Di tempat lain, tepatnya di dalam kamar hotel. Zinnia sedang menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. Ia teringat saat ia dan suaminya sedang memilihkan cincin untuk pertunangan mereka. Teringat juga dengan pertama kali dirinya diperkenalkan di depan kedua orangtua atasannya. Meski sebagai istri pura-pura.
"Jika Mas Rey nggak mau anak dariku ... Lantas kenapa Mas melakukan itu?" cicit gadis itu menatap pilu cincin di jari manisnya.
Karena tak ingin terlalu mengingat kenangannya bersama sang suami, Zinnia melepaskan cincin emas putih itu dari jarinya. Menatapnya sekilas lalu meletakkannya di atas nakas, di atas ponselnya yang dengan sengaja ia matikan.
Kini pandangannya tertuju pada luar jendela. Hujan sudah sedikit reda. Menampakkan langit hitam kota Jakarta dengan gerimis yang masih mampu membasahi tubuh mungilnya. Segera ia buka pintu kaca yang berada di sudut ruangan. Lalu melangkahkan kakinya menuju balkon kamar hotel. Angin malam berhembus meniup-niu
Setelah tiba di rumah, Reyner langsung membawa sang istri ke dalam kamar. Membaringkan tubuh mungilnya di atas ranjang secara perlahan. Dani pun mengekor di belakangnya."Aku taruh di sini," ucap Dani saat meletakkan barang-barang Zinnia di atas sofa dan meletakkan koper di dekatnya. Reyner hanya mengangguk."Kau harus menjaga baik-baik istrimu! Kasihan dia. Dia sudah cukup menderita dengan sikap dinginmu. Setidaknya, cobalah mengerti dia. Hargai dia." Dani memberi nasihat. Reyner hanya diam sembari menatap wajah Zinnia yang tampak pucat."Kau harus minta maaf padanya saat dia sadar," sambung Dani."Ya," balas Reyner lirih."Untuk kali ini aku tak akan bilang pada Pak Haris dan Bu Nurmala. Tapi ... Jika kau sampai mengulanginya lagi, aku tak akan segan-segan melaporkannya pada mereka," ancam Dani. "Ya sudah. Aku pulang dulu. Sonia sudah menyuruhku pulang," imbuhnya.Dani berjalan keluar meninggalkan Reyner. Pria itu pun segera pulang ke ruma
Suara alarm ponsel terus berdering berisik di samping tubuh Reyner. Pria itu kemudian mematikan ponsel. Kedua matanya terbuka lebar. Ia sadar bahwa dirinya sedang tidur di kamar tamu. Reyner pun menatap wallpaper ponsel Zinnia. Ada foto pernikahan mereka. Tangan kekarnya menggeser layar kemudian membuka-buka album foto pada ponsel sang istri. Ia tersenyum tipis saat melihat foto mereka ketika di Bali. Bahkan ada foto dirinya yang sedang berpose imut seorang diri. Lalu pandangannya terhenti pada foto Zinnia yang sedang tersenyum manis ke arah kamera. Kembali kedua sudut bibirnya membentuk senyuman.'Ternyata kau memang manis,' batin Reyner.Kemudian pria itu mengembalikan pada layar utama. Ia kemudian membuka-buka data yang lain. Kedua matanya menemukan aplikasi travel dengan notifikasi yang belum dibuka. Segera saja jarinya membuka pesan itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat sang istri sudah memesan tiket pesawat untuk ke luar negeri.'Ja
