BAB 1
“Aku udah sampe. Kamu dimana? Masih lama nggak?”
Terdengar suara kekehan kecil di ujung telfon, “Tanyanya satu-satu dong, Sayang.”
“Ini aku bentar lagi sampe kok. Tunggu bentar ya, Sayang.” lanjutnya.
“Oke deh. Jangan lama-lama ya! Hati-hati.” Aku pun memutuskan sambungan telfon.
Sembari menunggu, aku berjalan mencari meja yang masih kosong. Pelayan langsung menyodorkan menu setelah aku menempati tempat yang kosong.
Aku membolak-balik halaman demi halaman menu di depanku. Mencari menu yang terlihat menarik.
“Hai Sayang! Maaf nunggu lama ya.” Dia mencium pipiku sekilas lalu duduk dihadapanku.
Aku melihatnya yang sedang mengatur nafas, “Abis lari-lari apa gimana sih? Sampe kayak gitu nafasnya?”
“Iya, abis lari-lari, soalnya kalau kelamaan ada yang ngamuk nanti.” Ledeknya
Aku berdecak gemas mendengar ucapannya, “Kamu mau pesen apa?” tanyaku sembari menyodorkan buku menu di hadapannya.
“Aku mau Steik aja.”
“Oke. Wine mau?”
“Boleh, Hon. Yang biasa ya.”
Aku mengangguk mengerti lalu memanggil pelayan untuk memesan.
“Gimana kerjaan kamu? Ada masalah?” tanyaku setelah pelayan pergi dari meja kami.
“Nggak gimana-gimana sih, kayak biasa aja. Pagi tadi meeting sama beberapa client terus udah deh, aku kesini.”
“Kamu gimana? Masih pusing sama pemotretan bulan depan?” tanyanya balik.
Aku menghela nafas panjang, “Yahh— Masih sama aja. Kadang kesel sendiri kalau modelnya banyak mau.”
“Apalagi kalau dari kantor memberi kebebasan untuk modelnya ikut berkonsep. Konsepnya jadi nggak matang.” keluhku.
Saat Aku menceritakan keluh kesahku, dia mendengarkan sembari mengelus telapak tanganku lembut. Hal yang selalu dia lakukan jika aku sedang berkeluh kesah padanya. Untuk membantu menenangkan perasaanku, katanya. Dan itu membuatku makin jatuh hati padanya.
“Sabar aja, Hon. Ya namanya orang ngga begitu berpengalaman pasti begitu. Semaunya sendiri kan?”
Hal ini juga yang membuatku jatuh hati padanya. Dia merupakan pacar yang bisa menjadi tempatku berkeluh kesah. Disaat bersamaan, dia bisa menjadi temanku bicara. Sampai aku merasa, hanya memiliknya aku tidak butuh apapun lagi.
Tak lama, pesanan kami pun datang.
“Aku suka banget steik-nya disini. Enak.” kataku yang disetujui juga olehnya.
Kami berdua menikmati makanan yang ada didepan kami.
“Oh ya, Hon, Mama tadi telfon aku, katanya Mama kangen sama kamu. Kamu disuruh ke rumah, sama Mama.” Ucapnya sembari memasukan potongan daging kemulutnya.
“Weekend ya, aku ke rumah Mama. Aku harus mengurus beberapa project dulu. Takutnya nggak sesuai sama deadline-nya.”
“Iya, gapapa, Sayang. Aku cuma kasih tau pesen Mama aja. Soalnya, kamu-nya juga kadang susah dihubungi kalau lagi kerja. Jadi Mama titip pesen aja.” Jelasnya.
Aku memasang raut wajah bersalah, “Maaf ya, bukannya aku ga peduli sama Mama kamu. Tapi minggu-minggu ini emang Aku lagi sibuk banget di kantor.”
Dia tersenyum tulus lalu mengelus lembut pipiku, “Aku tau. It’s Okay.”
Aku tersenyum nyaman, menikmati perlakuan lembutnya.
*****
Saat ini kami berdua sudah berada di dalam mobil. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Seperti biasa, saat kami menghabiskan waktu bersama, dia akan selalu mengantarku pulang.
Aku menatapnya yang sedang fokus menyetir. Dia, Kei Sagara, lelaki tampan yang berhasil merebut hatiku, Freya Amelia, empat tahun yang lalu. Kei datang begitu saja, seolah takdir memang mempertemukan kita untuk menjalin sebuah kisah bersama. Dia lelaki yang baik, sangat bertanggung jawab terhadap apapun. Dari awal bertemu dengannya, menatap matanya, seolah aku terjerat didalamnya dan tak mau lepas. Tatapan lembutnya mampu membiusku, memporak-porandakan pertahananku hingga aku mampu mengatakan ‘Aku mencintaimu!’
