"Rese lo, Myth." Uci memukul Mytha dengan guling."Aww, apa'an se? Tiba-tiba dateng maen nimpuk aja.""Ey, gue gk nyelonong yah. Nyokap lo ndiri yang nyuruh gue masuk aja ke kamar lo," bela Uci."Lagian loh yah, ngasih nomor gue ke Rio," kesal Uci. "Gue kan jadi malu," lanjutnya lirih."Malu apa mau neh?" kekeh Mytha.Uci memukul bahu maupun punggung Mytha lagi karena merasa diledek. "Ampun, ampun," ucap Mytha."Udah, Ci. Ampun." Mytha langsung memeluk Uci agar tangan Uci tak memukulinya lagi, walaupun tak sakit karena cuman memakai guling."Sini gue kasih tau, gue gak ngasih nomor lo kalau dia gak minta," lirih Mytha masih memeluk Uci."Masa? Pak Rio yang minta sendiri kah?" tanya Uci tak percaya dan dijawab oleh anggukan Mytha.Flash back on"Uciiii," seru Bu Darmi memanggil putrinya."Bentar doang, Bu. Mo ketemu temen, penting," jawab Uci sambil memutar kunci kontak maticnya."Eh, dasar. Kerjaan b
Pagi itu, tak biasanya Uci bangun lebih awal, sangat awal hingga jago sang penguasa fajar pun dikalahkannya. Walau semalam juga Uci tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan esok akan bekerja di tempat yang baru dan tentunya yang paling membuat pikirannya tak berhenti berfikir adalah Rio. Ya, Rio sang pujaan hati, rela mencarikan dia pekerjaan serta hendak mengantarnya pula. Itu sebabnya Uci pagi buta sudah mengacak-acak lemari bajunya, memilih pakaian mana yang akan ia kenakkan hari ini. Yang membuat Uci bingung bukan tentang pakaian formal untuk bekerja, dirinya tentu sudah terbiasa. Namun. Kali ini karena sang pujaan hati hingga dirinya ingin terlihat perfect di hadapannya. "Duh, mo nglamar kerja kaya mo ngedate aja ne bingnungnya gue," ucap Uci memilah baju dari lemarinya. Baju berserakan di tempat tidur uci, sudah hampir setengah jam dirinya memilih beberapa pakaian tuk dicobanya, ingin tampil beda bertemu sang pujaan hati walau hanya mengantarnya
Akhirnya Rio maupun Uci sampai juga ketempat tujuan, gudang plastik milik pamannya. Gedung itu tak terlalu tinggi, hanya berlantai dua namun areanya cukup luas. Manik mata Uci menelusuri bagian dalam gedung, pandangannya luas sembari menghitung beberapa petak ruangan dalam gedung di lantai dasar itu. Hanya tampak lima ruangan, tiga diantaranya sebagai tempat transit beberapa barang sebelum didistribusikan ke toko."Mas Doni," ucap Rio sembari menepuk punggung pamannya yang sedang menghitung beberapa barang yang tengah masuk, barang itu dicek disalah satu ruangan di lantai dasar. Rio seakan sudah hafal betul aktifitas pamannya itu, sebab Rio pun pernah ikut membantu pamannya saat awal ia merantau."Eh, kamu Ri.""Ne, anak yang Rio ceritakan tempo kemarin Mas Doni.""Nama saya Uci, Oom," sapa Uci tersenyum manis sembari mengulurkan tangannya.Doni meraih uluran tangan Uci, menatap Uci tiada henti seakan terkesima oleh penampilannya. Jabatan tangan Uc
