Aku duduk di bangku halte dan berpura-pura tidak mendengar suara bisikan dari orang-orang yang berjalan di trotoar. Mereka pikir aku tidak mendengar apa yang mereka bisikkan, padahal sebenarnya aku bisa mendengar suara mereka dengan jelas.
Aku memandang dua siswi yang asik saling berbisik satu sama lain, mengomongi jari kakiku. Setelah mereka jauh sehingga aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi, aku menurunkan pandanganku ke kedua kakiku.
Aku mengepalkan tanganku dan menggigit bibir bawahku. 'Memangnya kenapa kalau aku punya 11 jari kaki? Apa itu sangat aneh sampai-sampai semua orang sibuk membahas jari kakiku?'
Terdengar bunyi klakson sehingga aku tersadar dari lamunanku. Kuangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber bunyi. Kudapati sebuah motor berhenti tepat di depanku. Aku langsung tahu siapa orang yang mengendarai motor itu; papa.
Aku pun bangkit dari bangku yang kududuki lalu menghampiri papa. Dia memberikan aku sebuah helm berwarna putih dengan corak bunga biru. Sebelum aku mengenakan helm yang diberikannya kepadaku, papa menanyakan sebuah pertanyaan kepadaku.
"Kenapa pipimu merah dan bajumu kotor, Nak?" tanyanya dengan nada khawatir.
Aku tersentak kaget saat mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Aku bingung bagaimana aku akan menjawab pertanyaannya. 'Apa lebih baik aku berbohong supaya Papa tidak khawatir?'
"Nak?" Papa memanggilku dengan nada heran bercampur khawatir karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Aku menarik sebuah senyuman terpaksa dan menjawab, "Tadi aku jatuh gara-gara terinjak tali sepatuku, Pa."
"Begitu, ya ... ya sudah, ayo naik," gumamnya.
Aku pun langsung mengenakan helmku lalu naik dan duduk di belakangnya. Kuhela napas lega karena papa tidak menanyakan apa-apa lagi. 'Syukurlah Papa percaya. Kalau Papa tidak mempercayaiku, aku tidak punya pilihan lain selain menceritakan yang sebenarnya.'
.
.
.
Papa menghentikan motornya di depan teras rumah yang sudah kulihat tak terhitung kali banyaknya. Aku pun turun dari motor dan melangkah masuk ke dalam bangunan bercat hijau di depan.
Setelah melepaskan sepatuku dan memasukkannya ke dalam rak sepatu, aku melangkah menuju kamar tidurku. Saat melewati ruang tamu, seorang wanita yang lebih tua 26 tahun dariku mencegatku dan bertanya kepadaku.
"Frey, kok bajumu kotor begini? Pipimu juga, kenapa bisa merah begitu?" tanyanya heran.
"Tadi aku terjatuh gara-gara terinjak tali sepatuku, Ma." Aku menjawab pertanyaan mama dengan kebohongan yang sama persis dengan yang kukatakan kepada suaminya.
Mama ber oh ria lalu menyuruhku untuk segera mandi dan mengganti bajuku karena penampilanku saat ini tidak enak untuk dilihat. Aku pun menuruti perintahnya dengan perasaan lega karena dia mempercayai kebohonganku begitu saja.
Setelah mandi dan berganti baju, aku makan siang lalu rebahan di ranjang sambil memainkan telepon pintarku. Kudapati ada banyak pesan masuk dan aku menyesal karena sudah membacanya. Pesan-pesan itu berisikan ujaran kebencian dan ejekan dari geng Celestine.
[Dasar cacat. Malu-maluin kelas dan sekolah saja.]
[Jangan datang ke sekolah lagi. Tempatnya mutant bukan di sekolah, tetapi di laboratorium. Wkwkwk.]
Aku mematikan telepon pintarku lalu meletakkannya di samping bantal. Kuangkat tangan kananku dan menutup kedua mataku dengan lengan kananku. Hembusan napas berat terlepas dari mulutku.
"Mereka dengan seenaknya menghakimiku yang tidak pernah menjahati mereka. Hanya karena aku sedikit 'berbeda' dengan mereka, mereka menindasku ... sebenarnya apa yang mereka dapat dari membuliku? Hiburan dari jenuhnya sekolah?" gumamku dengan lesu.
