Pada akhirnya, Elsa masuk ke dalam kamar Leon dan sangat bersyukur bahwa lelaki itu tengah ada di kamar mandi, night shower mungkin, terdengar dari air yang mengalir. Itu artinya, Elsa tidak perlu berhadapan dengannya dan dia hanya akan menyelinap masuk ke dalam selimut lalu tidur.
Atau pura-pura tidur, karena beberapa saat kemudian setelah tubuhnya terbaring di atas ranjang, pintu kamar mandi terbuka, dan Elsa tidak bisa menghentikan degup jantungnya yang sangat kencang.
Leon sedikit terkejut, mendapati tubuh mungil yang membelakanginya itu berada di atas ranjangnya yang besar dan luas. Sweater cokelat kebesaran yang Elsa kenakan tidak cukup menutupi semua bahunya, membiarkan terbuka, memperlihatkan tulang selangka yang tampak menonjol, dan Leon tidak bisa menghentikan gejolak di dalam tubuhnya yang ia kira telah padam dibasuh air dingin.
Dengan kasar Leon mengusap rambutnya dengan handuk putih itu, lalu melemparnya ke keranjang kotoran dengan kasar. Dia meraih laptop di meja dan membawanya ke atas ranjang. Leon tidak perlu memelankan suara karena ia tahu bahwa gadis itu belum tertidur. Suasana sangat hening, dan suara napas beratnya terdengar jelas.
Tapi Leon berniat mengabaikan gadis itu sepenuhnya, dan membuatnya tidak nyaman sepanjang malam.
*
Dia merapatkan kaki, menahan sekuat tenaga, berharap lelaki di sampingnya tidak menyadari.
Akan tetapi Leon yang sedari tadi memang sibuk dengan pekerjaan di laptopnya menyadari pergerakan Elsa. Elsa bergerak pelan, tidak terlalu mengguncang ranjang namun cukup mengganggunya.
Leon pun meraih bahu gadis itu dan membaliknya dengan sedikit kasar, diikuti oleh kesiap Elsa. Mata gadis itu menatapnya berkaca-kaca, sedangkan Leon (sekalipun merasa kebingungan akan alasan mengapa gadis itu menangis) tetap memiliki raut tegas di wajahnya.
Leon pun memperbaiki tempat duduk, meraih bahu Elsa dan membawanya ke posisi yang sama.
"Kenapa?" nada yang Leon gunakan terdengar kasar dan tidak sabaran. Elsa menggigit bibirnya kuat-kuat. Ya Tuhan, dia sudah tidak tahan.
"Aku pengen buang air kecil."
Membelalak, Leon pun langsung melepaskan Elsa. "Yaudah sana."
"Gak kuat! Kalo berdiri pasti keluar."
Dengan ekspresi ngeri bercampur heran, Leon mengumpat. "Kamu nahan dari tadi?"
Elsa mengangguk kuat-kuat. Wajahnya memerah menahan malu sekaligus kebutuhan yang sudah di ujung. Membayangkan dirinya buang air kecil tidak di kamar mandi lelaki itu membuat Elsa ketakutan, mungkin saja dia bisa mengompol di sini jika ditahan lebih lama lagi.
"Kak Leon..." rengek Elsa.
"Apa? Sekarang aku mesti ngapain?"
"Gak kuaaat!"
"Ya-yaudah pipis aja di situ."
"HUAAA..."
"What the..." Leon mulai dilingkupi kecemasan yang sama. Dia tidak bisa membayangkan seseorang mengotori ranjangnya dengan air seni, itu... terlalu ekstrem. Sialan memang kenapa kamarnya begitu luas dan kamar mandi terletak cukup jauh dari ranjang.
"Sana buruan lari!" panik Leon.
Elsa menggeleng, merapatkan kedua pahanya semakin kuat. "K-kak Leon... Kak Leon keluar, please."
Pengacau kecil sialan! Leon pun bangkit dari posisinya dan turun dari ranjang, menatap Elsa tajam dengan kemarahan yang ditahan. "Lima menit!" Elsa mengangguk, tidak sanggup mengeluarkan kata-kata.
