Share

Bab 5

Penulis: V I L
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Rambutku semakin ditarik oleh Celestine. Rasanya rambutku akan tercabut sampai ke akar-akarnya. Aku tak kalah menarik rambut Celestine hingga membuatnya menjerit kesakitan.

"Dasar cewek gila!" umpatnya kepadaku.

"Guys, jangan nonton saja! Tolong aku melepaskan cewek gila ini!" Dia berteriak meminta tolong kepada anggota gengnya.

Empat siswi yang tadi hanya menonton dan merekam aksi jambak-jambakkan kami mulai membantu Celestine. Mereka memisahkan aku dari pemimpin geng mereka. Aku didorong hingga terjungkal ke belakang. Punggungku menabrak kaki meja yang keras di belakangku.

Aku merintih dan memegangi punggungku yang sakit. Kulihat di lantai ada bayangan besar bergerak mendekatiku. Aku mengangkat wajahku dan mendapati Celestine beserta kawan-kawannya berdiri di depanku bagaikan tembok yang sulit ditembus.

Celestine berjongkok di depanku dan menyisir rambutnya yang berantakan ke belakang dengan jarinya. Celestine mengangkat tangan kanannya dan memegangi pipi kiriku. Telapak tangannya yang halus menggesek kulitku.

"Kamu harus diberi pelajaran supaya sadar diri," ujarnya dengan nada rendah.

Aku mengerutkan alisku dan membuka mulutku untuk membalas perkataannya. Akan tetapi, sebelum suaraku keluar dari mulutku, aku mendapatkan sebuah tamparan pada pipi kiriku. Perih.

Kata-kata yang tadinya ingin kuucapkan langsung menghilang. Aku terdiam seribu bahasa. Aku diam bukan karena rasa sakit yang menusuk-nusuk pipiku, melainkan karena terkejut, tak menyangka Celestine akan menamparku.

"Orang cacat jangan banyak bacot deh," hina Celestine yang diikuti oleh cekikikan teman-temannya.

Aku mengangkat tangan kiriku yang tadinya menapak lantai. Kupegang pipiku yang perih. Ini bukan pertama kalinya aku ditampar oleh orang lain, tetapi tetap saja begitu mengejutkanku sehingga membuatku tidak dapat berkata-kata.

Celestine bangkit berdiri dan mengibas-ngibaskan tangan kanannya seolah-olah baru saja menyentuh sesuatu yang menjijikan. Dia menyilangkan tangannya di dada dan menatapku dengan tatapan merendahkan. Bibirnya yang cemberut perlahan melengkung ke atas, menciptakan sebuah senyuman sinis.

"Kenapa diam saja? Apa kamu sudah sadar dengan posisimu sekarang?" tanyanya sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya.

Secara perlahan, kubuka bibirku yang bergetar. "Jahat ... padahal selama ini kita berteman ...."

Aku menurunkan pandanganku ke jari kaki kiriku yang berjumlah 6. Pandanganku mulai kabur karena mataku digenangi oleh air mata. Aku mengernyitkan mataku sehingga air mataku tumpah dan membasahi rok yang kukenakan.

Tiba-tiba sebuah tawa menghina tertangkap oleh telingaku. Kuangkat kepalaku secara perlahan. Aku mendapati Celestine menertawakanku, diikuti oleh anggota gengnya. Tawa mereka yang menghinaku membuat kepercayaan diriku lenyap tak bersisa.

"Aku? Berteman denganmu? Jangan mimpi! Kita hanya kebetulan sekelas, bukan berarti kita berteman!" hina Celestine sambil menunjuk antara dirinya dengan diriku.

"Betul! Lagi pula, mana sudi kami berteman dengan orang cacat sepertimu!" timpal salah satu anggota gengnya.

Aku menggigit bibir bawahku dan mengepalkan tanganku dengan erat. Perkataan mereka yang menghinaku menusuk harga diriku. Harga diriku yang sudah lama kubangun langsung hancur berkeping-keping dibuatnya.

Kulemaskan kepalan tanganku dan berhenti menggigit bibir bawahku. 'Tidak ada gunanya aku bersikap lemah begini, nanti mereka akan merasa superior terhadapku. Aku harus kuat! Tidak akan kubiarkan mereka merendahkanku lebih dari ini!'

Aku mendorong tubuhku dengan sekuat tenaga dan bangkit dari lantai. Aku berlari ke arah mereka yang terkesiap melihatku mendadak menerjang mereka bagaikan kerbau ngamuk. Kutarik kerah baju Celestine dan membentaknya.