"Serukah merundungku begini?" tanyaku sambil tersenyum pahit.
Aku memiringkan badanku menghadap benda pipih yang tergeletak di samping bantal. Kuraih telepon pintarku lalu menyalakannya. Aku mengetik sebuah pertanyaan pada mesin pencarian; "Apa yang harus dilakukan saat dibuli?"
Keluarlah deretan situs yang merupakan jawaban dari pertanyaanku. Hampir semua situs menyarankan untuk melapor pada orang dewasa yang bisa dipercaya, mengabaikan upaya bullying, hindari konfrontasi fisik, dan lain-lain.
Aku merasa kurang puas dengan saran-saran itu. Namun, mungkin saran pertama akan lebih membantuku. Papa dan mama pasti akan membantuku untuk menghentikan perundungan yang kualami.
Kumatikan lagi telepon pintarku dan meletakkannya di samping bantal lagi. Aku bangkit dari ranjang dan beranjak keluar dari kamar tidurku. Aku celingak-celinguk mencari keberadaan orang tuaku. Kutemukan mama sedang berbaring di sofa ruang keluarga.
Aku pun menghampirinya dan berkata, "Ma, sebenarnya tadi pas di sekolah aku ... dibuli."
Ingatan buruk di sekolah kembali menghantuiku. Ritme detak jantungku semakin kencang dan napasku kian mencepat. Aku mengepalkan tanganku yang dingin dan menggigit bibir bawahku yang bergetar.
Kulirik ke arah mama yang kelihatannya tidak terkejut atau marah sama sekali. Melihatnya yang tidak menampilkan reaksi apa pun, aku pun menjadi heran. 'Apa dia tidak mendengarku?'
Sebelum aku mengulangi perkataanku, mama membuka mulutnya dan berkata, "Abaikan saja mereka, palingan mereka hanya main-main. Nanti mereka pasti akan berhenti dengan sendirinya."
Perkataan mama yang terdengar tidak mempedulikanku menghancurkan ekspetasiku. Kupikir dia akan marah setelah mengetahui aku dibuli di sekolah, ternyata tidak, dia hanya menyuruhku untuk mengabaikan mereka.
Kepalan tanganku semakin erat. 'Bukankah secara tidak langsung Mama menyuruhku untuk menyelesaikan masalahku sendiri?'
"Kalaupun aku sudah mengabaikan mereka dan mereka masih membuliku, apa yang harus kulakukan?" tanyaku lagi.
Dengan entengnya mama menjawab, "Bertahan saja. Palingan kamu hanya akan mengalaminya selama beberapa minggu, seperti kakakmu dulu."
Aku tidak habis pikir dengan jawaban mama. 'Mama terlalu meremehkan masalah ini ... dia menyuruhku bertahan dari hinaan dan kekerasan yang kuderita? Tak hanya itu, dia bahkan menyamakan pembulian yang kualami dengan yang dulu kakakku alami?'
"Ma, dulu kakak cuma diejek 'baboon' karena dia gendut, beda sama aku; aku dikatai 'cacat, monster' ... tak hanya itu saja, aku bahkan sampai dipukul dan diinjak-injak oleh teman sekelasku," jelasku bahwa pembulian yang kualami jauh lebih berat daripada yang kakakku alami dulu.
Tiba-tiba mama meninggikan suaranya terhadapku. "Freya, kamu bisa diam tidak sih? Mama jadi tidak fokus nonton nih!"
Aku tertegun karena dibentak oleh mama dan secara tidak langsung diusir olehnya. Aku pun memutuskan untuk pergi mengadu papa. Siapa tahu dia akan memberikan solusi yang lebih baik daripada mama.
"Jangan terlalu dipikirkan, Nak, mereka hanya penasaran. Nanti juga bakal berhenti sendiri kalau sudah tidak penasaran lagi," ujar papa.
"Oke, Pa ...," balasku sambil menundukkan kepalaku.
Tidak ada gunanya aku keras kepala meyakinkan mereka tentang penderitaanku, mereka tidak akan mengerti karena belum pernah mengalaminya secara langsung. Pada akhirnya aku kembali ke kamarku tanpa menemukan solusi terhadap persoalanku.
