Pagi kembali menyapa. Zinnia mulai tersenyum ketika membuka kedua matanya. Hal ini karena ia selalu melihat wajah suaminya yang berada di dekatnya. Apa lagi pria itu mulai menunjukkan rasa sayangnya pada sang istri.
"Kenapa menatapku terus?" tanya Reyner yang masih memejamkan mata.
"Ih. Udah bangun ternyata," ucap Zinnia gemas lalu mencubit hidung suaminya. Reyner hanya terkekeh.
"Dasar. Ya udah cepat bangun!" seru Zinnia sembari beranjak untuk duduk.
"Bentar," balas Reyner. Menarik sang istri ke dalam pelukannya.
"Udah jam lima, Mas. Ayo dong sholat!" ajak Zinnia mencoba melepaskan diri.
"Iya, Sayang," ucap Reyner sembari mengusap kepala sang istri. Mengacak-acak rambut Zinnia dengan gemas.
"Ya udah. Ayo dong bangun!" ajak Zinnia lagi sembari beringsut ke tepi ranjang.
Reyner pun menuruti istrinya. Kembali. Mereka beribadah berjamaah dengan khusyuk. Zinnia mencium punggung tangan kanan suaminya setelah sholat. Lalu Rey
"Ternyata ya. Mantan Direktur Utama SJ Grup aslinya orang yang seperti ini," ucap Zinnia sembari memberikan keranjang berisi pakaian kering pada suaminya."Ya nggak papa. Namanya juga lagi menikmati masa pacaran," balas Reyner menerima keranjang itu."Dih. Pacaran.""Ya pacaran, kan? Pacaran setelah menikah. Nggak kaya kamu," sindir Reyner pada istrinya."Mas jangan ngeledek! Nanti nggak aku kasih," ancam Zinnia sembari berjalan memasuki rumah. Meninggalkan Reyner."Ya jangan dong, Sayang. Iya deh. Iya aku nggak ngeledek lagi," bujuk Reyner seperti anak kecil dan berjalan menyusul sang istri.Sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat sikap pria itu. Ia sekarang jadi mendengarkan permintaan sang istri. Bahkan ia tak ingin berpisah dari Zinnia. Wanita yang menjadi istri sekaligus pacar pertamanya.***Satu bulan telah berlalu. Reyner semakin mesra pada istrinya. Zinnia tak menyangka suaminya bisa bertambah sayang padanya. Pad
Wanita itu tak sabar ingin segera memberitahukan berita bahagia itu pada suaminya. Namun, ia harus bersabar untuk memberinya kejutan. Zinnia pun kembali pulang ke rumah. Tangannya berulang kali mengelus perutnya yang masih rata dengan rasa sayang. Akhirnya ada benih cinta dirinya dan Reyner dalam rahimnya."Kamu jadi anak yang pinter ya, Nak," gumam Zinnia penuh harap."Jadi anak sholih, sholihah juga," imbuhnya masih mengelus perutnya.Waktu pun tak terasa sudah menunjukkan pukul lima sore. Reyner mengabari sang istri bahwa pulangnya akan terlambat. Mengetahui hal itu, Zinnia yang sudah mempersiapkan makan malam untuk mereka berdua sedikit kecewa. Tetapi ia harus bersabar."Jadi Mas pulangnya agak malam, ya?" gumamnya.Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah ide untuk memberi kejutan pada sang suami. Segera ia memesan beberapa benda yang ia butuhkan melalui ojek online. Setelah ia mendapatkan sebuah kotak kado, kertas minyak dan selembar kertas kado, ia kembali men
Reyner semakin sayang pada Zinnia. Pria itu sudah tak segan-segan lagi menunjukkan rasa cintanya. Kini kebahagiaan keluarga kecil itu semakin bertambah. Dengan kehadiran janin dalam kandungan Zinnia, membuat Reyner semakin menaruh perhatian lebih pada sang istri.Sudah lima minggu usia kandungan Zinnia. Perutnya semakin kencang dan mulai mengeras. Meski sedang hamil muda, wanita itu tetap setia menemani suaminya pergi ke kantor. Ia tak ingin bermalas-malasan di rumah saja. Padahal Reyner sudah memintanya untuk beristirahat."Sayang. Ayo pulang!" ajak Reyner pada istrinya."Tapi ini baru istirahat makan siang, Mas," balas sang istri."Nggak papa. Lagian udah selesai kok pekerjaannya. Kita makan siang di resto aja yuk! Sekalian pulang," bujuk Reyner."Ya udah deh. Ayo, Mas!" Zinnia akhirnya setuju.Kedua pasangan itu pun segera pergi meninggalkan kantor SJ Grup. Reyner mengendarai mobil kesayangannya dengan Zinnia yang duduk di sampingnya. Seb
