Ganis tidak begitu memikirkan kata-kata Mila soal Direktur Utama itu. Baginya yang penting, ia bekerja dengan sangat baik. Bisa menuangkan ide kreatifnya, sesuai dengan yang diinginkan oleh kliennya.
Sudah beberapa kali ia survey ke lapangan. Kadang di temani Mila, untuk mencari mebel yang sesuai dengan konsep gambarnya."Mil, sepertinya barang-barang mebel di sini lebih tinggi harganya dibanding di Yogya. Aku punya teman di sana, dia pengrajin mebel yang hasil kerjanya bagus dan bisa dipercaya." katanya kepada Mila, setelah keluar dari toko mebel yang cukup besar. "Itu pasti, Nis. Aku sudah bekerja sama dengan beberapa pengrajin di daerah, dengan pikiran harganya lebih murah dan kita bisa pesan sesuai konsep kita. Namun, kadang terkendala sama waktu dan modal mereka yang tidak begitu memadai. Sehingga, kadang menghambat pekerjaan kita, karena barang yang kita inginkan belum tersedia tepat pada waktunya. Aku sudah mengalaminya beberapa kali. Jadi, aku lebih memilih ambil dari toko walau lebih mahal, tapi pasti." Mila menjelaskan."Oh, gitu ya?" renungnya."Akan tetapi, kamu boleh coba dulu menjalin kerjasama dengan temanmu itu. Kalau memang lancar, tentu saja tidak akan jadi masalah. Karena rata-rata pengrajin seperti mereka, hanya dikelola oleh perorangan, tapi ada juga yang yang sudah dikelola secara profesional. Aku akan rekomendasikan perusahaan mebel mana yang bisa kita ajak bekerjasama.""Kamu memang temanku yang sangat baik. Terima kasih." Mila tersenyum. "Tapi aku juga suka melihat-lihat ke toko-toko mebel seperti ini loh. Hanya sekedar mencari inspirasi, untuk sekali-kali menyelipkan sesuatu yang beda di desain interiorku.""Hmm ... boleh juga tuh, Mil. Kita sebagai seorang desainer, tentu punya kebebasan untuk menuangkan ide kreatif kita. Kalau bisa diterima oleh klien, tidak ada masalah, kan?""Tentu saja, Nis. Aku sering menyarankan kepada klien, untuk tidak terlalu terpaku pada model yang diinginkan mereka." keduanya tertawa bersama. "Yuk, kita cari makan, udah laper nih." Yang diangguki oleh Ganis, tanpa banyak kata lagi. Mereka tiba di kantor, setelah jam makan siang berakhir. Setiba di ruangan kerja, Aldy langsung bicara pada Ganis. "Nis, dicari Felix tadi." Ganis mengerutkan keningnya. "Ada apa, ya?""Aku gak tahu, dia gak ngomong. Hanya suruh ke kantornya aja, bila kamu sudah datang.""Baiklah, aku akan segera ke sana." "Mungkin Felix sudah kangen sama kamu, Nis. Karena sudah dua hari ini, kamu kelayapan terus di luar." canda Mila.Ganis hanya melirik Mila yang lagi nyengir, lalu melangkah menuju ruangan CEO yang ada di lantai satu.Setelah mengetuk pintu, ia mendengar suara Felix yang mempersilahkannya masuk. Begitu pintu terbuka, Ganis melihat Felix langsung berdiri dari kursi kebesarannya. "Akhirnya kamu kembali juga. Bagamana jalan-jalannya, membuahkan hasil?" Felix selalu ramah padanya. Wajahnya yang memang tampan, selalu menarik dengan senyuman dan tatapannya yang simpatik."Aku berusaha mendengarkan pendapat dari Mila, yang lebih berpengalaman dalam hal ini. Toko-toko mebel itu juga menarik. Banyak model-model furniture-nya yang inspiratif, bisa diterapkan bila ingin menciptakan sebuah