“Apakah aku perlu meminjamkan mataku agar kau dapat melihat dengan jelas? Lihatlah apa yang kau lakukan!” teriak Keira karena sedikit kaget dan menahan panasnya kopi yang mengenai tangan serta kakinya.
Pria itu juga terlihat sangat kaget, lantas langsung menarik tangan Keira menuju kamar mandi untuk membantunya segera menyiram luka dari panasnya kopi yang ia bawa tadi sambil berkata,
“Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja. Sekali lagi maafkan aku”
Keira tak menjawab, ia masih sibuk menyingkap lengan bajunya agar kulitnya segera tersiram dengan air mengalir di kamar mandi.
Wajah pria itu tampak khawatir, dengan hati-hati ia membantu Keira untuk menyiram kulitnya dibagian yang terkena kopi dengan air.
Untung saja jari-jari Keira selamat, tak terluka sama sekali. Hanya sedikit punggung tangan serta bagian lengannya saja. Bagian kakinya hanya sedikit sekali yang terkena hingga tidak menimbulkan luka berarti.
Tiba-tiba paman Moza datang mencari Keira, karena sudah lama ia tak kunjung kembali untuk berlatih. Paman Moza terbelalak kaget dengan apa yang dilihatnya pertama kali. Keira sedang berduaan dengan seorang laki-laki di kamar mandi. Tapi pria tadi segera menengok dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sambil mematikan kran lalu memberikan sapu tangan dari sakunya pada Keira agar ia dapat mengeringkan kulitnya.
“Aku tidak sengaja menumpahkan kopi panasku padanya, Paman. Maka dari itu aku langsung melakukan penanganan pertama untuk meminimalisir lukanya.”
“Astaga, mengapa kau bisa seceroboh ini?” ujar paman Moza dengan nada yang sangat khawatir.
“Aku sedang tidak fokus saja hari ini, paman. Dan aku benar-benar menyesal karena ulahku ini,” ucap pria tersebut dengan nada penuh sesal.
“Apakah kau tidak apa, Kei? Masih bisa bermain piano? Bicaralah yang sejujurnya. Kau tak perlu memaksakan diri untuk ini,” kata paman Moza setelah mereka keluar dari kamar mandi.
“Aku benar-benar tak apa, paman. Lagi pula jari-jari ku ini tak ada yang tidak selamat. Hanya punggung tangan ini saja yang terkena sedikit. Aku masih bisa bermain dengan sangat baik,” jawab Keira sambil memperlihatkan bagian tangan dan lengannya nya yang sedikit kemerahan karena tragedi tadi.
“Jadi dia yang akan menggantikanmu untuk bermain piano di pentas nanti, paman?” tanya pria tadi yang tiba-tiba menyahut.
“Pengganti? Sebelum ini memang paman sendiri yang tampil bermain piano untuk pentas? Berarti paman adalah pianis juga? Tapi mengapa kau menyuruhku untuk bermain padahal kau sendiri bisa melakukannya?” tanya Keira menggebu-gebu karena sangking penasarannya.
“Dulu aku memang seorang pianis, juga sudah tampil untuk kontes ini selama bertahun-tahun. Namun sekarang tidak lagi karena kecelakaan yang telah kualami dua tahun yang lalu. Kecelakaan itu membuat jari-jariku patah dibeberapa bagian dan harus dipasang pen untuk beberapa bulan. Dan kini memang sudah sembuh, tapi tak bisa di gerakkan dengan leluasa seperti dulu...” jelas paman Moza sambil memperlihatkan beberapa kali ia menekuk-nekuk jarinya yang terlihat sangat kaku itu.
“Aku turut bersedih mendengarnya, paman. Pasti kau sangat terpukul kala itu,” ucap Keira bersimpati.
“Mau bagaimana lagi? Hidup akan terus berjalan, aku harus melewatinya. Daripada terus-menerus terjebak dengan kesedihan, lebih baik aku mencari kebahagiaanku dari jalan yang lain...” ujar paman Moza sambil tersenyum tipis.
