Aku memencet bel apartment Kei terus menerus. Menunggu sang pemilik membukakan pintunya. Belum terlihat tanda-tanda jika Kei akan membuka pintu, aku mememcet belnya kembali. Sampai akhirnya terdengar bunyi pintu terbuka.
“Kenapa kamu disini?” tanya Kei dengan raut wajah terkejut karena melihatku berdidi di depan pintu apartment nya.
“Ada yang mau aku omongin sama kamu. Kita nggak bisa nunda-nunda masalah kayak gini, Kei.”
“Pulang lah. Aku lagi nggak mau nge-bahas itu.” lalu Kei berniat untuk menutup pintunya, namun aku buru-buru mencegahnya dan langsung masuk kedalam tanpa persetujuannya.
“Freya. Aku lagi butuh waktu.”
Aku menggeleng tegas. “Nggak bisa. Waktu kamu udah aku kasih semalem. Sekarang kita harus bahas ini. Kmau nggak bisa terus-terusan salah paham sama aku.”
Kei mengacak rambutnya kesal. “Tolong ngertiin aku, Frey! Aku nggak bisa bahas ini sekarang.”
“Enggak mau, Kei Sagara!”
“Freya!”
“Nggak, Kei. Kita harus ngomong sekarang! Semua yang kamu lihat di foto itu, salah paham!”
“Aku nggak pernah selingkuh dari kamu! Kepikiran untuk selingkuh dari kamu aja nggak pernah terlintas dipikiranku!” lanjutku dengan nada tinggi.
“Cukup, Freya! Aku mohon kali ini, dengerin aku. Besok kita bahas ini. Kamu pulang sekarang!” lagi-lagi Kei mengusirku
“Enggak! Aku mau jelasin—“
“CUKUP FREYA! KAMU TULI APA GIMANA SIH?! AKU BILANG PULANG YA PULANG!” aku spontan memejamkan mataku saat terdengan suara bentakan Kei yang cukup keras.
Tanpa sadar air mataku menetes. Aku masih memberanikan diri menatap matanya yang sudah memerah menahan emosi. “Aku cuman mau memperjelas masalah ini. Aku nggak mau kamu salah paham kayak gini.” jelasku lirih sambil menangis.
“A—ku— Bukannya aku nggak bisa percaya sama kamu. Tapi ada hal-hal yang memang aku simpan buat aku sendiri.”
“Bahkan aku harus mengesampingkan egoku buat jelasin hal ini ke kamu. Aku berharap kamu bakal dengerin penjelasanku tanpa aku minta. Tapi apa? Kamu malah ngusir aku kayak gini.” sialnya air mataku terus mengalir, aku sudah berusaha menahannya tapi tak bisa. Kulihat ekpresi Kei yang melembut.
“Freya, maaf” Kei menarikku kedalam pelukkannya. Ia terus membisikkan kata maaf berulang-ulang.
Aku memeluknya erat, “Aku mohon dengerin penjelasanku dulu. Jangan kayak gini, Kei.” ucapku disela-sela pelukkanya.
“Iya aku dengerin. Maaf, maafin aku.”
Aku melepas pelukkannya, menghapus air mataku yang tersisa. “Boleh aku jelasin sekarang?”
Kei mengangguk tanda mengijinkanku mulai menjelaskan padanya tentang apa yang terjadi kemarin.
“Waktu aku nginep di Villa kemarin, posisinya kamu emang lagi marah sama aku karena akhirnya aku harus stay semalem disana. Maaf banget. itu juga diluar dugaan kita semua.”
“Dan, untuk foto yang dikirim ke kamu. Tentang aku yang pelukan sama Reyhan—“
Aku menarik nafas dalam, “Itu memang malam waktu kita nginep di Villa. Aku lagi kangen Mama, aku sedih dan juga masalah kamu marah sama aku. itu buat mood ku ancur banget.” lanjutku.
“Reyhan tiba-tiba dateng, terus aku cerita kalau aku kangen Mama, perihal kamu marah sama aku. terus dia coba nenangin aku dengan meluk aku. Sebatas pelukan seorang sahabat, Kei. Nggak lebih.”
