Bab 110
Suasana butik cukup ramai sore itu. Najwa, yang masih belajar, berusaha membantu sebisanya. Namun, saat ia sedang membereskan rak baju, seorang pelanggan datang dengan ekspresi tidak sabar.“Mbak! Sini sebentar!” suara perempuan paruh baya dengan dandanan mencolok itu terdengar nyaring.Najwa segera menghampiri. “Iya, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?”Pelanggan itu menghela napas panjang, seolah kelelahan hanya karena menunggu. “Saya sudah keliling butik ini, tapi nggak ada yang benar-benar cocok. Kamu bisa kasih rekomendasi atau nggak?”Najwa menelan ludah, mencoba mengingat instruksi Alya tadi."Nyonya mencari baju untuk acara apa?”“Ya jelas pesta lah!” katanya, memutar bola matanya. “Saya butuh sesuatu yang elegan tapi tetap menonjol. Jangan yang pasaran!”Najwa segera mencari beberapa pilihan, tetapi setiap kali ia menunjukkan sesuatu, pelanggan itu selalu menggeleng dengan ekspresi tidak puas.Bab 111 Jonathan juga tampak terkejut. Matanya membesar saat melihat Najwa berdiri di sana dengan seragam butik. “Kamu?” Wanita yang tadi sibuk berbelanja menoleh ke arah anaknya dan tersenyum. “Oh? Kalian saling kenal?” Najwa masih belum bisa merespons, tetapi Jonathan yang pertama kali membuka suara. “Iya, Ma. Kami satu kampus.” Wanita itu tertawa kecil. “Wah, dunia ini benar-benar kecil, ya.” Najwa menelan ludahnya, merasa canggung. Ia tidak menyangka bahwa pelanggan ramah yang baru saja ia layani ternyata adalah ibu Jonathan. Di sisi lain, Jonathan menatapnya dengan campuran ekspresi terkejut dan penasaran. “Jadi… kamu kerja di sini sekarang?” tanyanya pelan. Najwa mengangguk tanpa banyak bicara. Wanita itu tidak menyadari ketegangan di antara mereka dan justru tampak semakin bersemangat. "Siapa nama kamu, Sayang?" "Saya Najwa, Nyonya," sahut Najwa dengan sopan. "Najwa? Jo, apa ini gadis yang pernah kamu ceritakan?" tanya wanita paruh baya tersebut dengan
Bab 112Najwa menggeliat pelan di tempat tidur. Kelopak matanya perlahan terbuka, dan pandangannya masih sedikit kabur saat melihat langit-langit kamarnya. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengumpulkan kesadarannya.Tunggu! Bagaimana bisa ia ada di sini?Seingatnya, tadi malam ia tertidur di sofa sambil menunggu Farhan pulang.Najwa bangkit perlahan, duduk di tepi tempat tidur dengan dahi mengernyit. Apakah dia mengigau dan berjalan sendiri ke kamar? Atau ada seseorang membawanya ke sini?Pikirannya langsung melayang pada satu kemungkinan: Farhan.Ia buru-buru turun dari tempat tidur dan keluar kamar. Aroma kopi menyambutnya saat ia berjalan menuju ruang makan, di mana Farhan sudah duduk dengan kemeja kerjanya yang sedikit tergulung di lengan. Pria itu tampak sibuk membaca sesuatu di ponselnya sambil menyesap kopi.Najwa berdiri di ambang pintu sejenak sebelum akhirnya melangkah mendekat."Om," panggilnya.Farhan mengangkat wajahnya, menatapnya dengan tenang. "Pagi."Najwa menarik napas,
Bab 113Najwa menggenggam tali tasnya erat, jemarinya mengepal dengan kuat. Matanya menatap tajam ke arah wanita di hadapannya, seolah membangun tembok tinggi agar tidak ada satu pun kata yang bisa menembusnya."Kita tidak punya urusan, Nyonya," sahutnya dingin, nada suaranya tegas dan tak terbantahkan.Fara menelan ludah. Ada kesedihan yang jelas tergambar di wajahnya, tetapi ia tidak mundur."Wa, Ibu mohon. Ibu hanya ingin—""Berhenti menyebut diri Anda Ibu, karena Anda bukan ibu saya," sentak Najwa, suaranya bergetar karena emosi yang ia tahan.Fara terdiam. Kata-kata itu terasa seperti belati yang menancap langsung ke hatinya."Najwa...." bisiknya lirih, suaranya mengandung harapan, permohonan, dan rasa bersalah yang mendalam.Sayangnya ,Najwa tidak tergerak. "Anda membuang waktu saya, Nyonya."Tanpa memberi kesempatan bagi Fara untuk bicara lagi, Najwa berbalik dan melangkah pergi dengan cepat.Namun, tiba-tiba, sebuah tangan terulur dan menggenggam pergelangan tangannya erat."N