Aku tersadar dari lamunanku saat terasa cubitan kecil di pipiku. “Kenapa?” Kei menoleh sebentar ke arahku lalu tersenyum kecil, “Kamu yang kenapa?”
“Bengong sambil liatin aku terus. Dipanggil nggak jawab.”
“Oh— Maaf.”
“Gapapa, Sayang.” Jawabnya sambil tersenyum. “Besok kamu mau aku anter ke kantor? Aku pagi free kok.” Lanjutnya bertanya.
Aku menggelengkan kepala, “Engga usah, Kei. Aku bisa sendiri kok.”
“Iya aku tau, kamu bisa sendiri. Tapi kan, nggak ada salahnya kalau aku mau anter kamu kan?”
“Aku sendiri gapapa, Kei. Harusnya kamu manfaatin waktu free kamu buat istirahat. I’m Okay kok.” Dia berdecak pelan, “Istirahat berlebihan juga nggak bagus, Frey. Mending aku anter kamu. Udah ya, nggak ada penolakan. Besok aku jemput jam tujuh pagi.”
Bersamaan dengan keputusan final yang Dia buat, mobil pun tepat berhenti di depan rumahku. Aku hanya menghela nafas panjang. Mencoba sabar dengan sifat over protective nya.
“Yaudah, aku turun ya. Good night!” aku mengecup singkat bibirnya sembari turun dari mobil.
Melambaikan tangan sebentar kearahnya lalu beranjak masuk kedalam rumah. Badanku sudah terasa lengket dan aku butuh mandi air hangat untuk berendam.
*****
Setelah selesai membersihkan badan, aku membaringkan tubuhku di kasur. Menatap langit-langit kamarku. Terkadang, aku merasa tidak nyaman dengan perlakuan berlebih Kei. Terkadang pun, dia terlalu keras kepala dan tidak suka jika apa yang menurutnya benar, dibantah. Disaat aku mempermasalahkan hal itu, Kei selalu memberi pembelaan bahwa itu merupakan bentuk perhatiannya terhadapku.
Ddddrtt….. Ddddrrrtttt……
Aku mengambil ponselku, kulihat nama Kei disana.
“Halo, Kei.” sapaku saat menjawab panggilan darinya.
“Belum tidur?”
“Setelah ini, abis bersih-bersih dan mandi tadi. Badanku—“
“Aku sudah bilang Frey, nggak baik mandi malam-malam! Kamu bisa sakit.” potongnya.
“Tapi aku nggak bisa tidur kalau badannya lengket, Kei.” jelasku pelan.
“Harus dibiasakan dong! Dari dulu aku udah sering bilang loh!”
Oke, jika seperti ini cara satu-satunya hanya mengalah. Jika perdebatan ini diteruskan, maka Kei akan naik pitam dan mala mini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak karena mendnegar omelan-omelannya sepanjang malam. “Iya, aku minta maaf. Bakal aku coba untuk nggak mandi malam.”
“Oke. Sekarang tidur, sudah malam. Besok aku jemput. See you.”
Tut!
Hhhh— Dia yang menelfon malam-malam lalu mengajak berdebat, dia juga yang memutuskan panggilan. Sabarrrrr…. Freya!
Aku pun memejamkan mata, bersiap untuk menuju alam mimpi. Berharap hari esok akan lebih baik.
*****
Dddrrtttt…. Dddrtttt…..
Aku mengerjapkan mataku, mengambil ponselku di sebelah kasur. Siapa sih yang telfon pagi-pagi begini?!
“Halo, Rey.” jawabku dengan suara parau..
“Halo, Frey. Gue mau kasi tau kalau tim nya Sofia minta meeting lagi di studio. Lo bisa kan sampe studio jam 7?”
Aku membelalak kaget, dengan otomatis aku menjauhkan layar ponsel dari telingaku, lalu melihat jam disana.
“Gila ya? Ini jam setengah 7 loh!” pekikku panik. “Mendadak banget sih anjir!” sambungku.
“Ya gimana!? Gue juga barusan banget dikabarin sama mereka. Mereka masih rada-rada enggak sreg sama kostum yang terakhir kemarin.” jelas Reyhan dengan nada jengkel.
