“Mas, aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang wanita lain, lebih baik kita berpisah agar tidak ada yang tersakiti.”
“Apa maksudmu? Bukankah kamu mencintaiku?” Abian jelas tidak terima kalau Amara menolaknya, seharusnya bukan Amara yang menolak, tapi dirinya. Amara tersenyum sinis. “Cinta? Aku tidak pernah mencintaimu, Mas.” Ketiga orang itu menatap Amara tidak percaya, selama ini apa yang ditunjukkan Amara? Setiap hari Amara menunggu kedatangan Abian dan selalu patuh padanya . Mana mungkin Amara tidak cinta. “Apa maksudmu?” Jelas ini melukai harga diri Abiyan. Dia memang ingin berpisah dengan Amara, tapi tidak begini. “Aku tidak pernah mencintaimu, aku melakukan ini karena aku tidak mau menyakiti hati orang tuaku.” Kali ini Amara terisak. Memang cintanya telah mati, tapi selama lima tahun dia selalu memendam cintanya untuk Abian. “Oke, kalau begitu maumu” Abian menatap Amara lekat. “Amara Salsabila aku talak kamu, mulai sekarang kamu bukan istriku lagi.” Tubuh kedua orang tua itu langsung lemas, bukan ini yang mereka harapkan, tapi mau bagaimana lagi, mungkin jodoh mereka sampai di sini. Amara tersenyum, ternyata kesabarannya sebatas ini, dia tidak bersedih atau kecewa, justru dia merasa bebannya telah hilang, dia sudah menuruti permintaan ayahnya meskipun terlambat. “Amara, meski sekarang kamu bukan istri Abian, tapi kamu tetap putri kami. Papa tidak mengizinkan kamu pergi dari rumah ini,” tegas Atmaja. “Mara akan kembali ke rumah ibu, rasanya tidak enak kalau aku tetap di sini, Pa.” “Papa sudah berjanji pada ayahmu sebelum meninggal, Papa akan penuhi janji Papa pada ayahmu.” Amara masih bergeming, dia memang tidak tahu ucapan terakhir ayahnya karena saat dia datang ayahnya sudah meninggal. Dia tidak bisa membantah permintaan Atmaja. “Ra, kamu bisa tempati kamar kita, aku akan di kamar bawah,” ujar Abian. Lelaki itu tahu apa yang dipikirkan orang tuanya, dia juga merasa ikut bertangung jawab atas kehidupan Amara. Tidak mungkin dia membiarkan Amara hidup sendirian. “Tidak, Mas, aku tidak akan mengambil apa yang menjadi milikmu. Pa, Ma, apa boleh aku tinggal di kamar dekat kamar Bibik?” Mau tidak mau Amara harus tetap tinggal. Dia juga perlu mempersiapkan diri untuk bisa hidup mandiri. Lima tahun tanpa akses di luar pasti akan sulit baginya. “Jangan di situ, kamu putriku itu kamar pembantu. Kalau kamu tidak mau tetap di kamar Abi, kamu di kamar dekat kamar Satria.” Kamar itu juga berada di lantai atas, tapi lumayan jauh dari kamar Abian dan di kamar itu ada teras kecil menghadap ke jalan. Amara sering berada di sana saat sedang bosan menunggu suaminya datang. Amara akhirnya menerima permintaan mereka untuk tinggal di sana. Atmaja dan Maria sudah menjadi orang tuanya sejak lima tahun ini, dia juga tidak punya siapa-siapa di kota itu, saudara orang tuanya juga tidak berada di kota itu. *** “Ra, boleh aku peluk kamu untuk terakhir kali,” pinta Abian. Ada rasa sesal dalam hatinya setelah mengucap ikrar talak, bukan ini yang dia mau. “Maaf, mas, kita sudah bukan suami istri,” jawab Amara lalu tersenyum, “aku akan ambil barang-barangaku.” Abian menatap Amara, kenapa dia begitu cantik sekarang, entah kemana selama ini hatinya, tidak bisakah dulu dia melihat Amara dan membuka hatinya. “Maaf, Den, saya mau bantu Non Amara,” kata Bibik yang tiba-tiba saja sudah berada di depan pintu. Amara tadi meminta bibik menemaninya, dia tidak mau timbul fitnah jika berdua dengan Abiyan. Abian akhirnya membiarkan dua wanita