Tidak sampai lima menit kemudian, Elsa telah selesai dengan urusan kamar mandinya, dia akhirnya mampu bernapas lega, dan dengan santai membuka pintu kamar, menemukan Leon tengah bersandar di tembok dengan wajah masam. Elsa menyengir dengan mata berbinar, lalu kembali redup oleh rasa takut ketika Leon mengalihkan pandang padanya dan amarah di mata pria itu masih tampak dengan jelas. Tidak menunggu lebih lama, Leon masuk ke dalam dengan Elsa yang menepi membukakannya pintu semakin lebar.
"Lain kali, jangan ditahan-tahan."
Elsa merasakan darahnya naik ke wajah dan memiliki keinginan besar untuk menghilang saja dari sana karena diliputi rasa malu. Sambil menangkup wajahnya yang memanas, Elsa mendekati ranjang, merangkak naik, lalu berbaring di punggung.
Leon memperhatikannya sesaat, lalu menghela napas sambil memejamkan mata, seolah menahan dirinya untuk tidak meledak-ledak saat itu juga. Leon mematikan lampu tidur, membiarkannya dalam posisi gelap. Dan akhirnya, dia pun dapat mengistirahatkan dirinya dengan tenang.
Sepuluh menit dalam keheningan yang Leon inginkan, Elsa mulai bergerak-gerak gelisah dan hal itu benar-benar menguji kesabaran Leon sampai batas. Dengan kasar, dia bangun dari posisinya dan kembali menekan saklar lampu tidur.
Elsa terkejut, mata besarnya terbuka lebar, menatap Leon takut-takut. Khawatir, Leon pasti marah lagi padanya.
Leon siap untuk menyemburkan amarahnya yang sudah sampai di ujung lidah, namun melihat tatapan memelas berbalut takut itu, membuatnya tidak tega. Dia berbaring lagi di tempatnya, menatap nyalang langit-langit kamar.
"Kamu kenapa sih?" tanya Leon tidak sabaran.
"Aku... aku nggak bisa tidur kalau gelap." Elsa mendongak, melirik Leon, memastikan responnya. Namun pria itu, dengan raut wajah dinginnya, masih menatap langit-langit kamar dengan tajam. Elsa memiliki firasat bahwa Leon pasti tengah menahan dirinya untuk tidak membentak Elsa.
Tidak ada respon apapun.
Elsa semakin gugup dan gelisah. "A-aku tidur di kamar tamu aja ya, kak?" tanyanya meminta izin.
Leon lalu menoleh padanya, menatap Elsa lama, dan tatapan itu membuat Elsa merasa tidak nyaman. Dia tidak pernah ditatap terlalu sering, atau terlalu lama oleh seseorang, kebanyakan dari orang-orang di sekitarnya hanya mengabaikan Elsa dan keeksistensiannya di dunia. Jadi segala sesuatu yang berubah semenjak dirinya bergabung dengan keluarga Fernandez ini, benar-benar belum bisa membuat Elsa terbiasa.
Karena kediaman Leon, dia menganggapnya sebagai sebuah persetujuan. Elsa melepas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya lalu bangkit. Baru saja telapak ujung jemari kakinya menyentuh lantai, sentakan yang begitu kuat membuat Elsa kembali tersungkur ke belakang, jatuh terlentang.
"Siapa yang suruh kamu pindah? Diam di sini."
Tidak berani membantah, Elsa pun menganggukkan kepala. Dia tahu Leon tidak akan peduli pada rasa takutnya yang satu ini, kegelapan. Oleh karena itu Elsa berharap sekali dia membawa serta boneka teddy bear-nya yang ia tinggalkan di rumah, yang setidaknya bisa ia peluk dan membuatnya merasa aman. Ranjang ini tidak dilengkapi dengan guling atau bantal tambahan untuk Elsa peluk. Jadi dia mempertahankan posisinya, tidur menyamping membelakangi Leon, menunggu lelaki itu mematikan lampunya lagi. namun setelah beberapa saat, kamar itu masih diteringai oleh cahaya.