ruangan yang berbeda." ujar Ganis, sambil terus berjalan mendekati mejanya. Wajahnya yang cantik, tidak pudar karena kegiatannya di luar. Tetap segar dan energik.. "Kepalamu selalu punya ide yang bagus, ya? Aku melihatnya ditiap detail desain yang kamu buat." puji Felix, tidak berusaha menyembunyikan rasa kagumnya.Felix melangkah mendekati, Ganis tersenyum menanggapi omongannya itu. "Aku memang suka menata ruangan. Bukan hanya menjadikan ruangan itu indah, tetapi akan terasa nyaman dan aman bagi yang mendiaminya.""Kalau begitu, aku akan memperkenalkanmu pada sang penilai paling kritis. Setiap detail tidak akan luput dari mata tajamnya." Ganis membulatkan matanya. "Maksudnya?""Pak Direktur Utama kita, sudah pulang dari tugas luarnya. Aku akan memperkenalkannya padamu." Ganis hanya menaikan sudut bibirnya. 'Siapa takut?' batinnya."Aku akan mengantarkanmu ke ruangannya." ajak Felix pelan. Berjalan mendahului, yang diikuti oleh Ganis tanpa keraguan.Gedung perusahaan ini, hanya terdiri dari tiga lantai. Terus terang, Ganis belum begitu mengenal ruangan kerja yang lainnya, selain ruang kerjanya yang ada di lantai dua. Sementara lantai tiga yang ditujunya sekarang, belum pernah sekalipun diinjaknya. Felix membawanya kesebuah ruangan, yang dirasa Ganis memiliki aura yang berbeda dari ruangan yang lainnya. Sebuah aura dingin, dari interiornya yang bernuansa monokrom hitam putih. Ornamen yang ada di sekitarnya, nampak elegan. Mungkin AC ruangan ini yang terlalu dingin, pikirnya.Mereka melewati meja sekretaris yang cantik, Felix hanya mengangguk sambil tersenyum padanya. Tangannya mengetuk pintu besar dari kayu yang berat, tanpa menunggu jawaban dari dalam, Felix membukanya sendiri."Masuklah, Nis. Aku ingatkan jangan terlalu terpaku pada penampilannya, ya? Dia tidak akan menggigitmu." kata Felix masih dengan nada guraunya. Dia belum sadar, kalau orang yang ada di belakang punggungnya itu, sudah memucat seperti mayat hidup.Ya! Ganis sudah melihat orang yang ada di balik meja bertuliskan Direktur Utama itu. 'Prana Guntara'. Yang tiada lain adalah, orang yang paling ingin dihindarinya selama ini. Suami yang telah dengan kejam, mengusir dirinya tanpa memberi kesempatan untuk membela diri. Tuduhan yang sudah dilontarkan, tidak main-main. 'Istri yang berselingkuh!' Suatu tuduhan yang tanpa dasar, menurut Ganis.Ingin saja Ganis membalikkan badannya, berlari menghindari laki-laki itu. Namun, terlanjur Prana melihat kehadirannya.Ekspresi terkejut ditunjukkan bukan hanya oleh Ganis, hal yang sama juga terlihat di wajahnya yang dingin. Candaan Felix tidak berpengaruh sama sekali pada keduanya.Apakah kamu baik-baik saja, Nis? Wajahmu pucat sekali." tanya Felix khawatir. Tangannya menyentuh wajah Ganis, yang masih terpaku diam seperti patung. 