"Dari mana aja lo? Mau dipecat hah!" ucap Devan tatkala Rio memasuki ruangan presdir. "Sorry, Boss. Kan tadi dah ijin bentar. Nemenin Uci, mantan karyawan sini. Kasihan dia belum dapet kerjaan." "Hmm...."ucap Devan denga lirih. Devan pun menundukan kepalanya sebagai kode pada Rio bahwa dirinya memahami dan tak mempermasalahkan, toh Rio juga sudah ijin akan masuk agak terlambat. Kini Rio pun mulai dengan pekerjaannya, membantu Devan dalam perusahaan Suryadiningrat. Seharian Rio tidak konsentrasi akan kerjaannya, memikirkan Uci karena sikap pamannya yang menurut Rio ada hati kepada Uci. Dirinya tak ingin Uci dipermainkan pamannya itu, yang notabennya dahulu seorang casanova. "Duh, kenapa aku tak memikirkan sejauh itu?" pikir Rio dalam hati, bersikap gegabah dalam mencari pekerjaan buat Uci. Disamping rasa bersalahnya, karena pemecatan sebagian karyawan di perusahaan Suryadiningrat adalah gagasan darinya. Tak lama, ta
Tak biasanya Uci pagi ini sudah bangun, tengah memilih baju tuk berangkat kerja sambil bersenandung. Dirinya kegirangan karena Rio akan menjemputnya. "Pake baju apa yah?" ucap Uci sambil sibuk memilih baju, dirinya ingin terlihat menarik di mata Rio. Sedang diluar kamar Bu Darmi berteriak memanggil Uci. Namun, Uci tak menghiraukan dan masih tetap sibuk memilih baju. "Ci, bangun! Dasar keb...." Bu Darmi tak melanjutkan kalimatnya dan kaget melihat Uci tengah berdandan rapi. "Tumben, anak ibu dah cantik. Biasanya masih molor," sindir Bu Darmi sambil mendekat pada Uci. "Nah gitu, anak perawan kudu bangun gasik," lanjut Bu Darmi. "Dah cakep belum, Bu?" Bu Darmi hanya tersenyum dan memamerkan jempolnya sebagai jawaban dari pertanyaan Uci. "Ayo, sarapan! Ibu tunggu di ruang makan," ucap Bu Darmi sambil berlalu dari kamar Uci. Tak lama bel berbunyi, Uci yang mendengar bel rumahnya berbunyi pun mulai mempercepat bersiap diri. Mengerti bahwa ya
Seperti biasa setiap pagi ada oederan barang dari ke tiga toko melalui sambungan telepon. Uci mencatat semua pesanan dari toko-toko tersebut di buku tulis sebelum disalinnya ke dalam buku nota, setelahnya dibantu oleh Mas Asep menyiapkan barang pesananan itu sebelum Pak Pono datang.Pak Pono selaku supir mobil pick-up pengangkut barang pun datang, mengangkut pesanan ke tiga toko tersebut. Terkadang jikalau pesanan membludak, Pak Pono akan dua kali kembali gudang untuk mengambilnya.Uci mencentang barang satu persatu yang telah pindah ke badan pick-up, setelah selesai tak lupa Uci memberikan lembar nota pesanan barang toko tersebut pada Pak Pono.Tin... Tinn...Sebuah sedan berwarna merah pun berhenti dan terparkir disamping mobil pick-up pengangkut barang yang akan dibawa Pak Pono."Pagi Pak," ucap Pak Pono setelah berpapasan dengan Pak Doni, dibalas dengan anggukan dan sekilas senyum. Pak Doni tetap melangkah masuk menuju gudang."Pagi, Ci?"