itu mengambil barang-barang Amara. Tidak banyak pakaian Amara, wanita itu memang tidak suka berbelanja meski Abian selalu mengirim sejumlah uang sebagai nafkah. Seharusnya dia sangat beruntung karena meskipun dia tidak memberi nafkah batin, Amara tidak pernah meminta lebih, Amara selalu mengucapkan terima kasih saat dia sudah mengirim sejumlah uang sebagai nafkah. Amara juga tidak pernah melalaikan tugasnya sebagai seorang istri. “Mas, ini aku kembalikan, jumlahnya berkurang kemarin buat bayar pemakaman ayah dan ibu,” kata Amara sambil mengulurkan kartu debit yang lima tahun lalu dia berikan. “Itu hak kamu, tidak perlu kamu kembalikan.” Amara menggeleng lalu meletakkan kartu debit itu diatas nakas, “ini bukan hakku, Mas. Terima kasih selama ini sudah mau menjadi suamiku.” Ucapan Amara benar-benar membuat dadanya sakit, bagaimana mungkin Amara bisa berkata seperti itu padahal dia telah melakukan hal buruk pada Amara. Sungguh dia merasa menjadi lelaki yang sangat b*doh. Apa mungkin kehilangan Amara adalah hal paling b*doh dalam hidup Abian. Amara memasuki kamar yang sekarang resmi menjadi kamarnya, kamar itu selalu bersih karena dia selalu membersihkannya. Direbahkannya tubuhnya yang begitu lelah, setelah kematian orang tuanya Amara belum memejamkan matanya, pikirannya sangat kacau. *** “Aku sudah mentalak Amara,” kata Abiyan pada Felicia, rasanya dia tidak bersemangat hari ini. Terlebih setelah melihat kartu debit yang Amara kembalikan, ternyata Amara tidak pernah memakainya uang itu hanya berkurang untuk pemakaman orang tuanya kemarin. “Beneran? Akhirnya kita bisa bersatu. Kapan kamu kenalkan aku sama orang tuamu?” Felicia sangat antusias, dia pikir akan lama, tapi ternyata Abian sangat cepat memberi kabar itu. “Fel, tidak untuk saat ini, aku baru saja mentalak Amara tadi pagi dan kami belum mengurus surat cerainya.” “Kita bisa nikah secara agama, Mas, aku sudah tidak sabar ingin bersamamu.” “Tunggu setelah surat cerai turun.” “Biar pengacara papaku yang tangani, satu bulan pasti beres.” “Mana bisa.” “Dengan uang, apa yang tidak bisa.” “Terserah kamu saja.” Abian akhirnya membiarkan Felicia membantu perceraiannya, rasanya dia tidak sanggup melakukan sendiri karena ada rasa yang dia sendiri tidak mengerti. Entah kenapa sejak ikrar talak itu dia kepikiran terus pada Amara. *** “Kenapa kamu? Mikirin si br*ngsek itu?” tanya Satria saat melihat Amara duduk sendiri di teras lantai atas. Teras itu memang menghubungkan kamar yang dia tempati dengan kamar Satria. Amara tersenyum kecut, hubungannya dengan Satria tidak cukup baik, baginya Satria adalah lelaki angkuh, selama ini Satria bahkan tidak pernah menyapanya, tapi untuk apa, dia juga tidak pernah ada urusan dengan Satria. “Kamu itu wanita paling bod*h di dunia, lima tahu bertahan hanya sebagai pajangan. Abi itu punya pacar, pantas saja dia tidak menyentuhmu, dia sudah kenyang dengan pacarnya.” Satria menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi di teras itu. “Apa maksudmu, Mas Abi buka orang seperti itu.” Meski perlakuan Abian tidak baik padanya, tapi tetap saja dia membela Abian. Amara meyakini kalau Abian bukan orang seperti yang dikatakan Satria, yang dia tahu Abian adalah lelaki baik. Memang selama ini Abian tidak pernah menyentuhnya, itu mungkin sebagai wujud bahwa Abiyan menjaga perasaan kekasihnya. “Laki-laki dan perempuan di kamar hotel berdua, apa yang mereka lakukan?” satria tersenyum sinis, baginya Amara itu terlalu naif. “Atau jangan-jangan kamu tidak mengerti hal itu?” “Satria, jangan fitnah aku, ya!” Suara itu membuat Satria menoleh. Sejak kapan Abian berada di sana. Lelaki itu langsung mendekati Satria kemudian menarik Satria memberikan bogem pada adiknya. “Jangan fitnah aku sebelum kamu punya bukti.” Satu pukulan lagi melayang di pipi Satria. Amara berteriak, “ Apa yang kalian lakuan, berhenti!” “Kamu itu pezina, tidak pantas menjadi suami Amara.” Satria mengumpat. Bug! Abian memukul berkali-kali adiknya hingga Satria tersungkur. “Apa-apaan ini, berhenti!”