“Dua tahun ini, posisi paman Moza dalam bermain piano di kontes selalu kosong. Dan kini tiba-tiba ada pengganti. Pasti dia ini sangat berbakat sampai paman Moza sendiri yang memilihnya langsung,” celetuk pria tadi lagi
“Benar, dia ini memang sangat berbakat. Aku pernah sekali melihat langsung bagaimana ia bermain dengan sangat baik dan juga indah,” jawab paman Moza.
“Tidak usah berlebihan, paman Moza. Aku tidak bermain sebaik itu juga. Tapi pria ceroboh ini siapa paman? Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya,” tanya Keira penasaran.
“Dia ini Sean keponakanku, dokter pengangguran yang baru saja pulang ke negara ini. Baru lulus dari kampus kedokteran besar di Inggris dalam masa studinya yang singkat yaitu 3 tahun saja. Disana ditawari kerja dimana-mana, eh malah pulang. Ya jadinya pengangguran seperti ini,” jelas paman Moza diakhiri dengan tawanya yang terbahak-bahak.
“Astaga, apakah kau habis memakan cabai dua kilo lagi paman? Mulutmu sangat pedas sekali. Tapi sepertinya aku juga pernah bertemu wanita ini sebelumnya. Suaranya seperti tidak asing. Dan kata-kata nya mirip dengan seorang gadis pemungut tomat di depan toko jual beli alat musik,” tanya Sean sambil mengernyitkan dahi untuk mengingat-ingat kejadian waktu itu.
“Apakah aku perlu meminjamkan mataku agar kau bisa melihat dengan jelas? Lihatlah apa yang kau lakukan!” ucap Keira dan Sean bersamaan yang tiba-tiba sama-sama teringat kejadian waktu itu.
Entah bagaimana bisa, tapi mereka mengucapkannya secara bersamaan. Rasa-rasanya seperti sedang mengalami "deja vu".
Astaga mereka lucu sekali.
“Iya.. aku yang waktu itu memungut tomat, dan karena kecerobohanmu yang menginjak para tomat-tomat, nenekku jadi rugi dua biji dan aku yang harus membersihkan sisa kotorannya. Apakah memang dimana-mana kau selau bertindak ceroboh seperti itu?” tanya Keira dengan wajah yang kesal.
“Aku jarang sekali bertindak ceroboh sebelumnya. Tapi entah kenapa saat bertemu denganmu aku selalu melakukan kesalahan,” katanya heran. Karena setelah dipikir-pikir lagi memang Sean bertindak ceroboh di negara ini, hanya pada saat bertemu Keira saja.
“Sudah, mari hentikan percakapan ini dan mulai latihan. Dan kau, Sean. Lanjutkanlah kesibukan menganggurmu di sini,” kata paman Moza sambil membawa Keira pergi dan tak lupa dengan tawa terbahak-bahak miliknya karena telah mengatai Sean dengan sangat puas.
“Benar-benar pamanku yang satu ini, inilah akibat dari melajang sampai tua! Terlihat sangat amat kurang kasih sayang!” teriak Sean karena paman Moza yang telah berjalan menjauh bersama Keira.
“Tapi aku bahkan belum mengetahui namanya,” kata Sean dalam hati sambil melihat punggung Keira yang menghilang di belokan lorong.
Mereka telah berkumpul di tempat berlatih lagi, Ellish terlihat sudah siap dengan biolanya. Dan beberapa anak-anak yang duduk melingkar untuk dapat melihat Keira dan Ellish berlatih. Tak lupa tiga anak kecil itu, Michael, Aldo dan Sherin menonton di baris paling depan untuk melihat Keira. Sepertinya, mereka bertiga sudah sangat menyukai Keira. Sangat amat terlihat dari wajah bahagianya mereka.
Paman Moza datang dengan membawa sebuah kertas berisi aransemen lagu, lalu memberikannya masing-masing pada Keira dan Ellish.