Zinnia menoleh. Tak mau membalas tatapan tajam suaminya."Kenapa diam?" tanya pria itu lagi. Tangan yang satunya menggenggam dagu Zinnia agar menatapnya."Kenapa Mas peduli aku mau pergi ke mana?" Zinnia balas bertanya. Kedua mata mereka bertemu."Kau mau kabur begitu saja? Melakukan tindakan nekat dan bodoh lagi?" Reyner memicingkan kedua matanya.Zinnia menyipitkan kedua matanya. Lalu ia melepaskan genggaman tangan sang suami. Mendorong tubuh kekar itu ke belakang. Gadis itu pun duduk di hadapan Reyner."Memangnya kenapa kalau aku pergi? Mas nggak perlu menahanku seperti ini," ucap Zinnia dingin.Reyner melihat api amarah pada kedua mata bening itu. "Kau marah?" tanya Rey tanpa sadar."Mas pikir?" Zinnia malah bertanya pada suaminya. "Mas kan nggak punya perasaan apa-apa padaku. Jadi, aku pergi pun tak akan jadi masalah," imbuhnya."Kau salah," cicit Reyner. Pandangan mata pria itu mulai melembut.Zinnia kembali terdia
Siang itu, setelah selesai membersihkan diri, Reyner sengaja tak datang ke kantornya. Dani pun ia perintah untuk menggantikannya. Pria itu ingin menghabiskan waktu bersama dengan sang istri. Keduanya duduk santai pada kursi di dekat kolam renang. Keduanya kini saling menempel seperti tak mau terpisahkan. Hari itu Reyner berulang kali menampakkan senyumannya."Mas. Beneran nggak papa kita nggak ke kantor?" tanya sang istri yang kini berada di dalam dekapan suaminya."Tenang saja. Dani sudah mengurus semuanya," jawab Reyner santai."Tapi kan masih ada pertemuan dengan perusahaan lain.""Oh. Jadi maksudmu kau ingin bertemu dengan mantanmu itu?" tanya Reyner menunjukkan rasa cemburunya."Mas Rey cemburu?" Zinnia tersenyum menggoda suaminya."Kau tahu, kenapa tanya?" sungut pria itu. Zinnia gemas mendengar penuturan suaminya."Hehe. Tenang saja, Mas. Aku nggak akan mengkhianati, Mas.""Bagus kalau gitu.""Emmm. Kalau boleh ta
Hari Kamis Reyner dan Zinnia sudah kembali ke kantor. Kedua pasangan itu tiba-tiba menjadi lengket. Bahkan mereka saling bergandengan tangan sedari turun dari mobil kesayangan Reyner.Di rumah pun Reyner sudah tak menyuruh sang istri untuk mencuci. Meski hal itu sudah biasa bagi Zinnia. Pria itu tak ingin membuat istrinya kelelahan. Sudah cukup jahat dulu ia memperlakukan Zinnia. Pagi hari pria itu memberikan morning kiss untuk istrinya. Sikapnya yang selalu seenaknya berubah secara tiba-tiba.Saat berjalan memasuki kantor, banyak pasang mata yang menatap tak percaya ke arah mereka. Bahkan mereka tak mengira ada aura yang sangat berbeda dari putra sulung Sukmajaya. Meski pria itu sama sekali tak tersenyum pada para karyawan yang berlalu lalang. Namun, auranya tampak hangat. Terpancar dari wajahnya dan wajah Zinnia.Keduanya kini berada di dalam ruangan. Reyner menuntun istrinya untuk duduk di pangkuannya. Sungguh. Sekarang pria sombong itu tampak sepert
"Padahal dulu kita nggak sengaja ketemu ya, Mas?" tanya Zinnia."Iya. Kau kan yang nggak jelas. Sudah dewasa masih suka lompat-lompat di tangga." Reyner sengaja mengejek sang istri. Mengingat kejadian awal saat mereka bertabrakan."Soalnya aku waktu itu lagi seneng, Mas. Seneng diterima jadi karyawan di sini," jelas Zinnia."Dan kau satu-satunya karyawan yang kurang ajar pada atasannya," ejek pria itu lagi."Ha-habisnya Mas waktu itu ngeselin sih. Mana sombong lagi," gerutu Zinnia sembari mengerucutkan bibirnya."Memangnya aku seperti itu?" tanya Rey."Ih. Nggak nyadar." Zinnia kembali mencubit suaminya. Kali ini hidung mancung Rey yang menjadi sasarannya. Membuat pria itu tertawa."Iya. Maaf.""Tapi, Mas. Mas sebenernya pengen nggak sih punya anak denganku?" tanya Zinnia memastikan lagi.Reyner menaikkan sebelah alisnya. Pria itu kemudian tersenyum lembut. "Pengen kok, Sayang. Maaf ya waktu itu aku berkata jahat padamu.
