Siang hari pada hari berikutnya Zinnia pulang ke rumah untuk sementara. Chandra mengantarkan gadis itu untuk memberinya istirahat. Karena ia tahu Zinnia selalu menolak untuk hal itu. Gadis itu benar-benar setia menunggu untuk kesadaran sang direktur. Namun, dengan terpaksa ia harus pulang karena paksaan dari Chandra.
"Pokoknya kamu istirahat dulu! Nanti sore baru balik lagi ke rumah sakit. Aku akan menggantikanmu untuk jagain Kak Rey," ujar Chandra saat Zinnia hendak turun dari mobil.
"Baik, Mas. Nanti biar aku berangkat sendiri aja," balas Zinnia.
"Nggak. Nanti aku jemput. Tinggal bilang aja mau jam berapa," imbuh pria itu.
"Baiklah. Makasih, ya, Mas Chandra," balas Zinnia.
"Oke. Aku pergi dulu, ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Gadis itu pun segera memasuki rumah. Bukannya langsung mandi, ia malah bersih-bersih rumah besar itu. Jiwa pembantunya ternyata sudah melekat. Gadis itu berharap Reyner akan segera sembuh dan dapat
Zinnia merawat Reyner dengan telaten dan sabar. Gadis itu lega sekali setelah sang direktur mulai sadar dari komanya. Pria itu masih bisa bersikap arogan meski ia sedang terluka. Wajah tampannya terdapat beberapa goresan luka akibat terkena pecahan kaca. Pelipisnya masih terbungkus perban. Tangan kanannya pun terluka cukup parah. Membuat pria itu bahkan tak bisa menggenggam sendok untuk makan."Ini, Mas. Aaaa," ujar Zinnia sembari meniup-niup bubur sayur untuk sang atasan. Meminta pria itu untuk membuka mulutnya.Reyner menuruti ucapan gadis di depannya. Meski ia sendiri geli karena diperlakukan seperti anak kecil. Namun, ia tak bisa menolak. Jika menolak, ia akan kelaparan. Dasar kau Rey, gengsimu terlalu tinggi."Bubur buatanku enak kan, Mas?" tanya Zinnia. Reyner hanya menatap gadis itu dengan malas."Hm," gumam pria itu sembari menelan bubur di mulutnya."Nih. Lagi, Mas. Aaa," ucap Zinnia kembali menyodorkan sesuap bubur."Aku bukan anak
Zinnia duduk di luar ruangan. Duduk di bangku dekat taman. Kotak berisi obat tanpa sadar ikut ia bawa. Gadis itu pun menghembuskan napasnya. Menghirup udara, lalu menghembuskannya lagi. Mencoba menenangkan dirinya. Berhasil. Ia tak jadi menangis.Saat ia mulai tenang, seseorang datang dan ikut duduk di sampingnya. Seorang pria yang berjiwa hangat seperti matahari. Bahkan kebaikannya juga yang selalu menolong gadis itu."Zin, kamu kenapa?" tanya pria itu menatap khawatir Zinnia. Ia letakkan sebuah kantung kresek berisi makanan. Zinnia pun menoleh sembari memberikan senyuman."Aku nggak papa kok, Mas Chandra," balas gadis itu. Chandra tahu jika gadis di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Entah apa pastinya yang membuatnya tampak murung."Apa Kak Rey menyakitimu?" tanya Chandra masih dengan tatapan khawatirnya."Eng-enggak kok, Mas. Aku cuma lagi cari angin aja. Di dalam kan bau obat," ujar gadis itu mencoba memberi alasan."Zin. Aku tahu
Malam itu Zinnia kembali menemani sang atasan di kamar rawatnya. Pria itu berbaring di atas tempat tidurnya. Merebahkan dirinya yang masih merasakan sakit di kepala dan sekujur tubuhnya. Zinnia yang sudah selesai mengurusi sang direktur pun mulai mengistirahatkan dirinya. Tidur di atas sofa panjang di sudut ruangan. Berseberangan dengan tempat tidur Reyner. Gadis itu langsung terlelap. Mungkin karena rasa lelahnya setelah berhari-hari menemani pria itu.Sudah pukul sebelas malam. Reyner masih belum bisa tidur. Maklum saja, dirinya sudah tertidur selama dua hari penuh. Pria itu memainkan ponselnya. Lalu mendengar Zinnia yang bergerak berpindah posisi yang tadinya memunggunginya. Kini gadis itu menghadap ke arahnya. Kedua matanya sudah terpejam rapat dengan selimut yang menutupi tubuh mungilnya. Reyner menatap wajah damai itu. Dalam hatinya ia merasa sedikit kasihan pada gadis itu. Ia sudah berlaku seenaknya selama ini. Namun, hanya gadis itulah yang pernah berani melawannya. B