“Yang akan kalian tampilkan pada saat kontes nanti adalah lagu yang berjudul “River Flows in You”. Lagu ini sudah ku aransemen sendiri sesuai dengan alat musik kalian agar hasilnya menjadi selaras dan indah. Kalian berdua tinggal menghafal dan menyelaraskan keduanya saja,” kata paman Moza menjelaskan.
“Baik, paman..” ucap mereka berdua bersamaan.
Mereka akhirnya memulai latihannya. Pada awalnya mereka bermain sendiri-sendiri untuk pemanasan dan menguatkan permainan masing-masing dahulu.
Hingga setengah jam berlalu, mereka baru mulai berlatih bersama. Mereka berulang kali berhenti ditengah lagu karena merasa kurang selaras. Ketukan tak sama, dan karena beberapa kali salah memainkan kunci. Mereka terus berlatih hingga jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam.
Paman Moza yang sedari tadi duduk mengawasi latihan mereka bangkit menghampiri. “Hari ini sudah cukup bagus. Kalian hanya harus menguatkan permainan masing-masing dahulu, lalu nanti tinggal menggabungkan dan menyelaraskan permainan kalian saja. Untuk hari ini mari kita akhiri dahulu,” ujar paman Moza dengan senyuman yang menandakan cukup puas akan latihan hari ini. “Baik, paman..” jawab Keira dan Ellish bersamaan. “Permainan mu bagus sekali, Ell. Kau dapat dengan cepat beradaptasi denganku, aku saja cukup kesulitan tadi. Tapi kau malah terlihat sangat rileks dan santai.” “Dulu aku memang sudah terbiasa berkolaborasi dengan paman Moza. Tapi permainan mu tadi juga tidak buruk, kak..” kata Ellish. “Keira, kau ikutlah makan malam bersama kami sekalian di sini. Kau pasti juga lapar karena belum makan malam, kan?” ajak paman Moza pada Keira. “Baiklah, paman. Terimakasih,” ucap Keira yang memang belum makan malam dan merasa bahwa cacing
“Sudah? Mari.. akan segera ku antar kau pulang. Ini sudah larut,” ajak Sean lalu berjalan mendekati Keira dengan gaya sok kerennya. “Iya.. sebentar,” ucap Keira sambil turun dari ranjang anak-anak dengan sangat perlahan, agar mereka tidak terbangun karena pergerakan Keira. Mereka berjalan bersama, keluar dari asrama menuju ke parkiran belakang. Untuk pergi ke tempat itu mereka harus melewati sebuah lorong yang sedikit gelap, mungkin karena lampunya ada beberapa yang mati karena rusak. Di yayasan itu di setiap sisinya selalu terang, hanya bagian itu saja yang tergelap. Saat mereka sudah keluar dari bangunan, tempat itupun juga minim penerangan. Entah mengapa, di tempat seperti ini malah banyak lampu yang rusak. Di sekitar parkiran itu terdapat banyak sekali pepohonan yang mengitari, dan juga semak-semak yang sedikit rimbun. Tepat sebelum mereka memasuki area parkiran, tiba-tiba ada suara seperti pergerakan seseorang di balik semak-semak dekat mereka. M
Mereka tiba di rumah sakit. Keira menuruni motor sambil membuka helm yang dipakainya tadi lalu memberikannya pada Sean. “Terimakasih banyak karena telah mengantarkanku sampai ke sini dengan selamat.” “Sama-sama gadis tomat. Tapi omong-omong suaramu tadi lumayan,” kata Sean sambil menggantungkan helm yang diberikan Keira tadi ke jok bagian depan. “Kau tidak perlu meledekku seperti itu, aku bisa sadar diri kok. Dan ya, untuk sebutan gadis tomat itu, lumayan lucu. Aku hampir saja tertawa lagi karena kau hari ini,” kata Keira dengan ekspresi yang entah, sangat sulit diartikan oleh Sean. “Aku serius, suaramu sama sekali tidak buruk. Dan lagu tadi,.. apa judulnya?” tanya Sean yang penasaran karena merasa seperti pernah mendengarnya sebelumnya. “Terima kasih, judul lagunya Yesterday-The Beatles. Aku pergi dulu,” jawab Keira dengan tersenyum tipis sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi. Keira berjalan masuk menuju dalam rumah sa