Kei menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, namun tiba-tiba ia kembali memelukku. “Maaf, aku nggak ada di saat kamu butuh aku. Maaf aku jadi penambah beban perasaanmu.”
Aku menggeleng cepat, “Enggak, Kei. Nggak apa-apa. Dengan kamu masih mau percaya sama aku, itu udah lebih dari cukup.”
“Soal foto itu, aku nggak tau siapa yang ambil foto itu. Reyhan lagi bantuin aku buat cari tau, itu ulah siapa.” ucapku.
Kei menyelipkan rambutku kebelakang telinga lalu membelai lembut pipiku. “Udah lewat, Sayang. Jangan terlalu dipikirin.”
“Maaf aku sempat kecewa sama kamu. Maafin aku, Freya.”
“Udah aku maafin, Kei. Kamu nggak salah. It’s okay.”
“Oh ya, Kei, sebelum aku kesini, Mama kamu telfon aku. Kamu dari kemarin nggak bisa di telfon. Mama kamu khawatir. Buruan kamu telfon Mama kamu dulu.”
Kei mengecek ponselnya dan menepuk jidatnya pelan. “Aku lupa, charger aku ilang dan aku belum sempat beli. Batre ponselku abis. Kita ke rumah Mama aja ya?”
“Kamu mau nggak?”
Aku mengangguk setuju, “Yaudah, tunggu bentar. Aku siap-siap sebentar.”
Sambil menunggu Kei, aku membaca beberapa majalah yang ada di atas meja. Semuanya tentang majalah bisnis yang sebenarnya sama sekali aku tidak mengerti. Hah percuma saja. Aku menutup majalah di depanku dan lebih memilih bermain dengan ponselku saja.
*****
“Maaf, Ma. Ponsleku lowbat, charger nya ilang. Belum sempet beli.” jelas Kei saat sudah sampai di rumah Mamanya.
“Mama udah khawatir banget sama kamu. Nggak bisa di telfon, takut kamunya kenapa-napa.”
“Freya juga lagi di luar kota. Jadi nggak bisa tau keadaan kamu langsung gimana.” lanjut Mama Kei yang membuatku tersenyum kecut.
“Nggak apa-apa, Ma. Kei bukan anak kecil lagi, aku bisa jaga diri aku sendiri.”
“Iya, Mama tau kamu udah besar. Tapi kan lebih baiknya, kamu juga ada yang urus.”
“Kan aku udah ada yang urus. Ini orangnya disebelah aku.” jawabnya sambil tersenyum ke arahku dan kubalas senyum balik.
“Tapi Freya kan sekarang masih kerja, jadi kalian punya kesibukkan masing-masing. Makanya Kei cepet nikahin Freya, biar dia bisa urus kamu di rumah.”
Aku tersenyum ke arah Mama Kei.
“Biar dia nggak usah capek-capek kerja lagi. Jadi fokusnya ke kelaurga kecil kalian aja nantinya.” senyumku pun langsung hilang seketika mendengar alasan Mama Kei yang menyuruh Kei menikahiku cepat-cepat.
“Emm— Tante, bukannya Freya kurang sopan. Tapi kan kalau nantinya Freya tetep kerja, bisa bantuin ekonomi keluarga. Jadi bukan Kei aja yang banting tulang.” selaku dengan tetap berusaha se-sopan mungkin.
“Kei kan udah mapan, Freya. Kamu tinggal santai-santai aja di rumah. Ngurus suami juga kewajiban seorang istri nantinya kan?”
Aku hanya mengangguk kecil dan memaksakan senyum. Tak bisa membantah kembali. AKu menatap Kei dengan tatapan memohon pembelaan, namun yang ditatap hanya diam seperti menyetujui perkataan Ibunya.
“Mama ada benarnya juga, Frey. Walaupun kamu belanja tiap hari juga, uangku nggak akan abis segampang itu. Jadi kamu nggak perlu khawatir tentang masalah ekonomi, Sayang.”
“Tuh, Kei aja malah nggak keberatan kamu belanja tiap hari loh, Freya. Impian setiap istri kan? Kebutuhan yang selalu dipenuhi oleh suaminya.” tambah Mama Kei.
