Aku berpamitan dengan papa sebelum turun dari mobil. Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Pada akhirnya aku datang ke tempat yang tak kuinginkan untuk didatangi.
Kakak laki-lakiku berjalan mendahuluiku dengan langkah cepat. Sosoknya semakin menjauh hingga menghilang di balik gedung SMA yang berhadapan dengan gedung SMP. Padahal biasanya kami berjalan berdampingan, tetapi kali ini dia meninggalkanku sehingga aku berjalan seorang diri.
Saat aku menginjakkan kakiku di gedung SMP, kudapati siswa-siswi yang berlalu-lalang saling berbisik sambil melirikku dengan sinis. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bisikkan karena suaranya kecil. Namun, kurang lebih aku tahu apa yang mereka omongkan; pasti tentang jari kakiku.
Aku melangkah menuju tangga sambil menurunkan pandanganku. Aku tidak sanggup melihat tatapan sinis dari orang lain. Tatapan mereka yang menatapku dengan merendahkan dan jijik membuat kepercayaan diriku menyusut hingga tak terlihat lagi.
Tibalah aku di lantai 2. Aku berjalan lurus menyusuri lorong dan tak lepas dari bisikan serta tatapan sinis dari siswa-siswi lain. Aku berjalan melewati beberapa teman sekelasku yang berdiri di depan pintu kelas.
"Wah, lihat siapa yang baru saja datang~ Si Mutant sudah datang!" sambut seseorang.
Mendengarnya menyebut 'mutant', aku langsung tahu siapa yang menyambutku tanpa melihatnya. Kuangkat wajahku dan mendapati geng Celestine duduk di meja guru. Mereka menatapku dengan geli sambil cekikikan.
Kuabaikan sambutan mereka yang sama sekali tidak hangat. Aku mengayunkan kakiku menuju mejaku yang berhadapan dengan meja guru. Kuletakkan tasku di atas meja dan mendudukkan diriku di kursi. Aku melirik ke samping kiriku yang kursinya masih kosong.
Vania, sahabatku sekaligus teman sebangkuku masih belum datang. Aku jadi gugup, 'Bagaimana aku harus bersikap kepadanya setelah kejadian kemarin? Kami pasti akan canggung.'
Selagi merenung, aku mendengar suara bisikan dari teman-teman sekelasku. Kuangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber suara. Para siswa yang mengomongi aku dari belakang sadar kalau aku memandang ke arah mereka.
"Duh, dia melihat ke sini."
"Yuk pergi."
Siswa-siswa itu beranjak dari tempat mereka duduk dan melangkah menuju pintu untuk keluar dari ruangan ini. Begitu mereka keluar, kulihat ada dua sosok yang sangat kukenal memasuki kelas; Vania dan Jonathan.
Mataku dan mereka saling bertemu. Vania mengernyitkan alisnya dan melangkah menghampiriku, sedangkan Jonathan mengalihkan pandangannya dariku dan melangkah ke mejanya di belakang.
"Pagi, Vania ...," sapaku sambil tersenyum canggung.
Tidak ada balasan yang kudapatkan darinya. Tanpa berkata apa-apa, Vania menarik mejanya sehingga terpisah dari mejaku. Aku pun melebarkan mataku terhadap apa yang baru saja kulihat. Aku tidak menyangka dia akan memisahkan meja kami.
Vania meletakkan tasnya di atas kursinya lalu berjalan meninggalkanku. Aku hanya menatap punggungnya yang menjauh hingga lenyap dari balik pintu. Tak lama kemudian, Jonathan menyusulnya sambil memandang ke arahku untuk sesaat sebelum lanjut mengejar Vania.
Aku terduduk mematung di kursiku dan memandang kosong ke pintu kelas yang terbuka lebar. 'Kenapa Vania memisahkan meja kami? Apa dia ... tidak mau semeja denganku?'
Sebuah suara menyadarkanku dari lamunanku. "Aduh, kasihannya~ Tak hanya dikacangi oleh sahabatnya, mejanya pun dipisah dong~"
Aku menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari depanku. Celestine dan anggota gengnya yang menongkrong di meja guru menertawaiku. Mereka terlihat terhibur dengan apa yang baru saja terjadi di antara aku dengan Vania.
