Malam semakin larut, Leon sekali lagi menyesap kopinya dengan khidmat.
Well, tidak benar-benar khidmat sebenarnya, karena benak lelaki itu dipenuhi oleh hal lain selain kafein yang menyesap ke dalam sistemnya. Dia seharusnya fokus kepada layar laptop tempat pekerjaannya yang menunggu untuk diselesaikan, namun sedari tadi, Leon justru memikirkan hal lain. bertanya-tanya mengapa istri kecilnya tidak kunjung datang.
Leon memang menolak keras untuk sekamar dengan gadis itu. Dia tidak menyukai orang lain berada di dalam ruangan pribadinya, apalagi seseorang yang akan tidur dengannya. Oleh karena itulah kenapa Leon menjadi gelisah seperti ini. Dengan tidak sabar, dia pun bangkit dari kursi kerjanya sambil membawa cangkir kopi yang isinya telah tandas.
Di dapur, Leon mendengar suara air mendidih pada cerek, dan punggung kecil seorang perempuan yang dibalut sweater lusuh lebar.
Mendengar langkah kaki itu, Elsa pun menoleh dan nyaris terjengkang ke belakang karena terkejut.
"Kak... Leon," sapanya dengan gugup.
Tatapan Leon yang tajam menghujam Elsa dan sesaat mereka hanya berdiri di sana hanya saling menatap. Lalu tatapan Leon turun ke tubuh Elsa, seolah menilainya, sebelum sebuah seringaian tipis menghiasi bibir lelaki itu. Elsa sama sekali tidak mengerti maksud dari tatapan itu namun ia merasakan rasa malu yang sangat besar, yang membuatya ingin segera kembali ke kamar dan berganti pakaian, lalu tersadar bahwa sebagian besar pakaiannya hanya berupa kaos biasa yang warnanya sudah dimakan usia.
"Mau teh?" tanya Elsa, sambil menyembunyikan rasa gugupnya.
Leon berjalan mendekatinya, membuat jantung Elsa berdetak semakin kencang, tapi lelaki itu rupanya hanya berniat meletakkan cangkirnya ke dalam wastafel, lalu duduk di meja makan.
"Buatkan aku kopi," perintahnya.
Elsa tidak membantah dan membuatkan Leon kopi sekalipun yang ia tawari sebenarnya adalah segelas teh. Dan tanpa sadar Elsa menyuarakan pemikirannya itu.
"Aku tadi tawarin kak Leon teh, bukan kopi. Tapi kalau kak Leon maunya kopi, aku buatin kopi seperti yang kak Leon mau," cerca Elsa sembari menuangkan bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir yang baru. Setelah melirik ke dalam wastafel, dia tahu bahwa Leon baru saja menghabiskan segelas kopi dan sekarang menginginkan yang baru.
"Kak Leon tau nggak, minum banyak kopi itu sebenarnya nggak baik untuk kesehatan. Mami sudah cerita ke aku kalau kak Leon paling gak bisa lepas sama kopi. Tapi nggak apa-apa, kalau kak Leon tetep mau kopi, aku buatin kopi."
Setelah berhasil menuangkan air mendidik ke dalam cangkir kopinya, lalu mengaduknya singkat, Elsa pun berbalik dan nyaris menjatuhkan cangkir itu jika saja Leon tidak menahan cangkir itu di tangan Elsa. Kulitnya yang dingin akibat gugup dilingkupi oleh kehangatan ujung jemari Leon yang menyentuhnya.
"Elsa," panggil Leon.
Elsa tidak berani untuk mendongak dan menatap matanya langsung, jadi tatapan Elsa sejajar lurus menatap dada Leon. Lalu menyahut singkat, "Ya?"
"Apa yang membuatmu berpikir, di usia sekecil ini, kamu bisa menjadi istri seorang pria yang 12 tahun lebih tua darimu?"
"Heh?" Elsa mengernyit bingung.
Leon masih menunduk menatapnya, lalu mengangkat sebelah tangannya dan dengan jemarinya, ia menyentuh dagu Elsa lalu mendongakkan kepalanya, memaksa gadis itu untuk melihat tepat ke matanya. Leon hendak mengatakan sesuatu yang mungkin akan mengundang murka Maminya jika wanita itu tahu, tapi Leon tidak peduli. Gadis kecil di hadapannya saat ini perlu diberitahu di mana letak posisinya berada.
