Sepeninggal Felix dan pintu tertutup, Ganis tetap berdiri menunggu dipersilahkan untuk duduk. Wajah cantiknya terlihat datar, tidak ingin menunjukan ekspresi apapun.
"Duduklah." Prana mempersilahkannya dengan nada dingin.Ganis duduk, tidak peduli dengan Prana yang tidak mau melepaskan tatapannya sedetikpun. "Kamu bekerja di sini?" tanyanya. Sorot mata Ganis tanpak tajam, menatap orang di hadapannya ini. "Anda lihat sendiri sekarang." jawabnya ketus. Ia bertekad tidak mau terintimidasi lagi oleh sikap dinginnya.Cukup sudah sikap Ganis yang selalu patuh, mengatakan 'ya' dan selalu mengikuti apa maunya tanpa banyak protes.Mata Prana sedikit menyipit, wanita yang empat tahun lalu sepertinya sudah benar-benar menghilang. Pribadinya yang manis, tenggelam di balik matanya yang cukup menusuk jantung. Dia masih terluka karena pengkhianatannya. Rasa sakit, masih bercokol lekat di hatinya.Prana menggeram, terlihat dari kedutan rahangnya yang terlihat kokoh. "Seharusnya kau tidak bekerja di sini." ucapnya marah.Mata Ganis menyala, seakan ingin menelan bulat-bulat lelaki yang sangat dibencinya ini. "Seandainya saya tahu bahwa perusahaan ini milik anda, tentu saja tidak akan pernah terpikirkan untuk mau bekerja di sini."Ganis berdiri, "Anda boleh membatalkan kontrak kerjanya, dan saya akan dengan senang hati resigh dari perusahaan ini." Ia akan beranjak dari ruangan itu. Merasa sia-sia untuk berbicara dengan manusia yang tidak punya hati seperti Prana. Dengan cepat Prana bangkit dari duduknya dan segera menyambar lengan Ganis yang sudah berjalan menuju pintu. "Kamu kira mudah memutuskan kontrak kerja secara sepihak, heh?" sentaknya agak kasar."Anda sendiri kan, bosnya? Yang punya kuasa dan mengikuti apapun keinginan anda. Jadi, mudah saja untuk kembali menendang saya, bukan?" Mata Ganis kembali menatapnya, setajam pisau belati. Kemudian ia melihat lengannya yang dicekal oleh Prana. "Lepaskan!" pintanya marah. Raut mukanya benar-benar menunjukan rasa tidak suka.Akan tetapi, tidak mudah ternyata. Prana semakin mencekeram lengan bagian atasnya. "Kalau kamu melangkahkan kaki sejengkal saja keluar dari perusahaan ini, ingat! Kontrak kerja itu dibuat ada dasar hukumnya." ancamnya dengan geram.Ganis menatapnya heran, sedikit mencemoh, "Bukankah Anda yang menginginkan saya enyah dari hadapan anda? Saya akan dengan senang hati melakukannya." Ada tawa sinis mengiringi ucapannya, hingga Prana merasa diejek secara terang-terangan. Sungguh! Dia tidak menyangka, gadis lugu dan manja yang dikenalnya dulu, seolah telah kehilangan jati dirinya di depan mata Prana. Sangat berubah 180 derajat, jadi seperti kucing liar yang sangat garang."Kamu!" suaranya bergetar. Dia menariknya dengan kasar, sehingga tubuh Ganis menubruk dadanya yang bidang. Ia merasakan sakit di lengannya. Ah! Ia membaui aroma maskulin dari tubuh Prana. Menyesap lagi aroma campuran dari Woody dan Citrus, yang merupakan aroma parfum kesayangan Prana. Sudah lama Ganis tidak merasakannya, jadi sedikit panik. "Jangan berusaha melawanku, kalau kamu tidak ingin lebih hancur di tanganku!" desisnya di balik telinganya. Lalu ... "Baiklah! Teruslah bekerja di sini, aku tertantang untuk melihat sejauh mana kamu bisa bertahan !" kemudian dia melepaskan cengkraman tangannya dengan begitu saja.Ganis sedikit terhuyung, meringis menahan sakit di lengannya. Namun, segera berdiri tegak dan cepat berlalu dari ruangan itu. Dia