Aku terdiam mematung di tempatku berdiri. Menatap layar ponsel Kei yang menampilkan foto saat aku dan Reyhan berpelukan di Villa. Aku tidak tau darimana Kei bisa dapat foto itu, bahkan aku bingung, siapa yang bisa-bisanya memotret kejadian itu.
“Kurangnya aku apa, Freya?”
Aku menggeleng sambil menangis sesenggukan. “Ini nggak seperti yang kamu pikir, Kei.”
“Aku bisa jelasin ke kamu. Percaya sama aku. Please?” mohonku dengan memegang tangan Kei erat-erat.
Kei hanya menunguk, mengusap air matanya yang keluar. Aku merasa bersalah dibuatnya. Melihatnya seperti ini, membuat hatiku sangat sakit.
“Dengan kasih ijin kamu pergi tanpa pengawasanku mungkin adalah kesalahan terbesarku.” ujarnya lirih.
“Enggak, Kei. Please dengerin penjelasanku dulu.”
Kei menatap mataku lekat-lekat. “Apa kamu lebih nyaman cerita tentang masalahmu sama dia, Frey? Apa aku nggak bisa jadi tempatmu bersandar?”
Aku terdiam.
Kei menghela nafas berat, memutuskan kontak mata denganku dan tersenyum miris. “Aku paham sekarang.”
“Maksud kamu?”
“Aku masih belum bisa jadi tempatku kamu berkeluh kesah. Kamu masih belum bisa percaya sama aku.”
“Kei— bukan kayak gitu. Aku cuman—“
“Aku harus pulang dan kamu harus istirahat. Kita omongin ini lain kali aja.” putusnya sepihak lalu segera bangkit berdiri dan berjalan keluar kamarku.
Buru-buru aku mengejar Kei, menahan tangannya. “Aku mohon jangan kayak gini, Sayang.”
Selama kami berpacaran, belum pernah ada masalah seperti ini. Kei tidak pernah menunda-nunda untuk menyelesaikan masalah diantara kami. Dan lagi-lagi, ini pertama kalinya aku melihat Kei seperti ini padaku. Dari tatapan matanya aku tau bahwa dia sangat-sangat kecewa padaku.
Kei melepaskan genggaman tanganku di lengannya, tanpa mengucapkan sepatah kata apapun dia pergi. Mengendarai mobilnya dengan cepat, karena saat aku hendak keluar mengejarnya kembali, mobilnya sudah cukup jauh dari rumahku.
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku hanya bisa terduduk lemas di sofa ruang tamu. “Siapa sih yang bisa-bisanya kirim foto itu?!” kataku sambil tetap menangis.
Lalu aku mengambil ponsel dikantong celanaku, menelfon nomor Reyhan yang tak lama langsung dijawab. “Reyhan.”
“Heh! Lo kenapa nangis kaya gitu?!”
Aku menarik nafas panjang, berusaha meredam sesenggukanku. “Kei marah banget sama gue, Rey.”
“Kenapa lagi? Gara-gara lo pulang telat? Lupa ijin dia?” tanyanya dengan nada malas yang kentara sekali.
Spontan aku ikut menggeleng, “Bukan. Ada yang nge-foto kita pas lagi di ayunan Villa. Pas gue nangis terus lo peluk gue. Fotonya dikirim ke nomornya Kei.”
“HAH? SERIUS LO?!” pekik Reyhan tertahan. “Gimana bisa sih? Siapa yang bisa-bisanya nge-foto? Coba lo jelasin deh kronologinya gimana.”
Aku pun menjelaskan apa yang terjadi. Dari awal aku menemukan Kei basah kuyup di kamar mandi hingga dia pergi tanpa babibu.
“Shit! Gue nggak habis pikir sama yang nge-foto. Pasti salah satu anak-anak studio yang kemarin bareng kita.”
“Gue nggak tau juga, Rey. Gue harus gimana? Kei marah banget sama gue. Bahkan dia nggak kasih gue kesempatan buat jelasin semuanya.” ucapku sambil menangis lagi.