Bab 114"Najwa ...." panggil Farhan dengan lembut. Belum sempat Najwa memberikan jawaban, tiba-tiba ponsel wanita tersebut berbunyi."Halo," sahut Farhan."Siapa ini? Kenapa ponsel istri saya bisa ada di tangan Anda?" sahut suara di seberang sana."Istri anda tadi pingsan. Jadi saya membawanya ke rumah sakit Cipta Husada. Saat ini ...."Belum sempat Farhan menyelesaikan kalimatnya, panggilan sudah dimatikan."Suaminya?" tanya Najwa memastikan."Iya. Aku rasa dia sebentar lagi kesini," sahut Farhan.Najwa meremas tangannya dengan gugup. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan laki-laki yang merebut ibunya dari ayahnya. Laki-laki yang membuat ibunya meninggalkan dirinya dan ayahnya."Kamu gak papa?" tanya Farhan menyadari kegugupan gadis di sebelahnya tersebut. Meskipun dia tidak paham penyebabnya, namun dia bisa melihat dari gesturnya.Perlahan, Najwa menggelengkan kepalanya. Farhan tak bertanya lagi.Selang tak berapa lama kemudian, seorang pria melangkah tergesa seraya melakukan sambun
Bab 115TERKUAK"Hari ini gak usah masuk kerja. Nanti aku ijinkan sama Alya," ujar Farhan."Tapi, Om ....""Gak masalah, kamu istirahat saja. Maaf gak bisa nemenin, ada banyak kerjaan di kantor," sahut Farhan. Najwa pun menganggukkan kepalanya. Tubuhnya terlalu lemah untuk berdebat. Pertemuan dengan orang yang tidak diinginkannya benar-benar menguras tenaga.Setelah mengantar Najwa ke apartemen, Farhan kembali ke kantornya. ***Farhan duduk di balik meja kerjanya, menatap layar laptop dengan rahang mengeras. Laporan yang baru saja ia terima dari tim IT benar-benar membuat darahnya mendidih. Nama seseorang yang tidak ia duga muncul sebagai pengguna terakhir yang mengakses sistem keuangan perusahaan.Andi.Andi adalah salah satu karyawan senior yang sudah bekerja di perusahaannya selama bertahun-tahun. Farhan selalu menganggapnya sebagai orang yang dapat dipercaya. Tapi ternyata, di balik wajah loyalitas itu, ada pengkhianatan yang tak bisa ia terima.Tak ingin membuang waktu, Farhan s
Bab 116Ia mengambil segelas anggur merah dari meja, mengangkatnya sedikit seolah membuat sebuah perayaan kecil. Di luar sana, Farhan mungkin sedang sibuk memadamkan kebakaran di perusahaannya, tetapi dia tahu, itu hanya awal dari badai yang lebih besar."Mari kita lihat, seberapa lama kau bisa bertahan?"Senyumannya semakin lebar, sementara di luar sana, rencana penghancuran itu terus berjalan tanpa hambatan.***Di salah satu sudut kantin kampus, Jonathan duduk santai dengan teman-temannya—Gerry, Farel, dan Tio. Meja mereka penuh dengan gelas kopi dan sisa-sisa camilan. Percakapan yang awalnya biasa saja mulai mengarah ke topik yang lebih menarik."Jadi, gimana nih, Jo?" tanya Gerry sambil menyeringai. "Udah jadian sama Najwa atau belum?"Jonathan menyandarkan punggungnya ke kursi, memasang ekspresi percaya diri. "Santai aja. Cewek kayak Najwa butuh pendekatan yang halus."Farel tertawa kecil. "Halus dari mana? Udah hampir dua bulan, tapi gak ada kemajuan. Kalau gini terus, berarti