"Kayaknya mereka sudah bukan sahabat lagi deh~" timpal Celestine sambil tersenyum menyeringai.
"Mending si Mutant dipindahkan saja tempat duduknya. Mengganggu pemandangan saja duduk di depan!" celetuk yang satunya.
Aku mengepalkan tanganku dengan erat dan menatap tajam mereka. Kulihat beberapa dari mereka bergidik ngeri karena mendapatkan tatapan tajam dariku, tetapi beberapa yang lainnya malah melemparkan senyuman menghina kepadaku.
Celestine bangkit dari kursi guru dan melangkah ke depan papan tulis. Dia menepuk tangannya satu kali untuk mendapatkan perhatian dari murid lain. Dia melirikku dengan mengejek dan tersenyum menyeringai sebelum berbicara.
"Guys, setuju tidak kalau kita pindahkan Freya ke paling belakang?" Celestine menanyakan pendapat dari teman sekelas.
Hening. Tidak ada seorang pun yang menjawabnya. Selang beberapa detik kemudian, seorang siswa melompat dari atas meja yang didudukinya dan mengacungkan jari telunjuknya tinggi ke atas.
"Setuju!" serunya dengan bersemangat.
Aku tertegun melihatnya menyutujui usulan yang konyol itu. Tak lama kemudian, ada beberapa siswa dan siswi lain yang menyetujui usulan Celestine. Makin lama makin banyak yang menyetujuinya agar tempat dudukku dipindahkan ke paling belakang.
Mereka mulai berdiskusi dimana aku akan dipindahkan, di belakang siapa. Namun, semuanya menolak aku untuk duduk di belakangnya dengan alasan yang benar-benar menyakiti hatiku.
"Jangan pindahkan dia di belakangku! Aku takut tertular 'kutukannya'!"
"Jangan di belakangku deh. Dia bikin aku risih, nanti aku jadi tidak fokus belajar."
Aku menghembuskan napas berat dan menundukkan kepalaku. Kututup kedua telingaku karena tidak ingin mendengar lebih lanjut. Akan tetapi, usahaku sia-sia karena aku masih bisa mendengar suara mereka dengan jelas.
"Kalau dia di belakangmu gimana, Vict?"
"Aku tidak masalah."
Aku melebarkan mataku dan langsung mengangkat wajahku. Aku menoleh ke belakang, ke arah orang yang barusan menjawab bahwa dia tidak masalah kalau aku dipindahkan ke belakangnya.
Victor, itulah nama siswa berkulit putih yang duduk di deret paling belakang saat ini. Dia memandang lurus ke depan, tepat ke arahku yang duduk di paling depan. Ekspresinya terlihat serius tanpa adanya sedikit pun tanda-tanda bercanda.
"Kamu serius, Vict?" tanya siswa lain yang duduk tak jauh darinya.
Victor menganggukkan kepalanya dan bertanya balik kepada siswa itu. "Memangnya kenapa?"
"Kamu tidak takut ketularan 'kutukannya'?" tanya siswa lainnya.
"Tidak lah, kelainan itu bukan penyakit menular. Jadi, untuk apa takut?" jawab Victor.
Setelah mendengar jawaban darinya, seketika itu juga kelas menjadi hening. Tidak ada yang dapat membantah jawabannya yang terdengar sangat masuk akal. Di saat orang lain bingung dengan situasi ini, aku malah merasa lega karena akhirnya ada yang memihakku.
Meskipun begitu, aku masih bimbang. 'Haruskah aku pindah ke belakangnya Victor? Kalau aku tetap duduk di depan, aku dan Vania akan canggung. Sepertinya memang lebih baik kalau aku duduk di belakang Victor.'
Aku bangkit dari kursi dan menenteng ranselku. Tanpa berkata-kata, aku memindahkan meja dan kursiku tanpa dibantu oleh siapa-siapa. Semua orang terlalu terkejut sehingga tidak dapat melakukan apa pun.