tidak melihat lagi kepada Ganis. Tubuh jangkungnya, langsung menuju ke sisi jendela. Matanya yang menyala, menatap nyalang ke pemandangan di bawah gedung perusahaannya.Sama sekali tidak pernah menduga, bahwa dia akan kembali bertemu dengan perempuan yang sudah menggoreskan luka sangat dalam di hatinya. Di perusahaan miliknya sendiri ini.Sebuah pengkhianatan sama sekali tidak dapat ditolerirnya. Ia hanya punya satu hati dan sudah dimiliki seutuhnya oleh mahluk yang bernama Ganis itu. Prana mengepalkan tangannya, saat bayangan melintas di ingatannya. Dengan jelas ia melihat tubuh istrinya berpelukan dengan lelaki yang sama sekali tidak dikenal. Dan itu terjadi di sebuah kafe, di mana ia sedang mengadakan pertemuan dengan relasinya.Sungguh, ia tidak menduga. Wanita semanis Ganis, mampu berselingkuh di belakang punggungnya.Dari itu, mengapa langsung mengusir Ganis, setiba di rumahnya. Karena ia tidak akan mampu menahan emosinya, bila melihat istrinya itu lebih lama lagi. Prana tidak mau jadi seorang pembunuh karena rasa cemburunya.Meskipun sudah empat tahun berlalu, rasa sakit itu masih terasa perihnya. Apalagi sekarang, luka itu seperti terbuka kembali. Mengapa wanita ini harus dilihatnya kembali? Disaat hatinya sudah mulai ditata, tidak terlalu menyakitkan lagi.Seandainya bisa untuk mencekiknya dan membuangnya ke laut lepas, lalu dimakan hiu buas, agar tak bisa melihatnya lagi. Atau, mungkin mendorongnya ke jurang terdalam, supaya tak seorang pun yang dapat menemukannya. Prana jadi tersentak kaget, dengan pikiran jahatnya sendiri. Ia bergidik ngeri jadinya, hingga mengusap wajahnya beberapa kali. Prana kembali ke kursi kebesarannya, melanjutkan lagi memeriksa berkas-berkas yang sudah bertumpuk rapi di atas meja kerjanya.Sementara Ganis, berjalan lunglai menuju ruang kerjanya. Lengan atasnya masih terasa berdenyut sakit. Cekalan Prana, memang sangat keras, pasti kulitnya yang putih itu akan meninggalkan bekas merahnya.Ia tidak tahu kedepannya seperti apa, mengenai hubungannya dengan Prana. Mereka sama-sama telah terluka, tentu tidak akan mudah dalam menghadapinya.Tiba-tiba ia mengingat Gagah. Jantungnya berdenyut sakit. Bagaimana kalau mereka bertemu lagi? seperti di mall waktu itu. Kemungkinannya bisa saja terjadi kembali dan belum tentu ia seberuntung itu lagi, karena bisa menghindarinya. Ah, belum tentu Prana mau mengakui kalau Gagah adalah anaknya. Bukankah dia sudah menuduhnya berselingkuh? Pasti akan mengira juga kalau Gagah itu sebagai anak dari hasil perselingkuhannya. Ya, Tuhan ... tidak bisa dibayangkan, kalau Gagah juga akan ditolaknya. Sungguh! hati Ganis tak akan pernah merelakannya. Anak setampan dan selucu Gagah, disangsikan anak siapa, oleh bapaknya sendiri. Akan lebih merobek hati Ganis sebagai ibunya, lebih sakit lagi.Sangat menyedihkan memang, tuduhan itu sangat kejam. Sementara ia sendiri, tidak merasa melakukannya.Ganis mampir dulu ke toilet, sebelum memasuki ruangan kerjanya. Membasuh wajah dan membenahi kembali penampilannya.Di cermin itu, kembali tergambar wajah garang Prana saat menatapnya tadi. Tatapan Prana tidak pernah demikian, lelaki itu sangat memuja kecantikan alaminya. Sangat suka menyentuh kehalusan dari kulit putihnya yang lembut. Ganis baru melihat wajah murkanya, saat mengusirnya waktu itu, juga tadi. Ia jadi bergidik ngeri. Seperti mengenalnya untuk pertama kali, aura dinginnya telah kembali lagi pada