Bab 117Farhan baru saja memasuki apartemennya ketika samar-samar mendengar isakan lirih dari kamar Najwa. Alisnya bertaut. Perlahan, melangkah mendekati pintu kamar itu dan membukanya. Najwa yang tidak fokus, tidak menyadari kehadiran Farhan sampai pria itu duduk di sampingnya."Najwa ....""Om," seru Najwa terkejut. Namun, sesaat kemudian, dia menghambur ke dalam pelukannya.Farhan terdiam sejenak, sedikit kaget dengan reaksi istrinya. Meski pernikahan mereka hanya sebatas perjanjian, ia tidak bisa mengabaikan keadaan Najwa yang jelas-jelas sedang hancur. Perlahan, tangannya terangkat, mengusap kepala gadis itu dengan lembut."Wa, apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara rendah.Najwa tidak langsung menjawab. Ia hanya terus menangis, menggenggam erat kaus Farhan seakan takut kehilangan pegangan."Mereka jahat, Om. Mereka semua jahat," isaknya di sela napas tersendat-sendat.Farhan mengernyit. "Siapa yang jahat?"Najwa menenggelamkan wajahnya di dada pria itu. "Mereka semua, Om. Ib
BAB 118LUKA LAMA YANG TERPENDAMNajwa tengah duduk di meja makan, menyesap segelas susu hangat sambil melirik ke arah pintu kamar Farhan. Seperti yang sudah diduganya, pria itu muncul beberapa detik kemudian, mengenakan setelan kerja berwarna abu-abu tua yang rapi. Dasi hitamnya terikat sempurna di leher, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan masih tampak basah sehabis mandi."Selamat pagi, Om," sapa Najwa ceria, mencoba mengusir bayang-bayang kegelisahan yang masih mengendap di hatinya sejak tadi malam.Farhan yang baru saja keluar dari kamarnya hanya menatapnya sekilas sebelum mengangguk kecil. "Pagi," sahutnya singkat, lalu menjatuhkan bobotnya di kursi ruang makan.Matanya menangkap tatapan Najwa yang tampak lebih segar dari sebelumnya, meski masih ada jejak kelelahan di wajah gadis itu."Kamu masuk kuliah? Kalau belum siap...," ucapnya menggantung, menatap Najwa dengan pandangan penuh pertimbangan.Najwa menggeleng tegas. "Aku masuk, Om. Aku gak apa-apa kok."Farhan mengernyit,
Bab 128Tubuh Najwa menegang, tetapi bukan karena ketakutan. Ada sesuatu yang asing menjalar di dalam dirinya. Sensasi yang membuatnya bingung.Tangan Farhan yang semula hanya mengusap pipinya, kini bergerak turun, meremas gundukan kenyal dengan lembut. Tanpa sadar, Najwa mendesis lirih.Merasa mendapat respon, Farhan semakin intens melancarkan serangannya. Sementara itu, Najwa semakin tak dapat mengendalikan diri merasakan sensasi baru yang terasa candu.Tiba-tiba, Farhan mengehentikan aksinya. Ditatapnya gadis di bawahnya dengan intens. Sementara itu, Najwa balik menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya."Wa, bolehkah?" tanya Farhan dengan suara berat. Untuk sesaat, Najwa meragu. Meskipun belum berpengalaman, namun dia paham arah pembicaraan pria di hadapannya tersebut.Beberapa saat kemudian, Najwa menganggukkan kepalanya. Akhirnya, Farhan kembali melancarkan aksinya dengan lembut dan hati-hati. Dia paham betul jika ini pengalaman pertama bagi wanita di hadapannya tersebut.Aksi
BAB 127PERASAAN YANG TAK TERDUGASesampainya di apartemen, Najwa segera masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari biasanya. Ia berjalan menuju ranjangnya, lalu duduk di tepinya dengan wajah kesal. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian di kafe tadi.Bayangan Farhan bersama wanita lain terus mengusik benaknya. Tatapan mata wanita itu, senyum genitnya, cara dia menyentuh lengan Farhan, semua itu membuat dadanya terasa sesak.Najwa menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan aneh yang menggelayuti hatinya tak kunjung pergi.Tak lama kemudian, suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu.Tok tok tok...."Najwa?"Najwa mendongak sejenak, mengenali suara itu. Namun, alih-alih menjawab, ia malah memalingkan wajahnya.Farhan, yang tak mendapat respons, akhirnya memutuskan untuk masuk. Dengan langkah perlahan, ia menghampiri gadis itu hingga hanya berjarak dua jengkal."Kamu kenapa?" tanyanya tenang.Najwa tetap tak melihat ke arahny