"Gue ingin senja ini tak berakhir, walaupun itu tidak mungkin. Ah... paling tidak gue sudah menikmati moment bersama seseorang yang ku puja dalam hatiku, meski hanya sekejap," ucap Uci dalam hati, masih bersender di pundak Rio menikmati jingganya senja di pantai.Kini senja seakan tersapu oleh malam, bintang dan bulan menggantikan keindahan langit. Dua insan itu pun beranjak pulang, bergandengan tangan menapaki pasir putihnya pantai.Sesampainya di depan rumah Uci,"Terima kasih, Mas. Hari ini begitu spesial buatku." Tangan Uci menggenggam tangan Rio dan satu kecupan dilayangakan bibir Uci menuju bibir Rio. Rona wajah Uci mulai memerah karena malu akan kelakuannya, langsung membuka pintu mobil dan berpamitan tanpa melihat wajah Rio karena saking groginya.Rio hanya terpaku akan sekilas kecupan Uci padanya. Antara senang dan bingung karena baru kali pertamanya Rio bersentuhan bibir dengan seorang gadis. Rio masih memandangi punggung gadis yang menjadi cium
Siang ini wajah Uci tampak murung, baru saja menerima pesan dari Rio. Bahwa Rio hari ini tidak bisa menjemputnya, menyarankan Uci sementara pulang menggunakan ojek online. Walaupun tadi pagi saat mengantar Uci, Rio pun sudah mengatakan akan hal itu.Namun, Uci tak bertanya lebih jauh. Dirinya seakan tak enak hati dan sempat berfikiran Rio serasa menghindar darinya sejak kecupannya malam itu. Sempat mengutuk dirinya mengapa melakukan hal tersebut.Bunyi panggilan telepon gudang membuyarkan lamunan Uci. Mendapat kabar bahwa pesanan salah satu toko ada kekeliruan, Uci meminta maaf akan hal itu, walau sempat mendapat amarah dari salah satu karyawan toko dikarenakan barang tersebut adalah pesanan salah satu langganan."Ada apa, Ci?" tanya puji, sekilas mendengar percakapan Uci dibentak oleh salah satu karyawan toko."Itu tadi gue keliru mengirim barang, besok paling dikembalikan,""Hari ini lo
Sepasang paruh baya tengah bercengkrama di ruang keluarga, sesekali Pak Yuda membolak-balik korannya, entah berita apa lagi yang ingin dibacanya. Terdapat beberapa potongan kue lapis, berwarna hijau berseling putih yang bersanding dengan beberapa buah onde-onde kacang hijau beralaskan piring di atas meja sebagai peneman kopi tubruk kegemaran Pak Yuda. Ia seakan sudah candu dengan kopi tubruk buatan istrinya. "Wa'alailumsalam," jawab Bu Tari dan Pak Yuda hampir bebarengan menjawab salam dari anak gadisnya. "Pulang malam lagi, Myth?" tanya Pak Yuda pada putrinya. "Iya, Yah. Tadi mampir ke rumah Uci," jawab Mytha sambil mencium tangan Pak Yuda, bersalaman. "Uci sudah membaik keadaannya, Myth?" tanya Bu Tari baru sempat menengok Uci kemarin. Seakan tak enak, tak ikut serta dalam persidangan Uci karena kondisi Pak Yuda yang belum pulih. Namun, turut prihatin atas kejadian yang menimpa teman anaknya. "Alhamduliah, sudah baikan, Bu," jawab Mytha singkat, kini ganti punggung tangan Bu T
"Jadwal sekarang gue apa?" tanya Devan sinis pada Rio, sekertaris pribadinya. Rio yang profesional menjawab dengan tenang pertanyaan bosnya, sebelum masuk ke ruang presdir dan jam kantor belum dimulai, ia memang terlebih dahulu menanyakan Rosi tentang kegiatan kemarin, saat dirinya izin pulang lebih awal dari jam kerja kantor seharusnya. Devan pun kagum akan dedikasi Rio, atas jawaban yang disampaikannya. Namun, dirinya masih kesal akan kejadian kemarin, dan ditambah kejadian pagi ini di tempat parkir. Mobil Avanza biru Rio melintas tepat di sebelah mobil pajero Devan saat lampu merah telah berganti warna di perempatan, ketika mereka hendak pergi ke kantor. Devan yang mengetahui betul mobil Rio terkejut saat melihat Mytha satu mobil bersama Rio, apa lagi dilihatanya mereka sedang bercengkrama sambil tertawa, membuat dirinya semakin naik pitam karena cemburu. Cukup lama Devan memandangi mobil Avanza biru itu hingga mobil Rio melaju jauh, suara klakson kendaraan di belakang membuyar