Aku hanya membalas dnegan senyum yang amat sangat dipaksakan. Aku masiht idak habis pikir dengan pemikiran Ibu dan anak ini. Bagaimana aku menyampaikan kepada mereka mengenai prinsip hidupku? Bagaimana membuat mereka agar menerima keinginanku? Cita-citaku?
Terkadang aku berpikir, apakah wanita memang hanya ditakdirkan untuk mengurus rumah? Tidak boleh bekerja? Jujur saja aku sangat-sangat menolak pemikiran itu. Aku yang sedari kecil di didik untuk mandiri tanpa mengandalkan bantuan orang lain merasa kerja kerasku selama ini tidak dihargai sama sekali.
Namun lagi-lagi, aku harus mempertaruhkan semuanya. Antara pendirianku atau Kei yang nantinya akan menjadi masa depanku, mungkin.
Pagi ini, aku sudah berada di tempat yang rutin aku kunjungi. Tempat dimana aku bisa mencurahkan semua keluh kesahku tanpa malu. Setiap kemari, aku selalu se maksimal mungkin berdandan cantik, menggunakan outfit yang indah dan tak lupa aku membawa beberapa bunga kesukaannya.Aku berjongkok di depan batu bertuliskan ‘DAYANA JULIA SEBASTIAN’. Ya, nama Mamaku sangat cantik bukan? Aku mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Mamaku.“Mama, Freya datang lagi loh.” ucapku dengan senyum tulus yang menghiasi raut wajahku.“Ini, Freya bawa bunga kesukaan Mama. Bunga Matahari.” aku meletakkan beberapa bouquet di depan batu nisannya lalu merubah posisiku menjadi duduk di samping makam Mamaku.“Mama apa kabar di sana? Pasti bahagia dong ya? Mama sama Papa selalu jagain Freya kan dari atas sana?” aku melihat batu nisan disebelah makam Mama.Ya, makam Mama dan Papa memang bersebelahan. Padahal da
“Halo Freya, barusan sampe?” tanya Tante Mora saat melihatku berjalan ke arahnya.“Iya, Tante. Tante kabarnya baik kan?”Tante Mora tersenyum lembut lalu mengusap lenganku pelan, “Baik dong, Sayang. Sana kamu samperin Kei. Dia ada di deket barbeque”“Oke, Tante.” aku berjalan ke tempat yang dibilang Tante Mora sambil celingukkan mencari keberadaan Kei.Setelah mencari-cari, akhirnya aku melihat Kei yang sedang berdiri di dekat kolam renang. Namun, kelihatannya dia sedang berbicara dengan seseorang.“Kei.” panggilku yang membuat dia dan orang yang sedang berbicaranya ikut menengok ke arahku. Wahh ternyata seorang perempuan muda yang sedang berbicara dengannyaMelihatku yang memanggilnya, ia melemparkan senyum manis lalu menghampiriku. “Hai, Sayang.”“Kamu ngobrol sama siapa?” tanyaku sambil melirik ke perempuan tadi.“Ohh… I
"Kei!" teriakku bersamaan dengan Tante Mora.Jujur saja aku tidak mengira jika Kei akan melayangkan tangan pada Dara, adiknya. Karena Kei adalah tipe orang yang sangat-sangat sayang dengan keluarganya. Apalagi adik satu-satunya itu. Mungkin saja, sikap Dara barusan memang sudah melewati batas wajar, dia terlalu terobsesi untuk memisahkanku dnegan kakaknya.Dara yang setelah mendapat tamparan dari Kei, menatap kakak tersayangnya dengan terkejut. Samar-sama kulihat juga air mata mulai membasahi pipinya. Aku pun berjalan pelan ke arah Dara yang masih tersungkur di hadapan Kei dengan mengenaskan.Aku bermaksud membantunya untuk duduk di sofa, namun yang kudapat hanyalah tepisan kasar darinya dan juga tatapan tajamnya. "Ini semua karena lo! Perempuan ular! Lo hasut Kakak gue apa, ha?!" teraiknya ke arahku."Dara! Cukup! Mama nggak pernah didik kamu jadi anak brutal kayak gini!" bentak Tante Mora sambil melotot ke arah Dara.Dara tersenyum remeh, "Cih! S
