"Oke, aku ijin Tante dulu." Adimasta setuju juga.
"Mama udah tidur." Clarissa bangun. "Ayo, buruan."
Gadis itu berjalan keluar rumah. Adimasta cuma geleng kepala dengan tingkah angkuh dan seenaknya Clarissa. Dia harus panjangkan lagi sabarnya kali ini. Adimasta menenteng pizza lalu keluar. Clarissa sudah menunggu di dekat motor Adimasta.
"Cepat," tukas Clarissa.
"Iya, sabar dikit, Pacar." Adimasta mencoba bercanda.
"Ihh ..." cibir Clarissa.
Adimasta menaruh pizza di bagian depan, lalu memberikan helm yang ada di jok pada Clarissa. Sekarang dia melepas jaketnya dan memberikannya pada Clarissa.
"Pakai. Dingin uda malam." Adimasta maju dua langkah dan menyampirkan jaketnya pada kedua bahu Clarissa.
Clarissa terdiam. Adimasta sebaik ini. Kenapa ini cowok seperti tidak bisa marah apapun yang Clarissa lakukan padanya. Clarissa tidak bicara apa-apa. Dia pakai jaket Adimasta kemudian naik di belakang Adimasta. Dan motor itu segera berl
Clarissa bergegas menuju lobby hotel. Dia menuju meja resepsionis dan bertanya di mana kamar papanya. Setelah mendapat informasi Clarissa naik lift menuju ke lantai di mana papanya menginap. Dia sengaja tidak memberitahu dia sudah sampai. Dia ingin memberi kejutan pada Arlon. Clarissa bahkan membeli brownies, kesukaan papanya. Makin dekat kamar Arlon, makin berdebaran hati Clarissa. Rasanya ingin cepat berjumpa dan memeluk erat papa tercinta. Di depan pintu kamar, Clarissa mengetuk beberapa kali. Tidak lama pintu terbuka. Arlon berdiri di sana. Clarissa pun dengan tegak menatap papanya. Sekian tahun, akhirnya mereka bertemu lagi. Terakhir kali Clarissa bertemu saat dia naik kelas 11. Artinya tiga tahun lalu, bahkan mungkin lebih, Clarissa terakhir bertemu papanya. Wajahnya masih tampan, dengan postur yang gagah. Arlon juga memandang pada Clarissa. Putrinya bukan gadis remaja lagi. Dia sudah dewasa. Cantik, menarik. Rambutnya ya
Adimasta turun dari mobil. Dia memutar dan membuka pintu untuk Clarissa."Ayo, Putriku yang cantik." Adimasta mengulurkan tangan meminta Clarissa turun. "Kamu apa-apaan, sih?" Clarissa menatap Adimasta. Kesal tapi juga merasa lucu dengan tingkah Adimasta. "Ikut aku, ayuk." Adimasta tidak melepas tangan Clarissa. Dia sedikit memaksa Clarissa mengikuti langkahnya.Lokasi persawahan di depan mata. Adimasta tidak membawa Clarissa ke area kafe, tapi ke persawahan yang hijau dan luas. Matahari cerah, hari mulai terasa panas. Tapi awan berarak indah dan angin semilir berhembus. Cantik sekali. Rasa kesal Clarissa sedikit mereda. Di tengah sawah, memandang pegunungan di sekeliling, makin adem di hati. Clarissa melihat sekitarnya. Memang menakjubkan rasanya menyaksikan alam hijau dan segar. "Sekarang, pejamkan mata kamu." Adimasta melepas tangan Clarissa. Mereka berdiri berhadapan. "Apa? Kamu mau ngapain?" ujar Clarissa.
Adimasta memandang lagi wajahnya di cermin. Dengan frame kacamata pilihan Clarissa, benar juga, dia terlihat lebih keren, trendy, dan kekinian. Kalau ini bisa membuat Clarissa makin membuka hati padanya, Adimasta akan ikuti apa maunya Clarissa. "Wah, aku cakep juga emang." Adimasta tersenyum lebar. "Baru nyadar? Ke mana aja selama ini?" tukas Clarissa. Gadis itu mengeluarkan dompet, mengambil kartu dari dalamnya. "Eh, aku yang bayar. Clarissa ...." Adimasta dengan cepat juga mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Nggak. Nurut. Dengar?" Clarissa menatap Adimasta, sedikit melotot. "Tapi ... Clay, itu kacamata aku ....""Mau aku jutek lagi?" Makin tajam nada suara Clarissa. "Ya, terserah, deh." Adimasta garuk-garuk kepala. Pelayan optik itu mesam mesem, menahan tawanya yang sebenarnya ingin meledak melihat tingkah dua sejoli di depannya itu. Ceweknya nyentrik, cowoknya dingin cenderung kaku. Perpaduan yang unik.