"Kalau kita memang tidak pernah berteman, biarlah kita bersikap seolah-olah tidak saling kenal! Kamu punya masalah apa sama aku, hah?! Aku tidak pernah sekalipun mengganggumu!" bentakku sambil memelototi mata hitam Celestine yang menatapku dengan terkejut.

"Kalau kamu tidak suka aku cacat, ya, diam saja! Kalau mau menggosipkan aku bareng teman-temanmu dari belakang pun tak masalah! Setidaknya tidak perlu sampai menghinaku ramai-ramai begini!" lanjutku sambil mengguncang-guncang siswi yang badannya lebih berisi daripada aku.

Celestine mendorongku dan berteriak, "Lepaskan! Nanti aku terkontaminasi kecacatanmu!"

Karena tenaganya jauh lebih kuat daripada aku, aku terhempas dan menghantam meja di belakangku. Pekikan yang cukup nyaring terkeluar dari mulutku saat punggungku menghantam permukaan yang keras.

Terdengar bunyi langkah kaki melangkah menghampiriku. Sebelum aku dapat melakukan apa-apa, Celestine menjambak rambutku dan menarikku untuk menjauh dari meja. Aku menjerit kesakitan dan memegangi tangannya yang menjambak rambutku.

"Dasar tidak tahu diri!" umpatnya. Emosi marah terdengar jelas di dalam suaranya yang ditinggikan.

Celestine mendorongku lagi sehingga aku terhempas ke lantai. Tanpa memberikan aku kesempatan untuk bernapas, dia menendang perutku dengan kuat seolah-olah menendang bola. Tubuhku terguling ke belakang dan menghantam kaki meja.

"Agh ..! Hentikan ...," pintaku dengan suara bergetar.

Celestine tidak mendengarkan permintaanku dan lanjut menginjak-injak aku bagaikan sampah. Rasa sakit yang menggerogoti tubuhku membuatku tidak memiliki tenaga dan keberanian untuk bangkit.

"Aku tidak akan berhenti sampai kamu benar-benar menyadari tempatmu!" tolak Celestine sambil menginjak-injak badanku tanpa ampun.

Aku merintih dan meringkukkan badanku yang terasa sakit. Rasanya sakit sekali dan pasti akan meninggalkan memar pada kulitku. Isak tangisku menggema ke sepenjuru ruang kelas yang dipenuhi oleh bunyi hentakan dan suara cekikikan.

Aku melirik ke arah empat siswi yang berdiri di belakang Celestine. Mereka hanya cekikikan sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arahku, merekam ketua gengnya menindasku. Mereka menonton adegan penindasan ini dengan mata geli.

"Ih~ Dia melihat ke sini!" ucap salah satu anggota gengnya yang asik merekamku.

"Jangan lihat ke sini! Bikin jijik saja!" celetuk yang lainnya.

Di balik keempat siswi itu, aku melihat ada beberapa kaki lain yang berdiri di belakang mereka. Kupikir aku hanya berlimaan saja dengan gengnya Celestine, ternyata ada murid lain. 'Kalau mereka ada di sini, kenapa mereka tidak menolongku?'

Aku memfokuskan pandanganku yang berkunang-kunang ke gerombolan siswa-siswi yang berdiri di belakang teman-temannya Celestine. Kulihat ada hampir dari setengah murid kelas ini menontoniku yang ditindas oleh Celestine.

Aku melebarkan mataku saat kutemukan Vania dan Jonathan berdiri di antara siswa-siswi yang menonton adegan penindasan ini. Kurasakan secercah harapan muncul saat melihat kedua sahabatku.

Aku menopang tubuhku yang terasa sakit dan remuk dengan kedua tanganku. Aku memandang lurus ke arah Vania dan Jonathan yang berdiri beberapa meter di depanku. Air mataku mengalir dengan deras sebelum aku mengucapkan kata-kata yang ingin kuucapkan.

"Vania, Jonathan, tolong aku!" pintaku penuh harap.

Celestine mendengarku meminta tolong kepada kedua sahabatku. Sontak dia berhenti menindasku dan membalikkan badannya. Dia mendapati belasan orang berdiri di belakangnya dan mengarahkan kamera telepon pintarnya ke arahnya.