'Mengapa Prana ada di perusahaan ini? Bukankah aturan pemerintah tidak memperbolehkan orang militer ikut terlibat dalam bisnis apapun? Apakah Prana melepas kemiliterannya?' Rentetan pertanyaan muncul di kepala Ganis yang sama sekali tidak habis pikir. Ia sangat tahu, Prana sangat mencintai karier militernya itu dengan sepenuh hati dan jiwa raganya. Namun, kenapa ia malah jadi Direktur Utama di perusahaan ini?"Nis." Felix kembali memanggil namanya. Tangannya menepuk-nepuk lembut pipinya yang masih pucat.Ganis baru sadar, otaknya kembali waras. Ia melihat Felix, kulit wajahnya yang halus mulai berwarna lagi. Bagaimanapun, ia harus menghadapinya. Ganis bertekad, bahwa tidak mau lagi diperlakukan dengan sewenang-wenang, oleh laki-laki yang tidak punya hati ini.Matanya perlahan berapi, lalu masuk melewati Felix yang masih tampak kebingungan.Raut Prana sudah kembali ke semula, wajah terkejutnya sudah hilang. Dia menatap Ganis yang berjalan mendekati ke arah meja kerjanya.Tubuh perempuan itu tidak ada perubahan. Bentuknya tetap bagus, tetap ramping. Rambutnya yang hitam, lebih panjang dari terakhir dia melihatnya.Rasa marah itu masih ada, tapi mengapa dia tidak bisa melupakannya? Wanita penghianat ini, malah terlihat semakin menawan. Sialan! umpatnya dalam hati."Fe, tolong siapkan. Setengah jam lagi, kita akan mengadakan rapat bersama Divisi Site Engineer." katanya langsung. Saat melihat sahabatnya itu mengikuti Ganis memasuki ruangan kantornya."Dadakan? belum tentu mereka siap." dalih Felix."Siap gak siap, rapat tetap diadakan." kata Prana tegas, tidak mau dibantah. Tatapannya sangat dingin."Ok, siap!" Felix tidak berani membantah, segera akan keluar lagi dari ruangan."Maaf, Nis. Aku harus segera melaksanakan tugasku." sesalnya. Menghampiri Ganis sebelum pergi meninggalkannya sendirian. Ganis hanya menganggukan kepalanya, tanda mengerti. Pikirnya, Prana memang sangat disegani oleh siapa saja, termasuk Felix yang sekarang ia tahu sebagai sahabat terdekatnya.Felix sendiri sedikit merasa heran, melihat sikap Prana yang tidak terlihat seperti biasanya. Dia menangkap ketegangan di wajahnya yang kaku. Felix belum sempat memperkenalkan Ganis pada Prana, sudah buru-buru terusir karena perintahnya. Sikap Ganis pun, membuatnya heran. Sakitkah Ganis? Kenapa tiba-tiba wajahnya memucat? Atau, Jangan-jangan mereka sudah saling mengenal? Tapi tidak mungkin, seorang Prana yang ia tahu laki-laki dingin dan tidak pernah tertarik pada wanita itu, mengenal Ganis. Banyak pertanyaan muncul di kepala Felix, tetapi banyak juga penyangkalannya. Karena dia tidak percaya akan adanya hubungan antara Ganis dan Prana. Sepertinya, yang satu dari kutub utara dan yang satunya lagi dari kutub Selatan. Sungguh! Tidak mungkin.Sepeninggal Felix dan pintu tertutup, Ganis tetap berdiri menunggu dipersilahkan untuk duduk. Wajah cantiknya terlihat datar, tidak ingin menunjukan ekspresi apapun. "Duduklah." Prana mempersilahkannya dengan nada dingin.Ganis duduk, tidak peduli dengan Prana yang tidak mau melepaskan tatapannya sedetikpun. "Kamu bekerja di sini?" tanyanya. Sorot mata Ganis tanpak tajam, menatap orang di hadapannya ini. "Anda lihat sendiri sekarang." jawabnya ketus. Ia bertekad tidak mau terintimidasi lagi oleh sikap dinginnya.Cukup sudah sikap Ganis yang selalu patuh, mengatakan 'ya' dan selalu mengikuti apa maunya tanpa banyak protes.Mata Prana sedikit menyipit, wanita yang empat tahun lalu sepertinya sudah benar-benar menghilang. Pribadinya yang manis, tenggelam di balik matanya yang cukup menusuk jantung. Dia masih terluka karena pengkhianatannya. Rasa sakit, masih bercokol lekat di hatinya.Prana menggeram, terlihat dari kedutan rahangnya yang terlihat kokoh. "Seharusnya kau tidak bekerja d
