"Hey! Kau dengar tidak sih omonganku?!" hardik Olivia di depan muka Rosie saat menyadari Rosie tidak menanggapinya. Caroline mendorong Rosie sampai si gadis Wilkins harus mundur beberapa langkah.
"Jangan melamun saja! Dasar bodoh!" umpat gadis itu sambil melotot.
Dua sepupu Alice saat ini tengah melabrak Rosie karena Alice memarahi mereka masalah insiden semalam. Mereka tidak terima ditegur Alice, yang selama ini tidak pernah meninggikan suaranya satu kali pun. Mereka masih menganggap bahwa mereka berdua tidak salah. Rosie lah yang salah. Pokoknya ini semua salah Rosie sampai mereka kena omel Alice. Begitu, menurut Olivia dan Caroline.
Tapi Rosie bisa membaca bahwa bukan itu alasan kedua gadis mengeroyoknya. Memang itu juga sedikit jadi alasan, tapi Olivia tidak menyukai Rosie karena Axel dan Jackson selalu memuji Rosie sejak kemarin. Para pemuda sangat memperhatikan Rosie, begitu berusaha mendapat tanggapan dari si gadis Wilkins. C
"Menurutmu dia kelihatan baik?" Jawaban Damian dingin dan tajam. Dia menyoroti Olivia dengan tatapan dingin penuh amarah sekilas kemudian buang muka dan lanjut menggendong Rosie.Kenyataanya adalah Damian sangat ingin memukul gadis itu, tidak perduli jika Olivia adalah seorang gadis, sepupu Alice atau siapapun, atas perbuatannya yang mencelakai kekasihnya. Damian sudah agak curiga waktu dua gadis itu tiba-tiba saja ingin bicara enam mata dengan Rosie. Gelagat buruk mereka semakin terlihat kala dengan paksa menarik Rosie menjauh dari orang-orang di pinggir kolam. Damian bersyukur dia sesekali memeriksa ketiga gadis yang bicara cukup tegang di dermaga tidak jauh dari posisinya. Itu sebabnya Damian bisa bereaksi cepat setelah mengetahui Rosie didorong hingga jatuh oleh Olivia.Dia berlari secepat yang dia mampu untuk menolong gadis itu karena Damian tahu Rosie tidak bisa berenang.***"Damian!"Damian menoleh. Dia men
Damian akhirnya melepas tangan Edward, tersenyum ramah untuk menutupi kegusarannya. "Kita tanya Rosie saja, dia mau ikut dengan siapa," usulnya penuh percaya diri.Dan sepertinya itu adalah jalan keluar paling baik bagi semua orang. Semua. Kecuali Rosie."Rosie, kau mau ikut aku atau Damian?"Telinga Edward berdengung. Dirinya seolah terlempar ke lubang hitam, tersedot, menciut, dan akhirnya menghilang dalam kehampaan. Kalimat singkat dengan nada suara datar terlontar dari bibir pucat Rosie meninggalkan luka lebar menganga di hatinya."Aku ikut Kak Damian." Itu lah penyebabnya.Wajah datar Rosie, tatapan dinginnya, semua itu berhasil memancing cairan bening panas di pelupuk mata Edward.Deg.Edward bisa merasakan hatinya patah setelah mendapatkan perlakukan dingin dari sang adik yang dia harap bukan adiknya. Bukankah baru semalam dia dan Rosie-nya bersama menikmati
"Apa..kau mencintai Damiam?" tanya Edward pelan. Sekuat tenanga bersikap tenang dan berani meski sebenarnya Edward pun tidak kalah galau dibanding gadisnya.Jantungnya berdebar terlalu kuat menghandap rongga dadanya ketika menunggu jawaban Rosie. Harapannya terlampau tinggi terhadap pilihan Rosie. Sedikit Edward tahu itu berbahaya, karena makin tinggi harapan, makin sakit pula jika tak tercapai.Dan sekarang Edward dipaksa menelan pil pahit atas tanggapan Rosie. Gadis cantik itu membuang muka, jelas tidak mampu menjawab. Dan jelas juga Edward apa jawaban Rosie yang tidak bisa gadis itu utarakan.Matanya mulai nanar. Pilu di hati ini teramat menyiksa hingga Edward sedikit marah pada Rosie. Kenapa Rosie tega meniup harapannya kian tinggi bila akhirnya dia pula yang menjatuhkannya dengan kejam? Apa perasaan tulus Edward hanya lelucon baginya? Tak bisakah Rosie mengerti perasaan Edward yang tulus?'Gadis Jahat!'
