Dengan perasaan tak menentu, kami bergegas menuju pantai. Kulihat Edgar begitu tegang kala kami tiba di pinggir pantai. Banyak warga mengerumuni kedua mayat itu. Semoga saja mereka bukan Daffa dan Carel.
Dengan tangan bergetar hebat, Edgar membuka koran yang menutupi wajah mayat itu. Begitu ia membuka penutupnya, ia langsung menghela napas kala melihat wajah mayat itu.
“Syukurlah, bukan Daffa dan Carel! Pak Darma, mereka bukan Kakak saya. Saya tidak tahu siapa mereka!” seru Edgar pada Pak Darma.
“Iya, Mas Edgar. Bapak yakin, kedua Kakak Mas Edgar pasti baik-baik saja,” sahut Pak Darma mencoba menenangkannya.
Edgar nampak terdiam, lalu kemudian ia berkata, “Pak Darma, saya akan mencari Kakak saya. Saya akan memasuki hutan untuk ke selatan!”
Kami terkejut mendengar perkataan Edgar barusan. Beberapa warga yang mendengar percakapan kami, ikut mengerumuni kami.
“Mas Edgar, itu terlalu berbahaya. Kita tunggu sampai besok, ya,” jawab Pak Darm
Perlahan tapi pasti, kami mulai melangkahkan kaki kami. Suasana di dalam hutan cukup gelap. Terdengar lolongan anjing yang kukira sebelumnya adalah suara serigala.Angin berhembus kencang, membuat pepohonan di dalam hutan ini bergerak-gerak. Membuat suasana menjadi cukup mencekam. Kueratkan pegangan tanganku pada lengan Edgar. Karena jujur, aku takut sekali sekarang."Jangan takut," ucapnya pelan.Aku mengangguk. Kami terus berjalan mengikuti jalan setapak yang membelah hutan ini."Lo tau nggak? Kenapa gue sama Carel selalu bertengkar?" tanya Edgar tiba-tiba. Aku tahu, ia hanya ingin mengalihkan rasa takutku ini."Karena apa emang?" sahutku penasaran."Dulu, Mama meninggal karena gue," jawabnya dengan suara parau.Aku terkesiap mendengar pernyataannya. Jadi, selama ini, apa yang Carel ucapkan itu benar?Kuberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut padanya. "Maksudnya?""Iya, Mama meninggal waktu ngelahirin gue."D
Hewan liar itu sudah bersiap untuk menyerang Edgar.Namun, tepat sebelum hewan itu mendekat, seseorang tiba-tiba muncul. Seorang pria paruh baya muncul dengan membawa sebuah obor, kemudian ia mengibaskannya ke arah hewan itu. Hingga membuat babi hutan itu ketakutan dan langsung pergi menjauh ke dalam hutan.“Mas, sama Mbanya baik-baik saja, kan?” tanya pria dengan pakaian lusuh itu. Ia kemudian menaruh obor itu di tanah dan mengulurkan tangannya pada Edgar. Edgar meraih uluran tangannya dan segera berdiri.Dengan sedikit tertatih, ia berjalan menghampiriku yang terduduk. Ia mengecek lututku yang terluka akibat tergesek dengan tanah dan kerikil, darah segar mengalir dari sana.“Astaga! Darahnya banyak banget!” pekik Edgar panik.“Mas, itu harus segera ditutup lukanya!” perintah pria paruh baya itu.Edgar mengambil botol mineral yang tergeletak di tanah. Selanjutnya, ia membasuh lukaku dengan air mineral itu
Aku terkejut ketika melihat kondisi Carel. Bagaimana tidak, Carel telah kehilangan sebelah kakinya. Yang kulihat sekarang adalah kaki kanan Carel yang hanya tinggal lututnya saja yang sudah diperban. Bagian lutut sampai kaki sudah tidak ada di sana. Entah apa yang terjadi dengannya.Mendengarku berteriak, Edgar sontak menoleh ke arah yang sama denganku. Seketika ia terpekik ketika melihat kondisi Kakak kandungnya itu.“Bang Carel, apa yang terjadi? Bagaimana bisa?” ringisnya dengan suara pilu. Sementara kulihat Carel hanya menatap kosong ke depan, seolah nyawanya tidak ada di tubuhnya itu.“Kita bicarakan ini di dalam ya,” ucap Daffa tiba-tiba.Aku dan Edgar mengangguk bersamaan. Edgar membantu Daffa menurunkan Carel dari becak. Lalu kami masuk ke rumah Pak Kiki yang sangat sederhana ini, keadaan rumah Pak Kiki tak jauh berbeda dengan rumah Pak Darma atau pun rumah Pak Soni.Mereka lalu mendudukkan Carel di salah satu kursi.
