"Alice...jangan seperti ini. Ayo bicara baik-baik," desah Edward lembut bercampur rasa bersalah. Semalam dia memang telah jadi bajingan bagi Alice dan Rosie. Semua karena sifat impulsif dan amarah tak terkendali. Sekarang dia sendiri menyesali perbuatannya kemarin.
Edward perlahan mencoba melepas pelukan erat Alice. Kecemasan dan rasa tak nyaman dia rasakan saat menyadari Rosie menatapnya dingin. Gadis cantik itu tidak bicara ataupun menunjukkan ekspresi apa-apa. Edward bahkan ragu sang adik masih bernafas kalau dia tidak lihat mata hazelitu memutar dan membuang pandang saat tatapan mereka bertemu.
Yang si pemuda Quin tidak tahu adalah alasan Rosie menghindari tatapannya lantaran gadis itu benci dengan pemandangan di depannya. Dia benci harus merasakan nyeri di dada. Benci karena tidak bisa melakukan apapun. Benci sebab dia tak punya hak dan daya apapun. Rosie benci.
"Maafkan aku...please...hiks hiks..." Alice tak mau melepas Edward
Alice sebagai kekasih yang pengertian tidak mau menekan Edward dengan segala pertanyaan. Alice pengertian. Atau juga egois. Dia berlagak selayaknya tadi malam tidak ada yang terjadi bukan hanya karena tahu Edward enggan membicarakannya, tapi juga sebab dirinya belum siap menghadapi jawaban yang akan Edward lontarkan.Alice takut. Sangat takut bila ternyata telah terjadi sesuatu antara Edward dan Rosie. Itu sebabnya dia menghindari topik tentang kejadian semalam. Edward sejak tadi hanya menunduk, menghindari mata jernih Alice yang seakan menusuk ke dalam tengkoraknya.Dia malu. Merasa bersalah pada gadis itu lantaran telah membuat Alice menangis menungguinya semalaman. Alice memang tidak bilang dia menantikan Edward pulang semalam, dia bahkan tidak berani mengharapkan satu pesan singkat dari Edward yang mengabari di mana dirinya, tidak, Alice tidak berani lagi menggantung harapan apapun lagi pada Edward. Dia hanya berharap semua yang telah mereka mil
"Apa aku benar? Kau bersama lelaki lain semalam?"Rosie seolah kena serangan jantung saat mendapat pertanyaan demikian. Damian tersenyum sebagai petunjuk bagi semua orang bahwa sekarang dia sedang bercanda, tapi wajah terkesiap Rosie terlalu mencurigakan untuk menanggapi sebuah lelucon.Rosie tergagap berusaha menjawab tuduhan main-main itu, namun mulutnya gagal mengeluarkan suara apapun. Suaranya terasa habis, hanyut bersama tuduhan Damian."Semalam Youngjae pasti sangat lelah dan tidak dengar bunyi ponselnya sendiri." Alice tersenyum gugup setelah melontarkan kalimat itu. Semua mata di meja menatap langsung pada gadis berambut panjang. Alice terus memandang Damian untuk menyakinkan sang pemuda Marley, sekaligus menghindari pertanyaan tersirat dari yang lain.David diam-diam menyesap kopi hitam favoritnya sembari menyembunyikan senyum mencemooh di balik cangkir. Cairan hitam sudah habis, ditambah suasana cang
"Hey! Kau dengar tidak sih omonganku?!" hardik Olivia di depan muka Rosie saat menyadari Rosie tidak menanggapinya. Caroline mendorong Rosie sampai si gadis Wilkins harus mundur beberapa langkah."Jangan melamun saja! Dasar bodoh!" umpat gadis itu sambil melotot.Dua sepupu Alice saat ini tengah melabrak Rosie karena Alice memarahi mereka masalah insiden semalam. Mereka tidak terima ditegur Alice, yang selama ini tidak pernah meninggikan suaranya satu kali pun. Mereka masih menganggap bahwa mereka berdua tidak salah. Rosie lah yang salah. Pokoknya ini semua salah Rosie sampai mereka kena omel Alice. Begitu, menurut Olivia dan Caroline.Tapi Rosie bisa membaca bahwa bukan itu alasan kedua gadis mengeroyoknya. Memang itu juga sedikit jadi alasan, tapi Olivia tidak menyukai Rosie karena Axel dan Jackson selalu memuji Rosie sejak kemarin. Para pemuda sangat memperhatikan Rosie, begitu berusaha mendapat tanggapan dari si gadis Wilkins. C