Memasuki kembali ruang kerjanya, perasaan Ganis sudah mulai tenang. Bagaimanapun, pikirnya. Ia harus bisa menegakkan badannya untuk menghadapi Prana. Jangan terlihat lemah, seperti Ganis yang dikenalnya selama ini. Yang manja, yang kolokkan dan sangat naif, hingga semua orang dianggapnya baik.Dengan sedikit memperbaiki riasan wajahnya, Ganis sudah tampak segar lagi. Meski kesembaban matanya, tidak begitu dapat ia tutupi."Nis, tadi kenapa wajahmu pucat sekali?" Tiba-tiba Felix mengamit tangan Ganis, begitu melihat wanita itu masuk ke ruangan rapat bersama Mila."Aku memang agak kurang enak badan hari ini, tapi tidak apa-apa. Aku sudah minum obat pusing tadi, sebelum ke sini." dustanya. Felix menatapnya menyelidik. Wajahnya memang sudah tidak lagi terlalu pucat seperti tadi."Kalau begitu, sebaiknya kamu istirahat saja. Tidak perlu ikut rapat hari ini. Aku bisa memberi menjelaskan kepada Prana tentang kondisimu saat ini." "Kamu mau melewatkanku, untuk menunjukan kemampuanku pada Dir
"Tadi itu kamu luar biasa loh, Nis. Aku kira kamu akan terpengaruh dengan sikap Prana yang kamu tahu sendiri, dinginnya seperti apa. Entahlah, sejak aku mengenalnya, sikapnya selalu begitu." ungkap Mila, sambil bersender di meja kerjanya Ganis. Menatap teman yang ada di hadapannya ini, terduduk lesu."Laki-laki yang tidak pernah menerima kesalahan." gumamnya, malas."Tapi sebenernya tidak begitu juga, Nis. Sepanjang pekerjaan kita bagus, dia dengan mudah menerimanya. Awal-awal mengenalnya pun, aku beranggapan kalau dia laki-laki yang tidak mengenal kompromi. Namun, setelah ke sini-sininya sih, ternyata tidak juga. Jadi abaikan saja sikap dinginnya itu." saran Mila.Ganis tersenyum ragu, tidak begitu yakin akan pendapat Mila. Bagaimana juga, ia yang lebih mengenal siapa lelaki itu."Jangan patah semangat, Nis. Tadi itu sudah merupakan awal yang bagus. Kalau dia tidak setuju, akan mengatakannya secara langsung kok." sebelum balik ke mejanya sendiri, Mila menepuk pundak Ganis. "Semangat
Gagah menyambutnya, dengan keceriaan seorang bocah yang melihat maminya sudah pulang. Setelah berjam-jam ditinggalkan hanya dengan neneknya."Mami." panggilnya. Tubuhnya bergelayut di kakinya. Membuat Ganis susah untuk melangkah. Namun, dengan berat ia menyeretnya, membuat anak kecil itu tertawa-tawa. Bergelantung di sebelah kakinya seperti monyet yang sangat lucu.Ini sudah jadi kebiasaan, tubuh anaknya yang masih kecil sangat suka diperlakukan seperti itu. Melihat maminya berjalan tertatih-tatih. Kemudian Ganis akan mengangkat tubuh mungil itu ke pinggangnya, sambil menggelitik perut gendutnya. Gagah semakin mengeraskan tawanya, karena kegelian."Gagah hari ini tidak nakal, kan?" tanya Ganis, sambil mencolek hidung Gagah dengan gemasnya."Mami tanya eang (eyang) aja." jawab Gagah. Mencium kedua pipi Ganis, lalu hidungnya, dan terakhir tubuhnya agak terangkat untuk bisa mencium dahinya. Mata bulat itu menatapnya, terlihat rekahan senyum di bibirnya yang mungil."Anak Mami yang baik."