Aku terkejut mendengar jawaban dari Edgar. Aku langsung terduduk kala ia mengatakan hal yang tidak masuk akal itu. Kutatap wajah tanpa dosanya itu dengan tatapan tak percaya.“Lo serius dengan apa yang lo ucapkan?"“Emang kenapa?” tanyanya santai seolah itu bukanlah masalah yang besar.Aku mendecak mendengar respon darinya. Bisa-bisanya dia sesantai itu padahal sedang melakukan sebuah kebohongan besar. “Bagaimana kalo Pak Kiki tahu? Apa dia nggak akan kecewa sama kita karena dibohongin?” sahutku kesal.Kulihat ia hanya terdiam, pasti perkataanku sedikit menyentil pikirannya. “Kalo gue nggak bohong, kita mau tinggal di mana lagi? Di rumah Pak Kiki? Nggak mungkin! Di sana ada Carel yang benci banget sama gue!” ketusnya.Aku terdiam, bagaimana pun perkataan Edgar ada benarnya. Tidak mungkin menyatukan Carel dan Edgar di tempat yang sama. Akan terjadi baku hantam jika Kakak beradik itu disatukan.“
Edgar dan Daffa terlihat cengengesan ketika bertatapan denganku. Sementara aku hanya tersenyum kikuk menanggapu perkataan Pak Kiki yang mengira bahwa aku dan Edgar adalah pegantin baru. Kuberikan mereka tatapan tajam, sontak mereka langsung terdiam. Maafkan kami Pak Kiki, kami tak bermaksud untuk membohongimu.Lantas Edgar, Daffa dan Pak Kiki akhirnya pergi berlayar untuk mencari ikan. Oh ya, Pak Kiki ini hanya tinggal seorang diri, dari yang kudengar dari Pak Kiki, sang istri sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena sakit. Dan anaknya yang merantau di kota pun tak kunjung pulang untuk sekedar bertemu dengannya.Mendengar cerita dari Pak Kiki, membuatku merasa sedih. Bisa-bisanya seorang anak membiarkan orang tua tinggal sendirian di desa. Aku saja yang baru terpisah dengan Mama beberapa Minggu sudah sangat merindukannya.Usai keberangkatan mereka berlayar, aku masuk ke rumah Pak Kiki. Carel ternyata sudah bangun, ia sedang duduk termenung di atas ranjang
Aku tertegun mendengar pernyataannya. “Lo nggak boleh ngomong kayak gitu, Kak!” nasehatku. “Lo nggak akan pernah ngerti gimana rasanya jadi gue, Hul!” ucapnya pelan. “Apa pun itu, gue nggak mau liat lo sedih lagi, Kak. Maaf, bukannya gue sok menggurui tapi percaya sama gue, Mama lo pasti punya alasan kenapa nitipin lo ke Tante lo!” sahutku. “Gue nggak tau. Hal itu seperti udah jadi trauma tersendiri bagi gue. Gue jadi benci banget sama Edgar. Tiap liat dia, gue rasanya jadi inget perlakuan Mama, Papa dan Tante gue.” “Iya, Kak. Lo cuma butuh waktu buat nerima semua ini." Aku terdiam sebentar kemudian melanjutkan. "Mulai sekarang kalo ada sesuatu yang mau lo ceritain, lo bisa cerita sama gue. Gue juga kan adik lo. Gue akan selalu ada buat lo.” Carel tersenyum sumringah mendengar perkataanku, selanjutnya ia berkata, “Makasih, ya. Lo emang adik gue yang paling baik!” Ia mengacak-acak rambutku, persis seperti yang Edgar sering lakukan kepadaku.
Aku mengangguk pelan. Ia menangis di dalam pelukanku. Tangisannya terdengar begitu pilu dan menyakitkan. “Gue sayang banget sama Carel. Sumpah demi apa pun, dia itu masih Abang gue, Hulya!” ucapnya parau. “Kalo gue bisa tuker kaki gue buat dia, gue akan kasih! Dia butuh apa pun, akan gue kasih!” sambungnya lagi. Kuusap punggungnya dengan lembut, sambil sedikit kutepuk-tepuk. “Udah Gar. Gue juga nggak bisa liat lo terus-terusan seperti ini. Hidup harus terus berjalan, gue yakin Carel pasti akan baik-baik aja,” ucapku mencoba memberinya semangat. Ia melepas pelukannya. Netranya menatap mataku begitu dalam. “Makasih udah selalu ada buat gue. Makasih udah jadi penyemangat hidup gue. Cuma lo yang ngerti gimana hancurnya gue sekarang.” Ia menggenggam jari jemariku, tangannya terasa dingin ketika bersentuhan dengan tanganku. Apa ia sakit? “Gue boleh jujur nggak sama lo?” tanyanya serius. Aku mengangguk sambil menghapus sisa air mata yang meng
Kupejamkan mata menikmati ciuman yang ia berikan. Ini adalah ciuman pertama yang kulakukan secara sadar dan tanpa unsur ketidaksengajaan. Dan semua itu kulakukan hanya dengannya, Edgar Mahendra.Perlahan ia melepaskan pagutannya. Sorot matanya memancarkan kasih yang teramat dalam. Selanjutnya, ia tersenyum padaku dan merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya yang hangat.“Pada akhirnya, kita sama-sama kalah sama perasaan ini. Ternyata benar apa kata orang, cinta datang karena terbiasa,” ucapnya pelan masih dalam posisi memelukku.“Iya, kalo aja lo dulu nggak ngambil first kiss gue. Gue pasti nggak akan jatuh cinta sama lo kayak gini. Ternyata benar ya, benci dan cinta itu beda tipis.” Aku terkekeh sendiri tatkala mengingat awal pertemuanku dengannya.“Sumpah! Kejadian waktu itu gue bener-bener nggak sengaja!” Ia melepaskan pelukannya dan menatapku memelas. Aku hanya terkekeh, kemudian dengan cepat aku mengecup bibi