“Lo tenang dulu. Kita pelan-pelan cari siapa pelakunya. Lo istirahat dulu. Besok kita harus meeting lagi sama Pak Han.”
“Lo tenangin pikiran dulu. Gue bakal bantu cari siapa pelakunya, oke?" aku meng-iyakan ucapannya. lalu memutus sambungan telfon.
Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikiran. Sambil berjalan ke arah kamar, aku mengetikkan pesan untuk Kei. Bertanya apakah dia sudah smapai rumah dengan selamat, namun lagi-lagi hanya centang satu.
Aku melemparkan ponselku di samping kasur. Lalu merebahkan tubuhku. Lagi-lagi aku menangis. Tidak tau apa yang akan terjadi di hubunganku ini. Bagaimana keadaan Kei. Mengingat ekspresi wajah Kei tadi membuat hatiku tercubit. Aku membuat orang yang menyayangiku dengan tulus menderita.
*****
Suara alarm membuatku terbangun, bahkan aku tidak ingat jam berapa aku tidur semalam. Mungkin karena terlalu lelah menangsi ditambah kondisi tubuhku, aku jadi ketiduran. Setelah merasa mataku sudah bisa terbuka dengan sempurna, aku mengambil ponsel di samping tempat tidur. Mengecek apakah ada kabar dari Kei, dan ternyata tak ada balasan sama sekali. Aku menghela nafas kasar, lalu beranjak mandi.
Setelah selesai dengan ritual pagi, aku sudah bersiap-siap untuk berangkat ke studio. Aku mulai menyalakan mesin mobilku dan mulai berangkat menuju studio. Hari ini aku berangkat sedikit lebih pagi dari biasanya. Dirumah membuatku tidak nyaman karena terus menerus memikirkan Kei. Aku butuh pelampiasan dengan bekerja agar setidaknya aku bisa sedikit mengenyahkan pikiran-pikiran buruk.
Betul saja, sampai di studio, baru beberapa karyawan yang sudah datang. Ya memang ini masih jam setengah tujuh sedangkan studio biasanya masuk pukul delapan pagi. Aku berjalan kearah ruanganku, sebelum masuk, aku melewati meja Karina. Terlihat ada tas dan beberapa map diatas mejanya “Karina sudah datang? Tapi dimana orangnya?” tanyaku sendiri dengan pelan.
Saat hendak masuk keruanganku, tiba-tiba saja Karina keluar dari ruanganku. Aku terkejut dan dia pun sama terkejutnya denganku.
“Eh— Bu Feya. Pagi, Bu. Barusan datang?”
“Iya, kebetulan saya ingin berangkat pagi, jadi sampai studio lebih pagi dari biasanya.”
“Kamu habis ngapain di ruangan saya, Kar?” lanjutku bertanya.
“Ini, Bu. Saya habis menyusun beberapa data-data hasil survey kemarin di meja Ibu. Dan juga untuk file-file project yang lain.”
Aku hanya ber-oh- ria dan Karina pun pamit sednagkan aku melanjutkan niatku untuk amsuk ke ruang kerjaku. Baru saja aku duduk, tiba-tiba ponselku berbunyi.
“Kenapa, Rey?”
“Lo dimana?”
“Di studio. Kenapa?”
“Buset!! Pagi banget lo.”
“Lagi pengen aja sekalian nyiapin beberapa file buat meeting. Kenapa sih?”
“Gapapa, pikirnya tadi gue mau jemput lo. Tapi yaudah deh. Gue otewe studio langsung aja. See you.
Aku mengecek w******p ku dengan Kei kembali, dan hasilnya sama saja. Pesanku semalam masih saja centang satu. Aku mencoba menelfon nomornya pun tidak bisa. Aku benar-benar khawatir. Rasa ingin menghampirinya langsung sangat ebsar, namun aku terlalu takut dnegan kemungkinan-kemungkinan lainnya.
