Share

Bab 3

Penulis: V I L
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kulangkahkan kakiku melalui lorong yang menghubungkan banyak kelas. Kulihat dekorasi warna-warni yang menghiasi semua kelas dengan tema yang berbeda-beda. Murid-murid mengenakan pakaian bebas, berlalu-lalang mengunjungi stand bazaar kelas lain.

Kudengar seseorang memanggil namaku dengan suara nyaring. Kulihat sebuah tangan melambai-lambai di depan sana. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena dia tenggelam di antara siswa-siswi yang lebih tinggi daripada dia. Namun, aku tahu siapa yang memanggilku dari suaranya.

Kuhampiri dia dan menyapanya. "Vania~ Selamat pagi~"

"Selamat pagi, Freya!" sahutnya sambil tersenyum lebar.

"Tumben kamu datang lebih cepat dariku," ujarku sambil melihat jam pada layar telepon pintarku yang menunjukkan pukul 07.11.

"Tentu saja aku harus datang cepat! Aku 'kan harus mendandani kamu untuk lomba fashion show mu!" balasnya sambil menyibakkan rambutnya yang bertengger pada bahunya ke belakang.

Tanpa aba-aba, dia menarik tanganku dan menyeretku masuk ke dalam kelas kami. Teman-teman yang lain menyapaku dan memuji gaun merah yang kukenakan.

"Pagi, Freya~ Gaunmu bagus. Beli dimana?"

"Gaun dan orangnya sama-sama cantik banget. Kali ini kelas kita pasti akan memenangkan lomba fashion show!"

Di antara banyaknya pujian yang kuterima, ada satu orang yang merendahkanku. "Kalian berlebihan deh. Menurutku gaunnya biasa saja dan mukanya juga pas-pasan."

Aku menghentikan langkah kakiku secara spontan. Aku menoleh ke arah orang yang merendahkanku. Seorang siswi duduk di atas meja sambil menyilangkan kakinya. Dia adalah Celestine. Dia duduk bersama empat siswi lain yang merupakan anggota gengnya.

"Abaikan saja dia, palingan dia iri sama kamu!" ujar Vania sambil menarik tanganku lagi.

Aku duduk di kursi yang berada di pojok belakang. Vania bersama beberapa siswi lain mendandani wajahku dan menata rambutku. Selagi mereka membantuku mempersiapkan diri untuk lomba fashion show, kulihat Jonathan baru saja memasuki ruangan ini.

Dia melirik ke arahku dan langsung menghampiriku. "Freya, kamu cantik sekali!"

"Hush, pergi sana. Bikin sempit tempat saja," usir Vania yang sedang mengepang rambutku.

Aku tertawa kecil melihat mereka adu mulut. Padahal masih pagi dan kelas sedang sibuk mempersiapkan bazaar ataupun peserta lomba, mereka masih saja bertengkar tanpa mengenal tempat dan waktu.

"Ngomong-ngomong, kamu akan memakai sneaker putih itu untuk fashion show nanti?" tanya Jonathan kepadaku.

"Tidak, nanti aku akan menggantinya sebelum nomorku dipanggil," jawabku santai.

"Hee? Kenapa tidak pakai sekarang saja?" tanya Vania heran.

Aku tertawa gugup dan menjawab. "Aku tidak nyaman kalau memakainya sekarang."

Aku sudah menduga mereka akan menanyakan perihal alas kakiku. Meskipun aku sudah mempersiapkan jawaban untuk menangkal pertanyaan mereka, aku masih saja gugup, takut kalau mereka malah semakin curiga.

Terjadi keheningan yang mencanggungkan. Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun lagi. Aku ingin memecahkan keheningan di antara kami, tetapi aku tidak tahu harus mengatakan apa. Suaraku tertahan di tenggorokanku dan tidak mau keluar.

"Oh, ya, ada yang bisa kubantu tidak?" tanya Jonathan emmecahkan keheningan.

"Tidak ada. Memangnya laki-laki tahu berdandan atau menata rambut?" balas Vania dengan sinis sehingga membuatku tertawa kecil.

Jonathan mengangkat tangan kanannya dan menjitak Vania yang berdiri di belakangku. "Dasar, aku sakit hati tahu dengarnya!"

Suasana tidak lagi canggung dan kembali ceria seperti sebelumnya berkat duo extrovert ini. Tidak terasa beberapa menit sudah berlalu, Vania dan siswi lainnya selesai mendadaniku. Aku memegangi cermin kecil di tanganku dan memandang wajahku yang bagaikan orang lain.