Clarissa menatap dengan wajah menyala pada Adimasta dan Yenny. Keduanya tampak gugup. Kemunculan Clarissa yang tiba-tiba membuat mereka sangat terkejut. Sikap itu makin meyakinkan Clarissa ada sesuatu di antara Adimasta dan Yenny."Clay, ini tidak seperti yang kamu lihat. Tolong, kamu jangan salah paham." Yenny berkata dengan wajahnya masih sedikit basah karena air mata."Mataku rabun, makanya yang kulihat tidak sama dengan yang sebenarnya!" sentak Clarissa."Clay, dengarkan aku. Aku dan Adi ga ada apa-apa. Adi cuma ...""Ga usah cari alasan. Pencuri di mana-mana nggak akan ngaku. Ga nyangka aku, kalian punya kelakuan busuk, ga tau adab! Selama ini kalian kuanggap orang baik. Kenyataannya apa? Semua cuma pura-pura! Aku benci kalian!" Dengan marah hingga di ubun-ubun Clarissa meninggalkan Adimasta dan Yenny. Clarissa masuk ke mobilnya dan segera pergi dari situ."Ya Tuhan ... Adi ..." Yenny mendekap dadanya. Masalah bertambah. Clar
Dua puluh menit. Waktu yang tidak bisa dibilang panjang. Bergegas Adimasta meninggalkan rumah dan mencari makanan buat Clarissa. Apa yang kira-kira pasti akan dia sukai kalau pagi? Adimasta menghubungi tapi tidak ada jawaban. Bagaimana kalau nanti dia tidak suka? Situasi begini, Adimasta tidak mau urusan dengan gadis itu makin runyam. "Ah, sudahlah. Kalau dia marah mau apa lagi." Adimasta akhirnya membeli pecel di pinggir jalan yang dia tahu pasti sudah buka. Pecel itu langganan keluarga Adimasta sudah beberapa tahun. Harusnya enak juga buat Clarissa. Pesanan siap, Adimasta kembali meluncur dan secepatnya sebelum waktu dua puluh menit terlewati. Adimasta memarkir motor. Tepat! Dua puluh menit kurang dua detik. Clarissa sudah menunggu dengan muka panjang dan tatapan tajam. Adimasta mendekati Clarissa yang ada di teras, duduk dengan tangan terlipat. Bungkusan yang Adimasta bawa dia letakkan di meja. "Apa ini?" tanya Clarissa. "Pecel. Kamu ga bil
Adimasta melihat lebih jelas pada postingan salah satu teman kuliahnya. Itu di sebuah kafe yang tidak jauh dari tempat kos Clarissa. Di foto yang dipajang di sana, tampak Clarissa sedang duduk bersama beberapa teman cowok. Mereka tertawa lepas sambil memegang gelas minuman. Bukan air mineral, yang jelas. Dari gelas yang mereka angkat ke atas, Adimasta tahu, apa yang mereka lakukan di sana. "Ya Tuhan, Clarissa ..." Adimasta menepok jidatnya. Jadi Clarissa pergi ke kafe bertemu dengan teman-teman dan perpesta bersama? Pasti karena dia suntuk makanya dia ke sana. Adimasta memperhatikan lagi foto yang lain. Salah satu cowok berpelukan dengan Clarissa. Dan itu bukan teman mereka. Adimasta tidak mengenal cowok itu. Adimasta merasa galau jadinya. Kenapa Clarissa makin aneh-aneh? Adimasta mengembuskan nafas berat. "Clay ... kamu kenapa makin kayak gini? Kamu masih di sana atau sudah pulang?" Adimasta bicara sendiri. Adimasta mencoba menelpon Clarissa. Beberap
"Cuma minum. Ga mau makan? Aku ambilkan mau?" Adimasta menepuk lengan Clarissa. "Ga, malas." Clarissa menjawab pendek, dingin. Dia tarik tangannya menjauh dari Adimasta. "Clay, kita perlu bicara. Please, beri aku waktu. Mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi sekarang kita bisa duduk bersama." Adimasta memandang Clarissa. "Ga ada yang perlu diomongin. Paling kamu cuma mau membela diri. Klise." Clarissa mengangkat gelasnya dan meneguk sirup rasa jeruk. "Oke, terserah kamu mau percaya atau tidak, aku akan cerita saja. Supaya kamu bisa berpikir yang aku katakan ini hanya kebohongan atau yang sebenarnya." Adimasta masih membujuk Clarissa. "Semua laki-laki itu sama. Semaunya, seenaknya. Ga ngerti perasaan wanita. Mau menang sendiri," tukas Clarissa ketus. "Semua?" Adimasta jadi heran, kenapa Clarissa ngomong seperti ini. Dan keluarlah semua uneg-uneg Clarissa. Kekecewaan demi kekewaan yang bertubi-tubi datang padanya karena makhluk
Minggu itu Adimasta sibuk membantu persiapan pernikahan kakaknya. Ada saja yang mamanya minta dia bereskan. Tapi bagus juga, Adimasta jadi paham seperti apa persiapan pernikahan itu. Ribet, tidak semudah yang tampak di film. Komunikasi dia dengan Clarissa hampir terhenti. Clarissa tidak menghubungi dia. Kalau Adimasta tanya kabar atau dia lagi apa, jawabannya akan datang lama dan dingin. Situasi ini masih juga belum terurai. Adimasta sangat berharap kalau Clarissa benar-benar bisa diajak bicara, lalu mau datang ke rumah dan berkenalan dengan orang tuanya juga kakaknya. Mau bagaimana lagi, cewek itu memang kayak belut. Susah dipegang, semaunya sendiri. Selesai mengantar mamanya membeli beberapa perlengkapan sore itu, Adimasta masuk ke kamarnya. Dia sudah berniat akan menonton film bagus, rekomendasi dari group kelas. Biasa, teman-teman suka kasih info kalau ada film bagus bisa dilihat online. Adimasta penasaran saja seperti apa. "Wah, bener, seru banget, nih f
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b