Aku mengehela nafas kasar sembari memijit batang hidungku. Pusing melandaku tiba-tiba karena mendengar kabar dari Reyhan. “Yaudah deh, gue siap-siap dulu.”
“Oke, Frey! Gue juga udah mau otewe ke studio. See y!”
Aku dengan gerakan super kilat langsung melompat dari kasurku menuju kamar mandi. Berusaha mandi secepat kilat. Sialan! Kenapa juga mereka se-enaknya menentukan jadwal-jadwal meeting seperti ini sih?!
Hanya butuh waktu 10 menit untuk aku mandi, lalu buru-buru aku mengeringkan rambut sambil bersiap-siap. Aku sempatkan menelfon Kei untuk mengabarinya bahwa aku harus berangkat sekarang.
“Halo Kei?”
“Hm?” sahutnya cuek. Rupanya mood nya masih tidak baik-baik saja.
“Kei, aku harus berangkat sekarang. Tim Sofia minta buat meeting jam tujuh ini. Jadi aku berangkat sendiri dulu aja ya. Kalau nunggu kamu takut nggak—“
“Aku udah di depan. Cepetan” potongnya lalu mematikan sambungan telfon.
Apa-apaan dia? Kei jika sedang berada di mood yang jelek, sikapnya akan melebihi perempuan PMS, MENYEBALKAN!!!
Setelah memastikan rambutku kering, aku menyiapkan keperluan yang harus kubawa, memastikan lagi tidak ada yang tertinggal.
“Laptop— Ponsel— Dompet— Oke, sudah semua!” absenku satu-satu
Tanpa bisa sarapan terlebih dahulu, aku langsung berlari keluar rumah, benar saja, mobil Kei sudah berada di depan rumahku.
“Thanks, Kei!” ucapku setelah masuk ke dalam mobil.
Dia hanya membalas dengan anggukan kecil, lalu segera melajukan mobilnya. Untung sekali jalanan tidak begitu padat. Jadi aku masih bisa berharap sampai di studio tepat waktu.
Dengan cemas, sesekali aku memperhatikan jam yang melingkar di tanganku. Takut jika jarum jam terus bergerak. Menandakan waktuku untuk bisa datang tepat waktu semakin menipis.
Tiba-tiba Kei meletakkan sekotak susu almond di pahaku. “Diminum, biar nggak kosong-kosong banget perutnya.”
Walaupun dia ngambek denganku, dia tetap memberikan perhatian-perhatian kecil yang membuatku selalu tersentuh.
Aku mencium pipi kirinya, “Terimakasih, Sayang.” aku tersenyum kecil meeelllihat semburat merah yang muncul di pipinya.
Ahhh— lucunya kekasihku ini. Aku mengotak-atik ponselku sembari meminum susu almond pemberian Kei. Kulihat postingan demi postingan sosial media ku, hingga pandanganku berhenti di satu postingan.
“Kei?”
“Apa?” sahutnya tanpa menoleh ke arahku. “Mama kamu—“ Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, mobil Kei sudah sampai di depan studioku. Buru-buru aku turun dari mobil setelah melirik sekilas jam tanganku.
Dengan langkah lebar, aku berlari kecil menuju lantai tempat meeting. “Ah shit! Udah mepet banget jam nya.” omelku sambil melihat jam tanganku.
Sambil terengah-engah, akhirnya aku sampai di depan ruangan meeting, kuatur nafasku, merapikan penampilanku sedikit, lalu aku menarik nafas.
“Good morning!”
“Morning, Frey!”
Aku menarik kursi di sebelah Reyhan yang sedang mencari-cari inspirasi di laptopnya.
“Mereka belom dateng?”
Reyhan melihat ponselnya, “Tadi katanya udah mau sampe. Cuman gatau deh.”
“Hhhh— Untung deh, gue dateng duluan.”
Tak lama, Sofia dan tim nya pun datang dan langsung memposisikan diri mereka.
“Sorry kalau kita minta meeting dadakan seperti ini sebelumnya. Tapi, setelah hasil diskusi dari tim kami, kostum yang kemarin itu nggak sesuai banget sama seleranya Sofia. Jadi kita kecewa dengan hasilnya.” jelas manajer Sofia to the point.