pribadinya. Ya! Gunung esnya, telah kembali. Lebih terasa dingin dari sebelumnya, hampir membekukan hatinya.Ganis mencoba menarik nafasnya berkali-kali. Berusaha meluangkan paru-parunya yang terasa menyesakkan dada. Seandainya bisa menjerit, pasti ia sudah dengan lantang mengeluarkan suara tertingginya. Namun, mana bisa? ini adalah toilet kantornya. Orang pasti akan mengira, ia sudah gila.Ia menyandarkan tubuhnya, ke wastafel. Ingatannya malah kembali pada saat pengusiran itu terjadi. "Mengapa kamu menginjakan kakimu dirumah ini?!" hardik Prana, begitu melihat Ganis baru saja datang, menjelang hari mulai gelap. Wajahnya sudah merah padam.Ganis yang sedang melebarkan senyumnya, jadi mengatupkan kembali bibirnya dengan mata terbelalak, saking kagetnya. Padahal waktu itu, dia sudah bersiap-siap untuk memberitahu kabar gembira, bahwa ia sudah dinyatakan hamil oleh dokter yang memeriksanya tadi pagi. Ia memang merasakan kejanggalan belakangan hari itu. Setelah bertanya pada ibunya lewat telepon, ibunya menyarankannya untuk pergi ke poliklinik kandungan, rumah sakit terdekat.Sayangnya, sebelum berita itu tersampaikan, ia malah mendapat kejutan yang sangat mengguncang jiwanya. Suami yang sangat dipuja dan dicintainya itu, dengan tiba-tiba menghardiknya dengan kata-kata pengusiran. Ia salah apa? "Masih diam di situ? Apa perlu aku melemparkanmu kejalanan? Untuk perempuan penghianat seperti kamu, memang pantas tempatmu di jalanan." bentak Prana lagi. Kata-kata makiannya, sangat mampu meremukkan tulang-tulangnya. Hingga tubuhnya terasa luluh lantak, lemas tak berdaya. "Pergi...!!!" dengan mata merah membara, kembali Prana mengusirnya.Meski Ganis belum mengerti, mengapa suaminya bisa semurka itu, tapi ia punya harga diri juga. Tanpa berkata lagi, ia meninggalkan rumah yang sudah setahun ini ditinggalinya dengan rasa bahagia, bersama Prana, suaminya.Ganis sudah mengenal karakter Prana. Saat laki-laki itu jatuh cinta padanya, ia menunjukan perasaanya tidak setengah-tengah. Sangat memanjakan dan memedulikanya sedemikian rupa. Namun, ketika Prana sudah merasa terkhianati, maka ia akan membencinya setengah mati. Akan sangat susah lagi untuk mengembalikan kepercayaannya. Inilah yang sampai sekarang, Ganis belum menemukan jawabannya. Ia berkhianat dengan siapa? Mulutnya melenguh, merasa lelah.Kembali mengingat anaknya, Gagah. Bocah pintar menggemaskan itu harus dilindungi, tidak akan dibiarkan Prana menyakitinya. Gagah harus ia sembunyikan keberadaannya. Ia akan berjuang sendirian melawan murka suaminya.Ganis bertekad untuk membersihkan namanya dari segala tuduhan yang Prana lontarkan, tanpa mencari dulu tentang kebenarannya. lelaki itu harus diajar, agar segala sesuatu tidak terus mengikuti emosinya saja.Prana tentu tidak tahu, kalau sikapnya yang tidak bijaksana itu, telah membuat ia dan anaknya menderita.Memasuki kembali ruang kerjanya, perasaan Ganis sudah mulai tenang. Bagaimanapun, pikirnya. Ia harus bisa menegakkan badannya untuk menghadapi Prana. Jangan terlihat lemah, seperti Ganis yang dikenalnya selama ini. Yang manja, yang kolokkan dan sangat naif, hingga semua orang dianggapnya baik.Dengan sedikit memperbaiki riasan wajahnya, Ganis sudah tampak segar lagi. Meski kesembaban matanya, tidak begitu dapat ia tutupi."Nis, tadi kenapa wajahmu pucat sekali?" Tiba-tiba Felix mengamit tangan Ganis, begitu melihat wanita itu masuk ke ruangan rapat bersama Mila."Aku memang agak kurang enak badan hari ini, tapi tidak apa-apa. Aku sudah minum obat pusing tadi, sebelum ke sini." dustanya. Felix menatapnya menyelidik. Wajahnya memang sudah tidak lagi terlalu pucat seperti tadi."Kalau begitu, sebaiknya kamu istirahat saja. Tidak perlu ikut rapat hari ini. Aku bisa memberi menjelaskan kepada Prana tentang kondisimu saat ini." "Kamu mau melewatkanku, untuk menunjukan kemampuanku pada Dir