Leon menatap punggung kecil itu lama, seolah daripada menutup mata dan tidur, hal itulah yang lebih penting. Keberadaan Elsa di dekatnya membuat Leon bertanya-tanya dengan ke-normal-an dirinya. Dia memiliki kontrol yang kuat dalam masalah gairah. beberapa kali dalam sebulan dia memiliki teman kencan untuk mengurusinya dalam masalah itu, dan standarnya mengenai perempuan sangat tinggi. Yang pasti bukan jenis perempuan belia berusia enam belas tahun bertubuh kerempeng seperti ini.
Leon menyentuh lengan Elsa yang membuat gadis itu berjengit. Elsa menoleh ke belakang, rambut panjangnya jatuh ke leher dan tersebar di atas seprai putih, yang mana pemandangan itu membuat Leon semakin bergairah.
"Aku gak bisa tidur kalau lampunya nyala," ucap Leon, lalu sedetik setelahnya merutuki diri sendiri.
Elsa bangkit duduk, kini rambut hitamnya tampak acak-acakkan, namun sedikitpun tidak mengurangi kadar kecantikannya yang alami.
"Kak Leon punya guling? Atau bantal tambahan? Aku biasanya harus peluk sesuatu biar bisa tidur kalau di rumah lagi mati lampu. Aku punya teddy bear, tapi aku gak bawa ke sini."
Entah kenapa Leon senang mengetahui secercah informasi itu, dia menyeringai singkat yang tidak disadari Elsa.
"Oh ya?" tanyanya memastikan, dengan raut tanpa ekspresi.
"Iya," jawab Elsa.
Leon lalu bertumpu di sikunya, mengambil bantal Elsa dan meletakkannya di tengah. "Kalau begitu, sini."
Elsa menatap bingung.
"Kamu mau tidur atau nggak?" desak Leon mulai jengkel.
Elsa segera mengangguk-anggukkan kepala dan kembali berbaring. Kali ini, dia bisa merasakan kehadiran Leon sangat dekat dengannya walaupun Elsa membelakangi lelaki itu.
"Hadap sini," perintah Leon yang Elsa turuti lagi.
Mereka berbaring berhadap-hadapan, sangat dekat sampai Elsa merasa kesusahan untuk bernapas, aroma lembut khas lelaki itu mencemari indera penciuman Elsa. Dan sebelum dia sempat mundur, Leon kembali bersuara.
"Te-terus?"
Leon benar-benar terhibur akan kepolosan Elsa dan kepatuhan gadis itu pada dirinya.
"You can hug me, now," kata Leon, dengan suara rendah.
Kata-kata yang diucapkan dalam bahasa Inggris fasih itu bukannya tidak dimengerti Elsa, yang membuatnya bergeming cukup lama, dia terkesiap. Apakah benar Leon bersedia dipeluk olehnya demi membuatnya aman dan tidur dengan nyenyak malam ini. Benarkah? Karena sulit bagi Elsa untuk mempercayai hal itu.
Tanpa menunggu respon dari Elsa, Leon pun mematikan lampu tidur dan ruangan itu langsung diliputi gelap gulita. Biarkan saja kalau gadis keras kepala ini menolak dan tidak tidur semalaman, tapi Leon memiliki firasat bahwa Elsa akan menurutinya, terbukti ketika tubuh itu beringsut mendekat. Lalu telapak tangan yang bergetar bergerak di dada Leon, mengirimkan sengatan listrik yang keduanya tidak bisa hindari. Keragu-raguan Elsa, semakin menarik Leon pada pusaran yang membuat tubuhnya semakin panas. Dia benar-benar tidak terbiasa dengan respon seperti ini. Namun dia menahan dirinya dan membiarkan perempuan itu mencari kenyamanan dengan memeluknya, sekalipun tubuhnya panas diliputi gairah.
Sekarang Leon tahu, bukan lagi lampu menyala yang membuatnya tidak bisa tidur, namun juga kehadiran pengacau kecil ini.