“Untuk permasalahan kostum, kita nggak bisa asal mengganti. Karena kostum disediakan oleh pihak sponsor. Jadi sudah ada ketentuan-ketentuannya dan kita tidak bisa seenaknya saja mengubah tema maupun kostum—“
“Tapi kalian sebagai fotografer pasti paham dong kalau beberapa kostum ada yang nggak cocok untuk dijadikan photoshoot!” bantah Sofia langsung tanpa mengijinkan aku menyelasaikan kalimatku. Dia ini benar-benar menyebalkan!
“Dari awal kontrak, kan sudah dijelaskan. Bahwa semua konsep foto maupun kostum itu keputusan pihak sponsor.” sahut Reyhan.
Sebenarnya dari awal, aku tidak setuju jika memakai Sofia sebagai model photoshoot kali ini. Reputasinya dalam dunia model terbilang cukup buruk. Dia terkenal suka se-enaknya sendiri, suka merendahkan karyawan dan sombong.
Setelah berdebat cukup panjang, akhirnya pihak Sofia mengalah. Walaupun raut tidak senang sangat terlihat jelas di wajah mereka semua. Tapi apa boleh buat? Peraturan tetap peraturan kan?
Aku menghempaskan tubuhku di kursi, "Kan ujung-ujungnya sama aja! Ngotot banget sih, astaga!” omel Reyhan. “Udah bukan hal biasa lagi kan kalau berurusan sama Sofia? Selalu aja bikin drama gajelas.” sahutku malas.
“Gue masih ngantuk banget, ya ampun!” aku mengusap wajahku kasar. “Beli kopi di cafe depan yuk, Rey? Nggak kuat nih mata gue!”
Reyhan mengangguk menyetujui ajakanku.
Sembari berjalan beriringan menuju cafe seberang, aku dan Reyhan ngobrol-ngobrol santai sambil bercanda. Dan langkahku terhenti ketika melihat Kei duduk di kursi sebelah pintu masuk studioku.
Tatapan tidak suka terlihat jelas di matanya, aku menghampirinya dengan memasang senyum yang sedikit dipaksakan. “Kamu masih disini?”
“Mau kemana kamu?” Kei tidak menjawab pertanyaanku malah berbalik mengintrogasiku dengan melirik kea rah Reyhan yang terlihat salah tingkah.
“Ke cafe depan sama Reyhan. Beli kopi, Kei. Mataku berat banget soalnya.” jelasku.
“Mama mau kita ke rumah sekarang.”
Aku melotot kaget, “Nggak bisa sekarang, Kei. Aku masih ada—“
“Kamu nolak kemauan Mamaku?”
“Bukan gitu, Kei! Tapi, hari ini memang jadwalku nggak bisa ditinggal. Banyak yang harus aku urus dulu.” Tanpa kusadari, Reyhan sudah menghilang, meninggalkan kami berdua yang masih adu argumen.
“Sebentar saja. Apa nggak bisa kamu luangin waktu sebentar? Ini buat Mamaku loh, Frey?!”
“Kei— Please?” aku memelas di hadapannya, mencoba agar dia mau mengerti kondisiku saat ini.
Aku menghela nafas panjang— entah ke berapa kalinya. Menahan air mata pun sedang aku lakukan. Terkadang, menyesakkan saat Kei bertindak egois seperti saat ini.Kei mengeraskan rahangnya, pertanda ia sedang menahan emosinya. “Mama cuman mau kita ke rumah loh, Frey! Ngggak susah kan?!” desisnya menahan emosi.“Aku tau, Kei. Kalau hari ini aku free, aku pasti mau kok. Tapi, jadwalku hari ini padat banget.”“Yaudah batalin! Bisa kan?!” spontan aku memejamkan mataku takut saat Kei membentakku. Sekelilingku pun turut berhenti sejenak melihat ke arah kami, penasaran.“Bisa kan, Frey?! Jawab!" bentaknya dengan tangan yang mencengkram kuat bahuku seperti tidak memperdulikan orang-orang sekitar yang mulai berbisik sembari melihat ke arah kami.“Oke.” putusku dengan nada lirih bersamaan dengan cengkraman Kei yang mulai luruh. Lagi-lagi aku lebih memilih untuk mengalah. Mengesampingkan ego ku