"Tadi itu kamu luar biasa loh, Nis. Aku kira kamu akan terpengaruh dengan sikap Prana yang kamu tahu sendiri, dinginnya seperti apa. Entahlah, sejak aku mengenalnya, sikapnya selalu begitu." ungkap Mila, sambil bersender di meja kerjanya Ganis. Menatap teman yang ada di hadapannya ini, terduduk lesu."Laki-laki yang tidak pernah menerima kesalahan." gumamnya, malas."Tapi sebenernya tidak begitu juga, Nis. Sepanjang pekerjaan kita bagus, dia dengan mudah menerimanya. Awal-awal mengenalnya pun, aku beranggapan kalau dia laki-laki yang tidak mengenal kompromi. Namun, setelah ke sini-sininya sih, ternyata tidak juga. Jadi abaikan saja sikap dinginnya itu." saran Mila.Ganis tersenyum ragu, tidak begitu yakin akan pendapat Mila. Bagaimana juga, ia yang lebih mengenal siapa lelaki itu."Jangan patah semangat, Nis. Tadi itu sudah merupakan awal yang bagus. Kalau dia tidak setuju, akan mengatakannya secara langsung kok." sebelum balik ke mejanya sendiri, Mila menepuk pundak Ganis. "Semangat
Gagah menyambutnya, dengan keceriaan seorang bocah yang melihat maminya sudah pulang. Setelah berjam-jam ditinggalkan hanya dengan neneknya."Mami." panggilnya. Tubuhnya bergelayut di kakinya. Membuat Ganis susah untuk melangkah. Namun, dengan berat ia menyeretnya, membuat anak kecil itu tertawa-tawa. Bergelantung di sebelah kakinya seperti monyet yang sangat lucu.Ini sudah jadi kebiasaan, tubuh anaknya yang masih kecil sangat suka diperlakukan seperti itu. Melihat maminya berjalan tertatih-tatih. Kemudian Ganis akan mengangkat tubuh mungil itu ke pinggangnya, sambil menggelitik perut gendutnya. Gagah semakin mengeraskan tawanya, karena kegelian."Gagah hari ini tidak nakal, kan?" tanya Ganis, sambil mencolek hidung Gagah dengan gemasnya."Mami tanya eang (eyang) aja." jawab Gagah. Mencium kedua pipi Ganis, lalu hidungnya, dan terakhir tubuhnya agak terangkat untuk bisa mencium dahinya. Mata bulat itu menatapnya, terlihat rekahan senyum di bibirnya yang mungil."Anak Mami yang baik."
Setengah berlari, Ganis memasuki kantornya. Tetap saja telat lima belas menit, ketika ia tiba di meja kerjanya."Tumben telat, Nis." kata Mila."Iya, nih. Aku kesiangan bangunnya, semalam susah tidur.""Mikirin apa, hayo .... " canda Mila."Gak mikirin apa-apa, sih. Lagi susah tidur aja." dustanya."Tadi Felix ke sini. Nyariin kamu, tapi kamunya belum datang." ujar Mila memberitahunya. "Cuma mau bilang, katanya dia ada tugas ke luar kota dan tadi buru-buru, langsung menuju ke bandara.""Oh.""Hanya itu?" tanya Mila, menatapnya dengan jenaka."Maksudnya?" tanya balik Ganis."Kok hanya 'oh' doang.""Yah, aku harus ngomong apalagi, Mil?" balasnya, sambil terkekeh."Sepertinya Felix bermaksud serius, Nis,""Aku belum kepikiran ke situ, Mil. Aku ingin serius dulu di kerjaan.""Tapi kamu bisa mempertimbangkannya, Nis. Felix orangnya baik dan bukan laki-laki yang sembarang juga."Ganis kembali terkekeh. "Kamu dorong-dorong aku untuk dekat dengan cowok, sementara kamu sendiri masih jomblo.""