Pagi kembali menyapa. Zinnia mulai tersenyum ketika membuka kedua matanya. Hal ini karena ia selalu melihat wajah suaminya yang berada di dekatnya. Apa lagi pria itu mulai menunjukkan rasa sayangnya pada sang istri. "Kenapa menatapku terus?" tanya Reyner yang masih memejamkan mata. "Ih. Udah bangun ternyata," ucap Zinnia gemas lalu mencubit hidung suaminya. Reyner hanya terkekeh. "Dasar. Ya udah cepat bangun!" seru Zinnia sembari beranjak untuk duduk. "Bentar," balas Reyner. Menarik sang istri ke dalam pelukannya. "Udah jam lima, Mas. Ayo dong sholat!" ajak Zinnia mencoba melepaskan diri. "Iya, Sayang," ucap Reyner sembari mengusap kepala sang istri. Mengacak-acak rambut Zinnia dengan gemas. "Ya udah. Ayo dong bangun!" ajak Zinnia lagi sembari beringsut ke tepi ranjang. Reyner pun menuruti istrinya. Kembali. Mereka beribadah berjamaah dengan khusyuk. Zinnia mencium punggung tangan kanan suaminya setelah sholat. Lalu Rey
"Ternyata ya. Mantan Direktur Utama SJ Grup aslinya orang yang seperti ini," ucap Zinnia sembari memberikan keranjang berisi pakaian kering pada suaminya."Ya nggak papa. Namanya juga lagi menikmati masa pacaran," balas Reyner menerima keranjang itu."Dih. Pacaran.""Ya pacaran, kan? Pacaran setelah menikah. Nggak kaya kamu," sindir Reyner pada istrinya."Mas jangan ngeledek! Nanti nggak aku kasih," ancam Zinnia sembari berjalan memasuki rumah. Meninggalkan Reyner."Ya jangan dong, Sayang. Iya deh. Iya aku nggak ngeledek lagi," bujuk Reyner seperti anak kecil dan berjalan menyusul sang istri.Sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat sikap pria itu. Ia sekarang jadi mendengarkan permintaan sang istri. Bahkan ia tak ingin berpisah dari Zinnia. Wanita yang menjadi istri sekaligus pacar pertamanya.***Satu bulan telah berlalu. Reyner semakin mesra pada istrinya. Zinnia tak menyangka suaminya bisa bertambah sayang padanya. Pad
Setelah kepergian putra mereka, Reyner menatap sang istri yang sedang membereskan piring dan gelas kotor. "Kenapa Mas?" tanya Zinnia curiga.Reyner memeluk sang istri dari belakang. "Mumpung Kenang pergi, kita ke atas yuk!" ajak Reyner sembari menempelkan hidungnya pada leher sang istri."Ih. Geli, Mas," ucap Zinnia."Tapi aku pengen, Sayang," bisik Reyner lagi."Tapi ini masih siang, Mas," balas Zinnia menatap kedua mata Reyner."Nggak papa. Ya?" rengek Reyner dengan wajah memohon."Hahhh. Ya udah deh. Tapi aku selesaiin cuci piring dulu, ya?""Nanti aja! Aku cuciin deh," rengek Reyner tak sabar. "Ah lama," sambungnya sembari menggendong Zinnia menuju ke lantai dua.Pintu kembali ditutup rapat dari dalam kamar. Tak lupa Reyner menguncinya. Kembali ia mencumbui sang istri dengan mesra. Meski usia mereka sudah tak muda lagi. Namun, rasa cinta mereka masih ada. Reyner benar-benar menepati janjinya. Akan selalu mencintai Zinnia sa
Reyner dan Zinnia mendapati televisi yang masih menyala. Kemudian mereka melihat anak semata wayangnya tengah tertidur pulas sembari memeluk makanan ringan. Reyner pun dengan hati-hati menggendong putranya. Berniat memindahkannya ke dalam kamar."Emhh. Papi?" gumam Kenang kembali membuka matanya. "Kok Papi sama Mami lama sih di kamar?" tanya anak kecil itu sembari duduk dan mengucek kedua matanya."Maaf ya kalau lama, Sayang." Zinnia mendekati putranya."Mami sama Papi ngapain sih di kamar? Ken kan lapar," protes sang anak menatap wajah kedua orang tuanya."Emmm. Papi habis kasih huku-""Mami sama Papi habis main monopoli," ucap Zinnia memotong kalimat Reyner. Tak ingin anaknya bertanya yang aneh-aneh tentang hukuman dari suaminya."Yah. Kok Ken nggak diajak?" sungut Kenang."Lain kali aja, ya? Kalau Ken udah besar," balas Zinnia sembari mengelus rambut Kenang."Iya deh. Terus yang menang Mami apa Papi?" tanya anak kecil itu pe