Sinar cahaya pagi menembus dari jendela kamarku, membuatku mengerjapkan mata beberapa kali berusaha menghalau silaunya. Aku meraba kasur disebelahku, Kei sudah bangun terlebih dahulu rupanya. Aku langsung duduk, mengumpulkan nyawaku sebentar lalu mencari keberadaan Kei.“Good morning” sapa ku saat melihat Kei sedang berkutat di dapur.Dia menoleh ke arahku, lalu tersenyum. “Good morning, Sayang.”“Kamu duduk aja dulu, aku bikini sarapan buat kita.” lanjutnya yang masih fokus dengan mangkok di tangannya.“Aku nggak boleh bantuin kamu?”“Nggak boleh.”Aku memanyunkan bibirku sembari berjalan menghampirinya.“Emang lagi bikin apa sih?” aku memeluk tubuhnya dari belakang.“Cuman bikin pancake aja sama scrambled egg”“Kamu nggak ada jadwal ketemu client?”“Ini hari weeke
“Freya Amelia, will you marry me?”Kata-kata itu terus berputar di benakku dari semalam hingga pagi ini. Bahkan aku tidak bisa tidur karena memikirkan itu terus menerus.Jika kalian berpikir aku menerimanya, ya memang akhirnya mulutku berkata “Yes, I will”Dan saat itu juga Kei langsung memelukku erat sembari membisikkan ucapan etrimakasih terus menerus di telingaku, tak lupa juga dengan sorak-sorai dari pengunjung restoran lainnya yang ikut memeriahkan.Namun, bukan itu yang aku pikirkan saat ini. Aku menatap cincin yang melingkari jari manisku dengan indahnya. Apakah keputusanku ini benar adanya? Apa benar-benar bisa aku merajut mimpi-mimpiku bersama Kei nantinya?Lamunanku buyar saat terdengar bunyi alarm dari ponselku. Menunjukkan pukul lima pagi. Ya— yang seperti aku katakana tadi, aku benar-benar tidak bisa memejamkan mataku dari semalam Kei mengantarku pulang. Otakku terus memikirkan k
Aku terdiam mematung di tempatku berdiri. Menatap layar ponsel Kei yang menampilkan foto saat aku dan Reyhan berpelukan di Villa. Aku tidak tau darimana Kei bisa dapat foto itu, bahkan aku bingung, siapa yang bisa-bisanya memotret kejadian itu.“Kurangnya aku apa, Freya?”Aku menggeleng sambil menangis sesenggukan. “Ini nggak seperti yang kamu pikir, Kei.”“Aku bisa jelasin ke kamu. Percaya sama aku. Please?” mohonku dengan memegang tangan Kei erat-erat.Kei hanya menunguk, mengusap air matanya yang keluar. Aku merasa bersalah dibuatnya. Melihatnya seperti ini, membuat hatiku sangat sakit.“Dengan kasih ijin kamu pergi tanpa pengawasanku mungkin adalah kesalahan terbesarku.” ujarnya lirih.“Enggak, Kei. Please dengerin penjelasanku dulu.”Kei menatap mataku lekat-lekat. “Apa kamu lebih nyaman cerita tentang masalahmu sama dia, Frey? Apa aku nggak bisa
Aku memencet bel apartment Kei terus menerus. Menunggu sang pemilik membukakan pintunya. Belum terlihat tanda-tanda jika Kei akan membuka pintu, aku mememcet belnya kembali. Sampai akhirnya terdengar bunyi pintu terbuka.“Kenapa kamu disini?” tanya Kei dengan raut wajah terkejut karena melihatku berdidi di depan pintu apartment nya.“Ada yang mau aku omongin sama kamu. Kita nggak bisa nunda-nunda masalah kayak gini, Kei.”“Pulang lah. Aku lagi nggak mau nge-bahas itu.” lalu Kei berniat untuk menutup pintunya, namun aku buru-buru mencegahnya dan langsung masuk kedalam tanpa persetujuannya.“Freya. Aku lagi butuh waktu.”Aku menggeleng tegas. “Nggak bisa. Waktu kamu udah aku kasih semalem. Sekarang kita harus bahas ini. Kmau nggak bisa terus-terusan salah paham sama aku.”Kei mengacak rambutnya kesal. “Tolong ngertiin aku, Frey! Aku nggak bisa bahas ini sekaran