Kini hanya ada Nurmala dan Zinnia yang terjebak di tubuh sang atasan. Gadis itu merasa canggung ditinggal berdua dengan calon ibu mertua. Nurmala menatap lembut wajah putranya. Ia bahkan menyuapinya dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang."Rey. Mamah tuh sebenernya sayang banget sama kamu. Sama Chandra juga. Tapi kenapa kamu selalu memilih menyendiri?" tanya Nurmala pada anaknya. Zinnia kini tahu, sang atasan itu benar-benar orang yang tertutup. Bahkan dengan keluarganya sendiri."Aku juga sayang sama Mamah," balas Zinnia tak kalah lembut. Membuat wanita di hadapannya menunjukkan rona bahagia. Sunyi beberapa saat."Rey. Apa kamu nggak memikirkan lagi soal pernikahan kamu ini?" tanya Nurmala penuh harap. Zinnia kembali merasakan sakit di hatinya. Namun, ia mencoba bersabar. Ia sekarang sedang berada di dalam tubuh sang atasan. Kesempatan emas untuk meyakinkan calon ibu mertuanya."Enggak, Mah. Rey sudah yakin dengan keputusan ini. Lagipula aku sudah s
Siang itu, seorang pria berusia tiga puluh satu tahun sedang meminta orang yang ia percaya untuk menyelidiki kasus kecelakaan sahabatnya. Pria itu kini sudah mendapatkan cukup bukti yang mengarah kepada siapa pelaku penyerempetan mobil Rey di tol itu. Ia lalu menghubungi nomor sang pemilik perusahaan SJ Grup."Assalamu'alaikum, Dani. Ada apa? Apa kau sudah mendapatkan bukti siapa pelakunya?" tanya Pak Haris."Wa'alaikumussalam, Pak. Iya. Saya sudah mendapatkan sebuah bukti. Saya akan segera menuju rumah Bapak.""Baiklah. Aku tunggu kedatanganmu. Jangan lupa laporkan pada polisi jika memang ada yang sengaja mencelakai salah satu anggota keluarga Sukmajaya!" tegas Pak Haris."Baik, Pak."Tak mau berlama-lama, Dani segera menuju rumah mewah pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dengan membawa sebuah bukti yang kuat, ia segera melangkahkan kakinya memasuki rumah mewah itu. Pak Haris sudah menunggu kedatangannya."Assalamu'alaikum," sapa Dani.
Sang Direktur Utama sudah diizinkan pulang di hari berikutnya. Reyner merasa senang karena akan segera tinggal di rumahnya yang memiliki kasur yang lebih luas. Beruntung sekali Zinnia selalu rajin membersihkan rumah sang atasan. Pak Haris dan istrinya pun datang untuk menjemput anak mereka."Rey. Akhirnya kamu bisa pulang. Untuk sementara tinggallah di rumah utama." Pak Haris mengajak putra sulungnya. Tak tega jika Rey tinggal di rumahnya sendirian. Coba saja jika pria itu tahu sang anak menyembunyikan sekretarisnya di rumah itu."Nggak, Pah. Aku tinggal di rumahku saja," balas Reyner menolak."Tapi, Rey. Kamu masih sakit. Biar Mamah bantu rawat kamu sampai benar-benar sembuh. Baru nanti kamu boleh tinggal di rumahmu lagi. Ya?" bujuk Nurmala pada anaknya."Nggak usah, Mah. Ada Zinnia yang menemaniku di rumah. Iya, kan?" tanya Rey menatap gadis yang berdiri di sampingnya.Zinnia tahu bahwa sang atasan sedang memerintahnya. Toh mereka memang tinggal