Di samping itu, aku dapat merasakan tatapan tajam dari seseorang. Tatapan tajamnya membuatku tidak nyaman sehingga aku mengangkat wajahku. Aku mendapati Celestine yang berdiri di depan papan tulis menatapku dengan tajam. 'Kenapa dia melotot begitu?'
Bel masukan berbunyi. Semua murid yang berada di luar berbondong-bondong memasuki kelasnya. Kulihat Vania dan Jonathan memasuki ruangan ini bersama-sama dan duduk di kursinya masing-masing.Sebelum Vania duduk di kursinya, dia berdiri di tempat kosong yang berada di sisi kanan mejanya, yang tak lain adalah tempatku duduk sebelumnya. Dia terlihat bengong karena teman sebangkunya menghilang berserta dengan meja kursinya.Saat dia mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan, mata kami saling bertemu. Tampak jelas keterkejutan di dalam mata hitamnya. Sedetik kemudian, pandangan terkejut itu berubah menjadi pandangan kecewa.Kurasakan hatiku seperti ditusuk jarum saat melihat tatapannya yang seperti dikhianati oleh orang terpercayanya. Aku pun bangkit dari kursiku dan hendak menghampirinya untuk menjelaskan kenapa aku pindah ke sini, tetapi rencanaku hanya menjadi wacana."Berdiri," ucap seseorang sehingga semua siswa dan siswi yang tadinya duduk langsung ba
Bel istirahat berbunyi. Semua murid bersorak gembira karena pelajaran telah berakhir dan bisa istirahat selama setengah jam. Para siswa-siswi yang kelaparan beranjak dari kelas dan pergi ke kantin untuk makan, tak terkecuali diriku. Kali ini aku pergi ke kantin sendirian, padahal biasanya aku akan pergi bersama Vania dan Jonathan. Selama aku berjalan, aku mendapatkan tatapan sinis dan bisikan dari orang-orang di sekitar. Tak hanya murid SMP saja yang mengomongiku, murid SMA pun ikut mengomongiku. "Itu 'kan yang jari kakinya 11?" "Iya, kalau tidak salah itu adiknya Alexander." Aku merasa bersalah karena kakak jadi ikut diomongi. Kupercepat langkah kakiku agar cepat sampai di kantin. Begitu aku memasuki gedung kantin, puluhan pasang mata tertuju kepadaku, diikuti dengan bisikan yang tak mengenakan. Aku berusaha mengabaikan mereka dan memesan makananku. Setelah mendapatkan makanan dan minumanku, aku berjalan mencari meja kosong. Saat tengah menge
Aku berada di dalam sebuah ruangan berbentuk persegi panjang yang tidak begitu luas. Ruangan ini diisi oleh sebuah meja, 2 buah kursi, kabinet, rak buku, dan sebuah sofa yang empuk. Beberapa bingkai foto menghiasi dinding yang berwarna putih bersih. Pria berkepala setengah botak yang mengantar aku dan Maryam ke sini menarik dua kursi untuk kami. "Duduk!" Tanpa berkata apa-apa, kami berdua menuruti perintahnya dan duduk di kursi yang ditunjuk olehnya. Setelah kami duduk, pria yang merupakan guru BK itu pun duduk di depan kami. Aku jadi gugup karena duduk berhadapan dengan guru BK yang terkenal menyeramkan saat marah. "Kenapa tadi kalian bertengkar? Seperti anak kecil saja!" tanya guru BK sambil menunjuk aku dan Maryam secara bergantian. "Dia merobek buku saya, Pak!" Aku mengadu sambil menunjuk Maryam dengan jari telunjukku. "Hah? Mana ada!" sangkal Maryam. "Jahat kamu, ya, main tuduh saja!" Aku mengalihkan pandanganku dari gadis berkunc
Bunyi yang sudah lama dinanti-nantikan oleh para siswa dan siswi akhirnya terdengar. Bel pulangan berdering dan menggema ke sepenjuru gedung sekolah. Semua orang berhamburan pulang ke rumah, kecuali beberapa murid yang termasuk diriku sendiri. "Hizz, malasnya aku berduaan sama kamu lagi," desis seorang gadis berkuncir dua yang berjalan di depanku, yang tak lain adalah Maryam. "Kamu pikir kamu saja yang malas? Aku juga tidak mau berduaan sama kamu," balasku. Tiba-tiba Maryam menghentikan langkahnya sehingga aku pun menghentikan langkahku. Dia membalikkan badannya, menghadap ke arahku. Sebuah senyuman terpasang pada wajahnya, membuatku berprasangka buruk dengan apa yang akan dikatakannya selanjutnya. "WC perempuan ada di lantai 1 dan 3, kan? Jadi, kamu bersihkan lantai 1, sedangkan aku bersihkan lantai 2 supaya kita tidak perlu berbarengan lagi," usulnya sambil menjentikkan jari. Kukira dia akan mengusulkan sesuatu yang akan merugikanku, t