Ganis kembali ke meja kerjanya. Mila yang di sebelahnya, langsung melirik. "Kamu tidak habis dimakannya, kan? Terbukti, tubuhmu masih utuh." kelakarnya, sambil memperlihatkan senyumnya."Aku malah sudah habis diciumnya." Ganis melayani candaan sahabatnya ini.Sebenarnya itu memang terjadi, tetapi ia yakin Mila akan menganggap itu tidak mungkin benar-benar terjadi."Kalau kamu sudah diciumnya, pasti sudah jadi patung es." selorohnya menimpali. Dan gelak tawa pun berkumanang, tanpa menghiraukan yang lainnya yang ada di ruangan itu.Aldy tampak lagi fokus pada kertas gambar yang sedang dikerjakannya. Sambil sesekali melihat layar komputer dihadapannya. Nampak tidak punya minat, untuk ikut gabung pada kedua obrolan wanita yang ada di sampingnya itu.Sementara Bram tetap tidak acuh, diam di meja sebelahnya seperti biasa.Ganis kembali pada pekerjaannya, ia sedang mendesain sebuah ruangan kantor yang sedang digarapnya. "Mil, aku sudah buat beberapa desain lagi. Semuanya gaya minimalis, sesu
Selama tiga hari, Prana tidak pernah memintanya lagi untuk datang ke ruangannya. Membuat Ganis tersenyum puas. Kapokkah laki-laki itu setelah ditamparnya dengan keras? Mungkin, lebih kemelukai harga dirinya yang membuat dia merasa marah. Siapa coba, yang berani berbuat sekasar itu padanya?Namun, hari ini Ganis harus menelan air liurnya. Saat Prana datang, langsung ke mejanya. "Ikut denganku." ajaknya datar, tanpa basa-basi.Semua mata, tertuju pada tubuh tegap itu. Ada apa dengan Prana? Padahal tinggal mengangkat telepon saja, bila ingin meminta salah satu karyawannya untuk menemani dia pergi."Ada urusan apa, ya? Pak Prana mengajak saya pergi." tanya Ganis, enggan."Tentu saja, urusan pekerjaan." jawabnya, dingin."Ada Mila yang lebih berkompeten, Pak." liriknya pada Mila, yang sedikit terkejut, atas saran yang diajukannya."Kalau kamu menolak pekerjaanmu, jangan terus bekerja di sini." kemudian dia membalikkan badan dan pergi."Nis, jangan mempersulit dirimu sendiri." saran Mila.
Posisi mereka sangat berbahaya, tetapi kemudian otak jahil Ganis muncul secara spontan.Kedua tangan sudah ada dalam penguasaan Prana. Hanya pinggulnya yang masih bebas, bisa ia manfaatkan.Pinggul Ganis ditekan lalu digoyangkan, membuat mata Prana terbelalak. Ada suatu reaksi yang dia rasakan, sama sekali tidak bisa dia kendalikan.'Perempuan, sialan! Dia harus menerima akibatnya, bila menggoda macan yang sedang tidur.' umpat Prana dalam hati.Dia segera membalikkan posisi tubuh mereka, secara tiba-tiba. Sekarang, Ganis jadi ada di bawahnya. "Wanita penggoda akan tetap jadi wanita penggoda. Mari kita nikmati, di luar konteks kita sebagai atasan dan bawahan." katanya serak, terdengar seksi di telinganya.Dengan mudah, Prana dapat mencium bibirnya. Menggelitik gigi dengan lidah yang panas. Tidak berdaya, Ganis membuka mulutnyaPagutan bibir mereka semakin liar, tangannya masih dalam penguasaan Prana. Ia tahu, Prana sudah dirasuki oleh gairahnya sendiri. Godaan Ganis sudah berhasil mem