Pria paruh baya itu sebenarnya ikut senang karena Reyner akhirnya memilih Zinnia sebagai pendamping hidupnya. Pria itu tak bisa membayangkan jika mereka menikah dengan orang lain dan masih bertukar jiwa. Sungguh. Ia lega saat ikut menyaksikan keduanya saling memasangkan cincin pertunangan.Rey dan Zin diam selama di perjalanan. Gadis itu memang sengaja tak membuka suara. Sedangkan Reyner mengalihkan pandangannya pada layar ponselnya. Ia akan menanyai Zinnia ketika mereka sudah tiba di rumah. Beberapa puluh menit kemudian, Pak Likin sudah memberhentikan mobil itu di depan rumah Reyner. Pria itu pun membantu membawakan barang bawaan sang direktur ke dalam rumah. Zinnia mencoba menuntun tangan Reyner saat berjalan memasuki rumahnya."Makasih banyak ya, Pak," ucap Zinnia ketika Pak Likin sudah kembali ke dalam mobil."Sama-sama, Mbak. Saya permisi dulu, ya? Assalamu'alaikum," ucap pria itu."Wa'alaikumussalam. Hati-hati di jalan, Pak," balas Zinnia.Se
Hari ke empat puluh satu. Reyner dan Zinnia kembali bertukar jiwa. Kini Zinnia tengah duduk di ruang tamu rumah mewah itu, sedang mengganti perban yang menutup kepalanya dengan plester khusus. Lukanya sudah mulai menutup sempurna. Hanya masih berbekas jahitan saja. Sedangkan luka pada wajahnya sudah mengering. Zinnia dengan terampil membungkus luka di pelipis sang atasan. Tangan kanannya pun sudah bisa digunakan lagi. Luka goresan pada telapak dan buku tangan Rey juga sudah mengering. Jiwa Reyner yang berada di dalam tubuh Zinnia hanya menatap gadis itu mengurusi dirinya."Kenapa, Mas?" tanya Zinnia menatap dirinya sendiri."Wajahku bisa jadi begitu ya? Kok kamu nggak?" protes Reyner menatap wajahnya lalu menatap wajah Zinnia melalui cermin yang tadi dipakai gadis itu."Itu karena aku spontan menutupi wajahku dengan tas yang waktu itu aku bawa buat tempat dokumen, Mas," jelas gadis itu menatap dirinya sendiri."Kau hanya memar di bagian tangan saja," sung
Setelah kepergian putra mereka, Reyner menatap sang istri yang sedang membereskan piring dan gelas kotor. "Kenapa Mas?" tanya Zinnia curiga.Reyner memeluk sang istri dari belakang. "Mumpung Kenang pergi, kita ke atas yuk!" ajak Reyner sembari menempelkan hidungnya pada leher sang istri."Ih. Geli, Mas," ucap Zinnia."Tapi aku pengen, Sayang," bisik Reyner lagi."Tapi ini masih siang, Mas," balas Zinnia menatap kedua mata Reyner."Nggak papa. Ya?" rengek Reyner dengan wajah memohon."Hahhh. Ya udah deh. Tapi aku selesaiin cuci piring dulu, ya?""Nanti aja! Aku cuciin deh," rengek Reyner tak sabar. "Ah lama," sambungnya sembari menggendong Zinnia menuju ke lantai dua.Pintu kembali ditutup rapat dari dalam kamar. Tak lupa Reyner menguncinya. Kembali ia mencumbui sang istri dengan mesra. Meski usia mereka sudah tak muda lagi. Namun, rasa cinta mereka masih ada. Reyner benar-benar menepati janjinya. Akan selalu mencintai Zinnia sa
Reyner dan Zinnia mendapati televisi yang masih menyala. Kemudian mereka melihat anak semata wayangnya tengah tertidur pulas sembari memeluk makanan ringan. Reyner pun dengan hati-hati menggendong putranya. Berniat memindahkannya ke dalam kamar."Emhh. Papi?" gumam Kenang kembali membuka matanya. "Kok Papi sama Mami lama sih di kamar?" tanya anak kecil itu sembari duduk dan mengucek kedua matanya."Maaf ya kalau lama, Sayang." Zinnia mendekati putranya."Mami sama Papi ngapain sih di kamar? Ken kan lapar," protes sang anak menatap wajah kedua orang tuanya."Emmm. Papi habis kasih huku-""Mami sama Papi habis main monopoli," ucap Zinnia memotong kalimat Reyner. Tak ingin anaknya bertanya yang aneh-aneh tentang hukuman dari suaminya."Yah. Kok Ken nggak diajak?" sungut Kenang."Lain kali aja, ya? Kalau Ken udah besar," balas Zinnia sembari mengelus rambut Kenang."Iya deh. Terus yang menang Mami apa Papi?" tanya anak kecil itu pe