Aku mengalihkan pandanganku dari Celestine dan kembali menatap kedua sahabatku yang tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya menatapku tanpa mengatakan sepatah kata pun maupun menolongku. 'Kenapa mereka diam saja?'

"Vania? Jonathan?" Aku memanggil nama mereka dengan heran.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Vincent Situmorang
sayaselalu masih rasa ngeri dan takut baca novel ini seperti membaca tentang Sadi sadisme, bukan cuma pembulian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Life Hates Me   Bab 6

    Vania dan Jonathan masih tidak meresponsku. Mereka hanya menatapku dengan tatapan yang tidak mengenakan. Tak lama kemudian, Vania membalikkan badannya dan melangkah keluar dari ruangan ini. Melihatnya yang akan pergi meninggalkanku tanpa menolongku membuatku secara tanpa sadar berlari menghampirinya. Kedua kakiku bergerak dengan sendirinya menuju kemana Vania melangkah. Orang-orang yang menghalangi jalan langsung membukakan jalan untukku. "Tunggu, Vania ...!" panggilku dengan putus asa. Begitu aku berhasil mengejarnya, aku meraih tangan kirinya dan menggenggamnya dengan erat. Namun, dia menyibakkan tangannya dengan kasar sehingga genggamanku terlepas darinya. Harapan yang bersinar di depanku langsung lenyap saat dia melepaskan tanganku. Aku berdiri mematung di sampingnya. Tanganku yang disibakkan olehnya membeku di udara. Saat aku melihat tatapan matanya yang menatapku, jantungku terasa seperti berhenti berdetak selama sesaat. "Vania ... aku m

  • Life Hates Me   Bab 7

    Aku duduk di bangku halte dan berpura-pura tidak mendengar suara bisikan dari orang-orang yang berjalan di trotoar. Mereka pikir aku tidak mendengar apa yang mereka bisikkan, padahal sebenarnya aku bisa mendengar suara mereka dengan jelas.Aku memandang dua siswi yang asik saling berbisik satu sama lain, mengomongi jari kakiku. Setelah mereka jauh sehingga aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi, aku menurunkan pandanganku ke kedua kakiku.Aku mengepalkan tanganku dan menggigit bibir bawahku. 'Memangnya kenapa kalau aku punya 11 jari kaki? Apa itu sangat aneh sampai-sampai semua orang sibuk membahas jari kakiku?'Terdengar bunyi klakson sehingga aku tersadar dari lamunanku. Kuangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber bunyi. Kudapati sebuah motor berhenti tepat di depanku. Aku langsung tahu siapa orang yang mengendarai motor itu; papa.Aku pun bangkit dari bangku yang kududuki lalu menghampiri papa. Dia memberikan aku sebuah helm berwarna putih dengan c

  • Life Hates Me   Bab 8

    Sinar matahari pagi menyeruak masuk menembus gorden pink. Sontak aku mengernyitkan mataku secara spontan. Silau sekali. Rasa kantukku langsung menghilang berkat sambutan yang menyilaukan dari Sang Surya.Aku merenggangkan badanku yang kaku dan lesu setelah bangun dari tidur. Terdengar bunyi 'kretek' dari tulang punggungku saat aku melakukan perenggangan badan. Rasa nyaman langsung menyebar ke sekujur tubuhku, punggungku tidak pegal lagi.Kuambil telepon pintarku yang tergeletak di atas nakas dan menyalakannya. Aku mengecek jam yang tampil pada layar benda pipih itu, jam menunjukkan pukul 06.09. Masih ada 1 jam 21 menit sebelum gerbang sekolah ditutup.Kumatikan teleponku dan bergumam, "Aku tidak mau ke sekolah ...."Aku meletakkan telepon pintarku di tempatnya semula; di atas nakas. Kutarik selimutku dan memejamkan kedua mataku, mencoba tidur lagi walaupun kedua mataku sudah sangat segar sekarang."Aku tidak mau ke sekolah ... aku takut dibuli oleh