"Dengar, aku benar-benar tidak mengerti apa yang orangtua kamu pikirkan sehingga membiarkan anak gadisnya yang masih sangat belia untuk menikah dengan lelaki yang jauh lebih tua darinya. Kalau ini disangkutkan dengan hutang ayah kamu yang bejibun itu, tidaklah cukup. Dan kalau kamu pinter, kamu pasti tahu artinya apa."
Pernyataan itu menghantam Elsa tepat di titik yang membuatnya sakit. Ya, dia mengerti. Kenyataan bahwa orangtuanya baru saja menjualnya pada lelaki di hadapannya saat ini, yang berdiri menjulang tinggi dengan tubuh tegap yang gelap, mengintimidasi Elsa, membuatnya merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya. Elsa sudah tahu apa yang orangtuanya pikirkan ketika mereka memutuskan untuk menikahkan dirinya dengan putra sulung Fernandez, tentu saja karena uang.
Dan sepertinya Leon menyadari kesadaran itu di kedua mata Elsa, rasa takut dan gelisah itu jelas terpancar pada manik hitam kelam itu. Leon tersenyum. Dia tidak menginginkan seorang bocah ingusan mengganggu kehidupannya yang telah ia atur selama bertahun-tahun, dan jika Elsa memang perempuan cerdas seperti yang Maminya katakan, maka gadis itu akan tahu untuk menjaga sikapnya di hadapan Leon.
"Kamu mengerti kan?" tanya Leon dengan suara rendah.
Elsa mengangguk lemah.
"Bagus. Karena pernikahan ini benar-benar tidak berarti apapun bagi kehidupan kita berdua," salah, pernikahan ini benar-benar berarti bagi Elsa, "maka aku mau kamu tahu sesuatu. Bahwa kamu bisa tinggal di sini dan melakukan apapun yang kamu mau. Menikmati segala fasilitas yang aku berikan, asal kamu tidak menuntut lebih. Kamu juga bisa pergi ke sekolah seperti biasa, menikmati masa muda kamu seperti remaja kebanyakan, terserah. Hanya saja, semua itu ada syaratnya."
Elsa merasakan dorongan yang sangat besar untuk menangis, dan dia membenci hal itu, dia tidak ingin tampak lemah di hadapan Leon karena sepertinya begitulah yang lelaki itu inginkan. Elsa terbiasa hidup untuk menekan segala perasaannya, jika dia memang benar-benar ingin bertahan. Maka dengan suara bergetar, Elsa bertanya; "A-apa?"
"Pertama, lakukan tugas kamu sebagai istri dengan benar, tapi jangan menuntut lebih. Aku tidak mau kamu mengurusi kehidupanku terlalu dalam, jangan ikut campur pada apapun. Tugasmu sebagai istri cukup untuk melayani suami, maka aku akan memberikan apa yang kamu inginkan. Kedua, rahasiakan pernikahan ini kepada siapapun. Termasuk teman-teman kamu di sekolah. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu, kalau sampai ada, aku pastikan kamu tidak akan mau mendengar ganjarannya, kan?"
Elsa mengangguk kaku.
"Mengerti?"
"I-iya."
"Kita akan tidur sekamar, karena di sanalah kamu akan melakukan tugasmu yang sebenarnya. Aku tidak menyukai jenis gangguan apapun pada ruang pribadiku, tapi untuk yang satu ini, akan aku toleransi."
Apa Elsa harus merasa tersanjung pada toleransi yang dikatakan Leon? Sepertinya tidak, tidak bisa. Karena otak Elsa masih sulit untuk mencerna lebih baik apa yang lelaki itu katakan. Dia memang siswi cerdas di skeolah, namun karena semua tekanan baru yang ada pada hidupnya saat ini membuat Elsa tidak bisa berpikir jernih.
Tapi satu hal yang dia tahu pasti, mengenai tugasnya, sebagai seorang istri.
'Kita akan tidur sekamar, karena di sanalah kamu akan melakukan tugasmu yang sebenarnya.'