“Iya.. sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu, Kei. Ini tentang orangtuamu,” ucap paman Gio dengan nada serius. Keira sedikit cemas, kenapa paman Gio terlihat sangat serius sekali. Sepertinya ini bukanlah hal yang main-main. “Ada apa dengan orangtuaku paman?” tanya Keira dengan wajah yang terlihat sangat penasaran. “Mereka tidak bisa pulang dulu untuk beberapa bulan, ada proyek di luar kota. Mereka memintaku untuk mengabarimu. Karena mereka tidak sempat pulang hari ini dan harus segera berangkat menuju bandara,” jelas paman Gio. Paman Gio memang bekerja bersama orangtua Keira, di perusahaan yang sama sebagai bawahan papanya. Paman Gio pun juga sering mengirimi pesan pada Keira, untuk mengabari jika orangtuanya sedang akan bertugas selama berbulan-bulan di luar kota. Entah betapa tidak pedulinya orangtua Keira, hingga untuk mengabari anaknya saja selalu diwakilkan oleh orang lain. Keira pun sama sekali tidak ingat kapan terakhir kali ia b
(Sean pov.) Hari ini, Sean akan pergi mencari orang yang ingin ia cari sejak pulang ke negara ini. Ia berencana untuk naik angkutan umum saja, karena daerah itu dekat dengan halte. Mungkin saja, ia akan bertemu dengan mereka saat di perjalanan. Sebelum pergi dari asrama yayasan, Sean meminta ijin dari paman Moza terlebih dahulu agar beliau tidak khawatir bila melihat Sean tidak berada di tempatnya. Tak lama menunggu di halte terdekat dari asrama itu, bus yang menuju ke tujuan Sean telah tiba. Ia segera naik, lalu menggesekkan kartu angkutan umum yang diberikan pamannya pada mesin pembayaran otomatis dan segera mencari duduk di bagian belakang bus ini. Sudah lama sekali rasanya, Sean tidak menumpangi kendaraan umum seperti saat ini. Terlihat banyak sekali yang telah berubah. Semua sudah serba canggih dan terlihat lebih modern dibanding dulu. -------------------- Setelah sampai di sana, Sean langsung turun dan mulai
“Bukankah kau Keira? Aku Noel..” kata pria itu sambil memastikan gadis di depannya ini benar-benar orang dia maksud atau bukan. Keira melihat pria itu berbadan tinggi, memakai kaos warna putih polos yang berukuran lebih besar dari badannya, dan menyelipkan sedikit bagian bawah depan bajunya ke dalam celana yang ia pakai. Memakai sandal selop bewarna hitam dan celana selutut yang juga bewarna hitam. Rahangnya tampak tegas dan memiliki bulu mata serta alis yang lebih tebal dari pada Keira. “Noel? Ma’af, sepertinya aku tidak mengenalmu..” “Benarkah? Tapi kau ini Keira anak jurusan piano, kan? Aku teman sekelasmu,” kata pria itu lagi untuk memastikan. “Benar.. Aku Keira jurusan piano. Tapi aku sama sekali tak mengenalmu,” kata Keira sambil terus memandangi pria di depannya, berharap akan mengingat sesuatu tentang teman sekelasnya ini. “Sepertinya kau memang benar-benar tidak mengenalku. Aku memang jarang aktif sih di kelas, tapi sepertinya kau leb