"Siapa kamu? Kamu bukan Freya, kan?!" tanya Vania sambil menunjukku dengan jari telunjuknya.

Aku tertawa lepas dan menjawabnya. "Apa maksudmu? Aku Freya Renata yang kamu kenal sejak kelas 7."

Jonathan ikut tertawa dan menimpali perkataanku dan Vania. "Kamu terlalu cantik sampai-sampai Vania mengenalimu lagi."

Aku berusaha menenangkan diriku agar berhenti tertawa. Tidak hanya Vania yang sampai tidak mengenaliku setelah didandani, sekarang aku pun tidak kenal dengan wajahku sendiri. 'Inikah yang disebut-sebut sebagai kekuatan make up?'

Kukeluarkan telepon pintarku dan mengecek jam. Jam menunjukkan pukul 07.41, itu artinya tersisa 19 menit sebelum perlombaan dimulai. Sepertinya aku harus ke tempat lomba sekarang.

"Eh, kamu mau kemana?" tanya Vania saat melihatku tiba-tiba bangkit dari kursi.

"Ke auditorium," jawabku sambil menenteng tas selempangku.

"Hee? Cepatnya! Mending kita jajan dulu!" protes Vania.

Tanpa aba-aba, Jonathan mencubit pinggang Vania sehingga gadis itu memekik kesakitan atau geli. "Dia mana bisa makan sekarang. Nanti lipstiknya luntur!"

"Apa yang dibilang Jonathan ada betulnya. Aku akan jajan nanti setelah tampil," timpalku.

Vania mengerucutkan bibirnya karena tidak jadi jajan sekarang. Dia menyerah dan akhirnya memutuskan untuk mengikutiku ke auditorium. Jonathan dan teman sekelas lainnya ikut ke auditorium untuk menyemangatiku. Daripada menyemangatiku, sebenarnya mereka malah membuatku tambah gugup.

.

.

.

Aku menunggu di balik panggung bersama dengan peserta lain yang masih belum tampil. Rasanya gugup sekali saat melihat peserta yang lain dipanggil untuk tampil. Nomorku sudah semakin dekat. Sebentar lagi aku akan tampil.

Aku membuka resleting tas selempangku. Kudapati sepasang sandal berwarna merah yang berhiaskan manik-manik dengan warna senada. Aku menggigit bibir bawahku. Sebenarnya aku tidak ingin mengenakan sandal ini, tetapi mama menyuruhku untuk memakainya karena katanya sepatu tidak akan cocok dengan gaun ini.

"Semoga mereka tidak menyadarinya ...," gumamku sambil menghembuskan napas frustrasi.

Kudengar nomor urut dan namaku dipanggil untuk tampil. Cepat-cepat kulepaskan sepatuku dan mengenakan sandal merah ini. Kumasukkan sepasang sepatu yang tadi kupakai ke dalam tas selempangku.

"Nomor 22, Freya Renata." Sekali lagi namaku dipanggil. Aku pun bergegas melangkah untuk menampakkan diriku.

Begitu aku keluar dari balik tirai, aku disambut oleh ratusan orang yang menyaksikan pertunjukan lomba ini beserta juri yang menilai. Kulangkahkan kakiku dengan penuh percaya diri dan elegan. Kuhentikan langkahku tepat di depan juri dan memamerkan pakaianku.

Tiba-tiba seseorang berteriak, "Hei, lihat! Jari kakinya ada 11!"

Seketika itu aku membeku. Aku tidak dapat bergerak dan hanya bisa melihat orang-orang yang berdiri di bawah panggung berusaha mendekat agar dapat melihat jari kakiku dengan lebih jelas. Suara kehebohan mereka menggema di dalam liang telingaku.

Aku menyipitkan mataku saat cahaya yang menyilaukan menerpaku. Para juri mengeluarkan kameranya dan memotretku, lebih tepatnya jari kakiku yang jumlahnya berbeda dari mereka. Suara bisikan mengikuti bunyi jepretan kamera.

"Kok bisa jari kakinya ada 11?"

"Ngeri ah, kayak monster."