Setengah berlari, Ganis memasuki kantornya. Tetap saja telat lima belas menit, ketika ia tiba di meja kerjanya."Tumben telat, Nis." kata Mila."Iya, nih. Aku kesiangan bangunnya, semalam susah tidur.""Mikirin apa, hayo .... " canda Mila."Gak mikirin apa-apa, sih. Lagi susah tidur aja." dustanya."Tadi Felix ke sini. Nyariin kamu, tapi kamunya belum datang." ujar Mila memberitahunya. "Cuma mau bilang, katanya dia ada tugas ke luar kota dan tadi buru-buru, langsung menuju ke bandara.""Oh.""Hanya itu?" tanya Mila, menatapnya dengan jenaka."Maksudnya?" tanya balik Ganis."Kok hanya 'oh' doang.""Yah, aku harus ngomong apalagi, Mil?" balasnya, sambil terkekeh."Sepertinya Felix bermaksud serius, Nis,""Aku belum kepikiran ke situ, Mil. Aku ingin serius dulu di kerjaan.""Tapi kamu bisa mempertimbangkannya, Nis. Felix orangnya baik dan bukan laki-laki yang sembarang juga."Ganis kembali terkekeh. "Kamu dorong-dorong aku untuk dekat dengan cowok, sementara kamu sendiri masih jomblo.""
Ganis kembali ke meja kerjanya. Mila yang di sebelahnya, langsung melirik. "Kamu tidak habis dimakannya, kan? Terbukti, tubuhmu masih utuh." kelakarnya, sambil memperlihatkan senyumnya."Aku malah sudah habis diciumnya." Ganis melayani candaan sahabatnya ini.Sebenarnya itu memang terjadi, tetapi ia yakin Mila akan menganggap itu tidak mungkin benar-benar terjadi."Kalau kamu sudah diciumnya, pasti sudah jadi patung es." selorohnya menimpali. Dan gelak tawa pun berkumanang, tanpa menghiraukan yang lainnya yang ada di ruangan itu.Aldy tampak lagi fokus pada kertas gambar yang sedang dikerjakannya. Sambil sesekali melihat layar komputer dihadapannya. Nampak tidak punya minat, untuk ikut gabung pada kedua obrolan wanita yang ada di sampingnya itu.Sementara Bram tetap tidak acuh, diam di meja sebelahnya seperti biasa.Ganis kembali pada pekerjaannya, ia sedang mendesain sebuah ruangan kantor yang sedang digarapnya. "Mil, aku sudah buat beberapa desain lagi. Semuanya gaya minimalis, sesu
Selama tiga hari, Prana tidak pernah memintanya lagi untuk datang ke ruangannya. Membuat Ganis tersenyum puas. Kapokkah laki-laki itu setelah ditamparnya dengan keras? Mungkin, lebih kemelukai harga dirinya yang membuat dia merasa marah. Siapa coba, yang berani berbuat sekasar itu padanya?Namun, hari ini Ganis harus menelan air liurnya. Saat Prana datang, langsung ke mejanya. "Ikut denganku." ajaknya datar, tanpa basa-basi.Semua mata, tertuju pada tubuh tegap itu. Ada apa dengan Prana? Padahal tinggal mengangkat telepon saja, bila ingin meminta salah satu karyawannya untuk menemani dia pergi."Ada urusan apa, ya? Pak Prana mengajak saya pergi." tanya Ganis, enggan."Tentu saja, urusan pekerjaan." jawabnya, dingin."Ada Mila yang lebih berkompeten, Pak." liriknya pada Mila, yang sedikit terkejut, atas saran yang diajukannya."Kalau kamu menolak pekerjaanmu, jangan terus bekerja di sini." kemudian dia membalikkan badan dan pergi."Nis, jangan mempersulit dirimu sendiri." saran Mila.