Zinnia langsung terkesiap. Sepertinya Reyner kesal padanya."Tapi Ken belum mau bobok, Pi.""Sudah. Kamu masuk kamar dulu. Nanti kalau udah mau makan malam, baru deh Papi panggil," bujuk Reyner pada putranya."Emmmm. Iya deh. Ya udah. Ken mau baca buku cerita yang kemarin dibeliin Papi dulu," ujar Kenang menurut. Anak itu kemudian berjalan memasuki kamarnya.Kini tinggal Zinnia dan Reyner. Pria itu mendekati istrinya. "Apa, Mas?" tanya Zinnia mulai takut."Kau kan yang nyuruh Ken buat kasih serangga ke aku?" tanya Reyner menatap tajam istrinya."Hehe. Iya," balas Zinnia sembari meringis."Kalau begitu sekarang juga kamu aku hukum. Dasar istri kurang ajar!" seru Reyner sembari tersenyum lebar."Ih. Nggak mau," balas Zinnia sembari berlari meninggalkan suaminya. Naik ke lantai dua.Reyner pun mengejar sang istri. Karena kakinya yang panjang, ia mampu menyusul Zinnia. Segera saja pria itu membawa sang istri masuk ke dalam k
Mentari mulai menampakkan sinarnya. Zinnia pun mulai mempersiapkan keperluan suami dan putranya. Wanita itu kini tengah menata barang bawaan untuk pergi karyawisata dengan sang anak."Kenang udah siap?" tanya Zinnia menatap putranya yang kini sudah berusia lima tahun lebih. Anak laki-laki itu sudah siap dengan kaos seragam TKnya."Sudah, Mi," jawab Kenang semangat.Beberapa menit kemudian, Kenang dan ibunya pergi berangkat karyawisata bersama anak-anak TK yang lainnya. Zinnia senang melihat keceriaan putranya bersenda gurau dengan anak-anak lain. Mereka pun pergi ke beberapa tempat wisata. Dari melihat sapi yang diperah hingga menghasilkan susu yang berkualitas, hingga ke perkebunan sayur mayur. Ya. Konsep karyawisata kali ini adalah kembali ke alam. Zinnia pun mengambil setiap momen dengan putranya. Mengabadikannya ke dalam gambar."Seneng nggak piknik kaya gini?" tanya Zinnia pada putranya."Seneng banget dong, Mi. Besok kapan-kapan kita ajak Pap
Sudah hampir tiga tahun usia pernikahan Reyner dan Zinnia. Bahkan sekarang putra pertama mereka sudah menginjak usia dua tahun. Perkembangan kognitifnya terhitung cepat. Bahkan di usianya yang masih kecil, ia sudah bisa menghafalkan doa sehari-hari dan surat-surat pendek dalam Al-Quran. Zinnia sangat bangga pada kemampuan menghafal putranya. Ternyata kecerdasan sang ayah telah menurun padanya.Malam itu Kenang sudah mulai tidur sendiri. Entah mengapa sejak beberapa hari terakhir anak kecil itu ingin memiliki kamarnya sendiri. Kamar berisi buku-buku cerita, mainan, dan tentu saja poster bergambar ikan."Beneran Ken mau bobok sendiri?" tanya Zinnia memastikan. Ia tengah mengantar putranya ke dalam kamar pada lantai satu."Iya, Mi. Ken mau bobok sendili," jawab sang anak sembari menganggukkan kepala dengan yakin."Ya udah kalau gitu. Sini bobok! Mami selimuti," ujar Zinnia sembari menepuk-nepuk kasur berukuran besar dengan seperei bergambar nemo.Kena
