Memasuki kembali ruang kerjanya, perasaan Ganis sudah mulai tenang. Bagaimanapun, pikirnya. Ia harus bisa menegakkan badannya untuk menghadapi Prana. Jangan terlihat lemah, seperti Ganis yang dikenalnya selama ini. Yang manja, yang kolokkan dan sangat naif, hingga semua orang dianggapnya baik.
Dengan sedikit memperbaiki riasan wajahnya, Ganis sudah tampak segar lagi. Meski kesembaban matanya, tidak begitu dapat ia tutupi.
"Nis, tadi kenapa wajahmu pucat sekali?" Tiba-tiba Felix mengamit tangan Ganis, begitu melihat wanita itu masuk ke ruangan rapat bersama Mila.
"Aku memang agak kurang enak badan hari ini, tapi tidak apa-apa. Aku sudah minum obat pusing tadi, sebelum ke sini." dustanya.
Felix menatapnya menyelidik. Wajahnya memang sudah tidak lagi terlalu pucat seperti tadi.
"Kalau begitu, sebaiknya kamu istirahat saja. Tidak perlu ikut rapat hari ini. Aku bisa memberi menjelaskan kepada Prana tentang kondisimu saat ini."
"Kamu mau melewatkanku, untuk menunjukan kemampuanku pada Direktur Utama kita? Aku baru bekerja di sini, tidak mau memberi kesan pertama dengan ketidakhadiranku."
"Nis ... ayolah." bujuk Felix dengan sorot mata penuh kepedulian. Tepat saat Prana masuk dan melihat mereka. Matanya melirik sekilas, pada tangan yang sedang dipegang oleh Felix, dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, melewati mereka.
Tidak ada kesempatan lagi buat Felix untuk membujuknya. "Oke, kamu ikut rapat, tapi aku harap jangan terlalu memaksakan diri." pesannya, sebelum ia duduk. Sementara Ganis menghampiri kursi yang masih kosong, di sisi Mila yang tersenyum padanya.
Sepertinya Mila ingin mengatakan sesuatu. Namun, perhatiannya segera teralihkan, ketika mendengar suara bariton Prana mengatakan akan memulai rapatnya kali ini.
Tidak ada orang yang berani bersuara lagi. Tubuh itu berdiri, layaknya gunung es yang tidak seorang pun mampu menandingi kharismanya.
Sepanjang rapat, Prana sama sekali tidak mengarahkan pandangannya kepada Ganis. Seolah menganggapnya tidak ada. Beda dengan Felix yang selalu meliriknya, masih sangat mencemaskannya.
Setelah mendapatkan laporan hasil kerja dari beberapa rekan, secara tidak terduga Ganis tiba pada gilirannya.
"Saya ingin mendengar laporan dari hasil kerja desain interior kita yang baru."
Deg!
Ganis tetap saja merasa terkejut.
Dia sebenarnya sudah siap mental, bila diminta untuk mempresentasikan hasil kerja, di rapat ini. Desain gambar yang dibuatnya pun, ada beberapa yang sudah jadi.
Akan tetapi, karena ini kali pertama, membuatnya sedikit gugup. Ia harus melakukannya, terutama yang dihadapinya ini adalah Prana. Sama sekali tidak ingin menunjukan kelemahannya.
Dia berusaha menyemangati dirinya sendiri.
Dengan percaya diri Ganis berdiri, semua memandangnya termasuk Prana. Ia menatap Prana sekilas, kemudian fokus lagi pada kertas-kertas yang ada di tangannya.
Tidak ada komentar apapun, saat gambar-gambar itu tampil di layar proyektor. Ganis secara detail menjelaskan hasil kerjanya sampai ke budget yang sudah ia perhitungkan." Beruntung, ia punya pengalaman kerja sewaktu di Yogyakarta. Sudah sering mempresentasikan hasil kerja teamnya, di rapat seperti ini.
Semua bertepuk tangan, mengapresiasi Ganis yang telah begitu lancar menunjukan keahliannya, tanpa sangkalan dari Prana.
Felix menatapnya dengan kagum. Mengacungkan jempolnya saat Ganis sudah duduk di kursinya kembali.
Mila berbisik, “Good job, Nis!” Ganis meliriknya, tersenyum samar.
"Jangan terlalu puas, Mil. Ini belum apa-apa, dibanding ke depannya yang harus aku hadapi." katanya, tersenyum kecut.
