Adimasta tersenyum lebar mendengar ucapan Clarissa yang penuh emosi. Tapi Adimasta suka melihat ekspresi Clarissa. "Kamu kok lebay. Mana bisa aku menemani kamu dua puluh empat jam di sini? Aku harus pulang, Clay. Mesti kerja tugasku. Hee ... hee ..." Adimasta kembali melebarkan senyumnya. "Ya udah, sana. Pulang," tukas Clarissa ketus. "Hm, aku pulang bentar. Besok aku ke sini lagi. Nengok Tante Rosi dan pacar." Adimasta mengangguk. "Hei, Di." Clarissa hampir lupa sesuatu yang dia mau bilang sama cowok itu. "Aku ga mau sampai yang lain tahu kita pacaran." "Yang lain siapa?" Adimasta heran dengan kata-kata Clarissa. "Teman kampus. Siapa aja, deh," jawab Clarissa. "Kenapa?" Adimasta mengerutkan kening. Aneh saja permintaan Clarissa. "Pokoknya aku ga mau yang lain tahu. Urusan pacaran hanya antara kamu sama aku." Clarissa bicara lebih tegas. Adimasta garuk-garuk kepala. Ada-ada saja permintaan Clarissa ini. Terserah dialah, maunya apa. Adimasta hanya tersenyum tipis. "Ka
Hari-hari berikut Adimasta setiap hari datang ke rumah Clarissa. Dia melihat keadaan Clarissa, sekaligus membantu urusan perkuliahan. Yenny sengaja menjaga batas, sedikit jaim pada Clarissa, karena dia ingin memberi ruang buat Adimasta mendekat pada Clarissa. Yenny merasa peristiwa keseleo Clarissa bisa membuka kesempatan baik Clarissa mau membuka hatinya pada Adimasta. Rosita juga semakin membaik. Akhirnya dia memilih bekerja paruh waktu dan full mengerjakan tugasnya dari rumah. Sesuai saran dokter, Rosita fokus dengan kesehatannya. Bramantyo sangat memperhatikan Rosita. Pagi dia datang sebelum ke kantor, dan sore hari sepulang kerja dia akan datang lagi. Clarissa makin lega dan terbiasa melihat Rosita bersama Bramantyo. Persiapan pernikahan mereka sudah dilakukan. Meskipun Rosita suka bersosialita, tetapi dia tidak ingin mengadakan pernikahan yang besar. Dia ingin yang sederhana saja. Asalkan dia resmi menjadi Nyonya Bramantyo itu cukup. Apalagi fisiknya tidak mendukung jika dia ha
Wajah Clarissa mendadak merah padam. Dia sangat kesal setelah tahu kenyataan bahwa kekasih dosen pujannya itu adalah Anindita, kakak Adimasta. Dia jadi curiga, Diaz dan Adimasta mempermainkan Clarissa dengan mengkondisikan Adimasta akhirnya menjadi kekasih Clarissa. "Clay, aku beneran sayang sama kamu. Ga ada hubungannya kita jadian sama Kak Diaz." Adimasta langsung mengelak tuduhan Clarissa. "Sangat tidak masuk akal semua ini. Kenapa, kenapa Kak Diaz sama kakak kamu, Di?" Clarissa masih tidak bisa terima. Ini seperti benang kusut saja. Clarissa mengejar Diaz, Adimasta yang cinta Clarissa. Lalu Diaz punya pacar, ternyata kakak Adimasta. Kalau mau ditarik jauh ke depan, Diaz akan jadi kakak ipar Clarissa. Runyam! "Apanya yang ga masuk akal, Clay? Mereka sudah ada hubungan sejak sebelum kamu tahu Kak Diaz. Aku jatuh cinta sama kamu, sejak awal kita kuliah. Itu yang terjadi." Adimasta menegaskan pada Clarissa situasi yang memang ada di antara mereka. "Kenapa jadi kayak gini, sih?" u
Hari hampir gelap, Adimasta masih duduk di teras bersama Yenny. Dia sedang menunggu Yenny mau memberi dia saran agar Clarissa mau berbaik hati pada Adimasta, sedikit manis, dan tidak terus berlagak jutek. "Dia itu susah ditebak, Adi. Aku sudah lebih setahun sama dia, masih kadang suka bingung dengan tingkahnya. Hari ini ketemu tiga kali, bisa mood-nya juga ganti tiga kali. Tapi sebenarnya dia care. Paling ga mau aku sedih. Aku yakin gitu juga kalau sama orang yang dia sayangi." Yenny mencoba menjabarkan pandangannya tentang Clarissa. "Itu masalahnya, Yenny." Adimasta menyentikkan jarinya. "Hm?" Yenny mengerutkan keningnya mendengar ucapan Adimasta. "Clarissa ga sayang aku. Dia terima aku karena terdesak, kan? Hee ..." Adimasta nyengir. Yenny ikutan nyengir. Benar juga. Clarissa butuh Adimasta karena menolong dia tidak dipaksa menerima salah satu cowok yang mungkin dijodohkan dengannya. "Dia suka ke alam. Jalan-jalan di pantai atau gunung. Kalau ada waktu luang, dia kadang jalan