"Kei? Ka—mu kapan datengnya?" Aku menghampirinya dengan hati tak karuan. "Sudah sejak tadi." jawabnya dengan tatapan yang tak putus dari Reyhan. Melihat itu, aku berusaha mengalihkan perhatian Kei. "Kamu kesini mau ngapain? Mau ke rumah Mama?" Kei menoleh ke arahku "Apa salahnya aku mau ketemu sama tunanganku? Apa aku perlu ijin buat ketemu kamu?" Skakmat! Aku rasa dia tau kalau aku sedang berusaha mengalihkan perhatiannya. Aku melirik Reyhan yang menatap Kei dengan datar. Seolah dia tidak merasa melakukan kesalahan apapun. Entah mengapa, tatapan mataku teralihkan ke belakang punggung Kei. Seperti ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Setelah aku menggeser sedikit posisi berdiriku, aku melihat Karina yang sedang menatap ke arah Reyhan. Aku tidak bisa mendeskripsikan tatapannya. Hanya saja, dia seperti sedang menahan amarah, terlihat dari kedua tangannya yang megepal disisi tubuhnya. "Karina?" panggilku. Karina menatapku deng
"Kakak barusan datang?" tiba-tiba terdengar suara Dara dari arah pintu. Kei hanya mengangguk sambil menggumamkan kata 'iya' "Kebetulan banget, Sarah mau ketemu Kakak. Kemarin dia mau ngobrol-ngobrol sama Kakak tapi nggak sempat." ujarnya sambil melirik ke arahku sekilas. Anak ini benar-benar! Setiap bertemu dia, aku harus ekstra sabar menghadapinya, kesabaranku juga diuji kalau berbicara dengan dia. Menyebalkan memang! Untung dia adik Kei, jika tidak— "Hai, Kei." Aku menoleh begitu saja saat Sarah menyapa Kei dengan santainya. Eh? Bukankah Sarah seumuran dengan Dara? Seharusnya dia memanggil Kei dengan embel-embel 'Kak' dong? Aku melihat ke arah Kei yang menatap Sarah tidak suka. "Hai. Tolong lain kali sopan sedikit ya. Aku lebih tua dari kamu. Nggak pantes kamu manggil namaku begitu saja." tegur Kei tegas. Kulihat Sarah tertegun di tempatnya. Setelah mengucapkan kata maaf, dia pun menunduk sedih. "Kak
“Kenapa kamu tiba-tiba tanya kayak gini?” “Nggak apa-apa. Aku cuman pengen tau aja. Selama kita pacaran, kamu sama sekali nggak pernah bahas tentang mantan-mantan kamu, masa lalu kamu gimana, kayak apa.” Aku menatapnya, “Kamu sama sekali nggak pernah bahas hal itu. Aku pacar kamu, Kei. Aku juga berhak untuk tau itu dong.” Kei melepas tatapannya padaku, membenahi posisi duduknya yang agak menjauh dariku. Pandanganku tak lepas dari semua itu. Bahkan aku bisa melihat kedua ibu jari Kei mulai bergerak satu sama lain, kebiasaannya jika sedang gugup. Aku makin curiga dibuatnya. “Masa lalu nggak perlu kamu bahas-bahas lagi. Semua udah lewat. Fokus yang sekarang aja, fokus sama kita kedepannya.” kelaknya. “Gimana aku mau fokus sama kita kedepannya, kalau ternyata kamu sama masa lalu kamu aja masih terus beriringan? Gimana caranya, Kei?” “Ini bukan hal yang harus kita bahas sekarang loh, Frey.” “Nggak harus gimana?” sanggahku dengan nad