"Menurutmu dia kelihatan baik?" Jawaban Damian dingin dan tajam. Dia menyoroti Olivia dengan tatapan dingin penuh amarah sekilas kemudian buang muka dan lanjut menggendong Rosie.Kenyataanya adalah Damian sangat ingin memukul gadis itu, tidak perduli jika Olivia adalah seorang gadis, sepupu Alice atau siapapun, atas perbuatannya yang mencelakai kekasihnya. Damian sudah agak curiga waktu dua gadis itu tiba-tiba saja ingin bicara enam mata dengan Rosie. Gelagat buruk mereka semakin terlihat kala dengan paksa menarik Rosie menjauh dari orang-orang di pinggir kolam. Damian bersyukur dia sesekali memeriksa ketiga gadis yang bicara cukup tegang di dermaga tidak jauh dari posisinya. Itu sebabnya Damian bisa bereaksi cepat setelah mengetahui Rosie didorong hingga jatuh oleh Olivia.Dia berlari secepat yang dia mampu untuk menolong gadis itu karena Damian tahu Rosie tidak bisa berenang.***"Damian!"Damian menoleh. Dia men
Damian akhirnya melepas tangan Edward, tersenyum ramah untuk menutupi kegusarannya. "Kita tanya Rosie saja, dia mau ikut dengan siapa," usulnya penuh percaya diri.Dan sepertinya itu adalah jalan keluar paling baik bagi semua orang. Semua. Kecuali Rosie."Rosie, kau mau ikut aku atau Damian?"Telinga Edward berdengung. Dirinya seolah terlempar ke lubang hitam, tersedot, menciut, dan akhirnya menghilang dalam kehampaan. Kalimat singkat dengan nada suara datar terlontar dari bibir pucat Rosie meninggalkan luka lebar menganga di hatinya."Aku ikut Kak Damian." Itu lah penyebabnya.Wajah datar Rosie, tatapan dinginnya, semua itu berhasil memancing cairan bening panas di pelupuk mata Edward.Deg.Edward bisa merasakan hatinya patah setelah mendapatkan perlakukan dingin dari sang adik yang dia harap bukan adiknya. Bukankah baru semalam dia dan Rosie-nya bersama menikmati
"Apa..kau mencintai Damiam?" tanya Edward pelan. Sekuat tenanga bersikap tenang dan berani meski sebenarnya Edward pun tidak kalah galau dibanding gadisnya.Jantungnya berdebar terlalu kuat menghandap rongga dadanya ketika menunggu jawaban Rosie. Harapannya terlampau tinggi terhadap pilihan Rosie. Sedikit Edward tahu itu berbahaya, karena makin tinggi harapan, makin sakit pula jika tak tercapai.Dan sekarang Edward dipaksa menelan pil pahit atas tanggapan Rosie. Gadis cantik itu membuang muka, jelas tidak mampu menjawab. Dan jelas juga Edward apa jawaban Rosie yang tidak bisa gadis itu utarakan.Matanya mulai nanar. Pilu di hati ini teramat menyiksa hingga Edward sedikit marah pada Rosie. Kenapa Rosie tega meniup harapannya kian tinggi bila akhirnya dia pula yang menjatuhkannya dengan kejam? Apa perasaan tulus Edward hanya lelucon baginya? Tak bisakah Rosie mengerti perasaan Edward yang tulus?'Gadis Jahat!'
Tiga sahabat sudah selesai mengerjakan tugas. Sekarang mereka tengah bersantai di kamar Rosie, markas favorit mereka, dengan kesibukan masing-masing."Aku cuma mau hubungan kami kembali seperti dulu." Akhirnya Rosie berkata setelah menyelesaikan curhat panjangnya. David dan Claire hanya memberikan "Hmmm" singkat tanpa menoleh sedikitpun.David masih setia mengetik di ponselnya dan Claire masih sibuk membaca naskah untuk audisi."Kalian ngerti tidak sih apa yang aku maksud?" tanya Rosie agak kesal karena dua sahabatnya seperti tidak perduli. Padahal curhatan Rosie ini sudah jadi ganjalan di hatinya sejak beberapa bulan terakhir.Jelas saja reaksi Claire dan David terlampau datar. Pasalnya hal yang jadi 'masalah besar' bagi Rosie sudah berulang kali mereka dengar. Bukan pertama kalinya Rosie cerita tentang kegalauannya akan hubungannya dengan sang kakak tiri.Rosie hanya mau Edward kembali bersikap ra
"Oi, Edward! Bangun! Sudah sore. Kau tidak berniat bangun dan beraktivitas?" Axel duduk di pinggir ranjang, menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya. Si pemuda asal LA membetulkan posisi duduknya supaya lebih efektif membangunkan Edward."Minimal makan dulu. Kami tahu kau pasti belum makan sejak pagi." Axel berkata lagi seraya memberi kode pada Jackson untuk mengoper bungkusan plastik putih dari atas meja berisikan salad sayuran.Jackson berhenti men-scroll ponsel pintarnya, sedikit mencondongkan tubuh meraih plastik putih yang beberapa detik lalu baru dia taruh di meja, menyerahkannya pada Axel tanpa protes apapun. Meski dalambhati sudah bosan dan lelah mengurusi 'bayi' besar bernama Edward Carson Quin."Edward, kalau kau begini terus, kau pasti sudah mati duluan sebelum jadi menikah," komentar Jackson setelah melihat Edward tetap bergeming meski Axel sudah menggoyangkan badannya dan menaruh sald di dekat kepalannya.