  • Life Hates Me   Bab 9

    Aku berpamitan dengan papa sebelum turun dari mobil. Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Pada akhirnya aku datang ke tempat yang tak kuinginkan untuk didatangi.Kakak laki-lakiku berjalan mendahuluiku dengan langkah cepat. Sosoknya semakin menjauh hingga menghilang di balik gedung SMA yang berhadapan dengan gedung SMP. Padahal biasanya kami berjalan berdampingan, tetapi kali ini dia meninggalkanku sehingga aku berjalan seorang diri.Saat aku menginjakkan kakiku di gedung SMP, kudapati siswa-siswi yang berlalu-lalang saling berbisik sambil melirikku dengan sinis. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bisikkan karena suaranya kecil. Namun, kurang lebih aku tahu apa yang mereka omongkan; pasti tentang jari kakiku.Aku melangkah menuju tangga sambil menurunkan pandanganku. Aku tidak sanggup melihat tatapan sinis dari orang lain. Tatapan mereka yang menatapku dengan merendahkan dan jijik membuat kepercayaan diriku menyusut hingga tak

  • Life Hates Me   Bab 10

    Bel masukan berbunyi. Semua murid yang berada di luar berbondong-bondong memasuki kelasnya. Kulihat Vania dan Jonathan memasuki ruangan ini bersama-sama dan duduk di kursinya masing-masing.Sebelum Vania duduk di kursinya, dia berdiri di tempat kosong yang berada di sisi kanan mejanya, yang tak lain adalah tempatku duduk sebelumnya. Dia terlihat bengong karena teman sebangkunya menghilang berserta dengan meja kursinya.Saat dia mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan, mata kami saling bertemu. Tampak jelas keterkejutan di dalam mata hitamnya. Sedetik kemudian, pandangan terkejut itu berubah menjadi pandangan kecewa.Kurasakan hatiku seperti ditusuk jarum saat melihat tatapannya yang seperti dikhianati oleh orang terpercayanya. Aku pun bangkit dari kursiku dan hendak menghampirinya untuk menjelaskan kenapa aku pindah ke sini, tetapi rencanaku hanya menjadi wacana."Berdiri," ucap seseorang sehingga semua siswa dan siswi yang tadinya duduk langsung ba

  • Life Hates Me   Bab 11

    Bel istirahat berbunyi. Semua murid bersorak gembira karena pelajaran telah berakhir dan bisa istirahat selama setengah jam. Para siswa-siswi yang kelaparan beranjak dari kelas dan pergi ke kantin untuk makan, tak terkecuali diriku. Kali ini aku pergi ke kantin sendirian, padahal biasanya aku akan pergi bersama Vania dan Jonathan. Selama aku berjalan, aku mendapatkan tatapan sinis dan bisikan dari orang-orang di sekitar. Tak hanya murid SMP saja yang mengomongiku, murid SMA pun ikut mengomongiku. "Itu 'kan yang jari kakinya 11?" "Iya, kalau tidak salah itu adiknya Alexander." Aku merasa bersalah karena kakak jadi ikut diomongi. Kupercepat langkah kakiku agar cepat sampai di kantin. Begitu aku memasuki gedung kantin, puluhan pasang mata tertuju kepadaku, diikuti dengan bisikan yang tak mengenakan. Aku berusaha mengabaikan mereka dan memesan makananku. Setelah mendapatkan makanan dan minumanku, aku berjalan mencari meja kosong. Saat tengah menge

  • Life Hates Me   Bab 12

    Aku berada di dalam sebuah ruangan berbentuk persegi panjang yang tidak begitu luas. Ruangan ini diisi oleh sebuah meja, 2 buah kursi, kabinet, rak buku, dan sebuah sofa yang empuk. Beberapa bingkai foto menghiasi dinding yang berwarna putih bersih. Pria berkepala setengah botak yang mengantar aku dan Maryam ke sini menarik dua kursi untuk kami. "Duduk!" Tanpa berkata apa-apa, kami berdua menuruti perintahnya dan duduk di kursi yang ditunjuk olehnya. Setelah kami duduk, pria yang merupakan guru BK itu pun duduk di depan kami. Aku jadi gugup karena duduk berhadapan dengan guru BK yang terkenal menyeramkan saat marah. "Kenapa tadi kalian bertengkar? Seperti anak kecil saja!" tanya guru BK sambil menunjuk aku dan Maryam secara bergantian. "Dia merobek buku saya, Pak!" Aku mengadu sambil menunjuk Maryam dengan jari telunjukku. "Hah? Mana ada!" sangkal Maryam. "Jahat kamu, ya, main tuduh saja!" Aku mengalihkan pandanganku dari gadis berkunc