BAB 13 “Maaf, mungkin aku yang nggak memahami posisi kamu.” ujarku lirih. Kei mendekat ke arahku perlahan, lalu duduk di sampingku. Meraihku kedalam dekapannya. “It’s okay. Aku juga minta maaf udah bentak-bentak kamu, bahkan kasar ke kamu.” Dan begitu saja pertengkaran kami selesai. Yah— jika kalian beranggapan aku bodoh, aku akui aku memang bodoh. Bahkan aku terlalu gila. Mengapa segampang itu aku mengalah? Aku juga tidak tau. Aku tidak bisa terus-terusan bertengkar dengannya. Jujur saja dalam hati kecilku, aku takut kehilangannya. Aku memang sakit, tapi aku akan lebih sakit lagi jika aku kehilangannya. ***** “Halo, Kei.” sapaku saat menjawab panggilan telfon darinya. “Sayang, aku hari ini harus ke luar kota. Mungkin dua sampai tiga hari. Aku harus pantau proyek disana. Kamu aku tinggal nggak apa-apa kan?” Aku berjalan ke arah meja kantorku sembari membaca beberapa dokumen-dokumen penting, “Nggak apa-apa, Kei. Aku bi
Aku berdiri mematung di tempatku. Tatapanku hanya tertuju pada gagang pintu yang sedang kupegang tanpa sempat membukanya. Jantungku berdetak tak karuan,diiringi dengan mataku yang mulai memanas. “Freya?” aku tidak bergeming, tetap dalam posisiku. Entahlah aku seperti tak punya keberanian untuk beranjak dari tempatku walau sejengkal saja. Aku mendengar langkah kaki mendekat ke arahku secara perlahan. Batinku berteriak untuk menghentikannya, namun lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa. “Freya.” badanku bergetar sedikit saat merasakan tangan besar miliknya menyentuh bahuku dengan pelan. “Hmm?” gumamku pelan tanpa berani melihatnya. Dengan sedikit paksaan, Reyhan membalikkan tubuhku, menghadap ke arahnya. Mendongakkan wajahku agar menatap matanya. “Kok nangis sih lo?” “Freya, gue cuman bercanda. Sumpah deh.” aku menatap kedua matanya. Mencari kebenaran disana. “Lo serius?” Reyhan mengangguk sembari terkekeh. “Iya, gue bercanda doang, Freya. Lo ng
Aku berdiri mematung di tempatku. Tatapanku hanya tertuju pada gagang pintu yang sedang kupegang tanpa sempat membukanya. Jantungku berdetak tak karuan,diiringi dengan mataku yang mulai memanas. “Freya?” aku tidak bergeming, tetap dalam posisiku. Entahlah aku seperti tak punya keberanian untuk beranjak dari tempatku walau sejengkal saja. Aku mendengar langkah kaki mendekat ke arahku secara perlahan. Batinku berteriak untuk menghentikannya, namun lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa. “Freya.” badanku bergetar sedikit saat merasakan tangan besar miliknya menyentuh bahuku dengan pelan. “Hmm?” gumamku pelan tanpa berani melihatnya. Dengan sedikit paksaan, Reyhan membalikkan tubuhku, menghadap ke arahnya. Mendongakkan wajahku agar menatap matanya. “Kok nangis sih lo?” “Freya, gue cuman bercanda. Sumpah deh.” aku menatap kedua matanya. Mencari kebenaran disana. “Lo serius?” Reyhan mengangguk sembari terkekeh. “Iya, gue bercanda doang, Freya. Lo ng
BAB 13 “Maaf, mungkin aku yang nggak memahami posisi kamu.” ujarku lirih. Kei mendekat ke arahku perlahan, lalu duduk di sampingku. Meraihku kedalam dekapannya. “It’s okay. Aku juga minta maaf udah bentak-bentak kamu, bahkan kasar ke kamu.” Dan begitu saja pertengkaran kami selesai. Yah— jika kalian beranggapan aku bodoh, aku akui aku memang bodoh. Bahkan aku terlalu gila. Mengapa segampang itu aku mengalah? Aku juga tidak tau. Aku tidak bisa terus-terusan bertengkar dengannya. Jujur saja dalam hati kecilku, aku takut kehilangannya. Aku memang sakit, tapi aku akan lebih sakit lagi jika aku kehilangannya. ***** “Halo, Kei.” sapaku saat menjawab panggilan telfon darinya. “Sayang, aku hari ini harus ke luar kota. Mungkin dua sampai tiga hari. Aku harus pantau proyek disana. Kamu aku tinggal nggak apa-apa kan?” Aku berjalan ke arah meja kantorku sembari membaca beberapa dokumen-dokumen penting, “Nggak apa-apa, Kei. Aku bi