Zinnia langsung terkesiap. Sepertinya Reyner kesal padanya."Tapi Ken belum mau bobok, Pi.""Sudah. Kamu masuk kamar dulu. Nanti kalau udah mau makan malam, baru deh Papi panggil," bujuk Reyner pada putranya."Emmmm. Iya deh. Ya udah. Ken mau baca buku cerita yang kemarin dibeliin Papi dulu," ujar Kenang menurut. Anak itu kemudian berjalan memasuki kamarnya.Kini tinggal Zinnia dan Reyner. Pria itu mendekati istrinya. "Apa, Mas?" tanya Zinnia mulai takut."Kau kan yang nyuruh Ken buat kasih serangga ke aku?" tanya Reyner menatap tajam istrinya."Hehe. Iya," balas Zinnia sembari meringis."Kalau begitu sekarang juga kamu aku hukum. Dasar istri kurang ajar!" seru Reyner sembari tersenyum lebar."Ih. Nggak mau," balas Zinnia sembari berlari meninggalkan suaminya. Naik ke lantai dua.Reyner pun mengejar sang istri. Karena kakinya yang panjang, ia mampu menyusul Zinnia. Segera saja pria itu membawa sang istri masuk ke dalam k
Mentari mulai menampakkan sinarnya. Zinnia pun mulai mempersiapkan keperluan suami dan putranya. Wanita itu kini tengah menata barang bawaan untuk pergi karyawisata dengan sang anak."Kenang udah siap?" tanya Zinnia menatap putranya yang kini sudah berusia lima tahun lebih. Anak laki-laki itu sudah siap dengan kaos seragam TKnya."Sudah, Mi," jawab Kenang semangat.Beberapa menit kemudian, Kenang dan ibunya pergi berangkat karyawisata bersama anak-anak TK yang lainnya. Zinnia senang melihat keceriaan putranya bersenda gurau dengan anak-anak lain. Mereka pun pergi ke beberapa tempat wisata. Dari melihat sapi yang diperah hingga menghasilkan susu yang berkualitas, hingga ke perkebunan sayur mayur. Ya. Konsep karyawisata kali ini adalah kembali ke alam. Zinnia pun mengambil setiap momen dengan putranya. Mengabadikannya ke dalam gambar."Seneng nggak piknik kaya gini?" tanya Zinnia pada putranya."Seneng banget dong, Mi. Besok kapan-kapan kita ajak Pap
Sudah hampir tiga tahun usia pernikahan Reyner dan Zinnia. Bahkan sekarang putra pertama mereka sudah menginjak usia dua tahun. Perkembangan kognitifnya terhitung cepat. Bahkan di usianya yang masih kecil, ia sudah bisa menghafalkan doa sehari-hari dan surat-surat pendek dalam Al-Quran. Zinnia sangat bangga pada kemampuan menghafal putranya. Ternyata kecerdasan sang ayah telah menurun padanya.Malam itu Kenang sudah mulai tidur sendiri. Entah mengapa sejak beberapa hari terakhir anak kecil itu ingin memiliki kamarnya sendiri. Kamar berisi buku-buku cerita, mainan, dan tentu saja poster bergambar ikan."Beneran Ken mau bobok sendiri?" tanya Zinnia memastikan. Ia tengah mengantar putranya ke dalam kamar pada lantai satu."Iya, Mi. Ken mau bobok sendili," jawab sang anak sembari menganggukkan kepala dengan yakin."Ya udah kalau gitu. Sini bobok! Mami selimuti," ujar Zinnia sembari menepuk-nepuk kasur berukuran besar dengan seperei bergambar nemo.Kena