“Apa yang kalian lakukan?”“Satria menfitahku, Pa.” Abian masih mengepalkan tangannya, apalagi melihat adiknya tersenyum sinis padanya.Atmaja menatap Satria. Apa yang terjadi pada kedua putranya itu, memang mereka berdua jarang akur, tapi tidak pernah sampai berkelahi seperti ini.“Ini kenyataan, Pa. Anak kesayangan Papa ini menyewa kamar hotel bersama wanita.”“Astagfirullah.”Plak!Maria langsung menampar putra sulungnya mendengar ucapan Satria, dia sudah terpukul dengan masalah pernikahan Abian masih ditambah kenyataan tentang kelakuan buruk Abian,“Ini tidak benar, Ma, dia menfitnahku.”“Lali-laki dan perempuan dalam kamar hotel apa yang mereka lakukan?” Satria masih mengatakan apa yang dia lihat, dia sangat jijik mengingat kelakuan kakaknya. Kakak yang selama ini dia lihat sebagai lelaki baik-baik, tapi ternyata berani berzina.“Kami tidak melakukan apa-apa, kami hanya ….”“Sudah diam, sekarang juga bawa wanita itu ke sini, Papa tidak mau kalian melakukan hal kotor lagi.”“Tapi,
Kedua wanita itu menoleh ke arah Satria yang berkata begitu pedas pada Amara. Satria sudah membawa koper akan keluar dari rumah.“Satria, apa yang kamu katakan!” bentak Maria, dia sudah berkata baik-baik pada Satria untuk menjaga perasaan Amara.“Benar ‘kan, Ma, kalau Amara sudah menikah, kita tidak akan terbebani lagi, Ma.”“Satria jangan banyak bicara, cepat kamu pergi.” Maria mendorong tubuh anaknya untuk segera pergi, semakin anaknya itu bicara akan semakin menyakiti hati Amara.Amara menghela napasnya, apa mungkin dia telah membuat beban keluarga Atmaja, dan entah apa salahnya pada Satria, lelaki itu selalu berkata ketus padanya. Bahkan sejak lima tahun menjadi adik iparnya hanya sesekali bertanya pada Amara itupun terlalu ketus.“Sudah, jangan dengarkan Satria, dia memang seperti itu kalau bicara. Anak laki-laki ngomongnya pedes, heran Mama.” Maria menggerutu melihat ulah putranya.“Ma, Satria benar, aku hanya menjadi beban di sini, aku tidak apa-apa tinggal di rumah ayah, lagi
Malam itu malam pertama mereka, Abian sudah menahan mendekati Amara selama lima tahun, jelas dia ingin sekali merasakannya, semua laki-laki pasti begitu menginginkan itu setelah menikah.“Sayang, apa kamu sudah siap?” tanya Felicia manja dengan mulai nakal mengoda Abiyan.Sudah pasti Abiyan sangat siap lahir batin, dia sudah menunggu masa itu, apalagi selama lima tahun harus menahannya. Ah, sungguh bodoh dirinya.“Fel, kenapa perutmu agak besar gini?” Abian bertanya pada istrinya itu, dia pernah tanpa sengaja melihat Amara membuka bajunya dan perut Amara itu rata dan indah sampai tiga hari dia tidak bisa melupakan bentuk tubuh indah Amara, tapi kenapa tubuh Felicia beda dengan perut sedikit membesar.Felicia tampak gugup lalu dia memeluk Abian, mungkin dia malu. “Aku banyak makan tadi,” jawabnya lalu dia tidak membiarkan suaminya memperhatikan tubuhnya lagi, dia memberikan apa yang suaminya inginkan dan ingin memberikan pengalaman pertama suaminya hingga suaminya tidak pernah bisa ber