“Kenapa kamu tiba-tiba tanya kayak gini?” “Nggak apa-apa. Aku cuman pengen tau aja. Selama kita pacaran, kamu sama sekali nggak pernah bahas tentang mantan-mantan kamu, masa lalu kamu gimana, kayak apa.” Aku menatapnya, “Kamu sama sekali nggak pernah bahas hal itu. Aku pacar kamu, Kei. Aku juga berhak untuk tau itu dong.” Kei melepas tatapannya padaku, membenahi posisi duduknya yang agak menjauh dariku. Pandanganku tak lepas dari semua itu. Bahkan aku bisa melihat kedua ibu jari Kei mulai bergerak satu sama lain, kebiasaannya jika sedang gugup. Aku makin curiga dibuatnya. “Masa lalu nggak perlu kamu bahas-bahas lagi. Semua udah lewat. Fokus yang sekarang aja, fokus sama kita kedepannya.” kelaknya. “Gimana aku mau fokus sama kita kedepannya, kalau ternyata kamu sama masa lalu kamu aja masih terus beriringan? Gimana caranya, Kei?” “Ini bukan hal yang harus kita bahas sekarang loh, Frey.” “Nggak harus gimana?” sanggahku dengan nad
"Kakak barusan datang?" tiba-tiba terdengar suara Dara dari arah pintu. Kei hanya mengangguk sambil menggumamkan kata 'iya' "Kebetulan banget, Sarah mau ketemu Kakak. Kemarin dia mau ngobrol-ngobrol sama Kakak tapi nggak sempat." ujarnya sambil melirik ke arahku sekilas. Anak ini benar-benar! Setiap bertemu dia, aku harus ekstra sabar menghadapinya, kesabaranku juga diuji kalau berbicara dengan dia. Menyebalkan memang! Untung dia adik Kei, jika tidak— "Hai, Kei." Aku menoleh begitu saja saat Sarah menyapa Kei dengan santainya. Eh? Bukankah Sarah seumuran dengan Dara? Seharusnya dia memanggil Kei dengan embel-embel 'Kak' dong? Aku melihat ke arah Kei yang menatap Sarah tidak suka. "Hai. Tolong lain kali sopan sedikit ya. Aku lebih tua dari kamu. Nggak pantes kamu manggil namaku begitu saja." tegur Kei tegas. Kulihat Sarah tertegun di tempatnya. Setelah mengucapkan kata maaf, dia pun menunduk sedih. "Kak
"Kei? Ka—mu kapan datengnya?" Aku menghampirinya dengan hati tak karuan. "Sudah sejak tadi." jawabnya dengan tatapan yang tak putus dari Reyhan. Melihat itu, aku berusaha mengalihkan perhatian Kei. "Kamu kesini mau ngapain? Mau ke rumah Mama?" Kei menoleh ke arahku "Apa salahnya aku mau ketemu sama tunanganku? Apa aku perlu ijin buat ketemu kamu?" Skakmat! Aku rasa dia tau kalau aku sedang berusaha mengalihkan perhatiannya. Aku melirik Reyhan yang menatap Kei dengan datar. Seolah dia tidak merasa melakukan kesalahan apapun. Entah mengapa, tatapan mataku teralihkan ke belakang punggung Kei. Seperti ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Setelah aku menggeser sedikit posisi berdiriku, aku melihat Karina yang sedang menatap ke arah Reyhan. Aku tidak bisa mendeskripsikan tatapannya. Hanya saja, dia seperti sedang menahan amarah, terlihat dari kedua tangannya yang megepal disisi tubuhnya. "Karina?" panggilku. Karina menatapku deng