*****
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Dan meeting dengan Pak Han pun barusaja selesai. Akhirnya pihak mereka menyetujui lokasi photoshoot yang berlokasi di alam terbuka. Setelah dilihat-lihat, lokasi itu memang paling cocok dengan teman kali ini.
“Lo laper nggak?” tanya Reyhan di sebelahku.
“Laper. Mau makan dimana?” tanyaku balik.
“Cafe depan aja ya? Lagi mager nyetir jauh-jauh gue. Capek.” aku mengangguk setuju dan kami pun berjalan beriringan menuju cafe depan studio.
“Gue pesenin kayak biasa ya, Rey.” aku mencari tempat duduk yang agak jauh dari pintu masuk.
“Hah, masih capek banget gue rasanya.” ujarnya sembari mendaratkan bokongnya di kursi sebelahku.
“Emang nggak langsung pulang kemarin?”
“Enggak. Main dulu gue sama temen.”
“Siapa?”
“Kepo ah lo!” aku berdecak kesal mendengar jawabannya.
“Pacar lo gimana? Udah bisa dihubungi?”
Aku menggeleng lemah. “Gue udah coba telfon nomor biasa juga nggak bisa.”
“Lo nggak ke rumahnya?” tanya Reyhan lagi. “Enggak. Takut.”
“Cih, sama pacar sendiri ngapain takut?”
“Kalo gue diusir gimana?” tanyaku melas. “Gila! Ya nggak mungkin lah, bego!”
“Mungkin aja. Kan dia lagi marah sama gue. Gimana sih?!”
Perdebatan kami terhenti saat makanan kami datang. Aku langsung melahap makanan di depanku dengan cepat. Ahh— aku memang sangat lapar, semalam tenagaku terkuras habis karena menangis dan pagi tadi aku lupa sarapan.
Tiba-tiba ponselku berbunyi kembali, dan membuatku terkejut. Bukan karena bunyinya namun karena siapa yang menelfonku. Nomor Mama Kei tertera di layar ponselku. Tanpa lama, aku pun menjawabnya.
“Halo, Tante.” sapaku.
“Freya. Kamu lagi sibuk nggak?” tanya Mama Kei. “Emm— enggak sih, Tante. Cuman lagi makan siang aja. Kenapa, Tante?”
“Kamu lagi ada masalah apa sama Kei?” ahh— to the point sekali, membuatku bingung harus menjawab apa.
“Ehh— Itu, emm— iya Tante. Ada salah paham sedikit.” jawabku terbata.
“Pantes aja dia Tante telfon kok nggak jawab. Tante tanya sekertarisnya juga bilang dia belum berangkat ke kantor.”
Aku tertegun sebentar, kemana perginya Kei?
“Setelah ini, Freya mau ke apartment-nya Kei, Tante. Nanti kalau sudah ketemu Kei, Freya suruh untuk telfon Tante.”
“Terimakasih ya, Freya.”
“Oh ya, kalian kan sudah mau ke jenjang lebih serius. Lebih baik kalau ada masalah apa-apa diselesaikan dengan baik-baik, jangan ditunda. Terus kalian juga harus mulai belajar lebih lagi memahami karakter masing-masing.” lanjut Mama Kei menasihatiku.
“Iya, Tante. Maaf ya bikin Tante khawatir.”
“Gapapa, Freya. Yasudah, Tante tutup telfonnya ya.”
“Iya Tante.” balasku dan sambungan telfon pun terputus.
Aku buru-buru menyelesaikan makan siangku. Karena setelah ini tidak ada jadwal meeting, aku akan pergi ke apartment Kei. Entah respon apa yang nantinya akan aku terima. Tapi setelah Mama Kei menelfon bahwa beliau juga tidak bisa menghubungi Kei, rasa cemasku tidak bisa terbendung lagi. Aku harus menemuinya.
“Gue ke tempatnya Kei dulu ya.”
“Kalau ada apa-apa kasih tau gue ya, Rey.” lanjutku sambil berjalan ke luar cafe.
“Iya. Lo hati-hati. Nggak usah sok-sok an ngebut lo.”