Mama menghentikan motornya di depan teras rumah kami. Aku pun turun dari motor dan menunggu mama selesai memarkirkan motornya. Setelah mama memarkirkan motornya dengan rapi, kami masuk ke rumah bersama-sama.Mama duduk di sofa dan mengajakku untuk duduk bersamanya. "Duduk. Ayo kita lanjutkan obrolan kita tadi."Aku menganggukkan kepalaku lalu duduk di sofa lain karena tidak berani duduk di sofa yang sama dengan mama. Aku mengatupkan tanganku dan memainkan jemariku, berusaha menahan rasa gugup dan takutku."Kok bisa kamu dihukum membersihkan WC?" tanya mama menginterogasiku."Itu ... gara-gara aku berkelahi sama Maryam," jawabku dengan suara kecil."Apa?!" Mama melebarkan matanya setelah mendengar jawabanku. Dia melotot kepadaku. Matanya yang sipit terbuka lebar hingga terlihat seperti akan melompat keluar dari kantong matanya."Memangnya kamu anak kecil, ya, sampai berkelahi sama Maryam? Lagi pula, Maryam 'kan sepupumu, kok bisa sampai berke
Beberapa hari kemudian, aku memulai keseharianku seperti biasa; bangun tidur lalu mandi, ganti baju, menyiapkan buku pelajaran, sarapan, dan pergi ke sekolah. Papa menurunkan aku dan kakak di depan gerbang sekolah. Kami berdua berjalan menuju gedung sekolah masing-masing. Kakak tidak berjalan bersebelahan denganku karena tidak ingin ikut menjadi bahan omongan orang lain. Sampailah aku di ruang kelasku; kelas 9-B. Saat aku memasuki kelas, kudapati ada banyak teman sekelasku yang sudah lebih dulu datang sebelum aku. Mereka mengabaikan kehadiranku seakan-akan aku adalah angin yang tak terlihat oleh mata. Aku tiba di mejaku dan menyadari sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Permukaan mejaku yang biasanya bersih tanpa coretan apa pun, kini mendapatkan 'hiasan' berupa tulisan yang mengejek. -Cleaning service, maid, tukang bersih-bersih WC. Tanpa perlu melihat secara langsung siapa yang menulisnya, aku sudah tahu siapa pelaku dari tulisan-tulisan ini. Aku m
Di lapangan yang biasa digunakan untuk upacara bendera maupun olahraga, terlihat ada sekitar 30-an orang berseragam olahraga SMP berlari mengelilingi lapangan. Ada yang berlari dengan cepat seperti kejar-kejaran dengan yang lainnya, ada juga yang berlari santai atau bahkan berjalan.Aku mencoba mengejar gerombolan siswi yang berlari di depanku. Kupercepat ritme lariku agar tidak semakin terpisah dari mereka. Sebenarnya aku tertinggal jauh di belakang mereka bukan karena lariku lambat, melainkan karena staminaku yang sekarang tidak sekuat dulu.Padahal baru dua putaran yang kulalui, kakiku mulai terasa lemas dan napasku sudah ngos-ngosan. Semakin aku memaksakan diriku untuk berlari mengejar mereka, semakin napasku terasa berat sampai-sampai sulit bernapas.Perlahan kuperlambat ritme lariku hingga akhirnya berhenti berlari. Kini aku hanya berjalan sambil mengatur napasku yang berat. Akan tetapi, keadaanku tidak bertambah baik, malah sebaliknya.Aku kehilang
Aku memegangi mukaku yang sakit, terutama hidungku. 'Sial, seharusnya aku tidak melamun saat sedang bermain bola voli.'Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dengan nyaring. Aku pun mengangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber suara. Kulihat Maryam tertawa terbahak-bahak. Di sampingnya, berdiri Jessica yang menutup mulutnya dengan tangannya yang bergetar karena berusaha menahan tawa."Headshot! Hahaha! Makanya, jangan bengong begitu kalau lagi main voli," ejek Maryam di sela-sela tawanya.Aku menurunkan tangan kananku dari mukaku dan mengepalkannya dengan erat. Kutatap tajam kedua siswi yang asik menertawaiku. 'Bisa-bisanya mereka menertawai orang yang terkena musibah?'Bunyi derap kaki terdengar mendekat ke arahku. Kualihkan pandanganku ke arah sumber bunyi dan mendapati Yoshino berlari menghampiriku. Wajahnya menampakkan kekhawatiran dan panik saat memandangku."Astaga, Freya! Ada darah keluar dari hidungmu!" pekik Yoshino panik.Menden
'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM
“Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti
"Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer
Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di
Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba
Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.