Aku menutup pintu kamarku lalu duduk berselonjor di lantai sambil menyandarkan punggungku pada papan kayu di belakangku. Aku menundukkan kepalaku dan memejamkan mataku.
"Kalau tidak ada yang mengerti, lalu kepada siapa aku harus bersandar?"
Sinar matahari pagi menyeruak masuk menembus gorden pink. Sontak aku mengernyitkan mataku secara spontan. Silau sekali. Rasa kantukku langsung menghilang berkat sambutan yang menyilaukan dari Sang Surya.Aku merenggangkan badanku yang kaku dan lesu setelah bangun dari tidur. Terdengar bunyi 'kretek' dari tulang punggungku saat aku melakukan perenggangan badan. Rasa nyaman langsung menyebar ke sekujur tubuhku, punggungku tidak pegal lagi.Kuambil telepon pintarku yang tergeletak di atas nakas dan menyalakannya. Aku mengecek jam yang tampil pada layar benda pipih itu, jam menunjukkan pukul 06.09. Masih ada 1 jam 21 menit sebelum gerbang sekolah ditutup.Kumatikan teleponku dan bergumam, "Aku tidak mau ke sekolah ...."Aku meletakkan telepon pintarku di tempatnya semula; di atas nakas. Kutarik selimutku dan memejamkan kedua mataku, mencoba tidur lagi walaupun kedua mataku sudah sangat segar sekarang."Aku tidak mau ke sekolah ... aku takut dibuli oleh
Aku berpamitan dengan papa sebelum turun dari mobil. Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Pada akhirnya aku datang ke tempat yang tak kuinginkan untuk didatangi.Kakak laki-lakiku berjalan mendahuluiku dengan langkah cepat. Sosoknya semakin menjauh hingga menghilang di balik gedung SMA yang berhadapan dengan gedung SMP. Padahal biasanya kami berjalan berdampingan, tetapi kali ini dia meninggalkanku sehingga aku berjalan seorang diri.Saat aku menginjakkan kakiku di gedung SMP, kudapati siswa-siswi yang berlalu-lalang saling berbisik sambil melirikku dengan sinis. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bisikkan karena suaranya kecil. Namun, kurang lebih aku tahu apa yang mereka omongkan; pasti tentang jari kakiku.Aku melangkah menuju tangga sambil menurunkan pandanganku. Aku tidak sanggup melihat tatapan sinis dari orang lain. Tatapan mereka yang menatapku dengan merendahkan dan jijik membuat kepercayaan diriku menyusut hingga tak
Bel masukan berbunyi. Semua murid yang berada di luar berbondong-bondong memasuki kelasnya. Kulihat Vania dan Jonathan memasuki ruangan ini bersama-sama dan duduk di kursinya masing-masing.Sebelum Vania duduk di kursinya, dia berdiri di tempat kosong yang berada di sisi kanan mejanya, yang tak lain adalah tempatku duduk sebelumnya. Dia terlihat bengong karena teman sebangkunya menghilang berserta dengan meja kursinya.Saat dia mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan, mata kami saling bertemu. Tampak jelas keterkejutan di dalam mata hitamnya. Sedetik kemudian, pandangan terkejut itu berubah menjadi pandangan kecewa.Kurasakan hatiku seperti ditusuk jarum saat melihat tatapannya yang seperti dikhianati oleh orang terpercayanya. Aku pun bangkit dari kursiku dan hendak menghampirinya untuk menjelaskan kenapa aku pindah ke sini, tetapi rencanaku hanya menjadi wacana."Berdiri," ucap seseorang sehingga semua siswa dan siswi yang tadinya duduk langsung ba
Bel istirahat berbunyi. Semua murid bersorak gembira karena pelajaran telah berakhir dan bisa istirahat selama setengah jam. Para siswa-siswi yang kelaparan beranjak dari kelas dan pergi ke kantin untuk makan, tak terkecuali diriku. Kali ini aku pergi ke kantin sendirian, padahal biasanya aku akan pergi bersama Vania dan Jonathan. Selama aku berjalan, aku mendapatkan tatapan sinis dan bisikan dari orang-orang di sekitar. Tak hanya murid SMP saja yang mengomongiku, murid SMA pun ikut mengomongiku. "Itu 'kan yang jari kakinya 11?" "Iya, kalau tidak salah itu adiknya Alexander." Aku merasa bersalah karena kakak jadi ikut diomongi. Kupercepat langkah kakiku agar cepat sampai di kantin. Begitu aku memasuki gedung kantin, puluhan pasang mata tertuju kepadaku, diikuti dengan bisikan yang tak mengenakan. Aku berusaha mengabaikan mereka dan memesan makananku. Setelah mendapatkan makanan dan minumanku, aku berjalan mencari meja kosong. Saat tengah menge