Aku tak membalas ucapannya lagi dan langsung berlari ke arah parkiran mobil di studioku. Bergegas menuju tempat Kei. Menyelesaikan kesalah pahaman ini. Aah— semoga dewi kebereuntungan sedang memihakku kali ini.
Aku memencet bel apartment Kei terus menerus. Menunggu sang pemilik membukakan pintunya. Belum terlihat tanda-tanda jika Kei akan membuka pintu, aku mememcet belnya kembali. Sampai akhirnya terdengar bunyi pintu terbuka.“Kenapa kamu disini?” tanya Kei dengan raut wajah terkejut karena melihatku berdidi di depan pintu apartment nya.“Ada yang mau aku omongin sama kamu. Kita nggak bisa nunda-nunda masalah kayak gini, Kei.”“Pulang lah. Aku lagi nggak mau nge-bahas itu.” lalu Kei berniat untuk menutup pintunya, namun aku buru-buru mencegahnya dan langsung masuk kedalam tanpa persetujuannya.“Freya. Aku lagi butuh waktu.”Aku menggeleng tegas. “Nggak bisa. Waktu kamu udah aku kasih semalem. Sekarang kita harus bahas ini. Kmau nggak bisa terus-terusan salah paham sama aku.”Kei mengacak rambutnya kesal. “Tolong ngertiin aku, Frey! Aku nggak bisa bahas ini sekaran
Pagi ini, aku sudah berada di tempat yang rutin aku kunjungi. Tempat dimana aku bisa mencurahkan semua keluh kesahku tanpa malu. Setiap kemari, aku selalu se maksimal mungkin berdandan cantik, menggunakan outfit yang indah dan tak lupa aku membawa beberapa bunga kesukaannya.Aku berjongkok di depan batu bertuliskan ‘DAYANA JULIA SEBASTIAN’. Ya, nama Mamaku sangat cantik bukan? Aku mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Mamaku.“Mama, Freya datang lagi loh.” ucapku dengan senyum tulus yang menghiasi raut wajahku.“Ini, Freya bawa bunga kesukaan Mama. Bunga Matahari.” aku meletakkan beberapa bouquet di depan batu nisannya lalu merubah posisiku menjadi duduk di samping makam Mamaku.“Mama apa kabar di sana? Pasti bahagia dong ya? Mama sama Papa selalu jagain Freya kan dari atas sana?” aku melihat batu nisan disebelah makam Mama.Ya, makam Mama dan Papa memang bersebelahan. Padahal da
“Halo Freya, barusan sampe?” tanya Tante Mora saat melihatku berjalan ke arahnya.“Iya, Tante. Tante kabarnya baik kan?”Tante Mora tersenyum lembut lalu mengusap lenganku pelan, “Baik dong, Sayang. Sana kamu samperin Kei. Dia ada di deket barbeque”“Oke, Tante.” aku berjalan ke tempat yang dibilang Tante Mora sambil celingukkan mencari keberadaan Kei.Setelah mencari-cari, akhirnya aku melihat Kei yang sedang berdiri di dekat kolam renang. Namun, kelihatannya dia sedang berbicara dengan seseorang.“Kei.” panggilku yang membuat dia dan orang yang sedang berbicaranya ikut menengok ke arahku. Wahh ternyata seorang perempuan muda yang sedang berbicara dengannyaMelihatku yang memanggilnya, ia melemparkan senyum manis lalu menghampiriku. “Hai, Sayang.”“Kamu ngobrol sama siapa?” tanyaku sambil melirik ke perempuan tadi.“Ohh… I