keira membantu paman Noir untuk meunutup toko, ia membereskan barang-barang yang berserakan lalu menyapu lantai. Hari ini Keira akan mengunjungi kakaknya dengan membawa buah pemberian nenek Madu tadi siang. Ada beberapa apel dan juga buah naga ungu kesukaan kakaknya. “Selamat beristirahat paman,” kata Keira sambil memakai tas di punggungnya. “Kau juga, Kei.” Keira pergi keluar dari toko tersebut dan segera berjalan menuju rumah sakit. Seperti biasa ia akan membeli bunga krisan terlebih dahulu di toko dekat rumah sakit. Setelah sampai di kamar Rega, Keira langsung duduk di sebelahnya dan mengambil piring di atas nakas. “Kak, aku membawakan buah kesukaanmu. Buah Naga!” kata Keira sambil menujukkan kantung buah di tangannya. “Dari nenek Madu?” tanya Rega sambil menoel-noel kantung buah tersebut. “Tepat sekali. Tunggu sebentar aku akan mencuci tangan terlebih dahulu.” Keira berjalan menuju wastafel di dalam kamar tersebut l
“Mari kita berangkat tuan pengangguran,” kata Keira sambil menaiki motor Sean dengan senyum penuh kemenangan. Sean memejamkan mata sambil menghembuskan napas lelah. Gadis di depannya ini jauh lebih licik dari yang ia kira. Tak lama setelahnya, Sean langsung menjalankan motornya untuk segera berangkat. Sesekali Keira mengingatkan Sean agar tidak mengantuk saat di perjalanan. “Hei, jangan mengantuk!” kata Keira sambil menepuk bahu Sean. Beberapa kali ia mengucapkan kata-kata tersebut dan hanya dijawab dengan dehaman saja oleh Sean. Sampai akhirnya mereka tiba di parkiran asrama, dengan sigap Keira melepas helm nya dan memberikannya pada pria di depannya ini. “Terima kasih.” Setelah mengatakan itu Keira langsung pergi meninggalkan Sean yang masih sibuk menaruh helm yang dipakai Keira lalu mencopot helm yang dipakainya sendiri. Baru saja masuk ke dalam asrama, Keira langsung diserang oleh tiga anak kecil yang berlari menuju
“Terkutuklah, kau, Setan sialan!” teriak Keira sambil memejamkan mata.“Enak saja setan, dokter tampan seperti ini tidak pantas di sama-samakan dengan setan manapun. Ternyata kau ini juga penakut rupanya,” ujar sang pelaku yang membuat jantung Keira hampir terpental dari asalnya ini.Keira langsung menyadarkan diri, lalu melihat siapa pria di hadapannya saat ini. Dan setelah mengenalinya Keira mulai menarik napas jengah, sambil menampakkan muka yang sangat datar.“Sepertinya aku tidak salah, tuh. Kau kan memang manusia berperilaku seperti setan, mengageti orang seperti itu. Itulah pekerjaan setan, dan kau melakukannya dengan sangat baik.”Astaga, Keira berusaha setengah mati menahan rasa malunya dan berusaha mengalihkan pembicaraan saat ini. Mengingat tingkahnya yang ketakutan tadi, ia benar-benar menyesal sempat bercerita horror dengan Rega sebelumnya. Karena hal itulah ia jadi merasa lebih was-was terhadap sekitarnya,
“Kau mengaku saja!” seru Noel dengan nada santai, namun penuh selidik. “Itu tadi kekasihmu yang waktu itu kan?” lanjutnya sambil tersenyum menggoda menatap Keira yang telah duduk di mejanya kini. Keira pun hanya memutar bola matanya malas. Pria satu ini sepertinya memang sangat kurang kegiatan, hingga memiliki banyak waktu luang untuk mengganggunya saat ini. “Paman Noir, kenapa Paman membiarkan orang aneh ini masuk, sih?” tanya Keira kesal. “Aku kira dia temanmu, Kei. Katanya dulu dia juga sering bermain denganmu,” ucap Paman Noir sambil fokus menatap layar komputer di depannya. Seperti biasa, Paman Noir pasti sedang memainkan permainan katak Zuma kesukaannya. “Tidak, dia bukan temanku,” jawab Keira acuh, sambil memutar bola matanya malas. Paman Noir hanya terkekeh mendengarnya, ia berpikir bahwa mungkin Keira dan Sean sedang bertengkar saat ini. “Paman, apakah Paman ingat dulu aku suka bermain di depan toko ini juga? Bahkan ak