Tiba-tiba pandanganku seperti berputar dengan sangat cepat. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat dan memegangi kepalaku yang terasa seperti mau meledak. Jeritan yang nyaring pun keluar dari mulutku.Jeritanku menggema, menciptakan perulangan suara yang tiada henti. 1 menit, 10 menit, 100 menit, aku tidak tahu sudah berapa lama suaraku menggema seperti itu, masih tak kunjung berhenti juga gemanya.Aku membuka kedua mataku yang tertutup secara perlahan-lahan. Begitu aku membuka mataku, aku menyadari diriku tidak berada di sekolah. Hampa. Hanya warna putih saja yang kulihat."Apa aku jadi buta? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?" tanyaku.Pertanyaan yang kutanyakan itu menggema seperti suara jeritanku tadi. Kedua suara itu bercampur aduk menjadi satu. Terulang tanpa henti, volume dari gema itu sedikit pun tidak berkurang walaupun beberapa waktu telah berlalu.Situasi yang sangat aneh ini membuatku takut, terlebih lagi karena aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. 'Kenapa aku bis
Entah sudah berapa hari telah berlalu, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan bisa kembali bersekolah seperti biasa lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah yang sudah lama tidak kutinggali.Aku memandang perabotan-perabotan yang mengisi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku. Meskipun begitu, aku merasa sedikit asing dengan rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir.Aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. 'Rasa janggal apa ini? Apa aku melupakan sesuatu yang penting?'"Freya, kenapa kamu bengong saja di sana?" Terdengar suara mama bertanya kepadaku.Mendengar pertanyaan itu, aku langsung tersadar dari lamunanku dan sontak menoleh ke arah sumber suara. Kudapati mama, papa, dan kakak berdiri di belakangku, sambil dengan tatapan khawatir memandang ke arahku."Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit lagi?" tanya papa dengan tampang cemas.Aku menjawab pertanyaan papa dengan sebuah gelengan k
Telingaku menangkap suara yang samar-samar. Walaupun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, entah kenapa aku merasa suara itu terdengar sedih. Kubuka kelopak mataku secara perlahan.Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku begitu aku membuka kedua mataku. Sangat-sangat terang sampai hanya warna putih saja yang terlihat olehku. Perlahan-lahan, mataku mulai beradaptasi dan aku mulai bisa melihat dengan lebih jelas.Kudapati ada beberapa figur manusia berdiri di sampingku, ada juga yang duduk di sisiku. Meskipun penglihatanku buram, aku masih bisa mengenali siapa saja yang berada di dekatku saat ini.Pandanganku tertuju pada wanita yang duduk di sisiku. "Mama ...?""Freya!" seru mama dengan suara parau.Mama langsung memelukku dengan erat. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir menuruni pipiku. Itu bukan air mataku, melainkan air matanya mama. Dia menangis dengan histeris sambil mendekapku dengan erat, seolah-olah takut kehilangan aku."Freya, maafkan kami, Nak ...." Papa yang