[to be continued]
Tiga hari berikutnya, pernikahan Leon dan Elsa berlalu begitu saja. Mereka masih tidur di satu ranjang walaupun Elsa masih diliputi rasa gugup yang sama, namun dia tidak bisa menyangkal bahwa tidurnya setiap malam lebih nyenyak ketimbang malam-malam sebelumnya yang dia habiskan di dalam kamarnya yang sempit, yang hanya beralaskan kasur lipat tipis.Namun pada siang harinya, Elsa meminimalisir waktunya sebanyak mungkin di dalam kamar dan dia lebih sering bersama mami mertuanya. Menghabiskan banyak waktu di dapur, mencoba menu-menu baru yang tidak pernah Elsa ketahui sebelumnya. Sedangkan sang ayah mertua masih dalam perjalanan bisnis di Paris menggantikan Leon. Dan Leon sendiri, sekalipun dalam masa libur, masih disibukkan dengan pekerjaannya y
Kehidupan Elsa tidak pernah sama seperti remaja kebanyakan. Ketika yang lain menghabiskan waktu mereka dengan smartphone masing-masing dan bersosialisasi dengan banyak orang di seluruh dunia, Elsa terisolasi di dalam rumah mengerjakan pekerjaan rumah juga sepulang sekolah harus kerja paruh waktu di toko. Hal itu membuat Elsa memahami beberapa hal yang belum seharusnya ia pahami di usia yang begitu belia.Di sekolah, Elsa terkenal sebagai gadis cupu siswi kesayangan guru. Kegemarannya dalam membaca buku dan mengerjakan soal-soal eksak membuatnya selalu menjadi juara di kelas. Namun hal itu juga sekaligus menjauhkan orang lain darinya.
Rasanya seperti sudah berjam-jam matanya tertutup, Elsa pikir hari sudah siang. Dia terbangun di atas ranjang kamarnya dengan pikiran linglung. Jamdigitaldi atas nakas menunjukkan bahwa beberapa jam yang dirasakannya ternyata hanya dua jam, kini sudah pukul 1 dini hari.Elsa menyadari bahwa Leon tidak ada di sampingnya, dan seprai itupun tidak tampak seperti telah ditempati. Dia menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya ke lantai, baru menyadari bahwa pakaian yang digunakannya bukan jenis pakaian tidur yang biasa ia gunakan. Kepala Elsa pun mulai memutar balik kejadian sebelumnya.Dan di saat i
"A-aku... pulang dulu," kata Elsa. Arya menganggukkan kepala, tersenyum, lalu tangannya refleks terangkat dan mengacak rambut Elsa. Dan setiap pergerakannya itu tidak luput dari pengamatan Leon di balik kaca hitam mobil.Elsa tampak memaksa seyum walaupun dia merasa sangat gugup sekarang, lalu dengan tergesa dia masuk ke dalam mobil. Elsa langsung merasa kecil, kecil sekali sampai dia tidak berani mendongakkan kepalanya. Beberapa saat dalam keheningan dan Leon tidak juga menyalakan mesin mobil."Sore, kak Leon." Elsa menyapa canggung, melirik Leon hati-hati, namun Leon tidak menyahut. "Kenapa?" tanya Elsa heran.