Sesampainya di depan rumah Mytha, Pak Yuda tengah berada di teras. Menunggu anak gadisnya, karena sudah larut malam belum pulan tanpa kabar. Dan dengan amarah Pak Yuda bangkit dari duduknya. Namun, saat melihat yang mengantar putrinya adalah Rio, anak dari sahabatnya, emosinya pun berbalik 180 derajat. Gembira dan langsung menyambut Rio. "Loh, Nak Rio. Terima kasih sudah mengantar Mytha," Ucap Pak Yuda setelah Rio berada persis di hadapannya. Rio pun tersenyum dan mengulurkan tangannya, akan bersalaman. Seusai bersalaman, Rio langsung pamit pada Pak Yuda. Namun, Pak Yuda ingin menahan dengan berkata, "Loh ko buru-buru. Ayo masuk dulu." "Sudah larut malam, Pak. Besok saya ke sini lagi menjemput Mytha." Rio mengayunkan tangan, bersalaman pamit. Pak Yuda tersenyum dan menepuk bahu Rio saat bersalam dengannya. "Iya, Pak. Motor Mytha mogok jadi Rio mengantar Mytha." Mytha sedikit menerangkan alasan Rio besok akan menjemputnya. "O, begitu." Pak Yuda mengangguk-anggukkan kepalanya, tand
Malam pun hampir larut, Mytha dan Rio pun pamit pulang."Maaf, Bu. Sudah malam, kami pulang dulu, besok ke sini lagi," ucap Mytha sesudah membantu Bu Darmi membereskan dan mencuci piring."Terima kasih, Nak Mytha. Terima kasih sudah membantu urus masalah ini." Tangan Bu Darmi mengelus bahu Mytha."Gak usah bilang begitu, Bu. Uci sudah saya anggap saudara, Ibu pun aku anggap Ibuku sendiri."Aku pamit menemui Uci dulu." Mytha memberi berkata pada Rio yang hendak bersalaman dengan Bu Darmi. Rio pun mengangguk dan Mytha mulai melaju menuju kamar Uci.Uci memang sudah membaik keadaannya, akan tetapi ia sedang ingin sendiri. Mereka pun memakluminya dan tidak memaksa Uci untuk bergabung makan malam bersama.Tok... tok... tok...."Gue masuk ya, Ci." Mytha mulai membuka pintu setelah mengetuk pintu 3kali, walau tak mendapat jawaban Uci dari dalam kamar.Mytha mulai mendekat ke ranjang Uci dan berkata, "Loh, ko belum dimakan?" "Apa mau gue suapin? Hahaha...," ledek Mytha memecah kesunyian. Nam
Di tempat lain, yakni di kantor tempat Uci bekerja, Doni dijemput oleh dua petugas kepolisian karena laporan Rio, berkaitan kasus permerk*saan terhadap Uci kemarin. Doni bersikap kooperatif, dan sore itu juga langsung digelandang petugas kepolisian untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Seperti hal nya Uci, Doni pun mendapat pemeriksaan medis. Dipenghujung senja itu, darah dan urine Doni diambil untuk sampel DNA guna mensinkronkan bukti atas kasus tersebut. Tak lupa juga tubuh Doni difoto oleh petugas, dan memang terdapat beberapa cakaran di punggung Doni. Doni menyadari akan hal itu, wajahnya sontak terkejut dan murung seakan tidak bisa mengelak, ia tengah merasa semua bukti menjurus padanya, dirinya harus bertanggung jawab akan apa yang telah diperbuatnya. Setelah pemeriksaan selesai, Doni meminta izin menghubungi pengacaranya, guna membantu dalam kasusnya. Petugas kepolisian pun mengijinkan, dengan didampingi petugas, Doni mulai menelepon salah satu pengacaranya dengan mengg