"Kei!" teriakku bersamaan dengan Tante Mora.Jujur saja aku tidak mengira jika Kei akan melayangkan tangan pada Dara, adiknya. Karena Kei adalah tipe orang yang sangat-sangat sayang dengan keluarganya. Apalagi adik satu-satunya itu. Mungkin saja, sikap Dara barusan memang sudah melewati batas wajar, dia terlalu terobsesi untuk memisahkanku dnegan kakaknya.Dara yang setelah mendapat tamparan dari Kei, menatap kakak tersayangnya dengan terkejut. Samar-sama kulihat juga air mata mulai membasahi pipinya. Aku pun berjalan pelan ke arah Dara yang masih tersungkur di hadapan Kei dengan mengenaskan.Aku bermaksud membantunya untuk duduk di sofa, namun yang kudapat hanyalah tepisan kasar darinya dan juga tatapan tajamnya. "Ini semua karena lo! Perempuan ular! Lo hasut Kakak gue apa, ha?!" teraiknya ke arahku."Dara! Cukup! Mama nggak pernah didik kamu jadi anak brutal kayak gini!" bentak Tante Mora sambil melotot ke arah Dara.Dara tersenyum remeh, "Cih! S
"Kei? Ka—mu kapan datengnya?" Aku menghampirinya dengan hati tak karuan. "Sudah sejak tadi." jawabnya dengan tatapan yang tak putus dari Reyhan. Melihat itu, aku berusaha mengalihkan perhatian Kei. "Kamu kesini mau ngapain? Mau ke rumah Mama?" Kei menoleh ke arahku "Apa salahnya aku mau ketemu sama tunanganku? Apa aku perlu ijin buat ketemu kamu?" Skakmat! Aku rasa dia tau kalau aku sedang berusaha mengalihkan perhatiannya. Aku melirik Reyhan yang menatap Kei dengan datar. Seolah dia tidak merasa melakukan kesalahan apapun. Entah mengapa, tatapan mataku teralihkan ke belakang punggung Kei. Seperti ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Setelah aku menggeser sedikit posisi berdiriku, aku melihat Karina yang sedang menatap ke arah Reyhan. Aku tidak bisa mendeskripsikan tatapannya. Hanya saja, dia seperti sedang menahan amarah, terlihat dari kedua tangannya yang megepal disisi tubuhnya. "Karina?" panggilku. Karina menatapku deng
"Kakak barusan datang?" tiba-tiba terdengar suara Dara dari arah pintu. Kei hanya mengangguk sambil menggumamkan kata 'iya' "Kebetulan banget, Sarah mau ketemu Kakak. Kemarin dia mau ngobrol-ngobrol sama Kakak tapi nggak sempat." ujarnya sambil melirik ke arahku sekilas. Anak ini benar-benar! Setiap bertemu dia, aku harus ekstra sabar menghadapinya, kesabaranku juga diuji kalau berbicara dengan dia. Menyebalkan memang! Untung dia adik Kei, jika tidak— "Hai, Kei." Aku menoleh begitu saja saat Sarah menyapa Kei dengan santainya. Eh? Bukankah Sarah seumuran dengan Dara? Seharusnya dia memanggil Kei dengan embel-embel 'Kak' dong? Aku melihat ke arah Kei yang menatap Sarah tidak suka. "Hai. Tolong lain kali sopan sedikit ya. Aku lebih tua dari kamu. Nggak pantes kamu manggil namaku begitu saja." tegur Kei tegas. Kulihat Sarah tertegun di tempatnya. Setelah mengucapkan kata maaf, dia pun menunduk sedih. "Kak
“Kenapa kamu tiba-tiba tanya kayak gini?” “Nggak apa-apa. Aku cuman pengen tau aja. Selama kita pacaran, kamu sama sekali nggak pernah bahas tentang mantan-mantan kamu, masa lalu kamu gimana, kayak apa.” Aku menatapnya, “Kamu sama sekali nggak pernah bahas hal itu. Aku pacar kamu, Kei. Aku juga berhak untuk tau itu dong.” Kei melepas tatapannya padaku, membenahi posisi duduknya yang agak menjauh dariku. Pandanganku tak lepas dari semua itu. Bahkan aku bisa melihat kedua ibu jari Kei mulai bergerak satu sama lain, kebiasaannya jika sedang gugup. Aku makin curiga dibuatnya. “Masa lalu nggak perlu kamu bahas-bahas lagi. Semua udah lewat. Fokus yang sekarang aja, fokus sama kita kedepannya.” kelaknya. “Gimana aku mau fokus sama kita kedepannya, kalau ternyata kamu sama masa lalu kamu aja masih terus beriringan? Gimana caranya, Kei?” “Ini bukan hal yang harus kita bahas sekarang loh, Frey.” “Nggak harus gimana?” sanggahku dengan nad