Di ruangan kerja divisi site engineer, hanya terdiri dari para ahli arsitektur, drafter dan surveyor. Tidak banyak sekat untuk memiliki ruang pribadi dari masing-masing ahlinya. Di ruangan sebelah, adalah untuk staf pembantu para ahli. Tidak jauh dari situ juga, ada ruangan rapat umum, di lantai dua ini. Sementara di lantai satu dalam ruangan besar, adalah tempat staf administrasi dan divisi lainnya yang berhubungan dengan perusahaan. Ada satu ruangan yang dimiliki oleh Felix sebagai CEO. Sementara paling depannya, adalah ruang tamu dengan dua resepsionis cantik. Siap melayani siapapun yang datang ke perusahan PT. Multi Karya tbk ini.Ganis sedang ada di ruangan sebelah, menemui asistennya saat Felix masuk ke ruangan kerja. Langsung menatap kursi miliknya yang kosong, lalu ia melirik Mila dengan tatapan bertanya."Lagi ada di ruangan sebelah." beritahu Mila. Tersenyum mengerti.Felix duduk di kursi Ganis, menunggu."Aku menghubungi Ganis kemarin, tapi tidak dijawab. Sorenya, malah
Wajah itu terlihat sarat dengan berbagai perasaan, kerinduan, haru, dan kagum. Ganis dipeluknya dengan erat oleh mertua perempuannya, Marie. Masih terlihat cantik, walaupun usianya sudah lanjut. Papanya, Edward. Menyenggol bahu anaknya. "Istrimu memang luar biasa, dengan kesabarannya sampai bisa meluluhkan hati Mamamu."Prana terkekeh. "Jangankan Mama, Gunung Es aja dia bisa taklukan!" kata Prana. Melihat pada Ganis yang masih berpelukan dengan Marie"Apa tuh, Gunung Es?" perhatiannya mendadak teralihkan dari menantunya. Marie melirik Prana."Itu julukan Ganis, Mam. Karena sikapku yang kaku dan dingin, jadi dia menjulukiku sebagai Gunung Es." jawab Prana, dengan senyumnya.Tawa Edward meledak. "Untung kamu ketemu Ganis yang punya kepribadian sehangat matahari." pujinya, sambil membuka rentangan tangan untuk Ganis. Ibu muda itu tanpa segan, masuk ke dalam pelukan papa mertuanya yang tampak ramah dan berwibawa.Dulu waktu mereka menikah, suasananya sangat kaku. Jangankan bisa beramah t
"Kamu hebat, Nis. Bisa melahirkan secara normal begitu." ucap Rini, dengan kagumnya. Saat Ganis sudah dipindahkan ke ruangan biasa. Ibunya, tante Rini dan om Gustaf, tampak mengelilingi tempat tidur. Sementara Prana duduk di dekat Ganis, tidak mau beranjak ingin terus di sisi istrinya."Waktu melahirkan Gagah pun, Ganis melahirkan dengan normal. Hanya waktunya tidak secepat ini, 10 jam baru bisa lahiran." terang Naning."Oh ya? Mungkin itu kelahiran pertama jadi agak susah, ya?" tanya Rini."Mungkin kurang motivasi juga, karena melahirkan tanpa suami." ceplos Naning, begitu saja. Prana yang di sisi Ganis sambil memegang tangannya, jadi merasa bersalah. "Ternyata perjuangan seorang ibu saat melahirkan itu benar-benar mempertaruhkan nyawanya." ada kabut di matanya dan ia mencium kening Ganis. "Kamu memang hebat, Nis. Maaf, saat melahirkan Gagah, aku tidak ada di sisimu." Ganis menatap suaminya dengan senyum. "Tidak usah dipikirkan lagi, semuanya sudah aku maafkan. Jangan diingat lagi
"Nis, tadi itu luar biasa, Lo. Prana udah kayak cacing kepanasan aja di belakang pintu." Felix tertawa, saat mereka sudah berkumpul di ruang gedung yang khusus disediakan untuk keluarga. Prana mengelus rambut Ganis. "Aku juga bilang Ganis itu suka nekat, itu yang bikin gue suka khawatir. Untung berakhir baik."Ganis hanya tersenyum menanggapinya.Bram muncul, setelah mengganti baju pengantinnya. "Mila, belum selesai, ya?" tanya Ganis kepada Bram."Yah, begitulah. Wanita lebih ribet." jawab