Sebuah mobil berhenti tepat di samping Amara berdiri, kaca mobil dibuka lalu seorang wanita memanggil Amara.“Amara, kamu mau ke mana?” tanya wanita itu.“Dara, aku mau pulang ke rumah ayahku.”“Aku antar.”Amara mendekat, sejak tadi dia menunggu taksi online masih belum ada respon. Dia lalu masuk ke mobil Dara dan segera membatalkan pesanan taksi.“Memangnya kenapa pulang? Apa Abi sudah bawa istrinya ke rumah?” tanya Dara.“Iya.” Amara memasang seat belt setelah duduk sempurnya di kursi depan. “Sebaiknya gitu, sih, kalau kamu tetap di sana, kamu akan sakit hati melihat mereka.” Wanita itu mulai menarik tuas mengatur persneling kemudian dalam gerakan pelan dan tenang, mobil meluncur bebas hambatan di jalan.“Iya, Ra, seharusnya aku pulang setelah dicerai Mas Abi.”Di sinilah, di tempat di mana Amara di besarkan dengan kasih sayang, seandainya waktu bisa berputar dia tidak akan menghabiskan waktunya sia-sia menikah dengan Abiyan, tapi semua yang terjadi adalah takdir.“Kamu sendirian?
“Ma, selamat, ya.” “Seharusnya kamu yang bersama Abi,” kata Maria sedih. Setiap kali mengingat pernikahan Abian dan Amara, dia semakin merasa bersalah. Maria memang senang punya cucu, tapi hatinya tidak bisa dibohongi bahwa sebenarnya yang dia inginkan adalah Amara yang menjadi ibu dari cucunya.Sangat jelas perbedaan keduanya, Amara begitu lembut dan juga sangat sopan, tidak pernah sekalipun Amara membantahnya, tapi Falicia tidak begitu bahkan para asisten rumah tangga di sana mengeluhkan ulah Felicia. Bisa dibilang mereka bagai bumi dan langit.“Tidak, Ma, Mas Abi itu memang jodohnya sama Felicia, ini yang Mas Abi inginkan.”“Kamu tidak apa-apa ‘kan?” Maria sebenarnya sangat khawatir dengan keadaan Amara.“Tante tenang saja, Amara sangat amat baik, dia tidak kurang apa pun dan besok Amara akan interview kerja.”“Masyaallah, selamat, ya, Nak,” ucap Maria tulus.Amara salah tingkah, dasar Dara malah bicara berlebihan.“Dara, jangan berlebihan gini,” bisik Amara.“Biar saja, mereka ha
Amara sudah bersiap sejak pagi, ini adalah hari pertamanya bekerja, sejak lulus kuliah dia belum pernah bekerja karena langsung menikah. Amara mematut dirinya dicermin, seragam itu terlalu sempit, selama ini Amara selalu memakai pakaian sedikit longgar, lebih seringnya pakai gamis karena dia sendiri sangat jarang keluar rumah dan pakaiannya hanya beberapa biji saja, dia memang tidak terlalu suka belanja pakaian.Amara membongkar pakaian lamanya untuk mencari rok sebagai pasangan baju seragamnya. Setelah membongkar pakaian lamanya akhirnya dia menemukan rok plisket warna hitam. Seingatnya belum pernah dipakai.Waktu itu Amara diajak keluar oleh Abian sebelum menikah, mama Abian yang merencanakan semuanya.“Aku tidak tahu akan mengajakmu ke mana. Berbelanjalah sesukamu aku tunggu di sini.” Abian mengajak Amara di sebuah pusat perbelanjaan, dia mengira kalau Amara sama dengan gadis lain yang suka berbelanja pakaian.Saat itu Amara bingung, dia tidak pernah berbelanja sendiri, bisanya dia
