"A-apa?!” pekikku sambil melotot ke arah Edgar yang cengengesan melihat reaksiku. “ Bohong, Pak! Dia itu Kakak sambung saya!”
Pak Darma menatap heran ke arah kami, “Jadi yang bener yang mana?”
“Hehe, maaf, Pak. Kami itu adik kakak!” jelas Edgar sambil terkekeh. Aku menatap sinis ke arahnya, mendapat tatapan dariku, ia langsung menghentikan tawanya.
“Walah, saudara sambung ternyata. Hati-hati loh, saudara sambung juga bisa saling jatuh cinta!” Pak Darma terkekeh. Sementara aku dan Edgar saling pandang tak percaya.
“Jatuh cinta sama cowok rese kaya gini? Iiih, ogah!” timpalku sambil bergidik ngeri. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah jatuh cinta pada si mesum ini. Huh! Dia, kan, yang sudah mencuri first kissku!
Kemudian Edgar berbisik di telingaku, “Awas! Nanti termakan omongan sendiri!”
Aku terkesiap mendengar perkataannya, hal itu langsung membuatku te
Dengan perasaan tak menentu, kami bergegas menuju pantai. Kulihat Edgar begitu tegang kala kami tiba di pinggir pantai. Banyak warga mengerumuni kedua mayat itu. Semoga saja mereka bukan Daffa dan Carel. Dengan tangan bergetar hebat, Edgar membuka koran yang menutupi wajah mayat itu. Begitu ia membuka penutupnya, ia langsung menghela napas kala melihat wajah mayat itu. “Syukurlah, bukan Daffa dan Carel! Pak Darma, mereka bukan Kakak saya. Saya tidak tahu siapa mereka!” seru Edgar pada Pak Darma. “Iya, Mas Edgar. Bapak yakin, kedua Kakak Mas Edgar pasti baik-baik saja,” sahut Pak Darma mencoba menenangkannya. Edgar nampak terdiam, lalu kemudian ia berkata, “Pak Darma, saya akan mencari Kakak saya. Saya akan memasuki hutan untuk ke selatan!” Kami terkejut mendengar perkataan Edgar barusan. Beberapa warga yang mendengar percakapan kami, ikut mengerumuni kami. “Mas Edgar, itu terlalu berbahaya. Kita tunggu sampai besok, ya,” jawab Pak Darm
Perlahan tapi pasti, kami mulai melangkahkan kaki kami. Suasana di dalam hutan cukup gelap. Terdengar lolongan anjing yang kukira sebelumnya adalah suara serigala.Angin berhembus kencang, membuat pepohonan di dalam hutan ini bergerak-gerak. Membuat suasana menjadi cukup mencekam. Kueratkan pegangan tanganku pada lengan Edgar. Karena jujur, aku takut sekali sekarang."Jangan takut," ucapnya pelan.Aku mengangguk. Kami terus berjalan mengikuti jalan setapak yang membelah hutan ini."Lo tau nggak? Kenapa gue sama Carel selalu bertengkar?" tanya Edgar tiba-tiba. Aku tahu, ia hanya ingin mengalihkan rasa takutku ini."Karena apa emang?" sahutku penasaran."Dulu, Mama meninggal karena gue," jawabnya dengan suara parau.Aku terkesiap mendengar pernyataannya. Jadi, selama ini, apa yang Carel ucapkan itu benar?Kuberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut padanya. "Maksudnya?""Iya, Mama meninggal waktu ngelahirin gue."D
Hewan liar itu sudah bersiap untuk menyerang Edgar.Namun, tepat sebelum hewan itu mendekat, seseorang tiba-tiba muncul. Seorang pria paruh baya muncul dengan membawa sebuah obor, kemudian ia mengibaskannya ke arah hewan itu. Hingga membuat babi hutan itu ketakutan dan langsung pergi menjauh ke dalam hutan.“Mas, sama Mbanya baik-baik saja, kan?” tanya pria dengan pakaian lusuh itu. Ia kemudian menaruh obor itu di tanah dan mengulurkan tangannya pada Edgar. Edgar meraih uluran tangannya dan segera berdiri.Dengan sedikit tertatih, ia berjalan menghampiriku yang terduduk. Ia mengecek lututku yang terluka akibat tergesek dengan tanah dan kerikil, darah segar mengalir dari sana.“Astaga! Darahnya banyak banget!” pekik Edgar panik.“Mas, itu harus segera ditutup lukanya!” perintah pria paruh baya itu.Edgar mengambil botol mineral yang tergeletak di tanah. Selanjutnya, ia membasuh lukaku dengan air mineral itu
Aku terkejut ketika melihat kondisi Carel. Bagaimana tidak, Carel telah kehilangan sebelah kakinya. Yang kulihat sekarang adalah kaki kanan Carel yang hanya tinggal lututnya saja yang sudah diperban. Bagian lutut sampai kaki sudah tidak ada di sana. Entah apa yang terjadi dengannya.Mendengarku berteriak, Edgar sontak menoleh ke arah yang sama denganku. Seketika ia terpekik ketika melihat kondisi Kakak kandungnya itu.“Bang Carel, apa yang terjadi? Bagaimana bisa?” ringisnya dengan suara pilu. Sementara kulihat Carel hanya menatap kosong ke depan, seolah nyawanya tidak ada di tubuhnya itu.“Kita bicarakan ini di dalam ya,” ucap Daffa tiba-tiba.Aku dan Edgar mengangguk bersamaan. Edgar membantu Daffa menurunkan Carel dari becak. Lalu kami masuk ke rumah Pak Kiki yang sangat sederhana ini, keadaan rumah Pak Kiki tak jauh berbeda dengan rumah Pak Darma atau pun rumah Pak Soni.Mereka lalu mendudukkan Carel di salah satu kursi.