Elsa sampai di depan pintu apartemen yang Mami beritahukan padanya, berikut dengan kata sandi unit tersebut. Sekarang, melihat pintu metal yang tampak sangat kokoh itu, membuat nyali Elsa menciut, pegangan pada tali tas bekalnya semakin erat. Bagaimana dia bisa menyetujui ide maminya ini tanpa berpikir terlebih dahulu? Bagaimana respon Leon nanti? Dia pasti bakal marah besar kalau sampai tahu Elsa datang ke sini.Kata Mami, Elsa bisa langsung mengetik kata sandi di pintu itu dan membukanya. Tapi Elsa bahkan tidak tahu harus mengetik di mana. Lagipula, jika dia melakukan seperti yang Maminya sarankan, hal itu terkesan tidak sopan sekalipun pemilik apartemen ini adalah suaminya sendiri. Apalagi dengan hubungan pernikahan mereka yang sangat membi
Elsa tidak mengerti kenapa dia begitu gugup dan tegang, perasaan seperti ini tidak pernah disukainya. Namun ketika knop pintu diputar dan Leon muncul, jantung Elsa berdebar, berdebar dengan sangat menyenangkan, penuh antisipasi, gugup, dan ketegangan yang tinggi. Elsa berharap dia bisa bersikap dengan tenang, merespon dengan normal, setiap kali berhadapan dengan Leon. Akan tetapi, sepertinya itu sangat mustahil dilakukan. Terlebih dengan cara lelaki itu menatapnya saat ini.Elsa merunduk. Apa Leon akan benar-benar memarahinya? Dia sudah menunggu setidaknya selama lima belas menit yang terasa berjam-jam sampai Leon dan teman wanitanya selesai dengan acara makan malam mereka, padahal Elsa sendiri juga belum memakan apapun semenjak siang tadi. Di
Elsa terbangun merasakan pegal di sekujur tubuhnya, namun juga ringan di dadanya. Dia membuka mata, menatap langit-langit kamar dalam diam. Ketika berhasil meraih semua kesadarannya, ingatan mengenai kejadian semalam membuat darahnya mendidih dan naik ke wajah. Elsa mencengkram selimut semakin erat dan menaikkannya ke dagu, menggigit bibir ketika setiap momen itu berputar di kepalanya bagai sebuah film.Dia tidak percaya bahwa dirinya sudah tidak lagi perawan. Sudah bukan lagi seorang gadis. Di usia 16 tahun, ya tuhan, apa yang dirinya pikirkan?!Elsa memikirkan bagaimana semalam Leon menyentuhnya, menyebar gelenyar pana
Elsa memilih untuk kembali ke apartemen Leon, beruntung kemarin Mami sudah memberitahunya kata sandi unit tersebut, karena Elsa tidak akan siap jika harus pulang ke rumah dengan keadaan dan perasaan kacau seperti ini. Dia selalu bisa bersembunyi dari Leon, lagipula Leon juga tidak akan peduli pada apapun yang terjadi pada Elsa. Namun Mami pasti akan tahu, beliau pasti akan bertanya, sedangkan Elsa tidak sedikitpun ingin menjawab dan mengatakan yang sebenarnya.Jadi sekarang, setelah berdiam diri cukup lama dalam lamunan, Elsa mengumpulkan bahan-bahan makanan di dapur untuk ia masak sebagai makan malam Leon nanti. Elsa tidak lapar, dia
Ketika menginjak usia tahun pertamanya, Samudera sudah bisa berjalan dan menyebut Leon maupun Elsa sebagai Mama Papa, walau pelafalannya masih tidak terlalu jelas.Mereka juga sudah tidak lagi tinggal di apartemen. Leon membeli sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman sangat luas, di depan maupun belakang.Elsa juga melakukanhomeschoolinguntuk mengejar ketinggalannya, sedang saat itu, Samudera akan diasuh oleh Leon atau Mami di ruangan yang berbeda. Di hari-hari libur, Elsa biasanya akan berkebun, menanam berbagai jenis tumbuhan dan bunga di pekarangannya.Seperti hari ini, Elsa tengah sibuk mencampur tanah dengan pupuk untuk bunga lili yang baru saja ia beli. Samudera duduk di sampingnya, membantu Elsa, mencontoh setiap gerakan yang Elsa lakukan. Namun, yang Samudera lakukan justru hanya membuat Elsa tertawa.Sementara itu, Elsa sama sekali tidak menyadari kedatangan Leon di belakangn