Masih banyak lagi kata-kata menyakitkan yang kudengar. Aku mengangkat kedua tanganku yang bergetar untuk menutupi telingaku supaya tidak bisa mendengar perkataan mereka lagi. Namun, usahaku sia-sia karena aku masih bisa mendengar kata-kata menyakitkan mereka dengan sangat jelas.

Kaki kiriku melangkah mundur secara spontan. Jantungku berdebar-debar dengan kencang dan napasku mulai tak beraturan. 'Tidak ... kenapa jadi begini?'

Bab terkait

  • Life Hates Me   Bab 4

    Semua orang berebutan ingin melihat jari kakiku yang 'unik'. Sesudah melihatnya, mereka langsung menatapku dengan jijik atau takut lalu saling berbisik kepada satu dengan yang lainnya.Aku berusaha menggerakkan tubuhku yang mematung saking syoknya. Aku ingin kabur dari sini. Masa bodoh dengan lomba fashion show, lebih baik aku segera menghilang dari hadapan mereka. Kubalikkan badanku dan melangkah menuju balik panggung dengan cepat.Akan tetapi, aku tersandung di permukaan yang datar ini karena sangat panik. Aku ambruk di atas panggung yang dilapisi oleh karpet berwarna biru tua. Suara bisikan orang-orang yang menontonku semakin terdengar jelas di telingaku."Ternyata si Freya cacat, ya.""Ini pertama kalinya aku melihat orang berjari 11."Aku mengepalkan tanganku dengan erat. Aku ingin keluar dari sini secepatnya. Namun, kedua kaki dan tanganku mengkhianatiku. Mereka sama sekali tidak dapat kugerakkan. Rasanya ada lem yang membuat lengan dan lutut

  • Life Hates Me   Bab 5

    Rambutku semakin ditarik oleh Celestine. Rasanya rambutku akan tercabut sampai ke akar-akarnya. Aku tak kalah menarik rambut Celestine hingga membuatnya menjerit kesakitan. "Dasar cewek gila!" umpatnya kepadaku. "Guys, jangan nonton saja! Tolong aku melepaskan cewek gila ini!" Dia berteriak meminta tolong kepada anggota gengnya. Empat siswi yang tadi hanya menonton dan merekam aksi jambak-jambakkan kami mulai membantu Celestine. Mereka memisahkan aku dari pemimpin geng mereka. Aku didorong hingga terjungkal ke belakang. Punggungku menabrak kaki meja yang keras di belakangku. Aku merintih dan memegangi punggungku yang sakit. Kulihat di lantai ada bayangan besar bergerak mendekatiku. Aku mengangkat wajahku dan mendapati Celestine beserta kawan-kawannya berdiri di depanku bagaikan tembok yang sulit ditembus. Celestine berjongkok di depanku dan menyisir rambutnya yang berantakan ke belakang dengan jarinya. Celestine mengangkat tangan kanannya dan

  • Life Hates Me   Bab 6

    Vania dan Jonathan masih tidak meresponsku. Mereka hanya menatapku dengan tatapan yang tidak mengenakan. Tak lama kemudian, Vania membalikkan badannya dan melangkah keluar dari ruangan ini. Melihatnya yang akan pergi meninggalkanku tanpa menolongku membuatku secara tanpa sadar berlari menghampirinya. Kedua kakiku bergerak dengan sendirinya menuju kemana Vania melangkah. Orang-orang yang menghalangi jalan langsung membukakan jalan untukku. "Tunggu, Vania ...!" panggilku dengan putus asa. Begitu aku berhasil mengejarnya, aku meraih tangan kirinya dan menggenggamnya dengan erat. Namun, dia menyibakkan tangannya dengan kasar sehingga genggamanku terlepas darinya. Harapan yang bersinar di depanku langsung lenyap saat dia melepaskan tanganku. Aku berdiri mematung di sampingnya. Tanganku yang disibakkan olehnya membeku di udara. Saat aku melihat tatapan matanya yang menatapku, jantungku terasa seperti berhenti berdetak selama sesaat. "Vania ... aku m