BAB 13 “Maaf, mungkin aku yang nggak memahami posisi kamu.” ujarku lirih. Kei mendekat ke arahku perlahan, lalu duduk di sampingku. Meraihku kedalam dekapannya. “It’s okay. Aku juga minta maaf udah bentak-bentak kamu, bahkan kasar ke kamu.” Dan begitu saja pertengkaran kami selesai. Yah— jika kalian beranggapan aku bodoh, aku akui aku memang bodoh. Bahkan aku terlalu gila. Mengapa segampang itu aku mengalah? Aku juga tidak tau. Aku tidak bisa terus-terusan bertengkar dengannya. Jujur saja dalam hati kecilku, aku takut kehilangannya. Aku memang sakit, tapi aku akan lebih sakit lagi jika aku kehilangannya. ***** “Halo, Kei.” sapaku saat menjawab panggilan telfon darinya. “Sayang, aku hari ini harus ke luar kota. Mungkin dua sampai tiga hari. Aku harus pantau proyek disana. Kamu aku tinggal nggak apa-apa kan?” Aku berjalan ke arah meja kantorku sembari membaca beberapa dokumen-dokumen penting, “Nggak apa-apa, Kei. Aku bi
Aku berdiri mematung di tempatku. Tatapanku hanya tertuju pada gagang pintu yang sedang kupegang tanpa sempat membukanya. Jantungku berdetak tak karuan,diiringi dengan mataku yang mulai memanas. “Freya?” aku tidak bergeming, tetap dalam posisiku. Entahlah aku seperti tak punya keberanian untuk beranjak dari tempatku walau sejengkal saja. Aku mendengar langkah kaki mendekat ke arahku secara perlahan. Batinku berteriak untuk menghentikannya, namun lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa. “Freya.” badanku bergetar sedikit saat merasakan tangan besar miliknya menyentuh bahuku dengan pelan. “Hmm?” gumamku pelan tanpa berani melihatnya. Dengan sedikit paksaan, Reyhan membalikkan tubuhku, menghadap ke arahnya. Mendongakkan wajahku agar menatap matanya. “Kok nangis sih lo?” “Freya, gue cuman bercanda. Sumpah deh.” aku menatap kedua matanya. Mencari kebenaran disana. “Lo serius?” Reyhan mengangguk sembari terkekeh. “Iya, gue bercanda doang, Freya. Lo ng
BAB 13 “Maaf, mungkin aku yang nggak memahami posisi kamu.” ujarku lirih. Kei mendekat ke arahku perlahan, lalu duduk di sampingku. Meraihku kedalam dekapannya. “It’s okay. Aku juga minta maaf udah bentak-bentak kamu, bahkan kasar ke kamu.” Dan begitu saja pertengkaran kami selesai. Yah— jika kalian beranggapan aku bodoh, aku akui aku memang bodoh. Bahkan aku terlalu gila. Mengapa segampang itu aku mengalah? Aku juga tidak tau. Aku tidak bisa terus-terusan bertengkar dengannya. Jujur saja dalam hati kecilku, aku takut kehilangannya. Aku memang sakit, tapi aku akan lebih sakit lagi jika aku kehilangannya. ***** “Halo, Kei.” sapaku saat menjawab panggilan telfon darinya. “Sayang, aku hari ini harus ke luar kota. Mungkin dua sampai tiga hari. Aku harus pantau proyek disana. Kamu aku tinggal nggak apa-apa kan?” Aku berjalan ke arah meja kantorku sembari membaca beberapa dokumen-dokumen penting, “Nggak apa-apa, Kei. Aku bi
