Aku tertegun mendengar pernyataannya. “Lo nggak boleh ngomong kayak gitu, Kak!” nasehatku.
“Lo nggak akan pernah ngerti gimana rasanya jadi gue, Hul!” ucapnya pelan.
“Apa pun itu, gue nggak mau liat lo sedih lagi, Kak. Maaf, bukannya gue sok menggurui tapi percaya sama gue, Mama lo pasti punya alasan kenapa nitipin lo ke Tante lo!” sahutku.
“Gue nggak tau. Hal itu seperti udah jadi trauma tersendiri bagi gue. Gue jadi benci banget sama Edgar. Tiap liat dia, gue rasanya jadi inget perlakuan Mama, Papa dan Tante gue.”
“Iya, Kak. Lo cuma butuh waktu buat nerima semua ini." Aku terdiam sebentar kemudian melanjutkan. "Mulai sekarang kalo ada sesuatu yang mau lo ceritain, lo bisa cerita sama gue. Gue juga kan adik lo. Gue akan selalu ada buat lo.”
Carel tersenyum sumringah mendengar perkataanku, selanjutnya ia berkata, “Makasih, ya. Lo emang adik gue yang paling baik!” Ia mengacak-acak rambutku, persis seperti yang Edgar sering lakukan kepadaku.
Aku mengangguk pelan. Ia menangis di dalam pelukanku. Tangisannya terdengar begitu pilu dan menyakitkan. “Gue sayang banget sama Carel. Sumpah demi apa pun, dia itu masih Abang gue, Hulya!” ucapnya parau. “Kalo gue bisa tuker kaki gue buat dia, gue akan kasih! Dia butuh apa pun, akan gue kasih!” sambungnya lagi. Kuusap punggungnya dengan lembut, sambil sedikit kutepuk-tepuk. “Udah Gar. Gue juga nggak bisa liat lo terus-terusan seperti ini. Hidup harus terus berjalan, gue yakin Carel pasti akan baik-baik aja,” ucapku mencoba memberinya semangat. Ia melepas pelukannya. Netranya menatap mataku begitu dalam. “Makasih udah selalu ada buat gue. Makasih udah jadi penyemangat hidup gue. Cuma lo yang ngerti gimana hancurnya gue sekarang.” Ia menggenggam jari jemariku, tangannya terasa dingin ketika bersentuhan dengan tanganku. Apa ia sakit? “Gue boleh jujur nggak sama lo?” tanyanya serius. Aku mengangguk sambil menghapus sisa air mata yang meng
Kupejamkan mata menikmati ciuman yang ia berikan. Ini adalah ciuman pertama yang kulakukan secara sadar dan tanpa unsur ketidaksengajaan. Dan semua itu kulakukan hanya dengannya, Edgar Mahendra.Perlahan ia melepaskan pagutannya. Sorot matanya memancarkan kasih yang teramat dalam. Selanjutnya, ia tersenyum padaku dan merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya yang hangat.“Pada akhirnya, kita sama-sama kalah sama perasaan ini. Ternyata benar apa kata orang, cinta datang karena terbiasa,” ucapnya pelan masih dalam posisi memelukku.“Iya, kalo aja lo dulu nggak ngambil first kiss gue. Gue pasti nggak akan jatuh cinta sama lo kayak gini. Ternyata benar ya, benci dan cinta itu beda tipis.” Aku terkekeh sendiri tatkala mengingat awal pertemuanku dengannya.“Sumpah! Kejadian waktu itu gue bener-bener nggak sengaja!” Ia melepaskan pelukannya dan menatapku memelas. Aku hanya terkekeh, kemudian dengan cepat aku mengecup bibi
Mendengar suara Ningsih sontak aku langsung mendorong Edgar hingga jatuh ke atas ranjang. Dengan wajah memerah aku menatap Ningsih yang sepertinya tak kalah malunya denganku.“Nggak apa-apa kok, Ningsih!” jawabku sambil menahannya yang hendak pergi dari kamar ini.“Saya minta maaf banget, Mbak. Saya nggak tau kalo ada Mas Edgar juga di dalam.” Ia melepas cengkeraman tanganku di lengannya dan bergegas keluar.Kini tinggallah aku dan Edgar di dalam ruangan sempit ini. Edgar menatap tajam ke arahku seraya berdiri. Mungkin ia marah karena aku telah mendorongnya. Aku hanya bisa terkekeh meresponnya.“K-kita kayaknya jangan terlalu keliatan, deh!” ucapku.“Apanya? Bukannya mereka tahunya kita emang udah nikah?” tanyanya yang kini berdiri di hadapanku.“Pokoknya gue nggak mau kalo kita terlalu keliatan mesra banget. Lagian kita kan nggak pacaran!” jawabku asal.Kudengar ia terkekeh
“Lo tunggu di sini!” perintahnya seraya meninggalkanku di ruangan ini sendirian. Lama aku menunggu, tiba-tiba ia datang dengan tergopoh-gopoh. Tubuhnya basah kuyup dan menggigil kedinginan. “Ini, lo minum jahe anget dulu. Biar enakan badannya.” Ia membantuku untuk bersandar dan memberikan segelas minuman hangat itu. Sepertinya ia kehujanan karena berlari dari sini ke rumah Pak K**i Kuraih gelas yang diulurkan olehnya dan meneguknya secara perlahan. Rasa pedas dan hangat dari jahe mulai menjalari tenggorokan dan perutku. “Enak! Siapa yang buat ini?” tanyaku parau. “Daffa, dia udah biasa buat ini ketika naik gunung,” jawab Edgar dengan mata yang tak hentinya menatapku hingga membuatku sedikit risih menerima tatapan darinya. “Awas ngeliatin mulu, nanti suka lagi!” seruku lemah. Ia terkekeh mendengar perkataanku. “Emang udah suka, kok. Terus mau apa?!” tanyanya manja. Mendengarnya menggodaku, kuedarkan pandanganku ke arah lain. Aku