"Hey, tadi itu sudah sangat bagus, semangatlah!" Ganis tidak berkata lagi, ia sibuk membereskan berkas-berkas yang ada di hadapannya.
Ia cepat beranjak dari ruangan, saat rapat dinyatakan sudah selesai.
"Nis!" Felix memanggilnya, sudah berdiri dan bermaksud menghampiri Ganis. Namun, suara Prana mencegah niatnya untuk lanjut melangkahkan kakinya.
"Ada yang harus gue bicarakan, Fe. Bersama Aldy dan Bram." ucap Prana, serius. "Gue harap kalian jangan meninggalkan dulu ruangan ini."
Ketiganya saling memandang, tapi akhirnya mereka duduk kembali. Sementara Ganis dan Mila keluar ruangan rapat, punggungnya hanya bisa di lihat oleh Felix dengan hati masygul.
"Ada sedikit masalah pada proyek kita yang di Kalimantan. Gue sudah coba selidiki selama beberapa hari ini di sana, tapi belum secara pasti dapat tahu apa penyebabnya. Lo bisa membantu gue lebih lanjut tentang hal ini, Fe?" tatapan Prana tertuju pada Felix.
"Gue ada acara lelang proyek bersama Aldy, yang harus gue hadiri." sambungnya lagi. Memberi alasan, kenapa dia tidak meneruskan penyelidikannya di sana.
"Tidak masalah, gue akan melakukannya." tegas Felix. "Mungkin gue akan mengajak serta desain interior kita yang baru. Untuk sekalian memperkenalkan proyek besar kita, yang sedang dikerjakan di sana."
Mata Prana menyala tajam, "Lo pergi sendirian. Mila sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya, jadi jangan mengganggunya dengan cara mengambil pekerja baru itu." tegasnya.
"Yeahhh .... Pran. Lo sudah biasa sendirian kemana-mana, tapi gue inginlah sekali-kali ditemani wanita cantik saat berada di luar."
Prana merapatkan bibirnya, saat mendengar keinginan Felix yang sedikit mencari kesempatan itu. "Lo, tidak takut diamuk Mila? Jadi, hentikan ide gila Lo itu." tegasnya tidak bisa di kompromi lagi.
Ia mengarahkan tatapannya pada Aldy. Menghentikan pembicaraannya dengan Felix, secara sepihak.
"Gimana, Al? Semua sudah lo persiapkan untuk acara lelang proyek itu? Kita berharap tender ini bisa kita dapatkan." tegasnya dengan penuh semangat, "kerjaan Lo lancar kan, Al? Gue lihat dari hasil laporan lo tadi, tidak ada kendala yang berarti."
Meski agak heran, karena ia sudah merasa menjelaskan secara detail di rapat tadi, tapi kenapa Prana harus bertanya lagi soal ini? Aldy menjawab juga.
"Soal acara lelang, lo gak usah khawatir, Pran. Sudah gue persiapkan dan kita siap bersaing untuk memenangkannya." kekehnya. "Kalau soal proyek yang sedang gue kerjakan, udah gue bahas di rapat tadi, kan? Apa kurang jelas?" tanya Aldy. Prana yang ditatapnya, terlihat kaku.
"Gue udah paham." jawabnya datar.
Aldy agak memicingkan matanya sambil sedikit tersenyum. "Gue liat, lo agak gak fokus dirapat tadi, sebenernya ada apa, Pran?" kini Aldy yang balik tanya.
"Gue, hanya sedikit lelah saja." katanya beralasan.
"Lo, butuh hiburan, Pran. Agak santai sedikitlah ... Jangan melulu yang lo pikirkan itu hanya kerja, kerja, kerja terus." seloroh Aldy.
Prana terlihat diam. Benar juga kata Aldy, dia butuh hiburan. Sekelebat bayangan wanita cantik, yang manja, selalu membuatnya tersenyum dan tertawa lepas akibat ulah jahilnya yang bikin dia semakin gemas jadinya. Namun, ia harus menepiskan bayangan itu.
Peran Ganis, sudah tidak bisa menghiburnya lagi. Wanita itu sudah jadi sosok orang lain di matanya juga dihatinya.