Posisi mereka sangat berbahaya, tetapi kemudian otak jahil Ganis muncul secara spontan.Kedua tangan sudah ada dalam penguasaan Prana. Hanya pinggulnya yang masih bebas, bisa ia manfaatkan.Pinggul Ganis ditekan lalu digoyangkan, membuat mata Prana terbelalak. Ada suatu reaksi yang dia rasakan, sama sekali tidak bisa dia kendalikan.'Perempuan, sialan! Dia harus menerima akibatnya, bila menggoda macan yang sedang tidur.' umpat Prana dalam hati.Dia segera membalikkan posisi tubuh mereka, secara tiba-tiba. Sekarang, Ganis jadi ada di bawahnya. "Wanita penggoda akan tetap jadi wanita penggoda. Mari kita nikmati, di luar konteks kita sebagai atasan dan bawahan." katanya serak, terdengar seksi di telinganya.Dengan mudah, Prana dapat mencium bibirnya. Menggelitik gigi dengan lidah yang panas. Tidak berdaya, Ganis membuka mulutnyaPagutan bibir mereka semakin liar, tangannya masih dalam penguasaan Prana. Ia tahu, Prana sudah dirasuki oleh gairahnya sendiri. Godaan Ganis sudah berhasil mem
Wajah itu terlihat sarat dengan berbagai perasaan, kerinduan, haru, dan kagum. Ganis dipeluknya dengan erat oleh mertua perempuannya, Marie. Masih terlihat cantik, walaupun usianya sudah lanjut. Papanya, Edward. Menyenggol bahu anaknya. "Istrimu memang luar biasa, dengan kesabarannya sampai bisa meluluhkan hati Mamamu."Prana terkekeh. "Jangankan Mama, Gunung Es aja dia bisa taklukan!" kata Prana. Melihat pada Ganis yang masih berpelukan dengan Marie"Apa tuh, Gunung Es?" perhatiannya mendadak teralihkan dari menantunya. Marie melirik Prana."Itu julukan Ganis, Mam. Karena sikapku yang kaku dan dingin, jadi dia menjulukiku sebagai Gunung Es." jawab Prana, dengan senyumnya.Tawa Edward meledak. "Untung kamu ketemu Ganis yang punya kepribadian sehangat matahari." pujinya, sambil membuka rentangan tangan untuk Ganis. Ibu muda itu tanpa segan, masuk ke dalam pelukan papa mertuanya yang tampak ramah dan berwibawa.Dulu waktu mereka menikah, suasananya sangat kaku. Jangankan bisa beramah t
"Kamu hebat, Nis. Bisa melahirkan secara normal begitu." ucap Rini, dengan kagumnya. Saat Ganis sudah dipindahkan ke ruangan biasa. Ibunya, tante Rini dan om Gustaf, tampak mengelilingi tempat tidur. Sementara Prana duduk di dekat Ganis, tidak mau beranjak ingin terus di sisi istrinya."Waktu melahirkan Gagah pun, Ganis melahirkan dengan normal. Hanya waktunya tidak secepat ini, 10 jam baru bisa lahiran." terang Naning."Oh ya? Mungkin itu kelahiran pertama jadi agak susah, ya?" tanya Rini."Mungkin kurang motivasi juga, karena melahirkan tanpa suami." ceplos Naning, begitu saja. Prana yang di sisi Ganis sambil memegang tangannya, jadi merasa bersalah. "Ternyata perjuangan seorang ibu saat melahirkan itu benar-benar mempertaruhkan nyawanya." ada kabut di matanya dan ia mencium kening Ganis. "Kamu memang hebat, Nis. Maaf, saat melahirkan Gagah, aku tidak ada di sisimu." Ganis menatap suaminya dengan senyum. "Tidak usah dipikirkan lagi, semuanya sudah aku maafkan. Jangan diingat lagi