Dulu, Elsa pikir melahirkan itu akan sangat menyakitkan dan menjadi ibu pasti akan sangat melelahkan. Namun, setelah memegang Samudera di dalam gendongan tangannya, semua rasa takut Elsa itu hilang.Kini hanya ada kebahagiaan.Samudera Fernandez, seolah menjadi mentari di dunia Elsa yang selalu redup. Bahkan hanya dengan menatap sang putra tertidur saja, dada Elsa bisa langsung membuncah oleh bahagia. Dia tidak bisa meninggalkan Samudera barang sedikitpun.Bahkan hanya untuk makan dan mandi, Elsa menjadi lupa, jika saja Leon tidak ada. Maka di sini, Leon secara tidak langsung mengurus dua bayi sekaligus.Kejadian yang menimpa Elsa sebelumnya membuat Elsa menjadi lebih berhati-hati. Dia membaca banyak sekali buku tentangparentingkarena dalam hal ini, baik Elsa maupun Leon sama-sama tidak berpengalaman dalam mengurus anak, terutama Elsa.Kini usia Samudera sudah menginjak ang
Kelopak mata gadis yang tengah berbaring di bangkar rumah sakit itu langsung terbuka. Terik sinar matahari yang masuk melalui jendela membuatnya mengernyit. Saat itulah hantaman rasa sakit di kepalanya terasa.Elsa meringis, refleks memegangi kepalanya sambil mencoba bangkit, gerak impulsifnya yang biasa setiap kali bangun tidur adalah pasti memegangi perutnya terlebih dahulu agar tidak tertindih ketika ia mencoba bangkit duduk.Namun ada yang aneh. Terasa sangat-sangat aneh! Pertama-tama, Elsa melirik sebelah tangannya yang dimana di sana tertancap jarum infus yang ditutup oleh plaster putih kecil, lalu mata Elsa beralih pada perutnya yang rata.Dia terdiam untuk beberapa saat, mencoba untuk mengumpulkan semua kesadarannya dan mencerna apa yang tengah terjadi pada dirinya sendiri.Elsa mengingat tentang api... dan asap yang membumbung tinggi. Udara yang seharusnya lembab sehabis hujan menjadi panas membara. D
Leon memperhatikan bangunan villa itu untuk beberapa saat yang gerbangnya langsung terbuka ketika mobil Leon mendekat. Ini sudah malam dan badai terjadi dengan begitu lebat. Petir dan gemuruh di langit saling bersahutan.Leon mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu bawahannya yang tengah menyusul di belakang. Leon tahu dia seharusnya tidak datang sendiri, namun ketika mengetahui keberadaan Elsa setelah melacak ponsel Diandra, Leon tidak membuang sedetikpun waktu untuk segera datang kemari.Sebuah mobil terparkir di halaman villa tersebut, yang tampak kurang terurus. Lalu beberapa saat setelah mesin mobil Leon mati, gerbang kembali terbuka dan sebuah mobil lainnya masuk. Awalnya Leon mengira bahwa itu adalah anak buahnya. Namun ketika mobil tersebut berhenti di depan teras, seorang pria keluar dengan membawa tas yang cukup besar di tangannya. Keberadaan mobil Leon di sana sama sekali tidak dicurigainya.Leon membuka sab
"Mama, kita mau kemana?" tanya Elsa, duduk di bangku penumpang mobil yang dikendarai Diandra.Elsa sudah berulang kali bertanya, namun Diandra terus menjawab dengan jawaban yang sama."Kita pergi refreshing."Perasaan Elsa menjadi tidak karuan. Alarm di dalam dirinya menyala, memperingatkan Elsa bahwa ini bukanlah hal yang baik. Dia duduk di dalam mobil itu dengan penuh antisipasi. Melingkarkan tangan di perutnya sebagai bentuk penjagaan.Ini semua berawal dari Elsa yang lupa mengirimkan uang, sehingga Mama meminta bertemu, namun Elsa tolak berulang kali.Beberapa saat setelah kepergian Leon ke supermarket tadi, Mama tiba-tiba saja datang dan mengajak Elsa untuk keluar. Tentu saja Elsa menolak, namun Diandra memaksanya dan bahkan nyaris menyeretnya keluar.Sampai di sinilah Elsa sekarang.Jalanan yang mereka lewati semakin lenggang. Yang awalnya masih di jalan ra