Elsa mengerti apa maksud ucapan itu, namun kinerja otaknya menolak untuk memikirkan hal itu lebih jauh. Sebagai seorang istri... ya, dia memiliki sebuah tugas pasti. Tapi, apakah Leon akan benar-benar melakukannya? Karena lelaki itu jelas-jelas mengatakan bahwa dia tidak menerima kehadiran Elsa di dalam hidupnya. Dan tatapannya yang tajam, tersirat pandangan jijik di sana, seolah dia tidak menginginkan Elsa sedikitpun berada di manapun di dalam lingkupnya. Jadi, tentu saja, Leon tidak mungkin menuntut Elsa untuk melakukan hubungan 'itu' kan? karena jujur, Elsa tidak akan pernah sanggup. Tidak akan pernah. Tapi jika suaminya memaksa, apa yang bisa Elsa lakukan selain harus menurut? Pemikiran itu membuat Elsa menggigil.
Ketika kembali ke dalam kesadarannya, Leon sudah pergi, dan cangkir kopi yang tadi digenggamnya di tangan kini telah tiada. Pria itu sudah masuk kembali ke kamarnya, salah, ke kamar mereka. Apakah dia punya pilihan lain selain harus tidur di sana? Elsa sudah tidak memiliki cukup nyali untuk berhadapan dengan Leon lagi. Apakah tidak apa-apa jika dirinya tidur di kamar tamu untuk malam ini saja? Setidaknya, sampai keberaniannya yang tercecer kembali utuh.
Tapi tidak, Elsa tahu dia tidak memiliki jalan lain.
[to be continued]
Pada akhirnya, Elsa masuk ke dalam kamar Leon dan sangat bersyukur bahwa lelaki itu tengah ada di kamar mandi,night showermungkin, terdengar dari air yang mengalir. Itu artinya, Elsa tidak perlu berhadapan dengannya dan dia hanya akan menyelinap masuk ke dalam selimut lalu tidur.Atau pura-pura tidur, karena beberapa saat kemudian setelah tubuhnya terbaring di atas ranjang, pintu kamar mandi terbuka, dan Elsa tidak bisa menghentikan degup jantungnya yang sangat kencang.Leon sedikit terkejut, mendapati tubuh mungil yang membelakanginya itu berada di atas ranjangnya yang besar dan luas. Sweater cokela
Tiga hari berikutnya, pernikahan Leon dan Elsa berlalu begitu saja. Mereka masih tidur di satu ranjang walaupun Elsa masih diliputi rasa gugup yang sama, namun dia tidak bisa menyangkal bahwa tidurnya setiap malam lebih nyenyak ketimbang malam-malam sebelumnya yang dia habiskan di dalam kamarnya yang sempit, yang hanya beralaskan kasur lipat tipis.Namun pada siang harinya, Elsa meminimalisir waktunya sebanyak mungkin di dalam kamar dan dia lebih sering bersama mami mertuanya. Menghabiskan banyak waktu di dapur, mencoba menu-menu baru yang tidak pernah Elsa ketahui sebelumnya. Sedangkan sang ayah mertua masih dalam perjalanan bisnis di Paris menggantikan Leon. Dan Leon sendiri, sekalipun dalam masa libur, masih disibukkan dengan pekerjaannya y
Kehidupan Elsa tidak pernah sama seperti remaja kebanyakan. Ketika yang lain menghabiskan waktu mereka dengan smartphone masing-masing dan bersosialisasi dengan banyak orang di seluruh dunia, Elsa terisolasi di dalam rumah mengerjakan pekerjaan rumah juga sepulang sekolah harus kerja paruh waktu di toko. Hal itu membuat Elsa memahami beberapa hal yang belum seharusnya ia pahami di usia yang begitu belia.Di sekolah, Elsa terkenal sebagai gadis cupu siswi kesayangan guru. Kegemarannya dalam membaca buku dan mengerjakan soal-soal eksak membuatnya selalu menjadi juara di kelas. Namun hal itu juga sekaligus menjauhkan orang lain darinya.