"Soal kerjaan gak usah terlalu lo pikirin, kita kan, sudah berkomitmen bahwa kita akan bertanggung jawab pada tugas kita masing-masing." Aldy berusaha meyakinkan. Kembali terkekeh, sesuai dengan karakternya yang tidak begitu serius. Namun, Prana tahu dalam hal pekerjaan, Aldy seorang yang sangat bertanggung jawab.
"Ok, terima kasih, Al. Kita semua akhir-akhir ini, memang telah bekerja keras untuk menangani proyek-proyek kecil maupun besar. Sepertinya belum ada waktu untuk kita beristirahat, karena muncul lagi beberapa proyek yang akan segera kita kerjakan. Kalian harus tetap semangat." ucap Prana, dengan lugas.
"Bram?" tatapannya dialihkan kepada sahabatnya yang agak pendiam ini.
"Sesuai dengan yang sudah gue jelaskan di rapat tadi, proyek yang gue kerjakan ini sudah mulai rampung. Bukan proyek besar juga, jadi tidak begitu banyak menimbulkan masalah. Semoga hasil akhirnya sesuai dengan harapan kita semua."
Wajah dingin Prana sedikit bersinar, "Syukurlah, itu yang kita harapkan. Gue harap juga, kalau ada masalah untuk segera dilaporkan dan kita bicarakan bersama."
"Fe, jangan tunda keberangkatannya ke Kalimantan. Segera selesaikan masalah di sana." perintah Prana, sambil bersiap-siap untuk meninggalkan ruangan rapat. "Terima kasih atas kerjasama kalian, hingga perusaan kita ini, semakin besar."
"Heran gue, ada apa sih sama dia? Mesti nahan kita segala. Sudah jelas kan, tadi di rapat?" ucap Felix, setelah punggung Prana tidak terlihat. Agak ngedumel, karena rencananya mau deketin Ganis setelah rapat, jadi gagal.
"Kasihan juga Ganis, kalau harus terus lo tempelin kayak perangko. Sepertinya agak kurang sehat liatnya." seloroh Aldy. Mengangkat bokongnya, untuk segera meninggalkan ruangan yang diikuti oleh Bram.
Di tempat lain, Mila sedang memperhatikan wajah Ganis yang sudah duduk di sebelahnya. "Nis, sepertinya kamu kurang sehat deh. Aku antar untuk memeriksakan diri ke ruang kesehatan perusahaan, yuk?" ajaknya.
"Aku gak apa-apa, Mil. Jangan terlalu cemas gitu ah. Apa kata dunia, kalau karyawan baru sudah mengeluh sakit, padahal belum lama bekerja."
"Mau karyawan baru kek atau karyawan lama kek. Kalau merasa sakit, ya diobatin. Perusahaan ini sudah menyediakan tempat lengkap dengan seorang dokter dan perawatnya." kata Mila ngotot.
Kepala Ganis yang memang sudah pening, jadi tambah lagi pening. Ia hanya ingin menyimpan kepalanya ini, di atas bantal yang empuk, lalu memejamkan matanya untuk tidur. Berusaha melupakan masalah yang sedang menderanya.
Seandainya, Mila tak mengenal Prana, ingin saja ia menceritakan semua masalahnya ini. Namun, tentu saja hal ini tidak bisa ia lakukan. Mungkin tidak saat-saat ini.
"Aku tadi sudah minum obat sakit kepala, Mil. Jadi tenang saja, kepalaku sudah agak ringan." dustanya seperti tadi pada Felix.
Ya ampun, gara-gara pusingnya ini, sudah dua kali membohongi temannya.
"Seandainya kamu masuk ruang Felix atau Prana, enak tuh ada kamar pribadinya. Kalau sekedar hanya untuk beristirahat. Namanya juga, ruang Bos." ujar Mila sambil tersenyum. Kembali ke lembar desain gambar yang sedang di garapnya.
Ah, seandainya ia masih berhubungan baik dengan Prana. Tentu laki-laki itu, tidak akan membiarkan dirinya semenderita ini. Dia terlalu baik, saat sebelum kejadian itu.
Jauh di lubuk hatinya, Ganis menyimpan rindu yang tidak bisa diekspresikan ke orangnya secara langsung. Prana kini, kembali jauh dari jangkauannya.
Namun, di balik kerinduan itu juga, ada keraguan yang tidak bisa ia lupakan dengan begitu saja. Belum tentu Prana masih menginginkannya. Dari sikapnya saja, membuat Ganis ingin membuat sebuah lubang dan tenggelam di dalamnya.