“Matamu sangat indah. Jadi, aku ingin melihatnya dari dekat seperti ini... Sebentar saja,” ujar Noel sambil memajukan mukanya dan terus menatap mata Keira dalam-dalam.Sangking terkejutnya dengan perlakuan Noel tersebut, Keira hanya bisa terdiam tanpa melakukan apapun. Ia hanya bisa sedikit melebarkan matanya dengan degupan jantung yang tidak karuan karena semua yang terjadi terlalu tiba-tiba.Namun, dengan waktu yang sangat singkat mata Noel dengan mudah dapat mengunci pandangan milik Keira. Disaat yang bersamaan pun Keira ikut tenggelam di dalam mata Noel yang tampak sangat dalam itu. Rasanya terlalu dalam hingga hatinya ingin ikut terbawa, di sisi lain juga ada ketakutan jika ia akan terjatuh terlalu dalam dan sulit untuk keluar dari dasar sana.Hingga beberapa detik berlalu. Angin pun berhembus mengarah ke dataran muka milik Keira yang membuat anak-anak rambutnya ikut tersampir oleh gelombang angin yang lembut, serta membawa sebuah aroma khas mas
“Halo, Noel! Ada apa?”“..........”“Ah, iya..”“..........”“Baiklah..”“.........”“Iya, sampai jumpa besok!”Panggilan terputus.Setelah panggilan berakhir, Keira pun menaruh ponselnya kembali ke tempat asalnya lalu kembali berbaring dan memejamkan mata. Baru saja ia memejamkan matanya, lagi-lagi dering ponselnya berbunyi nyaring. Dan entah mengapa kini rasanya dering tersebut semakin terdengar menyebalkan saja, sebab Keira benar-benar sudah hampir terlelap tadi. Tapi, ada saja yang membuatnya memaksakan kedua matanya untuk terbuka secara mendadak.Keira duduk dengan perasaan fustasi, ia mengambil poselnya dengan tidak santai. Ia sekilas melihat layar ponsel, yang ternyata nama Sean lah yang terpampang di sana dan membuatnya sangat kesal. Dengan terpaksa, ia menekan tombol hijau dan mengerahkan benda pipih i
“Apa?!” tanya Keira sewot.“Sudah, ikut saja. Aku jamin kau akan merasa sangat senang nanti,” jawab Sean sambil memberikan salah satu helm nya.“Tidak, pergilah!” cetus Keira sambil melipat tanganya di depan dada.Sean menghembuskan napas sambil berpikir bagaimana cara untuk membujuk gadis pemarah di depannya ini.“Ayolah..”“Tidak!” gertak Keira lalu berbalik pergi meninggalkan Sean menuju halte di depan sana.Sean tak tinggal diam, ia sedang dalam mode pantang menyerah saat ini. Ia turun dari motor dan memarkirkannya sembarangan lalu mengekor pada Keira.“Kalau begitu aku akan terus mengikutimu seperti ini,” ancam Sean.Ia terus mengekori Keira dengan banyak tingkah. Ia mengikutinya dengan keadaan masih mengenakan helm. Kelakuannya tersebut sampai membuat Keira malu, karena beberapa orang di halte menatap mereka dengan tatapan yang sedikit aneh.Ke
Ia terlihat berdiri dengan tatapan yang sangat sulit diartikan, sangat aneh, dan terlihat seperti tengah bersedih.“Apakah Sean menangis?” batin Keira sambil mengerutkan dahi.Ia berjalan mendekati Sean dengan langkah cepat dan raut yang khawatir. Ia takut, mungkin saja saat ini Sean sedang kerasukan hantu Noni Belanda yang tengah bersedih ria.Sedangkan di sisi yang berlawanan, Sean terus menatap Keira yang kini tengah berjalan ke arahnya. Keira, dengan gaun indah serta rambut panjangnya yang terurai itu menunjukkan raut khawatir.Sean menghembuskan napas yang semakin memberat sejak beberapa waktu terakhir, banyak sekali penyesalan yang harus ia tanggung sendirian selama bertahun-tahun ini. Namun disaat yang bersamaan, ada kelegaan di hatinya. Usaha pencariannya kini telah menemui akhir, dan sama sekali tidak terduga.Beberapa bulan terakhir memang terasa makin sulit bagi Sean, ia terus terpikirkan oleh rasa bersalahnya t