Pagi ini, aku sudah berada di tempat yang rutin aku kunjungi. Tempat dimana aku bisa mencurahkan semua keluh kesahku tanpa malu. Setiap kemari, aku selalu se maksimal mungkin berdandan cantik, menggunakan outfit yang indah dan tak lupa aku membawa beberapa bunga kesukaannya.Aku berjongkok di depan batu bertuliskan ‘DAYANA JULIA SEBASTIAN’. Ya, nama Mamaku sangat cantik bukan? Aku mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Mamaku.“Mama, Freya datang lagi loh.” ucapku dengan senyum tulus yang menghiasi raut wajahku.“Ini, Freya bawa bunga kesukaan Mama. Bunga Matahari.” aku meletakkan beberapa bouquet di depan batu nisannya lalu merubah posisiku menjadi duduk di samping makam Mamaku.“Mama apa kabar di sana? Pasti bahagia dong ya? Mama sama Papa selalu jagain Freya kan dari atas sana?” aku melihat batu nisan disebelah makam Mama.Ya, makam Mama dan Papa memang bersebelahan. Padahal da
“Halo Freya, barusan sampe?” tanya Tante Mora saat melihatku berjalan ke arahnya.“Iya, Tante. Tante kabarnya baik kan?”Tante Mora tersenyum lembut lalu mengusap lenganku pelan, “Baik dong, Sayang. Sana kamu samperin Kei. Dia ada di deket barbeque”“Oke, Tante.” aku berjalan ke tempat yang dibilang Tante Mora sambil celingukkan mencari keberadaan Kei.Setelah mencari-cari, akhirnya aku melihat Kei yang sedang berdiri di dekat kolam renang. Namun, kelihatannya dia sedang berbicara dengan seseorang.“Kei.” panggilku yang membuat dia dan orang yang sedang berbicaranya ikut menengok ke arahku. Wahh ternyata seorang perempuan muda yang sedang berbicara dengannyaMelihatku yang memanggilnya, ia melemparkan senyum manis lalu menghampiriku. “Hai, Sayang.”“Kamu ngobrol sama siapa?” tanyaku sambil melirik ke perempuan tadi.“Ohh… I
"Kei!" teriakku bersamaan dengan Tante Mora.Jujur saja aku tidak mengira jika Kei akan melayangkan tangan pada Dara, adiknya. Karena Kei adalah tipe orang yang sangat-sangat sayang dengan keluarganya. Apalagi adik satu-satunya itu. Mungkin saja, sikap Dara barusan memang sudah melewati batas wajar, dia terlalu terobsesi untuk memisahkanku dnegan kakaknya.Dara yang setelah mendapat tamparan dari Kei, menatap kakak tersayangnya dengan terkejut. Samar-sama kulihat juga air mata mulai membasahi pipinya. Aku pun berjalan pelan ke arah Dara yang masih tersungkur di hadapan Kei dengan mengenaskan.Aku bermaksud membantunya untuk duduk di sofa, namun yang kudapat hanyalah tepisan kasar darinya dan juga tatapan tajamnya. "Ini semua karena lo! Perempuan ular! Lo hasut Kakak gue apa, ha?!" teraiknya ke arahku."Dara! Cukup! Mama nggak pernah didik kamu jadi anak brutal kayak gini!" bentak Tante Mora sambil melotot ke arah Dara.Dara tersenyum remeh, "Cih! S
Aku berdiri mematung di tempatku. Tatapanku hanya tertuju pada gagang pintu yang sedang kupegang tanpa sempat membukanya. Jantungku berdetak tak karuan,diiringi dengan mataku yang mulai memanas. “Freya?” aku tidak bergeming, tetap dalam posisiku. Entahlah aku seperti tak punya keberanian untuk beranjak dari tempatku walau sejengkal saja. Aku mendengar langkah kaki mendekat ke arahku secara perlahan. Batinku berteriak untuk menghentikannya, namun lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa. “Freya.” badanku bergetar sedikit saat merasakan tangan besar miliknya menyentuh bahuku dengan pelan. “Hmm?” gumamku pelan tanpa berani melihatnya. Dengan sedikit paksaan, Reyhan membalikkan tubuhku, menghadap ke arahnya. Mendongakkan wajahku agar menatap matanya. “Kok nangis sih lo?” “Freya, gue cuman bercanda. Sumpah deh.” aku menatap kedua matanya. Mencari kebenaran disana. “Lo serius?” Reyhan mengangguk sembari terkekeh. “Iya, gue bercanda doang, Freya. Lo ng