"Tadi itu kamu luar biasa loh, Nis. Aku kira kamu akan terpengaruh dengan sikap Prana yang kamu tahu sendiri, dinginnya seperti apa. Entahlah, sejak aku mengenalnya, sikapnya selalu begitu." ungkap Mila, sambil bersender di meja kerjanya Ganis. Menatap teman yang ada di hadapannya ini, terduduk lesu."Laki-laki yang tidak pernah menerima kesalahan." gumamnya, malas."Tapi sebenernya tidak begitu juga, Nis. Sepanjang pekerjaan kita bagus, dia dengan mudah menerimanya. Awal-awal mengenalnya pun, aku beranggapan kalau dia laki-laki yang tidak mengenal kompromi. Namun, setelah ke sini-sininya sih, ternyata tidak juga. Jadi abaikan saja sikap dinginnya itu." saran Mila.Ganis tersenyum ragu, tidak begitu yakin akan pendapat Mila. Bagaimana juga, ia yang lebih mengenal siapa lelaki itu."Jangan patah semangat, Nis. Tadi itu sudah merupakan awal yang bagus. Kalau dia tidak setuju, akan mengatakannya secara langsung kok." sebelum balik ke mejanya sendiri, Mila menepuk pundak Ganis. "Semangat
Gagah menyambutnya, dengan keceriaan seorang bocah yang melihat maminya sudah pulang. Setelah berjam-jam ditinggalkan hanya dengan neneknya."Mami." panggilnya. Tubuhnya bergelayut di kakinya. Membuat Ganis susah untuk melangkah. Namun, dengan berat ia menyeretnya, membuat anak kecil itu tertawa-tawa. Bergelantung di sebelah kakinya seperti monyet yang sangat lucu.Ini sudah jadi kebiasaan, tubuh anaknya yang masih kecil sangat suka diperlakukan seperti itu. Melihat maminya berjalan tertatih-tatih. Kemudian Ganis akan mengangkat tubuh mungil itu ke pinggangnya, sambil menggelitik perut gendutnya. Gagah semakin mengeraskan tawanya, karena kegelian."Gagah hari ini tidak nakal, kan?" tanya Ganis, sambil mencolek hidung Gagah dengan gemasnya."Mami tanya eang (eyang) aja." jawab Gagah. Mencium kedua pipi Ganis, lalu hidungnya, dan terakhir tubuhnya agak terangkat untuk bisa mencium dahinya. Mata bulat itu menatapnya, terlihat rekahan senyum di bibirnya yang mungil."Anak Mami yang baik."
Setengah berlari, Ganis memasuki kantornya. Tetap saja telat lima belas menit, ketika ia tiba di meja kerjanya."Tumben telat, Nis." kata Mila."Iya, nih. Aku kesiangan bangunnya, semalam susah tidur.""Mikirin apa, hayo .... " canda Mila."Gak mikirin apa-apa, sih. Lagi susah tidur aja." dustanya."Tadi Felix ke sini. Nyariin kamu, tapi kamunya belum datang." ujar Mila memberitahunya. "Cuma mau bilang, katanya dia ada tugas ke luar kota dan tadi buru-buru, langsung menuju ke bandara.""Oh.""Hanya itu?" tanya Mila, menatapnya dengan jenaka."Maksudnya?" tanya balik Ganis."Kok hanya 'oh' doang.""Yah, aku harus ngomong apalagi, Mil?" balasnya, sambil terkekeh."Sepertinya Felix bermaksud serius, Nis,""Aku belum kepikiran ke situ, Mil. Aku ingin serius dulu di kerjaan.""Tapi kamu bisa mempertimbangkannya, Nis. Felix orangnya baik dan bukan laki-laki yang sembarang juga."Ganis kembali terkekeh. "Kamu dorong-dorong aku untuk dekat dengan cowok, sementara kamu sendiri masih jomblo.""