Terlihat jendela kamar Uci dari semalam belum dibuka, Mytha mulai membuka tirai berwarna merah muda yang menyelimuti jendela kamar Uci. Sirkulasi udara pun mulai berganti, hawa sejuk mulai memasuki ruangan kamar. Sinar mentari dengan lancangnya langsung menerangi sebagian ruangan. Mytha mulai berbalik badan dan menghampiri Uci, mulai merapikan tatanan rambut sahabatnya yang terlihat acak-acakan, bisa dipastikan dari semalam. Sementara di luar ruangan, Rio dan Bu Darmi sedang berbincang langkah apa yang akan ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan yang tengah ditimpa Uci. "Maaf, Bu. Uci dari semalam belum diapa-apain kan? Maksudnya belum mandi atau bersih-bersih badan?" tanya Rio sedikit menyelidik akan keadaan Uci. "Belum, Nak Rio. Ibu tidak berani dan kasihan melihat sikap labil yang sedang Uci," jawab Bu Darmi. "Ibu hanya menemaninya dan menenangkannya hingga Uci tertidur. Jendela kamar pun sengaja tidak Ibu buka, takut Uci histeris." Ceri
Di parkiran, Mytha langsung melaju berbelok arah menuju tempat kendaraan beroda dua berjejer. "Myth, tunggu," panggil Rio tatkala Mytha mulai melangkah mendekati motor maticnya. Perempuan berhidung mancung dan bermata coklat itu pun berbalik badan, memutar tubuh menghadap si penyapa. "Bareng aku aja," ajak Rio, menatap intens wajah Mytha. "Aku pakai motorku saja, Mas. Biar ngga repot dan lebih leluasa." "Baiklah kalau begitu." Rio menutup pembicaraan dan dijawab oleh anggukan singkat Mytha. Meskipun memakai kendaraan mereka sendiri-sendiri, tujuan mereka satu yakni ke rumah Uci. Setibanya di rumah Uci, Mytha mengetuk pintu kemudian berlanjut berucap salam, "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," jawab Bu Darmi dari dalam rumah dan segera membukakan pintu. Sedetik setelah membukakan pintu, Bu Darmi memeluk Mytha, menangis tersedu meluapkan isi hatinya. Mytha mengerti akan kegundahan Bu Darmi, walau belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut beliau, hanya isak tangis yang
Semalaman Rio tak dapat memejamkan matanya, pikirannya melayang akan keadaan Uci, khawatir terhadap dirinya. Serta memikirkan apa yang akan diperbuatanya, agar Doni mendapat ganjaran yang setimpal. Berkas sinar sang mentari menyelinap, memaksa menembus jendela kaca yang berbalut tirai tipis. Rio dengan malasnya membuka tirai tersebut, membiarkan sinar mentari menguasai kamarnya. Dirinya bergegas mandi, dan bersiap ke kantor, walau telah bersiap masih nampak kantung mata yang menyerupai mata panda, karna semalaman matanya tak dapat dipejamkan. Saat sarapan bersama, tak banyak yang mereka bertiga bicarakan. Saling sibuk dengan hidangan atau mungkin dengan pikiran masing-masing. Ya, Pak Teguh sudah mengetahui cerita tentang Uci dari istrinya tadi pagi. Namun, dirinya masih menghargai Rio dan ingin mengetahui sejauh mana anaknya melangkah terlebih dahulu. Rio terlihat buru-buru menghabiskan sarapannya, setelah meneguk segelas susu kemudian berpamitan pada
Rio pun pamit pada Bu Darmi. Setelah masuk dalam mobil raut muka Rio seakan penuh kebencian terhadap pamannya, karena kejadian yang menimpa pada Uci. Tanpa berfikir panjang, Rio menstarter mobilnya dan melaju menuju rumah pamannya untuk menuntaskan kemarahannya malam itu juga. Mobilnya melesat kencang tanpa menghiraukan gulitanya malam, karna bulan dan bintang tertutup kabut. Lolongan hewan malam pun tak mengurungkan niat Rio untuk memberi perhitungan pada pamannya. Setibanya di rumah Doni, dirinya hendak mendobrag pintu utama dengan kepalan tangannya, berkali-kali meninju papan jati tersebut dengan keras sambil berteriak memanggil pamannya. Security yang awalnya bersikap manis terhadap Rio terkaget, pasalnya dirinya mengira Rio datang seperti biasa mengunjungi tuannya. "Buka pintunya!" seru Rio sambil menggedor pintu. "Paman! Di mana kau?!" lanjut ucap Rio hampir mendobrag pintu rumah Doni dengan kepalan tangannya. Priittt....