Rasanya seperti sudah berjam-jam matanya tertutup, Elsa pikir hari sudah siang. Dia terbangun di atas ranjang kamarnya dengan pikiran linglung. Jamdigitaldi atas nakas menunjukkan bahwa beberapa jam yang dirasakannya ternyata hanya dua jam, kini sudah pukul 1 dini hari.Elsa menyadari bahwa Leon tidak ada di sampingnya, dan seprai itupun tidak tampak seperti telah ditempati. Dia menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya ke lantai, baru menyadari bahwa pakaian yang digunakannya bukan jenis pakaian tidur yang biasa ia gunakan. Kepala Elsa pun mulai memutar balik kejadian sebelumnya.Dan di saat i
"A-aku... pulang dulu," kata Elsa. Arya menganggukkan kepala, tersenyum, lalu tangannya refleks terangkat dan mengacak rambut Elsa. Dan setiap pergerakannya itu tidak luput dari pengamatan Leon di balik kaca hitam mobil.Elsa tampak memaksa seyum walaupun dia merasa sangat gugup sekarang, lalu dengan tergesa dia masuk ke dalam mobil. Elsa langsung merasa kecil, kecil sekali sampai dia tidak berani mendongakkan kepalanya. Beberapa saat dalam keheningan dan Leon tidak juga menyalakan mesin mobil."Sore, kak Leon." Elsa menyapa canggung, melirik Leon hati-hati, namun Leon tidak menyahut. "Kenapa?" tanya Elsa heran.
Elsa sampai di depan pintu apartemen yang Mami beritahukan padanya, berikut dengan kata sandi unit tersebut. Sekarang, melihat pintu metal yang tampak sangat kokoh itu, membuat nyali Elsa menciut, pegangan pada tali tas bekalnya semakin erat. Bagaimana dia bisa menyetujui ide maminya ini tanpa berpikir terlebih dahulu? Bagaimana respon Leon nanti? Dia pasti bakal marah besar kalau sampai tahu Elsa datang ke sini.Kata Mami, Elsa bisa langsung mengetik kata sandi di pintu itu dan membukanya. Tapi Elsa bahkan tidak tahu harus mengetik di mana. Lagipula, jika dia melakukan seperti yang Maminya sarankan, hal itu terkesan tidak sopan sekalipun pemilik apartemen ini adalah suaminya sendiri. Apalagi dengan hubungan pernikahan mereka yang sangat membi
Elsa tidak mengerti kenapa dia begitu gugup dan tegang, perasaan seperti ini tidak pernah disukainya. Namun ketika knop pintu diputar dan Leon muncul, jantung Elsa berdebar, berdebar dengan sangat menyenangkan, penuh antisipasi, gugup, dan ketegangan yang tinggi. Elsa berharap dia bisa bersikap dengan tenang, merespon dengan normal, setiap kali berhadapan dengan Leon. Akan tetapi, sepertinya itu sangat mustahil dilakukan. Terlebih dengan cara lelaki itu menatapnya saat ini.Elsa merunduk. Apa Leon akan benar-benar memarahinya? Dia sudah menunggu setidaknya selama lima belas menit yang terasa berjam-jam sampai Leon dan teman wanitanya selesai dengan acara makan malam mereka, padahal Elsa sendiri juga belum memakan apapun semenjak siang tadi. Di
Elsa terbangun merasakan pegal di sekujur tubuhnya, namun juga ringan di dadanya. Dia membuka mata, menatap langit-langit kamar dalam diam. Ketika berhasil meraih semua kesadarannya, ingatan mengenai kejadian semalam membuat darahnya mendidih dan naik ke wajah. Elsa mencengkram selimut semakin erat dan menaikkannya ke dagu, menggigit bibir ketika setiap momen itu berputar di kepalanya bagai sebuah film.Dia tidak percaya bahwa dirinya sudah tidak lagi perawan. Sudah bukan lagi seorang gadis. Di usia 16 tahun, ya tuhan, apa yang dirinya pikirkan?!Elsa memikirkan bagaimana semalam Leon menyentuhnya, menyebar gelenyar pana