Di kehamilan Elsa yang sudah memasuki bulan ke delapan, Leon semakin protektif padanya. Elsa jadi sangat jarang sekali keluar rumah, jika bukan ditemani oleh Leon atau Mami mertua.Well, sebenarnya Elsa merasa tidak masalah, sejak dulu dunia luar memang bukan tujuannya. Elsa lebih suka berdiam diri di rumah membaca buku.Namun, akan ada hari di mana Leon malah yang memaksanya untuk keluar. Kata suaminya itu, Elsa butuh lebih banyak bergerak dan sinar matahari. Jadi Leon mengajaknya naik ke rooftop melewati tangga dan bersantai di atas sana.Menurut pemeriksaan dokter Sifa, kandungan Elsa baik-baik saja dan sangat sehat. Elsa juga selalu menerima foto hasil USG yang menampilkan sosok bayi kecilnya di dalam sana. Sampai saat ini, masih sulit bagi Elsa mempercayai bahwa ada nyawa lain di dalam dirinya yang tengah tumbuh berkembang. Sebentar lagi dia akan menjadi seorang ibu. Akan selalu ada rasa ngeri setiap memikirkannya, namun k
Elsa terbangun dari tidur nyenyaknya oleh suara deringan dan getaran ponsel yang ia letakkan di atas nakas. Elsa menggeliatkan tubuhnya yang terasa pegal-pegal, lalu membuka mata perlahan. Masih sambil mengantuk, Elsa mengambil benda itu dan tanpa melihat nama si pemanggil, dia memencet tombol jawab."Halo?"Terdengar suara helaan napas berat di ujung sana. "Apa aku membangunkanmu?"Elsa membuka lebar matanya dan melihat nama si pemanggil. Saat itu juga pipinya langsung bersemu merah."Kak Leon...""Ini sudah waktunya makan siang, kamu belum makan apapun semenjak kemarin malam, sebaiknya kamu bangun dan datanglah ke sini. Kita akan makan siang bersama.""Hm..." jawab Elsa, lalu menguap setelahnya.Leon terkekeh. "Baiklah, akan kutunggu."Setelah sambungan telepon itu terputus, Elsa beringsut bangkit dari kasur lalu bersiap-siap untuk berangkat.
"Pak Leon, bagaimana menurut Anda pesta malam ini?" tanya seorang wanita berparas cantik itu pada Leon."Hm," jawab Leon singkat."Ck, kamu ini... masih saja sedingin itu," gerutunya."Haha... tentu saja Delia, apa lagi sekarang pak Leon sudah punya istri." Pria paruh baya di hadapan Leon berbicara, disusul dengan kekehannya."Apa?! Kamu sudah menikah, Leon? Seriusan?""Dan kudengar, istri pak Leon lagi hamil."Wanita bernama Delia itu menatap tidak percaya, lalu menjauh dari Leon. Tangannya yang semula merangkul pria itu langsung terlepas dan kembali ke sisi ayahnya. "Maafkan aku," katanya canggung.Leon tersenyum memakluminya.Lalu obrolan tersebut dilanjutkan dengan pembahasan bisnis. Beruntung malam ini Leon membawa serta Elsa, kalau tidak, Mahardika Adidya di hadapan saat ini pasti sudah menjodoh-jodohkannya dengan anaknya, Deliana Mahardika.
"Sudah siap?" tanya Leon, menyentuh bahu Elsa yang terbuka oleh dress selutut tanpa lengan yang perempuan itu kenakan. Tatapan Leon mengunci mata Elsa di cermin. Elsa tampak anggun dengan balutan dress berwarna biru itu. Rambut panjangnya tergerai indah di punggung. Wajahnya dipolesi riasan make up tipis, serta stileto tinggi berwarna hitam yang semakin memesona tampilannya.Elsa sudah siap untuk menghadiri pesta itu.Pesta yang tiga hari lalu Leon beritahukan padanya."Kamu gugup," kata Leon.Elsa mengangguk tanpa ragu."Kenapa?""Kak Leon kan bilang, bahwa seharusnya hubungan kita ini dirahasiakan, tapi kenapa sekarang kita harus menghadiri pesta ini di mana semua kolega dan teman-teman kak Leon bisa melihat aku. Mereka mungkin akan langsung tahu bahwa aku istri kak Leon." Elsa mengungkapkan perasaannya dengan resah.