Tiga sahabat sudah selesai mengerjakan tugas. Sekarang mereka tengah bersantai di kamar Rosie, markas favorit mereka, dengan kesibukan masing-masing."Aku cuma mau hubungan kami kembali seperti dulu." Akhirnya Rosie berkata setelah menyelesaikan curhat panjangnya. David dan Claire hanya memberikan "Hmmm" singkat tanpa menoleh sedikitpun.David masih setia mengetik di ponselnya dan Claire masih sibuk membaca naskah untuk audisi."Kalian ngerti tidak sih apa yang aku maksud?" tanya Rosie agak kesal karena dua sahabatnya seperti tidak perduli. Padahal curhatan Rosie ini sudah jadi ganjalan di hatinya sejak beberapa bulan terakhir.Jelas saja reaksi Claire dan David terlampau datar. Pasalnya hal yang jadi 'masalah besar' bagi Rosie sudah berulang kali mereka dengar. Bukan pertama kalinya Rosie cerita tentang kegalauannya akan hubungannya dengan sang kakak tiri.Rosie hanya mau Edward kembali bersikap ra
"Oi, Edward! Bangun! Sudah sore. Kau tidak berniat bangun dan beraktivitas?" Axel duduk di pinggir ranjang, menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya. Si pemuda asal LA membetulkan posisi duduknya supaya lebih efektif membangunkan Edward."Minimal makan dulu. Kami tahu kau pasti belum makan sejak pagi." Axel berkata lagi seraya memberi kode pada Jackson untuk mengoper bungkusan plastik putih dari atas meja berisikan salad sayuran.Jackson berhenti men-scroll ponsel pintarnya, sedikit mencondongkan tubuh meraih plastik putih yang beberapa detik lalu baru dia taruh di meja, menyerahkannya pada Axel tanpa protes apapun. Meski dalambhati sudah bosan dan lelah mengurusi 'bayi' besar bernama Edward Carson Quin."Edward, kalau kau begini terus, kau pasti sudah mati duluan sebelum jadi menikah," komentar Jackson setelah melihat Edward tetap bergeming meski Axel sudah menggoyangkan badannya dan menaruh sald di dekat kepalannya.
Dia memang bajingan.Edward mengakuinya. Beberapa bulan ini sudah tak terhitung luka dan air mata yang dia berikan untuk gadis itu. Dia juga paham betapa Alice begitu merana karena dirinya. Tentu saja. Siapa perempuan yang tidak merana melihat kekasihnya, orang yang dia cintai, lebih perduli dan perhatian pada gadis lain?Dia tahu Alice banyak terluka karena kelakuannya, itu sebabnya Edward sudah mengambil keputusan. Beberapa hari ini dia merenung, memikirkan banyak hal tentang Alice dan hubungan mereka. Alice, gadis cantik baik hati yang sudah sepuluh tahun mengisi hari-harinya tidak pernah berubah. Masih gadis yang sama seperti sepuluh tahun lalu, mencintainya sepenuh hati.Namun...Edward lah yang telah berubah. Edward Quin bukan lagi orang yang sama. Dia sudah berhenti membohongi diri sendiri. Edward sadar bahwa perasaan yang selama ini dia pikir cinta, ternyata hanya rasa sayang terhadap sahabat. Edward b
"Sebenarnya, memang kami agak kuatir. Kalian sudah lima tahun lebih menjalin hubungan, tapi masih belum ada kepastian dari keluarga Quin. Alice dan kau 'kan sudah sama-sama dewasa, sudah cukup umur. Masalah kuliah juga bisa kalian lanjutkan walau kalian sudah menikah. Kami sebagai orang tua akan tetap mendukung sampai kalian lulus dan bisa menghidupi diri kalian sendiri. Yang penting sekarang itu kalian meresmikan hubungan biar sah. Jadi kedua pihak keluarga pun bisa tenang."Lionel John menuturkan pemikiran yang mengganggunya beberapa bulan ini. Baginya Alice dan Edward tidak punya alasan untuk menunda pernikahan. Toh mereka sudah lama pacaran."Sayang?" Sang Istri membelalak kaget kepada Suaminya. Mereka memang sudah beberapa kali membicarakan masalah ini, tapi belum ada kesepakatan untuk mengutarakannya langsung pada Edward.Alice juga dengan cemas menatap Ayahnya. Dia sudah bilang untuk jangan menekan Edward. Dia dan Edward tela
"Jadi... kamu ke sini untuk..." pancing Edward karena Rosie tetap membisu sembari pasang wajah kebingungan."Ah! iya...jadi aku ke mari karena....""Ada sesuatu yang mau kamu katakan, 'kan?""Betul." Rosie meremas kepalan tangannya hingga memutih. Dia menelan ludah sebab tiba-tiba saja tenggorokannya kering. Otaknya tidak bisa fokus pada apapun hingga dia kesulitan merangkai kata. Yang Rosie tahu hatinya nyeri sampai dia tidak bisa melakukan apapun."Rosie." panggilan Edward terdengar lembut dan hangat. Membuat Rosie makin sesak.Matanya mengejam sejenak. Dia membayangkan wajah Alice, Damian, dan kedua orang tuanya. Mereka semua tersenyum lebar padanya. Dan Rosie langsung menemukan kembali akal sehatnya yang sesaat tadi buyar.Si adik tiri lurus menatap Edward. Rosie memantapkan hatinya untuk menyelesaikan hubungan rumit bersama Edward. Dia menyiapkan segenap kekuatan untuk berhenti