Sekitar pukul sembilan pagi, Kenang dengan antusias menanti kedatangan ikan koi barunya. Ia tak sabar ingin segera bermain dengan ikan. Hingga pukul jam sembilan lebih, seorang kurir tiba untuk mengantarkan sepuluh ikan koi dengan ukuran yang cukup besar."Pi, Mi! Ikan, ikan!" seru Kenang kegirangan sembari bertepuk tangan dan melompat-lompat. Jeritan histeris karena bahagia pun terdengar. Membuat kedua orangtuanya menggelengkan kepala mereka secara bersamaan."Iya, Sayang." Zinnia mengelus kepala putranya. Lalu menggendong Kenang untuk menghampiri ikan barunya."Ini ditaruh di mana, Pak?" tanya seorang kurir saat meletakkan sebuah box besar."Taruh situ aja," jawab Reyner."Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya.""Ya. Makasih, ya," ucap Reyner.Kenang pun menghampiri box berukuran besar itu. Tak sabar ingin segera melihat isinya. Kini giliran Reyner yang bingung mau menempatkan sepuluh ikan koi itu di mana. Pasti tidak akan p
Zinnia tersenyum melihat wajah bingung suaminya. Wanita itu tahu apa yang diminta putranya. Segera saja ia mengambil tremos kecil, botol bayi, serta susu bubuk untuk Kenang. Beberapa menit kemudian susu hangat sudah jadi."Nih minumnya, Sayang," ucap Zinnia sembari memberikan botol pada Kenang. Bayi laki-laki itu langsung meminum susunya dengan lahap."Oh. Haus," ucap Reyner bergantian memegangi botol itu."Iya, Papi. Adek haus." Zinnia menjawab seolah mewakili putranya. Perlahan-lahan bayi laki-laki itu mulai mengantuk."Papi juga haus nih, Mi," bisik Reyner di telinga sang istri."Oh. Papi haus? Ya udah Mami ambilin minum bentar," balas Zinnia sembari berdiri.Reyner menahan lengan sang istri. Zinnia pun menoleh menatap suaminya dengan heran. "Kenapa, Mas? Apa lagi? Aku ambilin sekalian," ucapnya."Bukan haus itu. Sini duduk!" anjur Reyner sedikit kesal. Zinnia pun kembali duduk di samping suaminya."Aku haus ini," bisik Reyn
"Sudah siap belum, Mi?" tanya Reyner pada sang istri yang sedang menyisir rambutnya. Kini rambut Zinnia sudah sedikit lebih panjang."Iya, Pi. Bentar," jawab Zinnia menyelesaikan persiapannya.Setelah selesai, Zinnia menghampiri Reyner yang sedang duduk menunggunya di sofa. Wanita itu tersenyum melihat kedua jagoannya. Reyner sudah memakai jas rapi sembari memangku sang anak yang kini sudah berusia empat bulan."Sini. Kenang sama Mami, ya," ajak Zinnia pada putranya. Wanita itu kemudian menggendong Kenang dengan gendongan bayi."Nggak aku aja yang gendong?" tanya Reyner saat menyerahkan putranya."Jangan, Pi. Papi kan pakai jas," jawab Zinnia."Oh. Ya udah," balas Reyner."Ini benerin dulu, Pi," ujar Zinnia saat melihat kerah baju suaminya. Segera saja ia membetulkan kerah tersebut."Dah. Yuk, Pi. Kita berangkat!" ajak Zinnia sembari menatap Kenang. Bayi itu kemudian terkekeh kegirangan."Ya udah. Ayo, Mi!" Reyner pun me
Kenang pun langsung terdiam setelah menerima ASI dari sang ibu. Kedua matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Sepertinya bayi mungil itu memang sudah waktunya mengantuk.Di luar kamar, Reyner tengah memberikan koordinasi pada panitia aqiqoh putranya. Pak Haris dan Pak Agus pun ikut menemani pria itu. Hingga ketika acara hendak dimulai, Reyner mencari istri dan anaknya. Bella yang mengetahui gelagat Reyner pun memberitahukan pria itu keberadaan sahabatnya."Pak Rey. Zin ada di kamar lantai satu. Di pojok sana," ucap Bella sembari menunjukkan tempat yang ia maksud."Oh. Oke, Bel. Makasih," balas Reyner.Pria itu pun menghampiri sang istri. Reyner melihat Zinnia yang sedang memangku putranya yang tertidur pulas. Ia kemudian tersenyum."Sayang. Acara udah mau dimulai," tutur Reyner dengam suara pelan.Zinnia menoleh menatap suaminya. "Iya, Mas," jawab Zinnia tak kalah pelan.Dengan hati-hati wanita itu berjalan menuju halaman bela