Samar-samar kudengar Edgar berkata bahwa kami akan pulang. Entah apa maksud perkataannya itu, aku tak dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkannya karena terlalu kesakitan pada kepalaku.Kurasakan Edgar membawa tubuhku menaiki sebuah kapal yang di dalamnya ada beberapa orang berseragam TNI. Mereka langsung membantu Edgar yang menggendongku.Edgar membawaku ke dalam kapal besar ini. Ia lalu membaringkan tubuhku di salah satu ranjang. Setelah membaringkanku, Edgar nampak berbicara pada seorang TNI. Lalu ia keluar bersama orang itu yang kutebak untuk menyelamatkan yang lainnya.Kulihat seorang pria menghampiriku dan memeriksa detak jantungku dengan menggunakan sebuah stetoskop.“Tarik napas, keluarin pelan-pelan,” perintahnya dengan suara yang sangat lembut. Aku menurut dan melakukan apa yang diperintahkannya.Usai melakukan itu, ia lalu memasang infus di punggung tanganku. Rasa nyeri ketika ia menusukkan jarum, sudah tak dapat kuras
Suster itu terhenti sebentar, hal itu membuat kami penasaran dengan apa yang akan ia katakan. “Operasinya berjalan lancar!” lanjutnya seraya tersenyum senang. Sontak kami bertiga langsung bernapas lega mendengar ucapannya. “Syukurlah ....” desah Edgar senang seraya menatapku yang juga tersenyum bahagia. Terima kasih, Tuhan. Kau telah mengabulkan doa kami. Kuharap Carel akan segera pulih dan bangkit dari semua cobaan ini. *** Dua minggu kemudian. Aku sudah kembali sehat setelah dua Minggu lamanya aku dirawat di rumah sakit. Edgar tak pernah meninggalkanku sekali pun selama aku di rawat. Ia yang merawatku dengan tulus. Walau terkadang, aku sering bertingkah menyebalkan di depannya. Tapi hal itu tak urung membuatnya jadi marah kepadaku. “Akak!” panggil seorang bocah laki-laki berusia tiga tahun, ketika aku keluar dari kamar. Bocah itu langsung memeluk kakiku yang terekspos karena mengenakan rok selutut. “Alles!” sa
Pria dengan kemeja putih polos itu tampak tersenyum menanggapi gumamanku. Tunggu dulu, apa dia mendengar perkataanku? “Nggak apa-apa," ucapnya ramah. Aku berdiri mematung melihat respon dari pria tampan itu. Sungguh pria yang ramah dan lembut. Selanjutnya aku menuju lantai tiga untuk bergabung dengan mahasiswa baru. Menurut Edgar, akan ada sambutan dari kepala dewan Universitas untuk mahasiswa baru. Sebenarnya aku malas untuk ikut kegiatan ini. Tapi apalah daya, Papa pasti akan menanyaiku. Aku hanya tak ingin membuat Papa kecewa padaku. Tiba tiba terdengar ponselku berbunyi, ternyata Mama yang meneleponku. “Iya Ma?” “Hulya, ini ada wartawan telepon terus ke rumah nanyain kamu dan yang lainnya. Mereka bilang untuk diwawancara di acara tv,” ucap Mama dibalik telepon. “Duh, Hulya nggak mau kalo harus tampil di tv," sahutku. “Ya sudah, nanti Mama bilang Papa biar urus semua ini.” “Baik. Makasih, Ma!” Selalu
Segera aku turun dari motor Tian dan menghampiri Edgar dengan perasaan marah. Kutendang pintu mobil di dimana ia duduk. Hingga akhirnya ia keluar dengan wajah yang sama marahnya sepertiku. Ia berdiri di hadapanku sekarang. “Edgar! Keluar lo! Maksud lo apa nabrak nabrakin mobil lo ke motor Tian?” hardikku. “Udah lo mending diem, terus ikut gue!” Edgar menarik lenganku dengan keras dan membawaku masuk ke dalam mobil. Sebelumnya ia melepas helm yang kukenakan dan melemparnya pada Tian. Aku terpaksa menurut. Dan kulihat ia sedang berbicara sesuatu pada Tian. Aku tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan. Yang kulihat, Edgar memberikan sebuah kertas pada pria itu. Selanjutnya ia memasuki mobil dan melajukan mobilnya bersama aku yang sudah ada di dalamnya. Lama kami terdiam selama perjalanan, tiba tiba ia membuka suara. “Lo kenapa emosi banget, sih?” tanya Edgar dengan tatapan lurus ke depan, fokus mengemudi. “Ya, lo ngapain nabrakin mobil lo
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu
Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i
Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan
Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”
Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber
“Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?