Bab 126Rahasia yang TerpendamFarhan menyesap kopinya perlahan, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba merayapi benaknya. Ia menatap David yang duduk di hadapannya, pria itu terlihat tenang, tetapi jelas sedang mengamati setiap gerak-geriknya."Jadi?" David mengangkat alisnya. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu, Farhan. Apa hubunganmu dengan Najwa?"Farhan menaruh cangkir kopinya dengan gerakan yang terkendali. "Maaf, tapi itu bukan urusan Anda."David tersenyum tipis. "Sebenarnya, itu urusanku. Najwa adalah anak tiriku sekarang dan aku ingin memastikan dia berada di tangan yang tepat."Farhan tertawa kecil, tetapi tidak ada humor di sana. "Anda tidak perlu khawatir soal itu. Najwa baik-baik saja."David mencondongkan tubuhnya, tatapannya semakin tajam. "Dengar, aku tidak bodoh, Farhan. Fara sudah memberitahuku bahwa mantan suaminya tidak memiliki kerabat. Jadi bagaimana mungkin kau bisa menjadi 'om' bagi Najwa?"Farhan tetap tenang, tetapi jari-jarinya mengepal di bawa
Bab 125Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, Fara masih dihantui rasa bersalah.Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju lemari. Dari dalam laci, ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil yang sudah lama ia simpan. Perlahan, ia membuka tutupnya, memperlihatkan sebuah foto usang, foto dirinya bersama Najwa dan Suratman.Air matanya langsung mengalir. Ia menyusuri wajah kecil Najwa dalam foto itu dengan jemarinya yang bergetar."Najwa, sedikit saja, apakah tidak ada perasaan rindu untuk ibu?"Pertanyaan itu terus mengganggunya sejak pertama kali dia bertemu kembali dengan putrinya. Putri kecilnya yang kini telah beranjak dewasa.***Farhan masih sibuk memeriksa laporan keuangan ketika suara pintu ruang kerjanya terbuka tanpa izin."Farhan!" suara Arum terdengar tajam. Wanita paruh baya itu berjalan masuk dengan wajah kesal.Farhan menutup map di hadapannya dan mengusap wajah dengan lelah. "Ada apa, Ma?""Apa maksudmu bertanya ada apa?" Arum melipat tangan di depan dada. "Uang yan
Bab 124SURAT CERAITangannya bergetar saat menatap lembaran itu. Nama Fara tertera jelas di sana. Ia nyaris tidak bisa percaya dengan apa yang ia baca."Ini tidak mungkin. Fara tidak mungkin melakukan ini," gumam Suratman dengan suara bergetar."Sudah cukup. Jangan cari dia lagi. Kalian sudah bukan siapa-siapa."Suratman menatap pria tua itu dengan mata membelalak. "Kenapa? Apa yang terjadi? Apa yang kalian lakukan pada Fara?"Pak Karim tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan sebelum akhirnya menutup pintu tanpa sepatah kata lagi.Suratman berdiri di sana, masih memegang surat cerai itu dengan tangan gemetar.Dengan langkah gontai, ia kembali ke rumahnya. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana mungkin Fara meninggalkannya begitu saja? Kenapa tanpa penjelasan?Ketika ia tiba di rumah, Najwa berlari menghampirinya. "Ayah! Ibu sudah pulang?"Suratman menatap wajah polos putrinya dan seketika dadanya sesak. I