Ganis kembali ke meja kerjanya. Mila yang di sebelahnya, langsung melirik. "Kamu tidak habis dimakannya, kan? Terbukti, tubuhmu masih utuh." kelakarnya, sambil memperlihatkan senyumnya."Aku malah sudah habis diciumnya." Ganis melayani candaan sahabatnya ini.Sebenarnya itu memang terjadi, tetapi ia yakin Mila akan menganggap itu tidak mungkin benar-benar terjadi."Kalau kamu sudah diciumnya, pasti sudah jadi patung es." selorohnya menimpali. Dan gelak tawa pun berkumanang, tanpa menghiraukan yang lainnya yang ada di ruangan itu.Aldy tampak lagi fokus pada kertas gambar yang sedang dikerjakannya. Sambil sesekali melihat layar komputer dihadapannya. Nampak tidak punya minat, untuk ikut gabung pada kedua obrolan wanita yang ada di sampingnya itu.Sementara Bram tetap tidak acuh, diam di meja sebelahnya seperti biasa.Ganis kembali pada pekerjaannya, ia sedang mendesain sebuah ruangan kantor yang sedang digarapnya. "Mil, aku sudah buat beberapa desain lagi. Semuanya gaya minimalis, sesu
Selama tiga hari, Prana tidak pernah memintanya lagi untuk datang ke ruangannya. Membuat Ganis tersenyum puas. Kapokkah laki-laki itu setelah ditamparnya dengan keras? Mungkin, lebih kemelukai harga dirinya yang membuat dia merasa marah. Siapa coba, yang berani berbuat sekasar itu padanya?Namun, hari ini Ganis harus menelan air liurnya. Saat Prana datang, langsung ke mejanya. "Ikut denganku." ajaknya datar, tanpa basa-basi.Semua mata, tertuju pada tubuh tegap itu. Ada apa dengan Prana? Padahal tinggal mengangkat telepon saja, bila ingin meminta salah satu karyawannya untuk menemani dia pergi."Ada urusan apa, ya? Pak Prana mengajak saya pergi." tanya Ganis, enggan."Tentu saja, urusan pekerjaan." jawabnya, dingin."Ada Mila yang lebih berkompeten, Pak." liriknya pada Mila, yang sedikit terkejut, atas saran yang diajukannya."Kalau kamu menolak pekerjaanmu, jangan terus bekerja di sini." kemudian dia membalikkan badan dan pergi."Nis, jangan mempersulit dirimu sendiri." saran Mila.
Posisi mereka sangat berbahaya, tetapi kemudian otak jahil Ganis muncul secara spontan.Kedua tangan sudah ada dalam penguasaan Prana. Hanya pinggulnya yang masih bebas, bisa ia manfaatkan.Pinggul Ganis ditekan lalu digoyangkan, membuat mata Prana terbelalak. Ada suatu reaksi yang dia rasakan, sama sekali tidak bisa dia kendalikan.'Perempuan, sialan! Dia harus menerima akibatnya, bila menggoda macan yang sedang tidur.' umpat Prana dalam hati.Dia segera membalikkan posisi tubuh mereka, secara tiba-tiba. Sekarang, Ganis jadi ada di bawahnya. "Wanita penggoda akan tetap jadi wanita penggoda. Mari kita nikmati, di luar konteks kita sebagai atasan dan bawahan." katanya serak, terdengar seksi di telinganya.Dengan mudah, Prana dapat mencium bibirnya. Menggelitik gigi dengan lidah yang panas. Tidak berdaya, Ganis membuka mulutnyaPagutan bibir mereka semakin liar, tangannya masih dalam penguasaan Prana. Ia tahu, Prana sudah dirasuki oleh gairahnya sendiri. Godaan Ganis sudah berhasil mem
