung pulang ke rumah dan beristirahat sepanjang hari agar hari ini tubuhnya bisa kembali pulih dan sehat bugar.Benar saja, berkat kemauannya yang besar agar dapat segera pulih serta obat dan vitamin pemberian Sean kemarin membuatnya lebih cepat melalui masa pemulihan. Hari ini rasanya segar sekali, Keira sangat besyukur dengan hal itu.Keira tidak menyiapkan terlalu banyak hal, karena paman Moza tadi malam mengabari bahwa semuanya akan disiapkan oleh yayasan. Termasuk baju, riasan dan lain-lain. Ia lagi-lagi hanya perlu menyiapkan keadaan diri sendiri dan juga mental yang siap saja. Namun, khusus untuk kali ini Keira meminta paman Moza agar tidak perlu menyuruh siapapun menjemputnya. Karena ia berencana untuk mengunjungi kakaknya di rumah sakit terlebih dahulu dan ingin lebih menikmati perjalanannya saja. Ia ingin bert