"Kenapa kau diam? Barusan senyum-senyum juga," ejek Dani. Heran melihat perubahan ekspresi sahabatnya itu."Nih!" Reyner menunjukkan pesan terakhir dari sang istri."Haha. Bapak-bapak proyek gendut, siapa?" Tawa Dani pecah. Keinginan Zinnia lebih aneh dari Sonia."Ck."[Suamiku: Kenapa pgn ketemu dia, Sayang?][Istriku: Gk tau juga. Pgn aja, Mas][Suamiku: Kalau aku gk nuruti gmn?][Istriku: Nggak. Pokoknya pengen ketemu bpk² endut gondrong yg kemarin (T0T)]"Astaghfirullahal'azim." Reyner memijit pelipisnya menanggapi keinginan aneh sang istri."Tumben kau nyebut.""Diam, kau! Aku sedang pusing," sungut Reyner."Ya udah. Turutin aja." Dani memberi saran."Kalau gitu aku mau pulang saja. Kau tolong urus jika ada yang mencariku, aku sedang sibuk," ucap Reyner sembari bergegas keluar dari ruangann
Kini usia kandungan Zinnia telah menginjak tiga bulan. Perutnya sudah tampak membuncit. Setiap pagi Reyner mengelus perut sang istri dengan lembut."Sehat-sehat ya anaknya Papi," ujar Reyner."Iya, Papi," balas Zinnia senang.Reyner yang sedang duduk sembari memeluk Zinnia menghentikan elusannya. Pria itu beralih memeluk pundak sang istri dari belakang."Sayang ...." panggil Reyner sembari menyandarkan dagunya pada ceruk leher sang istri."Kenapa, Mas?" tanya Zinnia sembari mengusap kepala suaminya."Kapan kita mesra-mesraan lagi kaya waktu itu, ya?" tanya Reyner dengan wajah lesunya."Emmm. Sekitar enam sampai tujuh bulan lagi, Mas," jawab Zinnia."Lama," protes Reyner."Ya iyalah, Mas. Namanya juga lagi hamil ya lama. Nanti juga ditambah nifas. Selesai nifas baru bisa," jelas sang istri."Hahhh." Reyner menghela napasnya."Sabar dong, Mas. Kan kalau orang sabar telinganya lebar," celetuk Zinnia mencoba me
"Sekarang udah tambah besar, ya? Jadi gak sabar pengen gendong," tutur Reyner saat mengelus perut sang istri dengan manja. Pria berusia tiga puluh tahunan itu tengah berbaring di dekat Zinnia."Iya, Mas. Jadi tambah berat juga, loh," ucap sang istri membalas mengusap pipi suaminya."Sabar ya, Sayang. Kan tinggal dua bulan lagi." Reyner kemudian duduk di samping Zinnia. Mengecup kepala wanitanya dengan mesra."Iya, Mas. Makasih ya udah mau nemenin aku. Ya udah. Sekarang Mas siap-siap mandi sana! Katanya mau ke kantor," ucap Zinnia."Iya, Sayang." Reyner mendekatkan wajahnya untuk memberikan sebuah kecupan pada bibir sang istri.Reyner pun segera membersihkan diri. Sang istri menyiapkan pakaian ganti untuknya. Pria itu kini keluar dengan hanya mengenakan handuk saja."Zin," panggil Reyner.Sang istri pun menoleh menatapnya. "Kenapa, Mas?"Reyner menatap istrinya dari atas ke bawah dan kembali pada wajahnya yang ia tatap lekat-lek