Aku berada di dalam sebuah ruangan berbentuk persegi panjang yang tidak begitu luas. Ruangan ini diisi oleh sebuah meja, 2 buah kursi, kabinet, rak buku, dan sebuah sofa yang empuk. Beberapa bingkai foto menghiasi dinding yang berwarna putih bersih. Pria berkepala setengah botak yang mengantar aku dan Maryam ke sini menarik dua kursi untuk kami. "Duduk!" Tanpa berkata apa-apa, kami berdua menuruti perintahnya dan duduk di kursi yang ditunjuk olehnya. Setelah kami duduk, pria yang merupakan guru BK itu pun duduk di depan kami. Aku jadi gugup karena duduk berhadapan dengan guru BK yang terkenal menyeramkan saat marah. "Kenapa tadi kalian bertengkar? Seperti anak kecil saja!" tanya guru BK sambil menunjuk aku dan Maryam secara bergantian. "Dia merobek buku saya, Pak!" Aku mengadu sambil menunjuk Maryam dengan jari telunjukku. "Hah? Mana ada!" sangkal Maryam. "Jahat kamu, ya, main tuduh saja!" Aku mengalihkan pandanganku dari gadis berkunc
Bunyi yang sudah lama dinanti-nantikan oleh para siswa dan siswi akhirnya terdengar. Bel pulangan berdering dan menggema ke sepenjuru gedung sekolah. Semua orang berhamburan pulang ke rumah, kecuali beberapa murid yang termasuk diriku sendiri. "Hizz, malasnya aku berduaan sama kamu lagi," desis seorang gadis berkuncir dua yang berjalan di depanku, yang tak lain adalah Maryam. "Kamu pikir kamu saja yang malas? Aku juga tidak mau berduaan sama kamu," balasku. Tiba-tiba Maryam menghentikan langkahnya sehingga aku pun menghentikan langkahku. Dia membalikkan badannya, menghadap ke arahku. Sebuah senyuman terpasang pada wajahnya, membuatku berprasangka buruk dengan apa yang akan dikatakannya selanjutnya. "WC perempuan ada di lantai 1 dan 3, kan? Jadi, kamu bersihkan lantai 1, sedangkan aku bersihkan lantai 2 supaya kita tidak perlu berbarengan lagi," usulnya sambil menjentikkan jari. Kukira dia akan mengusulkan sesuatu yang akan merugikanku, t
Mama menghentikan motornya di depan teras rumah kami. Aku pun turun dari motor dan menunggu mama selesai memarkirkan motornya. Setelah mama memarkirkan motornya dengan rapi, kami masuk ke rumah bersama-sama.Mama duduk di sofa dan mengajakku untuk duduk bersamanya. "Duduk. Ayo kita lanjutkan obrolan kita tadi."Aku menganggukkan kepalaku lalu duduk di sofa lain karena tidak berani duduk di sofa yang sama dengan mama. Aku mengatupkan tanganku dan memainkan jemariku, berusaha menahan rasa gugup dan takutku."Kok bisa kamu dihukum membersihkan WC?" tanya mama menginterogasiku."Itu ... gara-gara aku berkelahi sama Maryam," jawabku dengan suara kecil."Apa?!" Mama melebarkan matanya setelah mendengar jawabanku. Dia melotot kepadaku. Matanya yang sipit terbuka lebar hingga terlihat seperti akan melompat keluar dari kantong matanya."Memangnya kamu anak kecil, ya, sampai berkelahi sama Maryam? Lagi pula, Maryam 'kan sepupumu, kok bisa sampai berke
Beberapa hari kemudian, aku memulai keseharianku seperti biasa; bangun tidur lalu mandi, ganti baju, menyiapkan buku pelajaran, sarapan, dan pergi ke sekolah. Papa menurunkan aku dan kakak di depan gerbang sekolah. Kami berdua berjalan menuju gedung sekolah masing-masing. Kakak tidak berjalan bersebelahan denganku karena tidak ingin ikut menjadi bahan omongan orang lain. Sampailah aku di ruang kelasku; kelas 9-B. Saat aku memasuki kelas, kudapati ada banyak teman sekelasku yang sudah lebih dulu datang sebelum aku. Mereka mengabaikan kehadiranku seakan-akan aku adalah angin yang tak terlihat oleh mata. Aku tiba di mejaku dan menyadari sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Permukaan mejaku yang biasanya bersih tanpa coretan apa pun, kini mendapatkan 'hiasan' berupa tulisan yang mengejek. -Cleaning service, maid, tukang bersih-bersih WC. Tanpa perlu melihat secara langsung siapa yang menulisnya, aku sudah tahu siapa pelaku dari tulisan-tulisan ini. Aku m
'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM
“Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti
"Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer
Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di
Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba
Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.