Bram, tertawa."Cewek yang tadi itu, beneran sepupu, lo?" tanya Felix."Ya, dari nyokap. Bokapnya, kakak nyokap gue. Mereka keluarga tajir, jauh sekali dengan kehidupan keluarga gue yang kere.""Gue sempet naksir dia sih, dulu. Tapi yang dikejar dia, malah Prana. Orangnya udah ilang, tetep aja ditanyain. Sempet sebel jadinya gue.""Lo kenapa jadi sebel ma gue? Tahu juga kagak.""Tuh cewek, emang terobsesi banget ama lo. Desek-desek gue supaya ngasih tahu keberadaan lo." ucap Felix keki."Ke gue ju
Orang pada berteriak, melihat gelas runcing di sabetkan ke kiri dan ke kanan. Mata wanita itu sudah terlihat liar. Menatap Ganis, dengan segala kebencian. Prana menyembunyikan Ganis ke belakang punggungnya, dengan tatapan waspada.Beberapa keamanan sudah mulai bermunculan. Bram sudah turun dari pelaminan. Saat Mila mau mengikutinya, dia mencegah. "Mil, lebih baik tunggu di atas saja. Ini bukan kali pertama Rania ngamuk seperti ini.""Kamu mengenalnya?" tanya Mila."Dia sepupuku, dari ibu." jelas Bram. Dia segera mendekati ke arah wanita cantik itu berada."Rania, ini pesta pernikahanku. Ini bukan ajangmu untuk mencari perhatian." ucap Bram tampak tenang, tetapi tegas.Mata liar itu melihat padanya. "Lelaki sombong itu telah menpermalukanku." tunjuknya pada Prana. "Ok, dia temanku. Tidak mungkin mempermalukanmu, kalau kamu sendiri tidak bertingkah untuk mengganggunya." Bram menyanggahnya."Dia angkuh! Dia sombong!""Dia sudah punya istri! Dan Dia bukan jenis laki-laki yang tidak set
"Apakah Fe, ada?" tanya Prana. Mengagetkan yang ditanya.Seperti disengat kalajengking, mata bulat milik Siscka terbelalak. Membuat alis Prana terangkat sebelah. Prana tiba-tiba ada di depan meja kerjanya. Tumben-tumbenan manusia dingin ini, mau berbasa-basi. Seumur-umur kerja jadi sekretarisnya, belum pernah ditanya seramah itu. Makanya Siscka kaget."Apa aku seperti hantu?" tanya Prana lagi.'Ampun! Suaminya mbak Ganis ini, sungguh gak lucu bercandanya.' batin Siscka."Ma ... maaf, Pak. Saya merasa kaget. Tadi tiba-tiba Pak Prana datang begitu saja." ucap Siscka sedikit gugup.Prana hanya mengedikkan bahu, lalu masuk ke ruang Felix tanpa mengetuk pintu.Felix yang sedang asik memeriksa berkas-berkas dokumen, mengangkat wajah. "Wah! Yang baru pulang dari seminar. Bagaimana, hasilnya?" tanya Felix. Langsung berdiri mendekati Prana, lalu menggandengnya untuk sama-sama duduk di sofa."Gue gak nyampe akhir, ngikutinnya." jawab Prana."Kenapa emang?" Felix melihatnya."Gak terlalu penti
"Pran, siapa wanita itu?" tanya Ganis. Saat Prana sudah duduk kembali di sofa. Mereka masih tersabung dengan video call."Terus terang aku juga gak kenal, Nis.""Tapi dia tahu namamu, nyosor banget lagi sama kamu.""Begitulah, Nis. Kalau jadi orang ganteng, banyak yang suka." cengenges Prana, yang menurut Ganis tidak lucu.Wajah Ganis langsung ditekuk. "Kepedean, nyebelin! Dapat tontonan gratis tuh, mana besar lagi.""Apanya yang besar?" goda Prana, pura-pura tidak mengerti.Ganis bersiul. "Yang bulat, kayak batok kelapa." omong Ganis sekenanya.Prana terkekeh. "Itu kelihatan dicetak, berarti gak asli. Mending yang punya kamu, besarnya sama kayaknya.""Apa? Berarti kamu liatin terus dong, sampai tahu itu cetakan.""Mataku gak buta, Nis. Itu di depan mata.""Aish! Lelaki sama saja di mana-mana. Matanya gak bisa menghindar dari yang gituan.""Loh ... loh ... kamu kan, tadi lihat dan denger sendiri kejadiannya? Kamu beruntung loh punya suami kayak aku. Sepantasnya dimuseumkan karena suda