"Monika! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya seorang pria paruh baya, Pak Argan."Tolong bimbing anak Bapak agar tidak mengganggu rumah tangga orang!" ucap Reyner dengan dinginnya kepada Pak Argan."Maafkan anakku, Nak Rey. Baik. Aku akan menasihatinya," balas Pak Argan. Pria itu kemudian menghampiri putrinya dan membawanya untuk kembali. "Ayo pulang!""Tapi, Pah. Aku benar-benar mencintai Kak Rey. Aku nggak mau seperti ini," ucap Monika menolak ajakan sang ayah.Reyner menatap tajam gadis itu. "Jika kau memaksakan kehendak orang lain, maka itu bukan cinta. Tapi obsesi. Sekarang juga pulanglah dan dengarkan apa kata ayahmu!"Monika terdiam mendengar kalimat itu. Gadis itu pun terpaksa berjalan mengekor ayahnya. Zinnia yang mendengar ucapan suaminya merasa lega. Ternyata Reyner benar-benar setia padanya. Tak terasa air mata jatuh membasahi kedua pipinya.Reyner pun melanjutkan langkah kaki yang sempat tertunda. Saat hendak berbelok, ia terke
Zinnia kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Menunggu kelahiran anak pertamanya. Ibu dan ayahnya pun sudah menemaninya selama dua hari ini. Ikut berjaga jika putri semata wayang mereka melahirkan.Zinnia dan sang ibu tengah melipat baju-baju bayi di kamar Zinnia dan Reyner."Oh iyo. Baju ganti buatmu, kain jarik, pembalut nifas, sama beberapa baju bayi sudah mbok siapkan belum, Nduk?" tanya Siti pada putrinya."Alhamdulillah sampun, Buk. Sudah Zin masukin ke dalam tas itu," jawab Zinnia sembari menunjuk sebuah tas yang diletakkan di dalam lemari yang terbuka."Yo wis kalau sudah. Besok kan tinggal bawa aja kalau pas lahiran.""Nggih, Buk.""Terus ini diletakkan di mana, Nduk?" tanya Siti."Di dalam lemari, Buk. Di barisan ke tiga," jawab Zinnia.Siti pun memasukkan tumpuka pakaian bayi ke dalam lemari. Semua pakaiannya baru dan telah dicuci oleh Zinnia.
Setelah kepergian putra mereka, Reyner menatap sang istri yang sedang membereskan piring dan gelas kotor. "Kenapa Mas?" tanya Zinnia curiga.Reyner memeluk sang istri dari belakang. "Mumpung Kenang pergi, kita ke atas yuk!" ajak Reyner sembari menempelkan hidungnya pada leher sang istri."Ih. Geli, Mas," ucap Zinnia."Tapi aku pengen, Sayang," bisik Reyner lagi."Tapi ini masih siang, Mas," balas Zinnia menatap kedua mata Reyner."Nggak papa. Ya?" rengek Reyner dengan wajah memohon."Hahhh. Ya udah deh. Tapi aku selesaiin cuci piring dulu, ya?""Nanti aja! Aku cuciin deh," rengek Reyner tak sabar. "Ah lama," sambungnya sembari menggendong Zinnia menuju ke lantai dua.Pintu kembali ditutup rapat dari dalam kamar. Tak lupa Reyner menguncinya. Kembali ia mencumbui sang istri dengan mesra. Meski usia mereka sudah tak muda lagi. Namun, rasa cinta mereka masih ada. Reyner benar-benar menepati janjinya. Akan selalu mencintai Zinnia sa
Reyner dan Zinnia mendapati televisi yang masih menyala. Kemudian mereka melihat anak semata wayangnya tengah tertidur pulas sembari memeluk makanan ringan. Reyner pun dengan hati-hati menggendong putranya. Berniat memindahkannya ke dalam kamar."Emhh. Papi?" gumam Kenang kembali membuka matanya. "Kok Papi sama Mami lama sih di kamar?" tanya anak kecil itu sembari duduk dan mengucek kedua matanya."Maaf ya kalau lama, Sayang." Zinnia mendekati putranya."Mami sama Papi ngapain sih di kamar? Ken kan lapar," protes sang anak menatap wajah kedua orang tuanya."Emmm. Papi habis kasih huku-""Mami sama Papi habis main monopoli," ucap Zinnia memotong kalimat Reyner. Tak ingin anaknya bertanya yang aneh-aneh tentang hukuman dari suaminya."Yah. Kok Ken nggak diajak?" sungut Kenang."Lain kali aja, ya? Kalau Ken udah besar," balas Zinnia sembari mengelus rambut Kenang."Iya deh. Terus yang menang Mami apa Papi?" tanya anak kecil itu pe