Tiba-tiba pandanganku seperti berputar dengan sangat cepat. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat dan memegangi kepalaku yang terasa seperti mau meledak. Jeritan yang nyaring pun keluar dari mulutku.Jeritanku menggema, menciptakan perulangan suara yang tiada henti. 1 menit, 10 menit, 100 menit, aku tidak tahu sudah berapa lama suaraku menggema seperti itu, masih tak kunjung berhenti juga gemanya.Aku membuka kedua mataku yang tertutup secara perlahan-lahan. Begitu aku membuka mataku, aku menyadari diriku tidak berada di sekolah. Hampa. Hanya warna putih saja yang kulihat."Apa aku jadi buta? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?" tanyaku.Pertanyaan yang kutanyakan itu menggema seperti suara jeritanku tadi. Kedua suara itu bercampur aduk menjadi satu. Terulang tanpa henti, volume dari gema itu sedikit pun tidak berkurang walaupun beberapa waktu telah berlalu.Situasi yang sangat aneh ini membuatku takut, terlebih lagi karena aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. 'Kenapa aku bis
Entah sudah berapa hari telah berlalu, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan bisa kembali bersekolah seperti biasa lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah yang sudah lama tidak kutinggali.Aku memandang perabotan-perabotan yang mengisi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku. Meskipun begitu, aku merasa sedikit asing dengan rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir.Aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. 'Rasa janggal apa ini? Apa aku melupakan sesuatu yang penting?'"Freya, kenapa kamu bengong saja di sana?" Terdengar suara mama bertanya kepadaku.Mendengar pertanyaan itu, aku langsung tersadar dari lamunanku dan sontak menoleh ke arah sumber suara. Kudapati mama, papa, dan kakak berdiri di belakangku, sambil dengan tatapan khawatir memandang ke arahku."Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit lagi?" tanya papa dengan tampang cemas.Aku menjawab pertanyaan papa dengan sebuah gelengan k
Telingaku menangkap suara yang samar-samar. Walaupun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, entah kenapa aku merasa suara itu terdengar sedih. Kubuka kelopak mataku secara perlahan.Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku begitu aku membuka kedua mataku. Sangat-sangat terang sampai hanya warna putih saja yang terlihat olehku. Perlahan-lahan, mataku mulai beradaptasi dan aku mulai bisa melihat dengan lebih jelas.Kudapati ada beberapa figur manusia berdiri di sampingku, ada juga yang duduk di sisiku. Meskipun penglihatanku buram, aku masih bisa mengenali siapa saja yang berada di dekatku saat ini.Pandanganku tertuju pada wanita yang duduk di sisiku. "Mama ...?""Freya!" seru mama dengan suara parau.Mama langsung memelukku dengan erat. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir menuruni pipiku. Itu bukan air mataku, melainkan air matanya mama. Dia menangis dengan histeris sambil mendekapku dengan erat, seolah-olah takut kehilangan aku."Freya, maafkan kami, Nak ...." Papa yang