Ketika menginjak usia tahun pertamanya, Samudera sudah bisa berjalan dan menyebut Leon maupun Elsa sebagai Mama Papa, walau pelafalannya masih tidak terlalu jelas.Mereka juga sudah tidak lagi tinggal di apartemen. Leon membeli sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman sangat luas, di depan maupun belakang.Elsa juga melakukanhomeschoolinguntuk mengejar ketinggalannya, sedang saat itu, Samudera akan diasuh oleh Leon atau Mami di ruangan yang berbeda. Di hari-hari libur, Elsa biasanya akan berkebun, menanam berbagai jenis tumbuhan dan bunga di pekarangannya.Seperti hari ini, Elsa tengah sibuk mencampur tanah dengan pupuk untuk bunga lili yang baru saja ia beli. Samudera duduk di sampingnya, membantu Elsa, mencontoh setiap gerakan yang Elsa lakukan. Namun, yang Samudera lakukan justru hanya membuat Elsa tertawa.Sementara itu, Elsa sama sekali tidak menyadari kedatangan Leon di belakangn
Dulu, Elsa pikir melahirkan itu akan sangat menyakitkan dan menjadi ibu pasti akan sangat melelahkan. Namun, setelah memegang Samudera di dalam gendongan tangannya, semua rasa takut Elsa itu hilang.Kini hanya ada kebahagiaan.Samudera Fernandez, seolah menjadi mentari di dunia Elsa yang selalu redup. Bahkan hanya dengan menatap sang putra tertidur saja, dada Elsa bisa langsung membuncah oleh bahagia. Dia tidak bisa meninggalkan Samudera barang sedikitpun.Bahkan hanya untuk makan dan mandi, Elsa menjadi lupa, jika saja Leon tidak ada. Maka di sini, Leon secara tidak langsung mengurus dua bayi sekaligus.Kejadian yang menimpa Elsa sebelumnya membuat Elsa menjadi lebih berhati-hati. Dia membaca banyak sekali buku tentangparentingkarena dalam hal ini, baik Elsa maupun Leon sama-sama tidak berpengalaman dalam mengurus anak, terutama Elsa.Kini usia Samudera sudah menginjak ang
Kelopak mata gadis yang tengah berbaring di bangkar rumah sakit itu langsung terbuka. Terik sinar matahari yang masuk melalui jendela membuatnya mengernyit. Saat itulah hantaman rasa sakit di kepalanya terasa.Elsa meringis, refleks memegangi kepalanya sambil mencoba bangkit, gerak impulsifnya yang biasa setiap kali bangun tidur adalah pasti memegangi perutnya terlebih dahulu agar tidak tertindih ketika ia mencoba bangkit duduk.Namun ada yang aneh. Terasa sangat-sangat aneh! Pertama-tama, Elsa melirik sebelah tangannya yang dimana di sana tertancap jarum infus yang ditutup oleh plaster putih kecil, lalu mata Elsa beralih pada perutnya yang rata.Dia terdiam untuk beberapa saat, mencoba untuk mengumpulkan semua kesadarannya dan mencerna apa yang tengah terjadi pada dirinya sendiri.Elsa mengingat tentang api... dan asap yang membumbung tinggi. Udara yang seharusnya lembab sehabis hujan menjadi panas membara. D
Leon memperhatikan bangunan villa itu untuk beberapa saat yang gerbangnya langsung terbuka ketika mobil Leon mendekat. Ini sudah malam dan badai terjadi dengan begitu lebat. Petir dan gemuruh di langit saling bersahutan.Leon mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu bawahannya yang tengah menyusul di belakang. Leon tahu dia seharusnya tidak datang sendiri, namun ketika mengetahui keberadaan Elsa setelah melacak ponsel Diandra, Leon tidak membuang sedetikpun waktu untuk segera datang kemari.Sebuah mobil terparkir di halaman villa tersebut, yang tampak kurang terurus. Lalu beberapa saat setelah mesin mobil Leon mati, gerbang kembali terbuka dan sebuah mobil lainnya masuk. Awalnya Leon mengira bahwa itu adalah anak buahnya. Namun ketika mobil tersebut berhenti di depan teras, seorang pria keluar dengan membawa tas yang cukup besar di tangannya. Keberadaan mobil Leon di sana sama sekali tidak dicurigainya.Leon membuka sab
"Mama, kita mau kemana?" tanya Elsa, duduk di bangku penumpang mobil yang dikendarai Diandra.Elsa sudah berulang kali bertanya, namun Diandra terus menjawab dengan jawaban yang sama."Kita pergi refreshing."Perasaan Elsa menjadi tidak karuan. Alarm di dalam dirinya menyala, memperingatkan Elsa bahwa ini bukanlah hal yang baik. Dia duduk di dalam mobil itu dengan penuh antisipasi. Melingkarkan tangan di perutnya sebagai bentuk penjagaan.Ini semua berawal dari Elsa yang lupa mengirimkan uang, sehingga Mama meminta bertemu, namun Elsa tolak berulang kali.Beberapa saat setelah kepergian Leon ke supermarket tadi, Mama tiba-tiba saja datang dan mengajak Elsa untuk keluar. Tentu saja Elsa menolak, namun Diandra memaksanya dan bahkan nyaris menyeretnya keluar.Sampai di sinilah Elsa sekarang.Jalanan yang mereka lewati semakin lenggang. Yang awalnya masih di jalan ra