"Nis, tadi itu luar biasa, Lo. Prana udah kayak cacing kepanasan aja di belakang pintu." Felix tertawa, saat mereka sudah berkumpul di ruang gedung yang khusus disediakan untuk keluarga. Prana mengelus rambut Ganis. "Aku juga bilang Ganis itu suka nekat, itu yang bikin gue suka khawatir. Untung berakhir baik."Ganis hanya tersenyum menanggapinya.Bram muncul, setelah mengganti baju pengantinnya. "Mila, belum selesai, ya?" tanya Ganis kepada Bram."Yah, begitulah. Wanita lebih ribet." jawab Bram, tertawa."Cewek yang tadi itu, beneran sepupu, lo?" tanya Felix."Ya, dari nyokap. Bokapnya, kakak nyokap gue. Mereka keluarga tajir, jauh sekali dengan kehidupan keluarga gue yang kere.""Gue sempet naksir dia sih, dulu. Tapi yang dikejar dia, malah Prana. Orangnya udah ilang, tetep aja ditanyain. Sempet sebel jadinya gue.""Lo kenapa jadi sebel ma gue? Tahu juga kagak.""Tuh cewek, emang terobsesi banget ama lo. Desek-desek gue supaya ngasih tahu keberadaan lo." ucap Felix keki."Ke gue ju
Orang pada berteriak, melihat gelas runcing di sabetkan ke kiri dan ke kanan. Mata wanita itu sudah terlihat liar. Menatap Ganis, dengan segala kebencian. Prana menyembunyikan Ganis ke belakang punggungnya, dengan tatapan waspada.Beberapa keamanan sudah mulai bermunculan. Bram sudah turun dari pelaminan. Saat Mila mau mengikutinya, dia mencegah. "Mil, lebih baik tunggu di atas saja. Ini bukan kali pertama Rania ngamuk seperti ini.""Kamu mengenalnya?" tanya Mila."Dia sepupuku, dari ibu." jelas Bram. Dia segera mendekati ke arah wanita cantik itu berada."Rania, ini pesta pernikahanku. Ini bukan ajangmu untuk mencari perhatian." ucap Bram tampak tenang, tetapi tegas.Mata liar itu melihat padanya. "Lelaki sombong itu telah menpermalukanku." tunjuknya pada Prana. "Ok, dia temanku. Tidak mungkin mempermalukanmu, kalau kamu sendiri tidak bertingkah untuk mengganggunya." Bram menyanggahnya."Dia angkuh! Dia sombong!""Dia sudah punya istri! Dan Dia bukan jenis laki-laki yang tidak set
"Apakah Fe, ada?" tanya Prana. Mengagetkan yang ditanya.Seperti disengat kalajengking, mata bulat milik Siscka terbelalak. Membuat alis Prana terangkat sebelah. Prana tiba-tiba ada di depan meja kerjanya. Tumben-tumbenan manusia dingin ini, mau berbasa-basi. Seumur-umur kerja jadi sekretarisnya, belum pernah ditanya seramah itu. Makanya Siscka kaget."Apa aku seperti hantu?" tanya Prana lagi.'Ampun! Suaminya mbak Ganis ini, sungguh gak lucu bercandanya.' batin Siscka."Ma ... maaf, Pak. Saya merasa kaget. Tadi tiba-tiba Pak Prana datang begitu saja." ucap Siscka sedikit gugup.Prana hanya mengedikkan bahu, lalu masuk ke ruang Felix tanpa mengetuk pintu.Felix yang sedang asik memeriksa berkas-berkas dokumen, mengangkat wajah. "Wah! Yang baru pulang dari seminar. Bagaimana, hasilnya?" tanya Felix. Langsung berdiri mendekati Prana, lalu menggandengnya untuk sama-sama duduk di sofa."Gue gak nyampe akhir, ngikutinnya." jawab Prana."Kenapa emang?" Felix melihatnya."Gak terlalu penti
"Pran, siapa wanita itu?" tanya Ganis. Saat Prana sudah duduk kembali di sofa. Mereka masih tersabung dengan video call."Terus terang aku juga gak kenal, Nis.""Tapi dia tahu namamu, nyosor banget lagi sama kamu.""Begitulah, Nis. Kalau jadi orang ganteng, banyak yang suka." cengenges Prana, yang menurut Ganis tidak lucu.Wajah Ganis langsung ditekuk. "Kepedean, nyebelin! Dapat tontonan gratis tuh, mana besar lagi.""Apanya yang besar?" goda Prana, pura-pura tidak mengerti.Ganis bersiul. "Yang bulat, kayak batok kelapa." omong Ganis sekenanya.Prana terkekeh. "Itu kelihatan dicetak, berarti gak asli. Mending yang punya kamu, besarnya sama kayaknya.""Apa? Berarti kamu liatin terus dong, sampai tahu itu cetakan.""Mataku gak buta, Nis. Itu di depan mata.""Aish! Lelaki sama saja di mana-mana. Matanya gak bisa menghindar dari yang gituan.""Loh ... loh ... kamu kan, tadi lihat dan denger sendiri kejadiannya? Kamu beruntung loh punya suami kayak aku. Sepantasnya dimuseumkan karena suda