Zinnia langsung terkesiap. Sepertinya Reyner kesal padanya."Tapi Ken belum mau bobok, Pi.""Sudah. Kamu masuk kamar dulu. Nanti kalau udah mau makan malam, baru deh Papi panggil," bujuk Reyner pada putranya."Emmmm. Iya deh. Ya udah. Ken mau baca buku cerita yang kemarin dibeliin Papi dulu," ujar Kenang menurut. Anak itu kemudian berjalan memasuki kamarnya.Kini tinggal Zinnia dan Reyner. Pria itu mendekati istrinya. "Apa, Mas?" tanya Zinnia mulai takut."Kau kan yang nyuruh Ken buat kasih serangga ke aku?" tanya Reyner menatap tajam istrinya."Hehe. Iya," balas Zinnia sembari meringis."Kalau begitu sekarang juga kamu aku hukum. Dasar istri kurang ajar!" seru Reyner sembari tersenyum lebar."Ih. Nggak mau," balas Zinnia sembari berlari meninggalkan suaminya. Naik ke lantai dua.Reyner pun mengejar sang istri. Karena kakinya yang panjang, ia mampu menyusul Zinnia. Segera saja pria itu membawa sang istri masuk ke dalam k
Mentari mulai menampakkan sinarnya. Zinnia pun mulai mempersiapkan keperluan suami dan putranya. Wanita itu kini tengah menata barang bawaan untuk pergi karyawisata dengan sang anak."Kenang udah siap?" tanya Zinnia menatap putranya yang kini sudah berusia lima tahun lebih. Anak laki-laki itu sudah siap dengan kaos seragam TKnya."Sudah, Mi," jawab Kenang semangat.Beberapa menit kemudian, Kenang dan ibunya pergi berangkat karyawisata bersama anak-anak TK yang lainnya. Zinnia senang melihat keceriaan putranya bersenda gurau dengan anak-anak lain. Mereka pun pergi ke beberapa tempat wisata. Dari melihat sapi yang diperah hingga menghasilkan susu yang berkualitas, hingga ke perkebunan sayur mayur. Ya. Konsep karyawisata kali ini adalah kembali ke alam. Zinnia pun mengambil setiap momen dengan putranya. Mengabadikannya ke dalam gambar."Seneng nggak piknik kaya gini?" tanya Zinnia pada putranya."Seneng banget dong, Mi. Besok kapan-kapan kita ajak Pap
Sudah hampir tiga tahun usia pernikahan Reyner dan Zinnia. Bahkan sekarang putra pertama mereka sudah menginjak usia dua tahun. Perkembangan kognitifnya terhitung cepat. Bahkan di usianya yang masih kecil, ia sudah bisa menghafalkan doa sehari-hari dan surat-surat pendek dalam Al-Quran. Zinnia sangat bangga pada kemampuan menghafal putranya. Ternyata kecerdasan sang ayah telah menurun padanya.Malam itu Kenang sudah mulai tidur sendiri. Entah mengapa sejak beberapa hari terakhir anak kecil itu ingin memiliki kamarnya sendiri. Kamar berisi buku-buku cerita, mainan, dan tentu saja poster bergambar ikan."Beneran Ken mau bobok sendiri?" tanya Zinnia memastikan. Ia tengah mengantar putranya ke dalam kamar pada lantai satu."Iya, Mi. Ken mau bobok sendili," jawab sang anak sembari menganggukkan kepala dengan yakin."Ya udah kalau gitu. Sini bobok! Mami selimuti," ujar Zinnia sembari menepuk-nepuk kasur berukuran besar dengan seperei bergambar nemo.Kena