Setelah melalui masa kritis pasien, akhirnya dokter dan bidan itu terduduk lemas di ruangan istirahat. Dua nyawa terselamatkan. Allah masih memberi mereka kesempatan bisa memberikan kenikmatan berjuang melawan masa kritis. “Ini punyamu?” tanya Frans sambil menunjukkan bolpoin warna ungu. Di kliniknya, siapa lagi yang punya barang-barang warna ungu selain gadis itu.Dara tersentak saat melihat bolpoinnya dibawa Frans, dari mana dia dapatkan itu, apa tertingal di ruangan Frans tadi? Ah, kenapa dia ceroboh begini.“I-itu ….”“Lain kali kalau masuk ke ruangan orang izin dulu atau kalau diam-diam jangan meninggalkan jejak.”“Maaf, Dok.”Frans tersenyum melihat wajah memerah Dara, dia tahu kalau saat ini gadis itu sangat ketakutan. Bisa saja dia mempermasalahkan ini, tapi dia masih ingin tahu apa yang sedang dicari Dara di ruangannya.Lelaki berdarah campuran itu meletakkan bolpoin Dara tepat di dekat Dara, dia lalu meninggalkan dara yang masih bergetar karena ketakutan. Tubuhnya langsung
Felicia mengusap tempat tidur di sampingnya mencari keberadaan suaminya, semalam dia terlalu lelah sampai tidak tahu suaminya pulang jam berapa. Seharian dia banyak menghadiri acara bersama teman-temannya dan melakukan pertemuan dengan beberapa orang, dia mendapatkan tawaran menjadi bintang iklan. Felicia sangat senang, setelah menikah dengan Abiyan karirnya semakin melejit, nama Abiyan semakin melambungkan namanya. Cinta sejati yang dia tawarkan sebagai brand dirinya. Bahkan berita tentang penantian selama lima tahun menjadi trending topic.“Ternyata dengan menjual kisah sedihku membuat karirku semakin baik, aku akan mempertahankanya meskipun harus berpura-pura menjadi wanita paling sabar.” Felicia merasa sangat beruntung dengan apa yang dia dapat, meskipun dia hamil bukan anak Abiyan, setidaknya dia bisa megelabuhi suaminya. Tempat tidur di sebalahnya masih rapi, tidak ada tanda-tanda Abiyan menidurinya, Felicia lalu melihat ruang kerja Abiyan, di sana sama saja, tidak terlihat hab
Merasa tidak mendapat perlindungan dari keluarga, Felicia akhirnya memutuskan meninggalkan tempat tinggal orang tuanya. Apa yang bisa dia harapkan dari orang tuanya, sedang selama ini dia tidak pernah mendapatkan ketenangan di sana. Felicia memang pernah melakukan hubungan bebas, itu karena dia lepas dari pengawasan orang tua, orang tua tidak memberi contoh yang baik. Felicia sadar, dengan kebebasan yang dia jalani selama ini ternyata tidak membuatnya tenang, dia harusnya mengambil pelajaran setelah kejadian demi kejadian menyakitkan yang dia alami.“Tuhan itu maha pengampun, perbaiki kehidupanmu. Jika kamu manusia beragama, maka kembalikan kehidupanmu pada jalur yang benar.” Nasehat itu yang akhirnya membuat Felicia tinggal di sebuah kota kecil jauh dari kebisingan. Seorang wanita pekerja kebun memberinya tempat tinggal setelah dia sampai dan kebingungan akan tinggal di sana.Wanita paruh baya memakai jilbab panjang itu menyambutnya sangat baik, tapi rumah kecil itu hanya mempunyai s
“Pa, kenapa Satria masuk, sebegitu bencinya kah anak kita padaku?”Maria menatap sedih jejak putranya yang sesaat tadi justru meninggalkan mereka tanpa menyalami bahkan mempersilahkan masuk pun tidak. Hati ibu mana yang tidak terluka melihat perlakuan anaknya seperti itu. Ego sudah diturunkan, sesal sudah dirasa. Namun, apa yang di dapat? Apa anak itu ingin membalas perbuatannya. Sungguh, jika itu benar Maria akan bersimpuh di hadapan putranya itu untuk meminta maaf.Kesalahannya memang terlalu fatal, bukan hanya pada Satria saja tetapi juga pada Amara—wanita yang seharusnya dia jaga karena dia sudah berjanji di depan pusara dua orang yang paling berjasa di hidupnya itu, dua orang yang telah mengorbankan diri agar suaminya tetap hidup sampai sekarang, dia berjanji akan menjadi orang yang selalu melindungi Amara. Namun, apa yang dia lakukan pada anak itu, dia malah menjauhkan anak itu dari keluarganya.Maria mulai menggali hatinya, bagaimana dia bisa berlaku kejam hanya karena ingin m