"Sebentar ...!" Wanita cantik itu, nekat mengejarnya.Prana tidak menggubrisnya. Terus berjalan, tidak sedikitpun memedulikan wanita yang terus bejalan cepat tanpa berhenti mengejar.Prana tahu, wanita itu tertarik padanya. Dia sering menghadapi wanita-wanita seperti itu. Kalau mau, mungkin sejak dulu dia akan jadi laki-laki yang sering bergonta-ganti pasangan.Namun, sebelum ketemu Ganis pun dia tidak berminat untuk terlibat dengan banyak wanita. Apalagi setelah ketemu Ganis, tidak ada lagi yang dapat mengisi hatinya. Sudah penuh, tidak tersisa lagi ruang buat wanita yang lain.Prana tidak bisa tergoda, karena selama ini dia tidak pernah memberi peluang untuk menarik perhatian wanita lain. Akan tetapi, dengan sikap dinginnya itu malah semakin membuat penasaran lawan jenis. 'Wanita memang suka bersikap aneh, semakin dijauhi malah semakin mengejar.' batinnya."Aku mengenalmu, Prana Guntara!" tandas wanita itu, ketika sudah ada di dekatnya.Prana menghentikan langkah, berada di tengah d
Ganis menghampiri Prana yang sedang duduk di ruang keluarga. Kepalanya langsung menyusup di antara sela-sela tangan yang sedang memegang ipad-nya. Menaruh kepala di atas pangkuan dia.Tangan Prana langsung mengelus perutnya yang masih rata. "Aku ingin melihat perut ini membuncit. Aku melihat gambar-gambar wanita-wanita hamil, ternyata seksi juga, ya?""Apa?" Ganis merasa kaget."Ini lihat, aku sedang mencari tahu tentang bagaimana wanita hamil itu. Belum buka artikelnya sudah dikasih gambar-gambar seperti ini." tunjuk Prana pada layar benda canggih delapan incinya."Mau lihat artikel atau gambarnya?" selidik ganis.Prana jadi terkekeh. "Aku sih sejak tahu kamu hamil, sudah banyak baca-baca artikelnya. Hanya ingin tahu juga kalau wanita sudah hamil besar itu seperti apa.""Mulai kelayapan tuh imajinasinya." sindir Ganis."Yang aku bayangkan istriku sendiri, kok. Tadi kan aku bilang, gimana kalau perutmu sudah buncit. Pasti tidak akan kalah seksinya dengan foto-foto ini.""Mana ada peru
"Bagaimana kamarnya, Nis?" tanya Prana, mengecup bahu istrinya. Tangan sudah mengitari tubuh Ganis, dari arah belakang.Mata Ganis diedarkan ke seluruh ruangan kamar. Rasanya tidak menyangka sama sekali, kalau kamar yang diciptakan olehnya itu, jadi kamar milik sendiri.Ganis memegang tangan Prana, menelengkan wajah, hingga berhadapan dengannya yang sedang menunduk. Mereka saling bertatapan, mengekspresikan rasa bahagia. "Terima kasih, Pran. Ini merupakan rumah impianku." Ganis memagut bibirnya dan Prana menyambut dengan segala rasa senang hati.Setelah melepaskan ciuman mereka, Prana berkata. "Terima kasih, Nis. Sudah dengan sabar menghadapi sikapku selama ini. Terima kasih juga, sudah mau mengandung dua anak kita, di rahimmu. Itu merupakan kebahagiaan yang sangat tidak terkira bagiku." Kemudian tangannya mengelus perut Ganis yang masih rata.Ia menggelinjang kemudian, saat tangan Prana tidak di tempatnya semula. Prana tertawa, meneruskan kenakalan tangannya. Membuat Ganis mencium b