Bab 123SAAT-SAAT TERAKHIRHari demi hari berlalu, dan kondisi Najwa semakin membaik. Warna di wajahnya mulai kembali, senyum kecilnya sudah lebih sering muncul, dan suaranya tak lagi selemah dulu. Fara selalu berada di sampingnya, membacakan cerita sebelum tidur, menyuapinya makan, dan menggenggam tangannya setiap kali Najwa merasa kesakitan.Namun, di balik senyum yang ia tampilkan, ada kesedihan yang semakin dalam. Setiap kali melihat Suratman tertidur di kursi samping ranjang Najwa, Fara ingin menangis. Setiap kali pria itu bangun dan tersenyum padanya, seolah mereka adalah keluarga yang utuh, hatinya semakin hancur.Di saku tasnya, surat panggilan dari pengadilan agama telah berulang kali ia lipat dan sembunyikan. Ia tahu waktunya semakin sedikit. Proses perceraiannya dengan Suratman hampir selesai, dan saat Najwa benar-benar pulih, ia harus pergi.***Suatu sore, ketika Suratman pulang sebentar untuk mengambil beberapa barang di rumah, Fara duduk di samping Najwa yang tengah ter
Bab 122TAWARANFara berdiri di depan rumah orang tuanya dengan dada sesak. Tangannya gemetar saat hendak mengetuk pintu. Selama ini, ia sudah dianggap tidak ada oleh keluarganya setelah memutuskan menikah dengan Suratman, seorang pedagang keliling yang menurut mereka tidak pantas untuknya.Namun, sekarang ia tidak punya pilihan lain.Ia mengetuk pintu dengan ragu. Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari dalam, lalu pintu terbuka, memperlihatkan wajah sang ibu, Bu Halimah, yang langsung berubah dingin begitu melihatnya."Untuk apa kamu kemari?" suara wanita paruh baya itu terdengar tajam.Fara menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh."Ma, aku butuh bantuan," suaranya bergetar.Bu Halimah melirik anaknya dari ujung kepala hingga kaki, lalu mendengus. "Jadi sekarang kamu ingat keluarga setelah sekian lama menghilang?"Fara menggeleng cepat. "Aku nggak pernah melupakan papa dan mama. Aku hanya… aku hanya tidak punya keberanian untuk kembali.""Tapi sekarang kamu kembal
BAB 121SEPULUH TAHUN YANG LALULangit sore mulai meredup ketika suara tawa anak-anak masih terdengar di gang sempit perkampungan kecil di pinggiran kota. Najwa, bocah perempuan berusia delapan tahun, berlari kecil mengejar bola plastik yang meluncur ke jalan raya. Tanpa sadar, langkah kakinya melampaui batas aman dari gang sempit itu.Tiba-tiba, suara klakson yang keras menggema di udara. Dalam sekejap, tubuh kecil Najwa terpental ke aspal, diikuti oleh jeritan histeris dari anak-anak lain yang menyaksikan kejadian itu. Mobil yang menabraknya melaju kencang tanpa sedikit pun mengurangi kecepatan, menghilang di belokan sebelum ada yang sempat mencatat nomor platnya."Najwa!"Seorang wanita berlari dari dalam rumah, wajahnya pucat pasi saat melihat tubuh kecil putrinya tergeletak tak bergerak di jalan. Darah mengalir dari pelipis dan hidungnya, membentuk genangan kecil di aspal.Orang-orang mulai berdatangan. Beberapa ibu berteriak panik, sementara beberapa bapak berusaha menenangkan i
BAB 120KERINDUAN YANG TAK TERPADAMKANFara duduk di sofa ruang keluarga dengan wajah yang dipenuhi kesedihan. Matanya yang sembab menunjukkan bahwa ia sudah menangis cukup lama. Di tangannya, ia menggenggam erat selembar foto lama, foto seorang gadis kecil dengan senyum polos yang begitu dirindukannya.David duduk di sampingnya, tangannya dengan lembut mengusap punggung istrinya, berusaha menenangkan. Namun, Fara tetap terisak, rasa sesak yang menghimpit dadanya tak kunjung mereda."Aku tidak bisa terus seperti ini, Mas. Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin memeluknya setidaknya sekali saja. Aku ingin menebus semua kesalahan yang telah aku buat," ujar Fara dengan suara bergetar.David menarik napas dalam. Ia paham betul bagaimana perasaan istrinya. Setiap malam, ia melihat Fara duduk termenung di depan jendela, matanya menerawang jauh, pikirannya entah ke mana."Sayang, aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus bersabar sedikit lagi. Jangan gegabah, kita harus menunggu waktu yang te