Setahun sudah berlalu, anak-anaknya jarang datang, lebih lagi satria, sudah setahun anak bungsunya itu tidak berkunjung. Buah-buahan di keranjang yang selalu dikirim Satria melalui kurir sebagai obat rindu. Maria merindukan anak-anaknya, dia telah menuai apa yang telah dilakukan pada anak-anaknya.Abian selalu saja sibuk, tiap kali dia menelepon agar anaknya itu datang, selalu saja beralasan sibuk. Ya, Maria yang meminta Abian untuk memperbaiki kualitas hidup agar kehidupannya lebih baik. Abian memang semakin sukses, dia juga sudah merambah usaha di berbagai bidang termasuk bidang otomotif dan usahanya yang baru beberapa bulan dirintis sudah sangat besar mengalahkan usaha Satria.Maria mempehatikan semua kegiatan kedua anaknya. Abian lebih kompetitif dan semakin gila kerja hingga setahun lebih pernikahan belum juga dikaruniai anak. Sedang Satria tidak terlalu bersemangat dengan usahanya, Satria bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Perkebunan
“Satria, kamu kenapa?” Amara langsung menghampiri lelaki berkemeja biru navi itu. Wajah yang tadi cerah berubah suram, tangannya mengepal dan rahangnya mengeras.“Pergi ke rumah mama batal,” ujar lelaki itu.Amara menarik tangan suaminya membawa presensi lelaki itu untuk duduk di sofa dekat jendela. Dia tahu kalau Satria tidak sedang baik-baik saja, lelaki itu masih belum bisa mengendalikan emosinya. Yang Amara tahu emosi seseorang akan berkurang saat duduk, kalau belum juga reda maka berbaring, itu kenapa dia mengajak Satria duduk. Satria menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Embusan napas berat ke luar dari mulutnya lalu tangan besarnya meraup wajah kasar.“Kamu masih ingat beberapa kali kita gagal ke rumah Mama?” Lelaki itu menarik sudut bibirnya. “Mama memang tidak mau kita ke sana. Semua yang terjadi pada kita, musibah kecil yang kita lalui saat akan ke rumah mama hingga kita mengurungkan niat ke sana itu ulah mama. Mama yang merencanakan semuanya agar kita tidak ke sana.”
“Aku yakin Mama yang merencanakan semua ini.”“Diam kamu Abi.”Abian menggeleng melihat kelakuan ibunya yang sudah tidak bisa dia cerna dengan akal sehat. Entah kepercayaan apa yang tertanam dalam pikiran ibunya dari dulu hingga kini tetap berpikir primitive.“Makanya Mama itu belajar sama ustaz, bukan sama guru spiritual. Guru spiritual itu sama dengan dukun. Mama tahu seberapa besar dosa orang yang mendatangi dukun?”“Sudah, jangan ceramah. Salat saja bolong-bolong malah ceramahin Mama. Sana belajar agama dulu sebelum ceramah.”Abian lantas meninggalkan ibunya, dia tidak mau peduli lagi karena capek jika berdebat dengan ibunya. Sejak dulu saat dia memprotes kenapa ibunya selalu membedakannya dengan adiknya, selalu saja jawabannya bahwa Satria adalah anak pembawa sial yang harus disingkirkan.Apa mungkin ini yang dimaksud ibunya? Bukankah beberapa waktu yang lalu ibunya sudah menerima Satria?Semakin dipikir membuat Abian pusin sendiri. Biarlah itu menjadi masalah ibu dan adiknya, ya
“Kamu tahu ‘kan kalau sejak dulu Mama tidak terlalu peduli padaku?” “Bukan tidak peduli, Sayang. Orang tua itu punya cara berbeda mengungkapkan rasa sayangnya pada anak-anaknya. Mungkin bagi Mama kamu cukup mandiri hingga Mama tidak terlalu mengkhawatirkanmu dan terbukti ‘kan kamu bisa mandiri tanpa bantuan mereka.”Amara mengusap bahu suaminya lalu duduk di sebelah lelaki itu.“Itu salah satu alasan. Ada alasan lain yang membuat Mama tidak terlalu mempedulikanku. Mama yang bilang setelah kita periksa waktu itu dan aku mulai berpikir bahwa ini adalah karma yang keluargaku lakukan di masa lalu.” Lelaki itu menggusah napasnya kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.“Karma?” Amara mengerutkan keningnya lantas meraih tangan suaminya. “Dalam agama kita tidak ada yang namanya karma. Apa kamu pernah lihat orang jahat hidupnya senang terus? Itu karena balasan dari perbuatan manusia itu nanti saat manusia telah mati. Di dunia itu hanyalah ujian.”“Tapi, Ra. Kesalahan keluarga kami sa