“Kenapa kamu tiba-tiba tanya kayak gini?” “Nggak apa-apa. Aku cuman pengen tau aja. Selama kita pacaran, kamu sama sekali nggak pernah bahas tentang mantan-mantan kamu, masa lalu kamu gimana, kayak apa.” Aku menatapnya, “Kamu sama sekali nggak pernah bahas hal itu. Aku pacar kamu, Kei. Aku juga berhak untuk tau itu dong.” Kei melepas tatapannya padaku, membenahi posisi duduknya yang agak menjauh dariku. Pandanganku tak lepas dari semua itu. Bahkan aku bisa melihat kedua ibu jari Kei mulai bergerak satu sama lain, kebiasaannya jika sedang gugup. Aku makin curiga dibuatnya. “Masa lalu nggak perlu kamu bahas-bahas lagi. Semua udah lewat. Fokus yang sekarang aja, fokus sama kita kedepannya.” kelaknya. “Gimana aku mau fokus sama kita kedepannya, kalau ternyata kamu sama masa lalu kamu aja masih terus beriringan? Gimana caranya, Kei?” “Ini bukan hal yang harus kita bahas sekarang loh, Frey.” “Nggak harus gimana?” sanggahku dengan nad
"Kakak barusan datang?" tiba-tiba terdengar suara Dara dari arah pintu. Kei hanya mengangguk sambil menggumamkan kata 'iya' "Kebetulan banget, Sarah mau ketemu Kakak. Kemarin dia mau ngobrol-ngobrol sama Kakak tapi nggak sempat." ujarnya sambil melirik ke arahku sekilas. Anak ini benar-benar! Setiap bertemu dia, aku harus ekstra sabar menghadapinya, kesabaranku juga diuji kalau berbicara dengan dia. Menyebalkan memang! Untung dia adik Kei, jika tidak— "Hai, Kei." Aku menoleh begitu saja saat Sarah menyapa Kei dengan santainya. Eh? Bukankah Sarah seumuran dengan Dara? Seharusnya dia memanggil Kei dengan embel-embel 'Kak' dong? Aku melihat ke arah Kei yang menatap Sarah tidak suka. "Hai. Tolong lain kali sopan sedikit ya. Aku lebih tua dari kamu. Nggak pantes kamu manggil namaku begitu saja." tegur Kei tegas. Kulihat Sarah tertegun di tempatnya. Setelah mengucapkan kata maaf, dia pun menunduk sedih. "Kak
"Kei? Ka—mu kapan datengnya?" Aku menghampirinya dengan hati tak karuan. "Sudah sejak tadi." jawabnya dengan tatapan yang tak putus dari Reyhan. Melihat itu, aku berusaha mengalihkan perhatian Kei. "Kamu kesini mau ngapain? Mau ke rumah Mama?" Kei menoleh ke arahku "Apa salahnya aku mau ketemu sama tunanganku? Apa aku perlu ijin buat ketemu kamu?" Skakmat! Aku rasa dia tau kalau aku sedang berusaha mengalihkan perhatiannya. Aku melirik Reyhan yang menatap Kei dengan datar. Seolah dia tidak merasa melakukan kesalahan apapun. Entah mengapa, tatapan mataku teralihkan ke belakang punggung Kei. Seperti ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Setelah aku menggeser sedikit posisi berdiriku, aku melihat Karina yang sedang menatap ke arah Reyhan. Aku tidak bisa mendeskripsikan tatapannya. Hanya saja, dia seperti sedang menahan amarah, terlihat dari kedua tangannya yang megepal disisi tubuhnya. "Karina?" panggilku. Karina menatapku deng