"Sebentar ...!" Wanita cantik itu, nekat mengejarnya.Prana tidak menggubrisnya. Terus berjalan, tidak sedikitpun memedulikan wanita yang terus bejalan cepat tanpa berhenti mengejar.Prana tahu, wanita itu tertarik padanya. Dia sering menghadapi wanita-wanita seperti itu. Kalau mau, mungkin sejak dulu dia akan jadi laki-laki yang sering bergonta-ganti pasangan.Namun, sebelum ketemu Ganis pun dia tidak berminat untuk terlibat dengan banyak wanita. Apalagi setelah ketemu Ganis, tidak ada lagi yang dapat mengisi hatinya. Sudah penuh, tidak tersisa lagi ruang buat wanita yang lain.Prana tidak bisa tergoda, karena selama ini dia tidak pernah memberi peluang untuk menarik perhatian wanita lain. Akan tetapi, dengan sikap dinginnya itu malah semakin membuat penasaran lawan jenis. 'Wanita memang suka bersikap aneh, semakin dijauhi malah semakin mengejar.' batinnya."Aku mengenalmu, Prana Guntara!" tandas wanita itu, ketika sudah ada di dekatnya.Prana menghentikan langkah, berada di tengah d
Ganis menghampiri Prana yang sedang duduk di ruang keluarga. Kepalanya langsung menyusup di antara sela-sela tangan yang sedang memegang ipad-nya. Menaruh kepala di atas pangkuan dia.Tangan Prana langsung mengelus perutnya yang masih rata. "Aku ingin melihat perut ini membuncit. Aku melihat gambar-gambar wanita-wanita hamil, ternyata seksi juga, ya?""Apa?" Ganis merasa kaget."Ini lihat, aku sedang mencari tahu tentang bagaimana wanita hamil itu. Belum buka artikelnya sudah dikasih gambar-gambar seperti ini." tunjuk Prana pada layar benda canggih delapan incinya."Mau lihat artikel atau gambarnya?" selidik ganis.Prana jadi terkekeh. "Aku sih sejak tahu kamu hamil, sudah banyak baca-baca artikelnya. Hanya ingin tahu juga kalau wanita sudah hamil besar itu seperti apa.""Mulai kelayapan tuh imajinasinya." sindir Ganis."Yang aku bayangkan istriku sendiri, kok. Tadi kan aku bilang, gimana kalau perutmu sudah buncit. Pasti tidak akan kalah seksinya dengan foto-foto ini.""Mana ada peru
"Bagaimana kamarnya, Nis?" tanya Prana, mengecup bahu istrinya. Tangan sudah mengitari tubuh Ganis, dari arah belakang.Mata Ganis diedarkan ke seluruh ruangan kamar. Rasanya tidak menyangka sama sekali, kalau kamar yang diciptakan olehnya itu, jadi kamar milik sendiri.Ganis memegang tangan Prana, menelengkan wajah, hingga berhadapan dengannya yang sedang menunduk. Mereka saling bertatapan, mengekspresikan rasa bahagia. "Terima kasih, Pran. Ini merupakan rumah impianku." Ganis memagut bibirnya dan Prana menyambut dengan segala rasa senang hati.Setelah melepaskan ciuman mereka, Prana berkata. "Terima kasih, Nis. Sudah dengan sabar menghadapi sikapku selama ini. Terima kasih juga, sudah mau mengandung dua anak kita, di rahimmu. Itu merupakan kebahagiaan yang sangat tidak terkira bagiku." Kemudian tangannya mengelus perut Ganis yang masih rata.Ia menggelinjang kemudian, saat tangan Prana tidak di tempatnya semula. Prana tertawa, meneruskan kenakalan tangannya. Membuat Ganis mencium b