  • Life Hates Me   Bab 7

    Aku duduk di bangku halte dan berpura-pura tidak mendengar suara bisikan dari orang-orang yang berjalan di trotoar. Mereka pikir aku tidak mendengar apa yang mereka bisikkan, padahal sebenarnya aku bisa mendengar suara mereka dengan jelas.Aku memandang dua siswi yang asik saling berbisik satu sama lain, mengomongi jari kakiku. Setelah mereka jauh sehingga aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi, aku menurunkan pandanganku ke kedua kakiku.Aku mengepalkan tanganku dan menggigit bibir bawahku. 'Memangnya kenapa kalau aku punya 11 jari kaki? Apa itu sangat aneh sampai-sampai semua orang sibuk membahas jari kakiku?'Terdengar bunyi klakson sehingga aku tersadar dari lamunanku. Kuangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber bunyi. Kudapati sebuah motor berhenti tepat di depanku. Aku langsung tahu siapa orang yang mengendarai motor itu; papa.Aku pun bangkit dari bangku yang kududuki lalu menghampiri papa. Dia memberikan aku sebuah helm berwarna putih dengan c

  • Life Hates Me   Bab 8

    Sinar matahari pagi menyeruak masuk menembus gorden pink. Sontak aku mengernyitkan mataku secara spontan. Silau sekali. Rasa kantukku langsung menghilang berkat sambutan yang menyilaukan dari Sang Surya.Aku merenggangkan badanku yang kaku dan lesu setelah bangun dari tidur. Terdengar bunyi 'kretek' dari tulang punggungku saat aku melakukan perenggangan badan. Rasa nyaman langsung menyebar ke sekujur tubuhku, punggungku tidak pegal lagi.Kuambil telepon pintarku yang tergeletak di atas nakas dan menyalakannya. Aku mengecek jam yang tampil pada layar benda pipih itu, jam menunjukkan pukul 06.09. Masih ada 1 jam 21 menit sebelum gerbang sekolah ditutup.Kumatikan teleponku dan bergumam, "Aku tidak mau ke sekolah ...."Aku meletakkan telepon pintarku di tempatnya semula; di atas nakas. Kutarik selimutku dan memejamkan kedua mataku, mencoba tidur lagi walaupun kedua mataku sudah sangat segar sekarang."Aku tidak mau ke sekolah ... aku takut dibuli oleh

  • Life Hates Me   Bab 9

    Aku berpamitan dengan papa sebelum turun dari mobil. Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Pada akhirnya aku datang ke tempat yang tak kuinginkan untuk didatangi.Kakak laki-lakiku berjalan mendahuluiku dengan langkah cepat. Sosoknya semakin menjauh hingga menghilang di balik gedung SMA yang berhadapan dengan gedung SMP. Padahal biasanya kami berjalan berdampingan, tetapi kali ini dia meninggalkanku sehingga aku berjalan seorang diri.Saat aku menginjakkan kakiku di gedung SMP, kudapati siswa-siswi yang berlalu-lalang saling berbisik sambil melirikku dengan sinis. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bisikkan karena suaranya kecil. Namun, kurang lebih aku tahu apa yang mereka omongkan; pasti tentang jari kakiku.Aku melangkah menuju tangga sambil menurunkan pandanganku. Aku tidak sanggup melihat tatapan sinis dari orang lain. Tatapan mereka yang menatapku dengan merendahkan dan jijik membuat kepercayaan diriku menyusut hingga tak

  • Life Hates Me   Bab 10

    Bel masukan berbunyi. Semua murid yang berada di luar berbondong-bondong memasuki kelasnya. Kulihat Vania dan Jonathan memasuki ruangan ini bersama-sama dan duduk di kursinya masing-masing.Sebelum Vania duduk di kursinya, dia berdiri di tempat kosong yang berada di sisi kanan mejanya, yang tak lain adalah tempatku duduk sebelumnya. Dia terlihat bengong karena teman sebangkunya menghilang berserta dengan meja kursinya.Saat dia mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan, mata kami saling bertemu. Tampak jelas keterkejutan di dalam mata hitamnya. Sedetik kemudian, pandangan terkejut itu berubah menjadi pandangan kecewa.Kurasakan hatiku seperti ditusuk jarum saat melihat tatapannya yang seperti dikhianati oleh orang terpercayanya. Aku pun bangkit dari kursiku dan hendak menghampirinya untuk menjelaskan kenapa aku pindah ke sini, tetapi rencanaku hanya menjadi wacana."Berdiri," ucap seseorang sehingga semua siswa dan siswi yang tadinya duduk langsung ba

