Kini usia kandungan Zinnia telah menginjak tiga bulan. Perutnya sudah tampak membuncit. Setiap pagi Reyner mengelus perut sang istri dengan lembut.
"Sehat-sehat ya anaknya Papi," ujar Reyner.
"Iya, Papi," balas Zinnia senang.
Reyner yang sedang duduk sembari memeluk Zinnia menghentikan elusannya. Pria itu beralih memeluk pundak sang istri dari belakang.
"Sayang ...." panggil Reyner sembari menyandarkan dagunya pada ceruk leher sang istri.
"Kenapa, Mas?" tanya Zinnia sembari mengusap kepala suaminya.
"Kapan kita mesra-mesraan lagi kaya waktu itu, ya?" tanya Reyner dengan wajah lesunya.
"Emmm. Sekitar enam sampai tujuh bulan lagi, Mas," jawab Zinnia.
"Lama," protes Reyner.
"Ya iyalah, Mas. Namanya juga lagi hamil ya lama. Nanti juga ditambah nifas. Selesai nifas baru bisa," jelas sang istri.
"Hahhh." Reyner menghela napasnya.
"Sabar dong, Mas. Kan kalau orang sabar telinganya lebar," celetuk Zinnia mencoba me
"Sekarang udah tambah besar, ya? Jadi gak sabar pengen gendong," tutur Reyner saat mengelus perut sang istri dengan manja. Pria berusia tiga puluh tahunan itu tengah berbaring di dekat Zinnia."Iya, Mas. Jadi tambah berat juga, loh," ucap sang istri membalas mengusap pipi suaminya."Sabar ya, Sayang. Kan tinggal dua bulan lagi." Reyner kemudian duduk di samping Zinnia. Mengecup kepala wanitanya dengan mesra."Iya, Mas. Makasih ya udah mau nemenin aku. Ya udah. Sekarang Mas siap-siap mandi sana! Katanya mau ke kantor," ucap Zinnia."Iya, Sayang." Reyner mendekatkan wajahnya untuk memberikan sebuah kecupan pada bibir sang istri.Reyner pun segera membersihkan diri. Sang istri menyiapkan pakaian ganti untuknya. Pria itu kini keluar dengan hanya mengenakan handuk saja."Zin," panggil Reyner.Sang istri pun menoleh menatapnya. "Kenapa, Mas?"Reyner menatap istrinya dari atas ke bawah dan kembali pada wajahnya yang ia tatap lekat-lek
"Monika! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya seorang pria paruh baya, Pak Argan."Tolong bimbing anak Bapak agar tidak mengganggu rumah tangga orang!" ucap Reyner dengan dinginnya kepada Pak Argan."Maafkan anakku, Nak Rey. Baik. Aku akan menasihatinya," balas Pak Argan. Pria itu kemudian menghampiri putrinya dan membawanya untuk kembali. "Ayo pulang!""Tapi, Pah. Aku benar-benar mencintai Kak Rey. Aku nggak mau seperti ini," ucap Monika menolak ajakan sang ayah.Reyner menatap tajam gadis itu. "Jika kau memaksakan kehendak orang lain, maka itu bukan cinta. Tapi obsesi. Sekarang juga pulanglah dan dengarkan apa kata ayahmu!"Monika terdiam mendengar kalimat itu. Gadis itu pun terpaksa berjalan mengekor ayahnya. Zinnia yang mendengar ucapan suaminya merasa lega. Ternyata Reyner benar-benar setia padanya. Tak terasa air mata jatuh membasahi kedua pipinya.Reyner pun melanjutkan langkah kaki yang sempat tertunda. Saat hendak berbelok, ia terke
Zinnia kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Menunggu kelahiran anak pertamanya. Ibu dan ayahnya pun sudah menemaninya selama dua hari ini. Ikut berjaga jika putri semata wayang mereka melahirkan.Zinnia dan sang ibu tengah melipat baju-baju bayi di kamar Zinnia dan Reyner."Oh iyo. Baju ganti buatmu, kain jarik, pembalut nifas, sama beberapa baju bayi sudah mbok siapkan belum, Nduk?" tanya Siti pada putrinya."Alhamdulillah sampun, Buk. Sudah Zin masukin ke dalam tas itu," jawab Zinnia sembari menunjuk sebuah tas yang diletakkan di dalam lemari yang terbuka."Yo wis kalau sudah. Besok kan tinggal bawa aja kalau pas lahiran.""Nggih, Buk.""Terus ini diletakkan di mana, Nduk?" tanya Siti."Di dalam lemari, Buk. Di barisan ke tiga," jawab Zinnia.Siti pun memasukkan tumpuka pakaian bayi ke dalam lemari. Semua pakaiannya baru dan telah dicuci oleh Zinnia.