Sekitar pukul sembilan pagi, Kenang dengan antusias menanti kedatangan ikan koi barunya. Ia tak sabar ingin segera bermain dengan ikan. Hingga pukul jam sembilan lebih, seorang kurir tiba untuk mengantarkan sepuluh ikan koi dengan ukuran yang cukup besar."Pi, Mi! Ikan, ikan!" seru Kenang kegirangan sembari bertepuk tangan dan melompat-lompat. Jeritan histeris karena bahagia pun terdengar. Membuat kedua orangtuanya menggelengkan kepala mereka secara bersamaan."Iya, Sayang." Zinnia mengelus kepala putranya. Lalu menggendong Kenang untuk menghampiri ikan barunya."Ini ditaruh di mana, Pak?" tanya seorang kurir saat meletakkan sebuah box besar."Taruh situ aja," jawab Reyner."Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya.""Ya. Makasih, ya," ucap Reyner.Kenang pun menghampiri box berukuran besar itu. Tak sabar ingin segera melihat isinya. Kini giliran Reyner yang bingung mau menempatkan sepuluh ikan koi itu di mana. Pasti tidak akan p
Zinnia tersenyum melihat wajah bingung suaminya. Wanita itu tahu apa yang diminta putranya. Segera saja ia mengambil tremos kecil, botol bayi, serta susu bubuk untuk Kenang. Beberapa menit kemudian susu hangat sudah jadi."Nih minumnya, Sayang," ucap Zinnia sembari memberikan botol pada Kenang. Bayi laki-laki itu langsung meminum susunya dengan lahap."Oh. Haus," ucap Reyner bergantian memegangi botol itu."Iya, Papi. Adek haus." Zinnia menjawab seolah mewakili putranya. Perlahan-lahan bayi laki-laki itu mulai mengantuk."Papi juga haus nih, Mi," bisik Reyner di telinga sang istri."Oh. Papi haus? Ya udah Mami ambilin minum bentar," balas Zinnia sembari berdiri.Reyner menahan lengan sang istri. Zinnia pun menoleh menatap suaminya dengan heran. "Kenapa, Mas? Apa lagi? Aku ambilin sekalian," ucapnya."Bukan haus itu. Sini duduk!" anjur Reyner sedikit kesal. Zinnia pun kembali duduk di samping suaminya."Aku haus ini," bisik Reyn
"Sudah siap belum, Mi?" tanya Reyner pada sang istri yang sedang menyisir rambutnya. Kini rambut Zinnia sudah sedikit lebih panjang."Iya, Pi. Bentar," jawab Zinnia menyelesaikan persiapannya.Setelah selesai, Zinnia menghampiri Reyner yang sedang duduk menunggunya di sofa. Wanita itu tersenyum melihat kedua jagoannya. Reyner sudah memakai jas rapi sembari memangku sang anak yang kini sudah berusia empat bulan."Sini. Kenang sama Mami, ya," ajak Zinnia pada putranya. Wanita itu kemudian menggendong Kenang dengan gendongan bayi."Nggak aku aja yang gendong?" tanya Reyner saat menyerahkan putranya."Jangan, Pi. Papi kan pakai jas," jawab Zinnia."Oh. Ya udah," balas Reyner."Ini benerin dulu, Pi," ujar Zinnia saat melihat kerah baju suaminya. Segera saja ia membetulkan kerah tersebut."Dah. Yuk, Pi. Kita berangkat!" ajak Zinnia sembari menatap Kenang. Bayi itu kemudian terkekeh kegirangan."Ya udah. Ayo, Mi!" Reyner pun me
Kenang pun langsung terdiam setelah menerima ASI dari sang ibu. Kedua matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Sepertinya bayi mungil itu memang sudah waktunya mengantuk.Di luar kamar, Reyner tengah memberikan koordinasi pada panitia aqiqoh putranya. Pak Haris dan Pak Agus pun ikut menemani pria itu. Hingga ketika acara hendak dimulai, Reyner mencari istri dan anaknya. Bella yang mengetahui gelagat Reyner pun memberitahukan pria itu keberadaan sahabatnya."Pak Rey. Zin ada di kamar lantai satu. Di pojok sana," ucap Bella sembari menunjukkan tempat yang ia maksud."Oh. Oke, Bel. Makasih," balas Reyner.Pria itu pun menghampiri sang istri. Reyner melihat Zinnia yang sedang memangku putranya yang tertidur pulas. Ia kemudian tersenyum."Sayang. Acara udah mau dimulai," tutur Reyner dengam suara pelan.Zinnia menoleh menatap suaminya. "Iya, Mas," jawab Zinnia tak kalah pelan.Dengan hati-hati wanita itu berjalan menuju halaman bela