"Kei!" teriakku bersamaan dengan Tante Mora.Jujur saja aku tidak mengira jika Kei akan melayangkan tangan pada Dara, adiknya. Karena Kei adalah tipe orang yang sangat-sangat sayang dengan keluarganya. Apalagi adik satu-satunya itu. Mungkin saja, sikap Dara barusan memang sudah melewati batas wajar, dia terlalu terobsesi untuk memisahkanku dnegan kakaknya.Dara yang setelah mendapat tamparan dari Kei, menatap kakak tersayangnya dengan terkejut. Samar-sama kulihat juga air mata mulai membasahi pipinya. Aku pun berjalan pelan ke arah Dara yang masih tersungkur di hadapan Kei dengan mengenaskan.Aku bermaksud membantunya untuk duduk di sofa, namun yang kudapat hanyalah tepisan kasar darinya dan juga tatapan tajamnya. "Ini semua karena lo! Perempuan ular! Lo hasut Kakak gue apa, ha?!" teraiknya ke arahku."Dara! Cukup! Mama nggak pernah didik kamu jadi anak brutal kayak gini!" bentak Tante Mora sambil melotot ke arah Dara.Dara tersenyum remeh, "Cih! S
“Halo Freya, barusan sampe?” tanya Tante Mora saat melihatku berjalan ke arahnya.“Iya, Tante. Tante kabarnya baik kan?”Tante Mora tersenyum lembut lalu mengusap lenganku pelan, “Baik dong, Sayang. Sana kamu samperin Kei. Dia ada di deket barbeque”“Oke, Tante.” aku berjalan ke tempat yang dibilang Tante Mora sambil celingukkan mencari keberadaan Kei.Setelah mencari-cari, akhirnya aku melihat Kei yang sedang berdiri di dekat kolam renang. Namun, kelihatannya dia sedang berbicara dengan seseorang.“Kei.” panggilku yang membuat dia dan orang yang sedang berbicaranya ikut menengok ke arahku. Wahh ternyata seorang perempuan muda yang sedang berbicara dengannyaMelihatku yang memanggilnya, ia melemparkan senyum manis lalu menghampiriku. “Hai, Sayang.”“Kamu ngobrol sama siapa?” tanyaku sambil melirik ke perempuan tadi.“Ohh… I
Pagi ini, aku sudah berada di tempat yang rutin aku kunjungi. Tempat dimana aku bisa mencurahkan semua keluh kesahku tanpa malu. Setiap kemari, aku selalu se maksimal mungkin berdandan cantik, menggunakan outfit yang indah dan tak lupa aku membawa beberapa bunga kesukaannya.Aku berjongkok di depan batu bertuliskan ‘DAYANA JULIA SEBASTIAN’. Ya, nama Mamaku sangat cantik bukan? Aku mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Mamaku.“Mama, Freya datang lagi loh.” ucapku dengan senyum tulus yang menghiasi raut wajahku.“Ini, Freya bawa bunga kesukaan Mama. Bunga Matahari.” aku meletakkan beberapa bouquet di depan batu nisannya lalu merubah posisiku menjadi duduk di samping makam Mamaku.“Mama apa kabar di sana? Pasti bahagia dong ya? Mama sama Papa selalu jagain Freya kan dari atas sana?” aku melihat batu nisan disebelah makam Mama.Ya, makam Mama dan Papa memang bersebelahan. Padahal da
Aku memencet bel apartment Kei terus menerus. Menunggu sang pemilik membukakan pintunya. Belum terlihat tanda-tanda jika Kei akan membuka pintu, aku mememcet belnya kembali. Sampai akhirnya terdengar bunyi pintu terbuka.“Kenapa kamu disini?” tanya Kei dengan raut wajah terkejut karena melihatku berdidi di depan pintu apartment nya.“Ada yang mau aku omongin sama kamu. Kita nggak bisa nunda-nunda masalah kayak gini, Kei.”“Pulang lah. Aku lagi nggak mau nge-bahas itu.” lalu Kei berniat untuk menutup pintunya, namun aku buru-buru mencegahnya dan langsung masuk kedalam tanpa persetujuannya.“Freya. Aku lagi butuh waktu.”Aku menggeleng tegas. “Nggak bisa. Waktu kamu udah aku kasih semalem. Sekarang kita harus bahas ini. Kmau nggak bisa terus-terusan salah paham sama aku.”Kei mengacak rambutnya kesal. “Tolong ngertiin aku, Frey! Aku nggak bisa bahas ini sekaran