Tak lama kemudian, Zinnia sudah keluar bersama bayi laki-laki yang sehat dalam dekapannya. Reyner langsung tersenyum bahagia melihat istri dan anak pertamanya. Zinnia pun dibawa ke ruang rawat. Reyner segera menghampiri putranya. Kemudian pria itu mengumandangkan adzan dan iqomah di telinga bayi mungil itu."Makasih, Sayang. Kamu sudah berjuang banyak untuk anak kita," ucap Reyner sembari mengecup kepala Zinnia dengan kasih sayang."Iya, Mas. Sama-sama," balas Zinnia."Alhamdulillah, Pak Haris. Cucu pertama kita jagoan," ucap Pak Agus."Iya, Pak. Akan tambah rame nih rumahnya Rey," balas Pak Haris sembari merangkul besannya."Iya. Pasti bakal rame. Kamu harus bisa ngurus anak dan istrimu, Rey," imbuh Nurmala."Iya, Mah."Bertambah lagi kebahagiaan Reyner dan Zinnia. Akhirnya setelah menunggu cukup lama, mereka memiliki seorang putra yang menggemaskan dan sehat.*****Zinnia sudah pulang ke rumah bersama putranya. Kini ru
Kenang pun langsung terdiam setelah menerima ASI dari sang ibu. Kedua matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Sepertinya bayi mungil itu memang sudah waktunya mengantuk.Di luar kamar, Reyner tengah memberikan koordinasi pada panitia aqiqoh putranya. Pak Haris dan Pak Agus pun ikut menemani pria itu. Hingga ketika acara hendak dimulai, Reyner mencari istri dan anaknya. Bella yang mengetahui gelagat Reyner pun memberitahukan pria itu keberadaan sahabatnya."Pak Rey. Zin ada di kamar lantai satu. Di pojok sana," ucap Bella sembari menunjukkan tempat yang ia maksud."Oh. Oke, Bel. Makasih," balas Reyner.Pria itu pun menghampiri sang istri. Reyner melihat Zinnia yang sedang memangku putranya yang tertidur pulas. Ia kemudian tersenyum."Sayang. Acara udah mau dimulai," tutur Reyner dengam suara pelan.Zinnia menoleh menatap suaminya. "Iya, Mas," jawab Zinnia tak kalah pelan.Dengan hati-hati wanita itu berjalan menuju halaman bela
"Sudah siap belum, Mi?" tanya Reyner pada sang istri yang sedang menyisir rambutnya. Kini rambut Zinnia sudah sedikit lebih panjang."Iya, Pi. Bentar," jawab Zinnia menyelesaikan persiapannya.Setelah selesai, Zinnia menghampiri Reyner yang sedang duduk menunggunya di sofa. Wanita itu tersenyum melihat kedua jagoannya. Reyner sudah memakai jas rapi sembari memangku sang anak yang kini sudah berusia empat bulan."Sini. Kenang sama Mami, ya," ajak Zinnia pada putranya. Wanita itu kemudian menggendong Kenang dengan gendongan bayi."Nggak aku aja yang gendong?" tanya Reyner saat menyerahkan putranya."Jangan, Pi. Papi kan pakai jas," jawab Zinnia."Oh. Ya udah," balas Reyner."Ini benerin dulu, Pi," ujar Zinnia saat melihat kerah baju suaminya. Segera saja ia membetulkan kerah tersebut."Dah. Yuk, Pi. Kita berangkat!" ajak Zinnia sembari menatap Kenang. Bayi itu kemudian terkekeh kegirangan."Ya udah. Ayo, Mi!" Reyner pun me
Zinnia tersenyum melihat wajah bingung suaminya. Wanita itu tahu apa yang diminta putranya. Segera saja ia mengambil tremos kecil, botol bayi, serta susu bubuk untuk Kenang. Beberapa menit kemudian susu hangat sudah jadi."Nih minumnya, Sayang," ucap Zinnia sembari memberikan botol pada Kenang. Bayi laki-laki itu langsung meminum susunya dengan lahap."Oh. Haus," ucap Reyner bergantian memegangi botol itu."Iya, Papi. Adek haus." Zinnia menjawab seolah mewakili putranya. Perlahan-lahan bayi laki-laki itu mulai mengantuk."Papi juga haus nih, Mi," bisik Reyner di telinga sang istri."Oh. Papi haus? Ya udah Mami ambilin minum bentar," balas Zinnia sembari berdiri.Reyner menahan lengan sang istri. Zinnia pun menoleh menatap suaminya dengan heran. "Kenapa, Mas? Apa lagi? Aku ambilin sekalian," ucapnya."Bukan haus itu. Sini duduk!" anjur Reyner sedikit kesal. Zinnia pun kembali duduk di samping suaminya."Aku haus ini," bisik Reyn
Sekitar pukul sembilan pagi, Kenang dengan antusias menanti kedatangan ikan koi barunya. Ia tak sabar ingin segera bermain dengan ikan. Hingga pukul jam sembilan lebih, seorang kurir tiba untuk mengantarkan sepuluh ikan koi dengan ukuran yang cukup besar."Pi, Mi! Ikan, ikan!" seru Kenang kegirangan sembari bertepuk tangan dan melompat-lompat. Jeritan histeris karena bahagia pun terdengar. Membuat kedua orangtuanya menggelengkan kepala mereka secara bersamaan."Iya, Sayang." Zinnia mengelus kepala putranya. Lalu menggendong Kenang untuk menghampiri ikan barunya."Ini ditaruh di mana, Pak?" tanya seorang kurir saat meletakkan sebuah box besar."Taruh situ aja," jawab Reyner."Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya.""Ya. Makasih, ya," ucap Reyner.Kenang pun menghampiri box berukuran besar itu. Tak sabar ingin segera melihat isinya. Kini giliran Reyner yang bingung mau menempatkan sepuluh ikan koi itu di mana. Pasti tidak akan p