Di ruangan kerja divisi site engineer, hanya terdiri dari para ahli arsitektur, drafter dan surveyor. Tidak banyak sekat untuk memiliki ruang pribadi dari masing-masing ahlinya. Di ruangan sebelah, adalah untuk staf pembantu para ahli. Tidak jauh dari situ juga, ada ruangan rapat umum, di lantai dua ini. Sementara di lantai satu dalam ruangan besar, adalah tempat staf administrasi dan divisi lainnya yang berhubungan dengan perusahaan. Ada satu ruangan yang dimiliki oleh Felix sebagai CEO. Sementara paling depannya, adalah ruang tamu dengan dua resepsionis cantik. Siap melayani siapapun yang datang ke perusahan PT. Multi Karya tbk ini.Ganis sedang ada di ruangan sebelah, menemui asistennya saat Felix masuk ke ruangan kerja. Langsung menatap kursi miliknya yang kosong, lalu ia melirik Mila dengan tatapan bertanya."Lagi ada di ruangan sebelah." beritahu Mila. Tersenyum mengerti.Felix duduk di kursi Ganis, menunggu."Aku menghubungi Ganis kemarin, tapi tidak dijawab. Sorenya, malah
Saat jam istirahat Felix dan Ganis baru saja turun dari tangga, untuk sama-sama makan siang seperti yang sudah dijanjikan. Di lantai satu, mereka bertemu dengan Prana yang baru keluar dari Lift. "Hai Pran, mau keluar juga?" sapa Felix, dengan semringah. Begitu melihat sahabatnya itu. Prana hanya menatapnya sekilas, dengan tampang dinginnya. Kemudian kepada Ganis, sudut bibirnya sedikit terangkat sinis."Emang lo aja yang lapar? Gue juga manusia, butuh asupan makanan untuk tetap hidup." cemoohnya, kasar."Biasa aja jawabnya, kenapa lo harus sinis begitu?" ledeknya, "gua mau makan siang dengan Ganis." tangan Felix memeluk bahunya. Sementara Ganis, tidak menunjukkan reaksi apapun."Boleh gue ikut gabung?" tanyanya datar, seolah tanpa dosa. Jelas-jelas kalau Felix hanya ingin berdua saja dengan Ganis. Sepertinya Prana, hanya ingin mengganggu Felix secara iseng."Maaf, kali ini tidak ada orang ketiga. Mau jadi kambing congek, lo?" semprot Felix, tajam.Namun, kata-kata pedas Felix tidak
Wajah itu terlihat sarat dengan berbagai perasaan, kerinduan, haru, dan kagum. Ganis dipeluknya dengan erat oleh mertua perempuannya, Marie. Masih terlihat cantik, walaupun usianya sudah lanjut. Papanya, Edward. Menyenggol bahu anaknya. "Istrimu memang luar biasa, dengan kesabarannya sampai bisa meluluhkan hati Mamamu."Prana terkekeh. "Jangankan Mama, Gunung Es aja dia bisa taklukan!" kata Prana. Melihat pada Ganis yang masih berpelukan dengan Marie"Apa tuh, Gunung Es?" perhatiannya mendadak teralihkan dari menantunya. Marie melirik Prana."Itu julukan Ganis, Mam. Karena sikapku yang kaku dan dingin, jadi dia menjulukiku sebagai Gunung Es." jawab Prana, dengan senyumnya.Tawa Edward meledak. "Untung kamu ketemu Ganis yang punya kepribadian sehangat matahari." pujinya, sambil membuka rentangan tangan untuk Ganis. Ibu muda itu tanpa segan, masuk ke dalam pelukan papa mertuanya yang tampak ramah dan berwibawa.Dulu waktu mereka menikah, suasananya sangat kaku. Jangankan bisa beramah t
"Kamu hebat, Nis. Bisa melahirkan secara normal begitu." ucap Rini, dengan kagumnya. Saat Ganis sudah dipindahkan ke ruangan biasa. Ibunya, tante Rini dan om Gustaf, tampak mengelilingi tempat tidur. Sementara Prana duduk di dekat Ganis, tidak mau beranjak ingin terus di sisi istrinya."Waktu melahirkan Gagah pun, Ganis melahirkan dengan normal. Hanya waktunya tidak secepat ini, 10 jam baru bisa lahiran." terang Naning."Oh ya? Mungkin itu kelahiran pertama jadi agak susah, ya?" tanya Rini."Mungkin kurang motivasi juga, karena melahirkan tanpa suami." ceplos Naning, begitu saja. Prana yang di sisi Ganis sambil memegang tangannya, jadi merasa bersalah. "Ternyata perjuangan seorang ibu saat melahirkan itu benar-benar mempertaruhkan nyawanya." ada kabut di matanya dan ia mencium kening Ganis. "Kamu memang hebat, Nis. Maaf, saat melahirkan Gagah, aku tidak ada di sisimu." Ganis menatap suaminya dengan senyum. "Tidak usah dipikirkan lagi, semuanya sudah aku maafkan. Jangan diingat lagi