  • Life Hates Me   Bab 11

    Bel istirahat berbunyi. Semua murid bersorak gembira karena pelajaran telah berakhir dan bisa istirahat selama setengah jam. Para siswa-siswi yang kelaparan beranjak dari kelas dan pergi ke kantin untuk makan, tak terkecuali diriku. Kali ini aku pergi ke kantin sendirian, padahal biasanya aku akan pergi bersama Vania dan Jonathan. Selama aku berjalan, aku mendapatkan tatapan sinis dan bisikan dari orang-orang di sekitar. Tak hanya murid SMP saja yang mengomongiku, murid SMA pun ikut mengomongiku. "Itu 'kan yang jari kakinya 11?" "Iya, kalau tidak salah itu adiknya Alexander." Aku merasa bersalah karena kakak jadi ikut diomongi. Kupercepat langkah kakiku agar cepat sampai di kantin. Begitu aku memasuki gedung kantin, puluhan pasang mata tertuju kepadaku, diikuti dengan bisikan yang tak mengenakan. Aku berusaha mengabaikan mereka dan memesan makananku. Setelah mendapatkan makanan dan minumanku, aku berjalan mencari meja kosong. Saat tengah menge

Bab terbaru

  • Life Hates Me   Bab 119

    'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM

  • Life Hates Me   Bab 118

    “Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti

  • Life Hates Me   Bab 117

    "Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer

  • Life Hates Me   Bab 116

    Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di

  • Life Hates Me   Bab 115

    Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba

  • Life Hates Me   Bab 114

    Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.

  • Life Hates Me   Bab 113

    Tiba-tiba pandanganku seperti berputar dengan sangat cepat. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat dan memegangi kepalaku yang terasa seperti mau meledak. Jeritan yang nyaring pun keluar dari mulutku.Jeritanku menggema, menciptakan perulangan suara yang tiada henti. 1 menit, 10 menit, 100 menit, aku tidak tahu sudah berapa lama suaraku menggema seperti itu, masih tak kunjung berhenti juga gemanya.Aku membuka kedua mataku yang tertutup secara perlahan-lahan. Begitu aku membuka mataku, aku menyadari diriku tidak berada di sekolah. Hampa. Hanya warna putih saja yang kulihat."Apa aku jadi buta? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?" tanyaku.Pertanyaan yang kutanyakan itu menggema seperti suara jeritanku tadi. Kedua suara itu bercampur aduk menjadi satu. Terulang tanpa henti, volume dari gema itu sedikit pun tidak berkurang walaupun beberapa waktu telah berlalu.Situasi yang sangat aneh ini membuatku takut, terlebih lagi karena aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. 'Kenapa aku bis

  • Life Hates Me   Bab 112

    Entah sudah berapa hari telah berlalu, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan bisa kembali bersekolah seperti biasa lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah yang sudah lama tidak kutinggali.Aku memandang perabotan-perabotan yang mengisi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku. Meskipun begitu, aku merasa sedikit asing dengan rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir.Aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. 'Rasa janggal apa ini? Apa aku melupakan sesuatu yang penting?'"Freya, kenapa kamu bengong saja di sana?" Terdengar suara mama bertanya kepadaku.Mendengar pertanyaan itu, aku langsung tersadar dari lamunanku dan sontak menoleh ke arah sumber suara. Kudapati mama, papa, dan kakak berdiri di belakangku, sambil dengan tatapan khawatir memandang ke arahku."Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit lagi?" tanya papa dengan tampang cemas.Aku menjawab pertanyaan papa dengan sebuah gelengan k

  • Life Hates Me   Bab 111

    Telingaku menangkap suara yang samar-samar. Walaupun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, entah kenapa aku merasa suara itu terdengar sedih. Kubuka kelopak mataku secara perlahan.Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku begitu aku membuka kedua mataku. Sangat-sangat terang sampai hanya warna putih saja yang terlihat olehku. Perlahan-lahan, mataku mulai beradaptasi dan aku mulai bisa melihat dengan lebih jelas.Kudapati ada beberapa figur manusia berdiri di sampingku, ada juga yang duduk di sisiku. Meskipun penglihatanku buram, aku masih bisa mengenali siapa saja yang berada di dekatku saat ini.Pandanganku tertuju pada wanita yang duduk di sisiku. "Mama ...?""Freya!" seru mama dengan suara parau.Mama langsung memelukku dengan erat. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir menuruni pipiku. Itu bukan air mataku, melainkan air matanya mama. Dia menangis dengan histeris sambil mendekapku dengan erat, seolah-olah takut kehilangan aku."Freya, maafkan kami, Nak ...." Papa yang

DMCA.com Protection Status