Felicia kali ini merasa menang, entah kenapa dia merasa berkali-kali mendapat dukungan semesta andai apa yang dia lakukan mendapatkan balasan, nyatanya dia masih tetap beruntung dan Abian yang telah dia bodohi kembali masuk perangkap dan dia yang beruntung.“Fel, thanks ya, kamu sudah membantuku. Tanpa kamu aku tidak bisa membalas mereka.”“Kamu ‘kan tahu kemampuanku, makanya jangan remehkan aku.” Felicia mengerucutkan bibirnya, tangannya bersendekap.“Iya, iya. Aku tidak akan meragukan kemampuanmu. Aku akan turuti apa pun yang kamu mau. Aku puas benget melihat Ferdian sudah jadi mayat.”Felicia hanya memberi tahu keberadaan Ferdian, tapi dia mendapatkan bonus kabar kalau Ferdian sudah membusuk di tempat persembunyiannya. Dia masih ingat dulu sering dijadikan alat oleh Ferdian untuk menjebak Abian, seingatnya tiga kali dia melakukan itu dan dalam hati kecilnya dia tidak tega melihat Abian menderita karena ulahnya.Bagaimana pun juga dia punya hati. Dia pernah mencintai Abian dan tidak
"Pasti ada masalah di sana, Ferdi pasti belum ke luar dari sana." Satria berjalan mondar-mandir setelah mengetahui tidak ada penerbangan atas nama Ferdian. Mereka memperkirakan Ferdian pasti akan ke Singapura setelah ketahuan, mereka tahu ke mana Ferdian akan bersembunyi."Coba Papa tanyakan Om Antony," kata Abian.Sejak penggrebekan Ferdian di salah satu rumah persembunyian Ferdian, mereka menunggu dengan cemas lelaki itu. Bagiamana pun juga mereka tidak mau Ferdian dalam bahaya, setidaknya jika dipenjara itu lebih aman.Kabar di lapangan Ferdian kabur dan setelah ditelusuri tidak ada jejak penerbangan atas nama Ferdian dan mobil Ferdian masih berada di sana."Ommu tidak tahu kabar Ferdi, mereka juga mencari," kata Atmaja menginformasi. "Pa, apa mungkin Ferdi terjebak di dalam rumah?" Satria mulai mencurigai karena yang dia tahu dari informasi anak buahnya, ada ruangan khusus bawah tanah yang menghubungkan ke arah dekat dermaga. Kemungkinan Ferdian berlayar juga bisa dipertimbangkan
"Abi, tolong bantu aku." Sebenarnya Felicia malu meminta bantuan pada Abian, dia malu karena telah beberapa kali menyakiti lelaki itu. Mengkhianati dan juga mempermainkan lelaki itu. Entah kemana urat malunya dia tanggalkan, dia hanya tidak bisa melakukannya sendiri. Dia masih berharap Abian mau menolongnya, setidaknya meski lelaki itu kemungkinan besar akan menghardiknya, tidak mengapa, Abian tidak akan tega membiarkannya, apalagi saat ini Felicia dalam keadaan terpuruk, ada beberapa luka memar di tangannya. "Memangnya apa yang dilakukan Nathan?" tanya lelaki itu.Felicia menunduk, dia mencoba menutupi lengannya yang terbuka, ada bekas cakaran di sana, entah bagaimana Nathan melakukannya."Ini semua karena Ferdian, dia yang membuat mood Nathan jadi buruk," jawab Felicia. Lelaki itu tersenyum sinis menatap felicia, kakinya disilangkan dan kedua tangannya bersendekap. Sungguh, lelaki itu tampak puas melihat penderitaan Felicia.Meski Felicia sudah memprediksi apa yang akan dilakukan