"Nis, tadi itu luar biasa, Lo. Prana udah kayak cacing kepanasan aja di belakang pintu." Felix tertawa, saat mereka sudah berkumpul di ruang gedung yang khusus disediakan untuk keluarga. Prana mengelus rambut Ganis. "Aku juga bilang Ganis itu suka nekat, itu yang bikin gue suka khawatir. Untung berakhir baik."Ganis hanya tersenyum menanggapinya.Bram muncul, setelah mengganti baju pengantinnya. "Mila, belum selesai, ya?" tanya Ganis kepada Bram."Yah, begitulah. Wanita lebih ribet." jawab Bram, tertawa."Cewek yang tadi itu, beneran sepupu, lo?" tanya Felix."Ya, dari nyokap. Bokapnya, kakak nyokap gue. Mereka keluarga tajir, jauh sekali dengan kehidupan keluarga gue yang kere.""Gue sempet naksir dia sih, dulu. Tapi yang dikejar dia, malah Prana. Orangnya udah ilang, tetep aja ditanyain. Sempet sebel jadinya gue.""Lo kenapa jadi sebel ma gue? Tahu juga kagak.""Tuh cewek, emang terobsesi banget ama lo. Desek-desek gue supaya ngasih tahu keberadaan lo." ucap Felix keki."Ke gue ju
Orang pada berteriak, melihat gelas runcing di sabetkan ke kiri dan ke kanan. Mata wanita itu sudah terlihat liar. Menatap Ganis, dengan segala kebencian. Prana menyembunyikan Ganis ke belakang punggungnya, dengan tatapan waspada.Beberapa keamanan sudah mulai bermunculan. Bram sudah turun dari pelaminan. Saat Mila mau mengikutinya, dia mencegah. "Mil, lebih baik tunggu di atas saja. Ini bukan kali pertama Rania ngamuk seperti ini.""Kamu mengenalnya?" tanya Mila."Dia sepupuku, dari ibu." jelas Bram. Dia segera mendekati ke arah wanita cantik itu berada."Rania, ini pesta pernikahanku. Ini bukan ajangmu untuk mencari perhatian." ucap Bram tampak tenang, tetapi tegas.Mata liar itu melihat padanya. "Lelaki sombong itu telah menpermalukanku." tunjuknya pada Prana. "Ok, dia temanku. Tidak mungkin mempermalukanmu, kalau kamu sendiri tidak bertingkah untuk mengganggunya." Bram menyanggahnya."Dia angkuh! Dia sombong!""Dia sudah punya istri! Dan Dia bukan jenis laki-laki yang tidak set
"Apakah Fe, ada?" tanya Prana. Mengagetkan yang ditanya.Seperti disengat kalajengking, mata bulat milik Siscka terbelalak. Membuat alis Prana terangkat sebelah. Prana tiba-tiba ada di depan meja kerjanya. Tumben-tumbenan manusia dingin ini, mau berbasa-basi. Seumur-umur kerja jadi sekretarisnya, belum pernah ditanya seramah itu. Makanya Siscka kaget."Apa aku seperti hantu?" tanya Prana lagi.'Ampun! Suaminya mbak Ganis ini, sungguh gak lucu bercandanya.' batin Siscka."Ma ... maaf, Pak. Saya merasa kaget. Tadi tiba-tiba Pak Prana datang begitu saja." ucap Siscka sedikit gugup.Prana hanya mengedikkan bahu, lalu masuk ke ruang Felix tanpa mengetuk pintu.Felix yang sedang asik memeriksa berkas-berkas dokumen, mengangkat wajah. "Wah! Yang baru pulang dari seminar. Bagaimana, hasilnya?" tanya Felix. Langsung berdiri mendekati Prana, lalu menggandengnya untuk sama-sama duduk di sofa."Gue gak nyampe akhir, ngikutinnya." jawab Prana."Kenapa emang?" Felix melihatnya."Gak terlalu penti
"Pran, siapa wanita itu?" tanya Ganis. Saat Prana sudah duduk kembali di sofa. Mereka masih tersabung dengan video call."Terus terang aku juga gak kenal, Nis.""Tapi dia tahu namamu, nyosor banget lagi sama kamu.""Begitulah, Nis. Kalau jadi orang ganteng, banyak yang suka." cengenges Prana, yang menurut Ganis tidak lucu.Wajah Ganis langsung ditekuk. "Kepedean, nyebelin! Dapat tontonan gratis tuh, mana besar lagi.""Apanya yang besar?" goda Prana, pura-pura tidak mengerti.Ganis bersiul. "Yang bulat, kayak batok kelapa." omong Ganis sekenanya.Prana terkekeh. "Itu kelihatan dicetak, berarti gak asli. Mending yang punya kamu, besarnya sama kayaknya.""Apa? Berarti kamu liatin terus dong, sampai tahu itu cetakan.""Mataku gak buta, Nis. Itu di depan mata.""Aish! Lelaki sama saja di mana-mana. Matanya gak bisa menghindar dari yang gituan.""Loh ... loh ... kamu kan, tadi lihat dan denger sendiri kejadiannya? Kamu beruntung loh punya suami kayak aku. Sepantasnya dimuseumkan karena suda