Sekitar pukul sembilan pagi, Kenang dengan antusias menanti kedatangan ikan koi barunya. Ia tak sabar ingin segera bermain dengan ikan. Hingga pukul jam sembilan lebih, seorang kurir tiba untuk mengantarkan sepuluh ikan koi dengan ukuran yang cukup besar."Pi, Mi! Ikan, ikan!" seru Kenang kegirangan sembari bertepuk tangan dan melompat-lompat. Jeritan histeris karena bahagia pun terdengar. Membuat kedua orangtuanya menggelengkan kepala mereka secara bersamaan."Iya, Sayang." Zinnia mengelus kepala putranya. Lalu menggendong Kenang untuk menghampiri ikan barunya."Ini ditaruh di mana, Pak?" tanya seorang kurir saat meletakkan sebuah box besar."Taruh situ aja," jawab Reyner."Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya.""Ya. Makasih, ya," ucap Reyner.Kenang pun menghampiri box berukuran besar itu. Tak sabar ingin segera melihat isinya. Kini giliran Reyner yang bingung mau menempatkan sepuluh ikan koi itu di mana. Pasti tidak akan p
Zinnia tersenyum melihat wajah bingung suaminya. Wanita itu tahu apa yang diminta putranya. Segera saja ia mengambil tremos kecil, botol bayi, serta susu bubuk untuk Kenang. Beberapa menit kemudian susu hangat sudah jadi."Nih minumnya, Sayang," ucap Zinnia sembari memberikan botol pada Kenang. Bayi laki-laki itu langsung meminum susunya dengan lahap."Oh. Haus," ucap Reyner bergantian memegangi botol itu."Iya, Papi. Adek haus." Zinnia menjawab seolah mewakili putranya. Perlahan-lahan bayi laki-laki itu mulai mengantuk."Papi juga haus nih, Mi," bisik Reyner di telinga sang istri."Oh. Papi haus? Ya udah Mami ambilin minum bentar," balas Zinnia sembari berdiri.Reyner menahan lengan sang istri. Zinnia pun menoleh menatap suaminya dengan heran. "Kenapa, Mas? Apa lagi? Aku ambilin sekalian," ucapnya."Bukan haus itu. Sini duduk!" anjur Reyner sedikit kesal. Zinnia pun kembali duduk di samping suaminya."Aku haus ini," bisik Reyn
"Sudah siap belum, Mi?" tanya Reyner pada sang istri yang sedang menyisir rambutnya. Kini rambut Zinnia sudah sedikit lebih panjang."Iya, Pi. Bentar," jawab Zinnia menyelesaikan persiapannya.Setelah selesai, Zinnia menghampiri Reyner yang sedang duduk menunggunya di sofa. Wanita itu tersenyum melihat kedua jagoannya. Reyner sudah memakai jas rapi sembari memangku sang anak yang kini sudah berusia empat bulan."Sini. Kenang sama Mami, ya," ajak Zinnia pada putranya. Wanita itu kemudian menggendong Kenang dengan gendongan bayi."Nggak aku aja yang gendong?" tanya Reyner saat menyerahkan putranya."Jangan, Pi. Papi kan pakai jas," jawab Zinnia."Oh. Ya udah," balas Reyner."Ini benerin dulu, Pi," ujar Zinnia saat melihat kerah baju suaminya. Segera saja ia membetulkan kerah tersebut."Dah. Yuk, Pi. Kita berangkat!" ajak Zinnia sembari menatap Kenang. Bayi itu kemudian terkekeh kegirangan."Ya udah. Ayo, Mi!" Reyner pun me
Kenang pun langsung terdiam setelah menerima ASI dari sang ibu. Kedua matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Sepertinya bayi mungil itu memang sudah waktunya mengantuk.Di luar kamar, Reyner tengah memberikan koordinasi pada panitia aqiqoh putranya. Pak Haris dan Pak Agus pun ikut menemani pria itu. Hingga ketika acara hendak dimulai, Reyner mencari istri dan anaknya. Bella yang mengetahui gelagat Reyner pun memberitahukan pria itu keberadaan sahabatnya."Pak Rey. Zin ada di kamar lantai satu. Di pojok sana," ucap Bella sembari menunjukkan tempat yang ia maksud."Oh. Oke, Bel. Makasih," balas Reyner.Pria itu pun menghampiri sang istri. Reyner melihat Zinnia yang sedang memangku putranya yang tertidur pulas. Ia kemudian tersenyum."Sayang. Acara udah mau dimulai," tutur Reyner dengam suara pelan.Zinnia menoleh menatap suaminya. "Iya, Mas," jawab Zinnia tak kalah pelan.Dengan hati-hati wanita itu berjalan menuju halaman bela