Di kehamilan Elsa yang sudah memasuki bulan ke delapan, Leon semakin protektif padanya. Elsa jadi sangat jarang sekali keluar rumah, jika bukan ditemani oleh Leon atau Mami mertua.Well, sebenarnya Elsa merasa tidak masalah, sejak dulu dunia luar memang bukan tujuannya. Elsa lebih suka berdiam diri di rumah membaca buku.Namun, akan ada hari di mana Leon malah yang memaksanya untuk keluar. Kata suaminya itu, Elsa butuh lebih banyak bergerak dan sinar matahari. Jadi Leon mengajaknya naik ke rooftop melewati tangga dan bersantai di atas sana.Menurut pemeriksaan dokter Sifa, kandungan Elsa baik-baik saja dan sangat sehat. Elsa juga selalu menerima foto hasil USG yang menampilkan sosok bayi kecilnya di dalam sana. Sampai saat ini, masih sulit bagi Elsa mempercayai bahwa ada nyawa lain di dalam dirinya yang tengah tumbuh berkembang. Sebentar lagi dia akan menjadi seorang ibu. Akan selalu ada rasa ngeri setiap memikirkannya, namun k
Elsa terbangun dari tidur nyenyaknya oleh suara deringan dan getaran ponsel yang ia letakkan di atas nakas. Elsa menggeliatkan tubuhnya yang terasa pegal-pegal, lalu membuka mata perlahan. Masih sambil mengantuk, Elsa mengambil benda itu dan tanpa melihat nama si pemanggil, dia memencet tombol jawab."Halo?"Terdengar suara helaan napas berat di ujung sana. "Apa aku membangunkanmu?"Elsa membuka lebar matanya dan melihat nama si pemanggil. Saat itu juga pipinya langsung bersemu merah."Kak Leon...""Ini sudah waktunya makan siang, kamu belum makan apapun semenjak kemarin malam, sebaiknya kamu bangun dan datanglah ke sini. Kita akan makan siang bersama.""Hm..." jawab Elsa, lalu menguap setelahnya.Leon terkekeh. "Baiklah, akan kutunggu."Setelah sambungan telepon itu terputus, Elsa beringsut bangkit dari kasur lalu bersiap-siap untuk berangkat.
"Pak Leon, bagaimana menurut Anda pesta malam ini?" tanya seorang wanita berparas cantik itu pada Leon."Hm," jawab Leon singkat."Ck, kamu ini... masih saja sedingin itu," gerutunya."Haha... tentu saja Delia, apa lagi sekarang pak Leon sudah punya istri." Pria paruh baya di hadapan Leon berbicara, disusul dengan kekehannya."Apa?! Kamu sudah menikah, Leon? Seriusan?""Dan kudengar, istri pak Leon lagi hamil."Wanita bernama Delia itu menatap tidak percaya, lalu menjauh dari Leon. Tangannya yang semula merangkul pria itu langsung terlepas dan kembali ke sisi ayahnya. "Maafkan aku," katanya canggung.Leon tersenyum memakluminya.Lalu obrolan tersebut dilanjutkan dengan pembahasan bisnis. Beruntung malam ini Leon membawa serta Elsa, kalau tidak, Mahardika Adidya di hadapan saat ini pasti sudah menjodoh-jodohkannya dengan anaknya, Deliana Mahardika.
"Sudah siap?" tanya Leon, menyentuh bahu Elsa yang terbuka oleh dress selutut tanpa lengan yang perempuan itu kenakan. Tatapan Leon mengunci mata Elsa di cermin. Elsa tampak anggun dengan balutan dress berwarna biru itu. Rambut panjangnya tergerai indah di punggung. Wajahnya dipolesi riasan make up tipis, serta stileto tinggi berwarna hitam yang semakin memesona tampilannya.Elsa sudah siap untuk menghadiri pesta itu.Pesta yang tiga hari lalu Leon beritahukan padanya."Kamu gugup," kata Leon.Elsa mengangguk tanpa ragu."Kenapa?""Kak Leon kan bilang, bahwa seharusnya hubungan kita ini dirahasiakan, tapi kenapa sekarang kita harus menghadiri pesta ini di mana semua kolega dan teman-teman kak Leon bisa melihat aku. Mereka mungkin akan langsung tahu bahwa aku istri kak Leon." Elsa mengungkapkan perasaannya dengan resah.