Keira...Untuk pertama kalinya kini dengan berani menunjukkan diri di depan banyaknya pasang mata. Menunjukkan hal yang paling ia sukai, serta hal yang paling berharga dalam hidupnyamusik.Kakinya perlahan melangkah menaiki tangga kecil untuk segera mencapai tengah panggung di depan sana. Suara langkah kakinya yang memakai flat shoes putih polos itu beradu dengan riuhnya tepuk tangan dari para penonton.Mendadak suasana terasa semakin semu, seperti berada di dunia yang lain. Sebuah dunia baru yang tampak penuh dengan ribuan debaran. Detak jantung yang begitu terasa asing bagi Keira, namun kini ia sangat menyukainya. Waktu pun terasa memberat untuk bergulir maju, hingga memberi kesempatan padanya untuk bisa bernapas sangat panjang.Hingga sampai tepat berada di samping piano atas panggung, dua manusia yang telah siap menampilkan kumpulan melodi indah ini pun sedikit membungkuk untuk memberi salam pada ratusan pasang mata di depan sana.
Sementara itu, paman Moza dan Sean mengurus acara di aula depan sana. Mereka mengawasi tata panggung serta menyambut para tamu yang baru datang. Seringkali berbincang, menyapa, serta beberapa kali sedikit membungkuk untuk menyapa tamu lain yang baru saja hadir.Aula yayasan tersebut pun telah disulap menjadi sebuah tempat yang sangat indah. Hiasan-hiasan yang tidak terlalu kekanak-kanakan, akan tetapi tetap terlihat meriah. Panggungnya pun didirikan sedemikian rupa hingga tampak seperti panggung-panggung teater di gedung-gedung teater besar di pusat kota. Sangat mengesankan.Suasana di sana sudah sangat ramai oleh tamu. Juga, paman Noir yang telah datang dan menempati kursinya yang terletak tepat di depan panggung.Setelah jam menunukkan pukul sepuluh tepat, paman Moza dan Sean pun menghentikan kegiatannya lalu pergi ke tempat duduk masing-masing karena acara akan segera dimulai. Semua urusan tatanan acara, bahkan MC, telah disiapkan oleh para staff
Hari ini, Keira bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan diri sebelum pentas. Kemarin setelah bertemu dengan kakaknya, ia langsung pulang ke rumah dan beristirahat sepanjang hari agar hari ini tubuhnya bisa kembali pulih dan sehat bugar.Benar saja, berkat kemauannya yang besar agar dapat segera pulih serta obat dan vitamin pemberian Sean kemarin membuatnya lebih cepat melalui masa pemulihan. Hari ini rasanya segar sekali, Keira sangat besyukur dengan hal itu.Keira tidak menyiapkan terlalu banyak hal, karena paman Moza tadi malam mengabari bahwa semuanya akan disiapkan oleh yayasan. Termasuk baju, riasan dan lain-lain. Ia lagi-lagi hanya perlu menyiapkan keadaan diri sendiri dan juga mental yang siap saja. Namun, khusus untuk kali ini Keira meminta paman Moza agar tidak perlu menyuruh siapapun menjemputnya. Karena ia berencana untuk mengunjungi kakaknya di rumah sakit terlebih dahulu dan ingin lebih menikmati perjalanannya saja. Ia ingin bert