BAB 13 “Maaf, mungkin aku yang nggak memahami posisi kamu.” ujarku lirih. Kei mendekat ke arahku perlahan, lalu duduk di sampingku. Meraihku kedalam dekapannya. “It’s okay. Aku juga minta maaf udah bentak-bentak kamu, bahkan kasar ke kamu.” Dan begitu saja pertengkaran kami selesai. Yah— jika kalian beranggapan aku bodoh, aku akui aku memang bodoh. Bahkan aku terlalu gila. Mengapa segampang itu aku mengalah? Aku juga tidak tau. Aku tidak bisa terus-terusan bertengkar dengannya. Jujur saja dalam hati kecilku, aku takut kehilangannya. Aku memang sakit, tapi aku akan lebih sakit lagi jika aku kehilangannya. ***** “Halo, Kei.” sapaku saat menjawab panggilan telfon darinya. “Sayang, aku hari ini harus ke luar kota. Mungkin dua sampai tiga hari. Aku harus pantau proyek disana. Kamu aku tinggal nggak apa-apa kan?” Aku berjalan ke arah meja kantorku sembari membaca beberapa dokumen-dokumen penting, “Nggak apa-apa, Kei. Aku bi
“Kenapa kamu tiba-tiba tanya kayak gini?” “Nggak apa-apa. Aku cuman pengen tau aja. Selama kita pacaran, kamu sama sekali nggak pernah bahas tentang mantan-mantan kamu, masa lalu kamu gimana, kayak apa.” Aku menatapnya, “Kamu sama sekali nggak pernah bahas hal itu. Aku pacar kamu, Kei. Aku juga berhak untuk tau itu dong.” Kei melepas tatapannya padaku, membenahi posisi duduknya yang agak menjauh dariku. Pandanganku tak lepas dari semua itu. Bahkan aku bisa melihat kedua ibu jari Kei mulai bergerak satu sama lain, kebiasaannya jika sedang gugup. Aku makin curiga dibuatnya. “Masa lalu nggak perlu kamu bahas-bahas lagi. Semua udah lewat. Fokus yang sekarang aja, fokus sama kita kedepannya.” kelaknya. “Gimana aku mau fokus sama kita kedepannya, kalau ternyata kamu sama masa lalu kamu aja masih terus beriringan? Gimana caranya, Kei?” “Ini bukan hal yang harus kita bahas sekarang loh, Frey.” “Nggak harus gimana?” sanggahku dengan nad
"Kakak barusan datang?" tiba-tiba terdengar suara Dara dari arah pintu. Kei hanya mengangguk sambil menggumamkan kata 'iya' "Kebetulan banget, Sarah mau ketemu Kakak. Kemarin dia mau ngobrol-ngobrol sama Kakak tapi nggak sempat." ujarnya sambil melirik ke arahku sekilas. Anak ini benar-benar! Setiap bertemu dia, aku harus ekstra sabar menghadapinya, kesabaranku juga diuji kalau berbicara dengan dia. Menyebalkan memang! Untung dia adik Kei, jika tidak— "Hai, Kei." Aku menoleh begitu saja saat Sarah menyapa Kei dengan santainya. Eh? Bukankah Sarah seumuran dengan Dara? Seharusnya dia memanggil Kei dengan embel-embel 'Kak' dong? Aku melihat ke arah Kei yang menatap Sarah tidak suka. "Hai. Tolong lain kali sopan sedikit ya. Aku lebih tua dari kamu. Nggak pantes kamu manggil namaku begitu saja." tegur Kei tegas. Kulihat Sarah tertegun di tempatnya. Setelah mengucapkan kata maaf, dia pun menunduk sedih. "Kak
"Kei? Ka—mu kapan datengnya?" Aku menghampirinya dengan hati tak karuan. "Sudah sejak tadi." jawabnya dengan tatapan yang tak putus dari Reyhan. Melihat itu, aku berusaha mengalihkan perhatian Kei. "Kamu kesini mau ngapain? Mau ke rumah Mama?" Kei menoleh ke arahku "Apa salahnya aku mau ketemu sama tunanganku? Apa aku perlu ijin buat ketemu kamu?" Skakmat! Aku rasa dia tau kalau aku sedang berusaha mengalihkan perhatiannya. Aku melirik Reyhan yang menatap Kei dengan datar. Seolah dia tidak merasa melakukan kesalahan apapun. Entah mengapa, tatapan mataku teralihkan ke belakang punggung Kei. Seperti ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Setelah aku menggeser sedikit posisi berdiriku, aku melihat Karina yang sedang menatap ke arah Reyhan. Aku tidak bisa mendeskripsikan tatapannya. Hanya saja, dia seperti sedang menahan amarah, terlihat dari kedua tangannya yang megepal disisi tubuhnya. "Karina?" panggilku. Karina menatapku deng