"Oke, aku ijin Tante dulu." Adimasta setuju juga."Mama udah tidur." Clarissa bangun. "Ayo, buruan."Gadis itu berjalan keluar rumah. Adimasta cuma geleng kepala dengan tingkah angkuh dan seenaknya Clarissa. Dia harus panjangkan lagi sabarnya kali ini. Adimasta menenteng pizza lalu keluar. Clarissa sudah menunggu di dekat motor Adimasta."Cepat," tukas Clarissa."Iya, sabar dikit, Pacar." Adimasta mencoba bercanda."Ihh ..." cibir Clarissa.Adimasta menaruh pizza di bagian depan, lalu memberikan helm yang ada di jok pada Clarissa. Sekarang dia melepas jaketnya dan memberikannya pada Clarissa."Pakai. Dingin uda malam." Adimasta maju dua langkah dan menyampirkan jaketnya pada kedua bahu Clarissa.Clarissa terdiam. Adimasta sebaik ini. Kenapa ini cowok seperti tidak bisa marah apapun yang Clarissa lakukan padanya. Clarissa tidak bicara apa-apa. Dia pakai jaket Adimasta kemudian naik di belakang Adimasta. Dan motor itu segera berl
Clarissa bergegas menuju lobby hotel. Dia menuju meja resepsionis dan bertanya di mana kamar papanya. Setelah mendapat informasi Clarissa naik lift menuju ke lantai di mana papanya menginap. Dia sengaja tidak memberitahu dia sudah sampai. Dia ingin memberi kejutan pada Arlon. Clarissa bahkan membeli brownies, kesukaan papanya. Makin dekat kamar Arlon, makin berdebaran hati Clarissa. Rasanya ingin cepat berjumpa dan memeluk erat papa tercinta. Di depan pintu kamar, Clarissa mengetuk beberapa kali. Tidak lama pintu terbuka. Arlon berdiri di sana. Clarissa pun dengan tegak menatap papanya. Sekian tahun, akhirnya mereka bertemu lagi. Terakhir kali Clarissa bertemu saat dia naik kelas 11. Artinya tiga tahun lalu, bahkan mungkin lebih, Clarissa terakhir bertemu papanya. Wajahnya masih tampan, dengan postur yang gagah. Arlon juga memandang pada Clarissa. Putrinya bukan gadis remaja lagi. Dia sudah dewasa. Cantik, menarik. Rambutnya ya
Adimasta turun dari mobil. Dia memutar dan membuka pintu untuk Clarissa."Ayo, Putriku yang cantik." Adimasta mengulurkan tangan meminta Clarissa turun. "Kamu apa-apaan, sih?" Clarissa menatap Adimasta. Kesal tapi juga merasa lucu dengan tingkah Adimasta. "Ikut aku, ayuk." Adimasta tidak melepas tangan Clarissa. Dia sedikit memaksa Clarissa mengikuti langkahnya.Lokasi persawahan di depan mata. Adimasta tidak membawa Clarissa ke area kafe, tapi ke persawahan yang hijau dan luas. Matahari cerah, hari mulai terasa panas. Tapi awan berarak indah dan angin semilir berhembus. Cantik sekali. Rasa kesal Clarissa sedikit mereda. Di tengah sawah, memandang pegunungan di sekeliling, makin adem di hati. Clarissa melihat sekitarnya. Memang menakjubkan rasanya menyaksikan alam hijau dan segar. "Sekarang, pejamkan mata kamu." Adimasta melepas tangan Clarissa. Mereka berdiri berhadapan. "Apa? Kamu mau ngapain?" ujar Clarissa.
Adimasta memandang lagi wajahnya di cermin. Dengan frame kacamata pilihan Clarissa, benar juga, dia terlihat lebih keren, trendy, dan kekinian. Kalau ini bisa membuat Clarissa makin membuka hati padanya, Adimasta akan ikuti apa maunya Clarissa. "Wah, aku cakep juga emang." Adimasta tersenyum lebar. "Baru nyadar? Ke mana aja selama ini?" tukas Clarissa. Gadis itu mengeluarkan dompet, mengambil kartu dari dalamnya. "Eh, aku yang bayar. Clarissa ...." Adimasta dengan cepat juga mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Nggak. Nurut. Dengar?" Clarissa menatap Adimasta, sedikit melotot. "Tapi ... Clay, itu kacamata aku ....""Mau aku jutek lagi?" Makin tajam nada suara Clarissa. "Ya, terserah, deh." Adimasta garuk-garuk kepala. Pelayan optik itu mesam mesem, menahan tawanya yang sebenarnya ingin meledak melihat tingkah dua sejoli di depannya itu. Ceweknya nyentrik, cowoknya dingin cenderung kaku. Perpaduan yang unik.
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b