"Kei!" teriakku bersamaan dengan Tante Mora.Jujur saja aku tidak mengira jika Kei akan melayangkan tangan pada Dara, adiknya. Karena Kei adalah tipe orang yang sangat-sangat sayang dengan keluarganya. Apalagi adik satu-satunya itu. Mungkin saja, sikap Dara barusan memang sudah melewati batas wajar, dia terlalu terobsesi untuk memisahkanku dnegan kakaknya.Dara yang setelah mendapat tamparan dari Kei, menatap kakak tersayangnya dengan terkejut. Samar-sama kulihat juga air mata mulai membasahi pipinya. Aku pun berjalan pelan ke arah Dara yang masih tersungkur di hadapan Kei dengan mengenaskan.Aku bermaksud membantunya untuk duduk di sofa, namun yang kudapat hanyalah tepisan kasar darinya dan juga tatapan tajamnya. "Ini semua karena lo! Perempuan ular! Lo hasut Kakak gue apa, ha?!" teraiknya ke arahku."Dara! Cukup! Mama nggak pernah didik kamu jadi anak brutal kayak gini!" bentak Tante Mora sambil melotot ke arah Dara.Dara tersenyum remeh, "Cih! S
“Halo Freya, barusan sampe?” tanya Tante Mora saat melihatku berjalan ke arahnya.“Iya, Tante. Tante kabarnya baik kan?”Tante Mora tersenyum lembut lalu mengusap lenganku pelan, “Baik dong, Sayang. Sana kamu samperin Kei. Dia ada di deket barbeque”“Oke, Tante.” aku berjalan ke tempat yang dibilang Tante Mora sambil celingukkan mencari keberadaan Kei.Setelah mencari-cari, akhirnya aku melihat Kei yang sedang berdiri di dekat kolam renang. Namun, kelihatannya dia sedang berbicara dengan seseorang.“Kei.” panggilku yang membuat dia dan orang yang sedang berbicaranya ikut menengok ke arahku. Wahh ternyata seorang perempuan muda yang sedang berbicara dengannyaMelihatku yang memanggilnya, ia melemparkan senyum manis lalu menghampiriku. “Hai, Sayang.”“Kamu ngobrol sama siapa?” tanyaku sambil melirik ke perempuan tadi.“Ohh… I
Pagi ini, aku sudah berada di tempat yang rutin aku kunjungi. Tempat dimana aku bisa mencurahkan semua keluh kesahku tanpa malu. Setiap kemari, aku selalu se maksimal mungkin berdandan cantik, menggunakan outfit yang indah dan tak lupa aku membawa beberapa bunga kesukaannya.Aku berjongkok di depan batu bertuliskan ‘DAYANA JULIA SEBASTIAN’. Ya, nama Mamaku sangat cantik bukan? Aku mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Mamaku.“Mama, Freya datang lagi loh.” ucapku dengan senyum tulus yang menghiasi raut wajahku.“Ini, Freya bawa bunga kesukaan Mama. Bunga Matahari.” aku meletakkan beberapa bouquet di depan batu nisannya lalu merubah posisiku menjadi duduk di samping makam Mamaku.“Mama apa kabar di sana? Pasti bahagia dong ya? Mama sama Papa selalu jagain Freya kan dari atas sana?” aku melihat batu nisan disebelah makam Mama.Ya, makam Mama dan Papa memang bersebelahan. Padahal da
Aku memencet bel apartment Kei terus menerus. Menunggu sang pemilik membukakan pintunya. Belum terlihat tanda-tanda jika Kei akan membuka pintu, aku mememcet belnya kembali. Sampai akhirnya terdengar bunyi pintu terbuka.“Kenapa kamu disini?” tanya Kei dengan raut wajah terkejut karena melihatku berdidi di depan pintu apartment nya.“Ada yang mau aku omongin sama kamu. Kita nggak bisa nunda-nunda masalah kayak gini, Kei.”“Pulang lah. Aku lagi nggak mau nge-bahas itu.” lalu Kei berniat untuk menutup pintunya, namun aku buru-buru mencegahnya dan langsung masuk kedalam tanpa persetujuannya.“Freya. Aku lagi butuh waktu.”Aku menggeleng tegas. “Nggak bisa. Waktu kamu udah aku kasih semalem. Sekarang kita harus bahas ini. Kmau nggak bisa terus-terusan salah paham sama aku.”Kei mengacak rambutnya kesal. “Tolong ngertiin aku, Frey! Aku nggak bisa bahas ini sekaran