"Sebentar ...!" Wanita cantik itu, nekat mengejarnya.Prana tidak menggubrisnya. Terus berjalan, tidak sedikitpun memedulikan wanita yang terus bejalan cepat tanpa berhenti mengejar.Prana tahu, wanita itu tertarik padanya. Dia sering menghadapi wanita-wanita seperti itu. Kalau mau, mungkin sejak dulu dia akan jadi laki-laki yang sering bergonta-ganti pasangan.Namun, sebelum ketemu Ganis pun dia tidak berminat untuk terlibat dengan banyak wanita. Apalagi setelah ketemu Ganis, tidak ada lagi yang dapat mengisi hatinya. Sudah penuh, tidak tersisa lagi ruang buat wanita yang lain.Prana tidak bisa tergoda, karena selama ini dia tidak pernah memberi peluang untuk menarik perhatian wanita lain. Akan tetapi, dengan sikap dinginnya itu malah semakin membuat penasaran lawan jenis. 'Wanita memang suka bersikap aneh, semakin dijauhi malah semakin mengejar.' batinnya."Aku mengenalmu, Prana Guntara!" tandas wanita itu, ketika sudah ada di dekatnya.Prana menghentikan langkah, berada di tengah d
Ganis menghampiri Prana yang sedang duduk di ruang keluarga. Kepalanya langsung menyusup di antara sela-sela tangan yang sedang memegang ipad-nya. Menaruh kepala di atas pangkuan dia.Tangan Prana langsung mengelus perutnya yang masih rata. "Aku ingin melihat perut ini membuncit. Aku melihat gambar-gambar wanita-wanita hamil, ternyata seksi juga, ya?""Apa?" Ganis merasa kaget."Ini lihat, aku sedang mencari tahu tentang bagaimana wanita hamil itu. Belum buka artikelnya sudah dikasih gambar-gambar seperti ini." tunjuk Prana pada layar benda canggih delapan incinya."Mau lihat artikel atau gambarnya?" selidik ganis.Prana jadi terkekeh. "Aku sih sejak tahu kamu hamil, sudah banyak baca-baca artikelnya. Hanya ingin tahu juga kalau wanita sudah hamil besar itu seperti apa.""Mulai kelayapan tuh imajinasinya." sindir Ganis."Yang aku bayangkan istriku sendiri, kok. Tadi kan aku bilang, gimana kalau perutmu sudah buncit. Pasti tidak akan kalah seksinya dengan foto-foto ini.""Mana ada peru
"Bagaimana kamarnya, Nis?" tanya Prana, mengecup bahu istrinya. Tangan sudah mengitari tubuh Ganis, dari arah belakang.Mata Ganis diedarkan ke seluruh ruangan kamar. Rasanya tidak menyangka sama sekali, kalau kamar yang diciptakan olehnya itu, jadi kamar milik sendiri.Ganis memegang tangan Prana, menelengkan wajah, hingga berhadapan dengannya yang sedang menunduk. Mereka saling bertatapan, mengekspresikan rasa bahagia. "Terima kasih, Pran. Ini merupakan rumah impianku." Ganis memagut bibirnya dan Prana menyambut dengan segala rasa senang hati.Setelah melepaskan ciuman mereka, Prana berkata. "Terima kasih, Nis. Sudah dengan sabar menghadapi sikapku selama ini. Terima kasih juga, sudah mau mengandung dua anak kita, di rahimmu. Itu merupakan kebahagiaan yang sangat tidak terkira bagiku." Kemudian tangannya mengelus perut Ganis yang masih rata.Ia menggelinjang kemudian, saat tangan Prana tidak di tempatnya semula. Prana tertawa, meneruskan kenakalan tangannya. Membuat Ganis mencium b