Aku terkejut mendengar jawaban dari Edgar. Aku langsung terduduk kala ia mengatakan hal yang tidak masuk akal itu. Kutatap wajah tanpa dosanya itu dengan tatapan tak percaya.“Lo serius dengan apa yang lo ucapkan?"“Emang kenapa?” tanyanya santai seolah itu bukanlah masalah yang besar.Aku mendecak mendengar respon darinya. Bisa-bisanya dia sesantai itu padahal sedang melakukan sebuah kebohongan besar. “Bagaimana kalo Pak Kiki tahu? Apa dia nggak akan kecewa sama kita karena dibohongin?” sahutku kesal.Kulihat ia hanya terdiam, pasti perkataanku sedikit menyentil pikirannya. “Kalo gue nggak bohong, kita mau tinggal di mana lagi? Di rumah Pak Kiki? Nggak mungkin! Di sana ada Carel yang benci banget sama gue!” ketusnya.Aku terdiam, bagaimana pun perkataan Edgar ada benarnya. Tidak mungkin menyatukan Carel dan Edgar di tempat yang sama. Akan terjadi baku hantam jika Kakak beradik itu disatukan.“
Edgar dan Daffa terlihat cengengesan ketika bertatapan denganku. Sementara aku hanya tersenyum kikuk menanggapu perkataan Pak Kiki yang mengira bahwa aku dan Edgar adalah pegantin baru. Kuberikan mereka tatapan tajam, sontak mereka langsung terdiam. Maafkan kami Pak Kiki, kami tak bermaksud untuk membohongimu.Lantas Edgar, Daffa dan Pak Kiki akhirnya pergi berlayar untuk mencari ikan. Oh ya, Pak Kiki ini hanya tinggal seorang diri, dari yang kudengar dari Pak Kiki, sang istri sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena sakit. Dan anaknya yang merantau di kota pun tak kunjung pulang untuk sekedar bertemu dengannya.Mendengar cerita dari Pak Kiki, membuatku merasa sedih. Bisa-bisanya seorang anak membiarkan orang tua tinggal sendirian di desa. Aku saja yang baru terpisah dengan Mama beberapa Minggu sudah sangat merindukannya.Usai keberangkatan mereka berlayar, aku masuk ke rumah Pak Kiki. Carel ternyata sudah bangun, ia sedang duduk termenung di atas ranjang
Aku tertegun mendengar pernyataannya. “Lo nggak boleh ngomong kayak gitu, Kak!” nasehatku. “Lo nggak akan pernah ngerti gimana rasanya jadi gue, Hul!” ucapnya pelan. “Apa pun itu, gue nggak mau liat lo sedih lagi, Kak. Maaf, bukannya gue sok menggurui tapi percaya sama gue, Mama lo pasti punya alasan kenapa nitipin lo ke Tante lo!” sahutku. “Gue nggak tau. Hal itu seperti udah jadi trauma tersendiri bagi gue. Gue jadi benci banget sama Edgar. Tiap liat dia, gue rasanya jadi inget perlakuan Mama, Papa dan Tante gue.” “Iya, Kak. Lo cuma butuh waktu buat nerima semua ini." Aku terdiam sebentar kemudian melanjutkan. "Mulai sekarang kalo ada sesuatu yang mau lo ceritain, lo bisa cerita sama gue. Gue juga kan adik lo. Gue akan selalu ada buat lo.” Carel tersenyum sumringah mendengar perkataanku, selanjutnya ia berkata, “Makasih, ya. Lo emang adik gue yang paling baik!” Ia mengacak-acak rambutku, persis seperti yang Edgar sering lakukan kepadaku.
Aku mengangguk pelan. Ia menangis di dalam pelukanku. Tangisannya terdengar begitu pilu dan menyakitkan. “Gue sayang banget sama Carel. Sumpah demi apa pun, dia itu masih Abang gue, Hulya!” ucapnya parau. “Kalo gue bisa tuker kaki gue buat dia, gue akan kasih! Dia butuh apa pun, akan gue kasih!” sambungnya lagi. Kuusap punggungnya dengan lembut, sambil sedikit kutepuk-tepuk. “Udah Gar. Gue juga nggak bisa liat lo terus-terusan seperti ini. Hidup harus terus berjalan, gue yakin Carel pasti akan baik-baik aja,” ucapku mencoba memberinya semangat. Ia melepas pelukannya. Netranya menatap mataku begitu dalam. “Makasih udah selalu ada buat gue. Makasih udah jadi penyemangat hidup gue. Cuma lo yang ngerti gimana hancurnya gue sekarang.” Ia menggenggam jari jemariku, tangannya terasa dingin ketika bersentuhan dengan tanganku. Apa ia sakit? “Gue boleh jujur nggak sama lo?” tanyanya serius. Aku mengangguk sambil menghapus sisa air mata yang meng
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu
Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i
Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan
Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”
Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber
“Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?