  • Life Hates Me   Bab 13

    Bunyi yang sudah lama dinanti-nantikan oleh para siswa dan siswi akhirnya terdengar. Bel pulangan berdering dan menggema ke sepenjuru gedung sekolah. Semua orang berhamburan pulang ke rumah, kecuali beberapa murid yang termasuk diriku sendiri. "Hizz, malasnya aku berduaan sama kamu lagi," desis seorang gadis berkuncir dua yang berjalan di depanku, yang tak lain adalah Maryam. "Kamu pikir kamu saja yang malas? Aku juga tidak mau berduaan sama kamu," balasku. Tiba-tiba Maryam menghentikan langkahnya sehingga aku pun menghentikan langkahku. Dia membalikkan badannya, menghadap ke arahku. Sebuah senyuman terpasang pada wajahnya, membuatku berprasangka buruk dengan apa yang akan dikatakannya selanjutnya. "WC perempuan ada di lantai 1 dan 3, kan? Jadi, kamu bersihkan lantai 1, sedangkan aku bersihkan lantai 2 supaya kita tidak perlu berbarengan lagi," usulnya sambil menjentikkan jari. Kukira dia akan mengusulkan sesuatu yang akan merugikanku, t

Bab terbaru

  • Life Hates Me   Bab 119

    'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM

  • Life Hates Me   Bab 118

    “Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti

  • Life Hates Me   Bab 117

    "Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer

  • Life Hates Me   Bab 116

    Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di

  • Life Hates Me   Bab 115

    Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba

  • Life Hates Me   Bab 114

    Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.

  • Life Hates Me   Bab 113

    Tiba-tiba pandanganku seperti berputar dengan sangat cepat. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat dan memegangi kepalaku yang terasa seperti mau meledak. Jeritan yang nyaring pun keluar dari mulutku.Jeritanku menggema, menciptakan perulangan suara yang tiada henti. 1 menit, 10 menit, 100 menit, aku tidak tahu sudah berapa lama suaraku menggema seperti itu, masih tak kunjung berhenti juga gemanya.Aku membuka kedua mataku yang tertutup secara perlahan-lahan. Begitu aku membuka mataku, aku menyadari diriku tidak berada di sekolah. Hampa. Hanya warna putih saja yang kulihat."Apa aku jadi buta? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?" tanyaku.Pertanyaan yang kutanyakan itu menggema seperti suara jeritanku tadi. Kedua suara itu bercampur aduk menjadi satu. Terulang tanpa henti, volume dari gema itu sedikit pun tidak berkurang walaupun beberapa waktu telah berlalu.Situasi yang sangat aneh ini membuatku takut, terlebih lagi karena aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. 'Kenapa aku bis

  • Life Hates Me   Bab 112

    Entah sudah berapa hari telah berlalu, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan bisa kembali bersekolah seperti biasa lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah yang sudah lama tidak kutinggali.Aku memandang perabotan-perabotan yang mengisi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku. Meskipun begitu, aku merasa sedikit asing dengan rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir.Aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. 'Rasa janggal apa ini? Apa aku melupakan sesuatu yang penting?'"Freya, kenapa kamu bengong saja di sana?" Terdengar suara mama bertanya kepadaku.Mendengar pertanyaan itu, aku langsung tersadar dari lamunanku dan sontak menoleh ke arah sumber suara. Kudapati mama, papa, dan kakak berdiri di belakangku, sambil dengan tatapan khawatir memandang ke arahku."Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit lagi?" tanya papa dengan tampang cemas.Aku menjawab pertanyaan papa dengan sebuah gelengan k

  • Life Hates Me   Bab 111

    Telingaku menangkap suara yang samar-samar. Walaupun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, entah kenapa aku merasa suara itu terdengar sedih. Kubuka kelopak mataku secara perlahan.Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku begitu aku membuka kedua mataku. Sangat-sangat terang sampai hanya warna putih saja yang terlihat olehku. Perlahan-lahan, mataku mulai beradaptasi dan aku mulai bisa melihat dengan lebih jelas.Kudapati ada beberapa figur manusia berdiri di sampingku, ada juga yang duduk di sisiku. Meskipun penglihatanku buram, aku masih bisa mengenali siapa saja yang berada di dekatku saat ini.Pandanganku tertuju pada wanita yang duduk di sisiku. "Mama ...?""Freya!" seru mama dengan suara parau.Mama langsung memelukku dengan erat. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir menuruni pipiku. Itu bukan air mataku, melainkan air matanya mama. Dia menangis dengan histeris sambil mendekapku dengan erat, seolah-olah takut kehilangan aku."Freya, maafkan kami, Nak ...." Papa yang

DMCA.com Protection Status