"Kei!" teriakku bersamaan dengan Tante Mora.Jujur saja aku tidak mengira jika Kei akan melayangkan tangan pada Dara, adiknya. Karena Kei adalah tipe orang yang sangat-sangat sayang dengan keluarganya. Apalagi adik satu-satunya itu. Mungkin saja, sikap Dara barusan memang sudah melewati batas wajar, dia terlalu terobsesi untuk memisahkanku dnegan kakaknya.Dara yang setelah mendapat tamparan dari Kei, menatap kakak tersayangnya dengan terkejut. Samar-sama kulihat juga air mata mulai membasahi pipinya. Aku pun berjalan pelan ke arah Dara yang masih tersungkur di hadapan Kei dengan mengenaskan.Aku bermaksud membantunya untuk duduk di sofa, namun yang kudapat hanyalah tepisan kasar darinya dan juga tatapan tajamnya. "Ini semua karena lo! Perempuan ular! Lo hasut Kakak gue apa, ha?!" teraiknya ke arahku."Dara! Cukup! Mama nggak pernah didik kamu jadi anak brutal kayak gini!" bentak Tante Mora sambil melotot ke arah Dara.Dara tersenyum remeh, "Cih! S
“Halo Freya, barusan sampe?” tanya Tante Mora saat melihatku berjalan ke arahnya.“Iya, Tante. Tante kabarnya baik kan?”Tante Mora tersenyum lembut lalu mengusap lenganku pelan, “Baik dong, Sayang. Sana kamu samperin Kei. Dia ada di deket barbeque”“Oke, Tante.” aku berjalan ke tempat yang dibilang Tante Mora sambil celingukkan mencari keberadaan Kei.Setelah mencari-cari, akhirnya aku melihat Kei yang sedang berdiri di dekat kolam renang. Namun, kelihatannya dia sedang berbicara dengan seseorang.“Kei.” panggilku yang membuat dia dan orang yang sedang berbicaranya ikut menengok ke arahku. Wahh ternyata seorang perempuan muda yang sedang berbicara dengannyaMelihatku yang memanggilnya, ia melemparkan senyum manis lalu menghampiriku. “Hai, Sayang.”“Kamu ngobrol sama siapa?” tanyaku sambil melirik ke perempuan tadi.“Ohh… I
Pagi ini, aku sudah berada di tempat yang rutin aku kunjungi. Tempat dimana aku bisa mencurahkan semua keluh kesahku tanpa malu. Setiap kemari, aku selalu se maksimal mungkin berdandan cantik, menggunakan outfit yang indah dan tak lupa aku membawa beberapa bunga kesukaannya.Aku berjongkok di depan batu bertuliskan ‘DAYANA JULIA SEBASTIAN’. Ya, nama Mamaku sangat cantik bukan? Aku mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Mamaku.“Mama, Freya datang lagi loh.” ucapku dengan senyum tulus yang menghiasi raut wajahku.“Ini, Freya bawa bunga kesukaan Mama. Bunga Matahari.” aku meletakkan beberapa bouquet di depan batu nisannya lalu merubah posisiku menjadi duduk di samping makam Mamaku.“Mama apa kabar di sana? Pasti bahagia dong ya? Mama sama Papa selalu jagain Freya kan dari atas sana?” aku melihat batu nisan disebelah makam Mama.Ya, makam Mama dan Papa memang bersebelahan. Padahal da
Aku memencet bel apartment Kei terus menerus. Menunggu sang pemilik membukakan pintunya. Belum terlihat tanda-tanda jika Kei akan membuka pintu, aku mememcet belnya kembali. Sampai akhirnya terdengar bunyi pintu terbuka.“Kenapa kamu disini?” tanya Kei dengan raut wajah terkejut karena melihatku berdidi di depan pintu apartment nya.“Ada yang mau aku omongin sama kamu. Kita nggak bisa nunda-nunda masalah kayak gini, Kei.”“Pulang lah. Aku lagi nggak mau nge-bahas itu.” lalu Kei berniat untuk menutup pintunya, namun aku buru-buru mencegahnya dan langsung masuk kedalam tanpa persetujuannya.“Freya. Aku lagi butuh waktu.”Aku menggeleng tegas. “Nggak bisa. Waktu kamu udah aku kasih semalem. Sekarang kita harus bahas ini. Kmau nggak bisa terus-terusan salah paham sama aku.”Kei mengacak rambutnya kesal. “Tolong ngertiin aku, Frey! Aku nggak bisa bahas ini sekaran