Gallen memutar kepalanya, lalu berbalik perlahan. Seorang lelaki berdiri pincang di depannya."Anda mencari siapa?" ulang lelaki itu, menatap Gallen penuh selidik."Saya kerabat jauh penghuni rumah ini. Sekadar mampir untuk bertemu Paman Yu."Gallen tersenyum ramah untuk menghalau kecurigaan lelaki berkaki pincang itu."Dia sudah pergi. Apa Anda tidak tahu?""Oh, sayang sekali. Saya merantau selama bertahun-tahun dan baru pulang." Gallen memasang tampang sedih. "Kami sudah lama sekali tidak bertemu. Ke mana saya harus mencari Paman Yu sekarang?"Gallen tampak putus asa dan merasa kehilangan.Aktingnya itu sangat meyakinkan dan mengundang simpati si pincang."Saya juga tidak tahu dia pergi ke mana, tapi ... menurut beberapa warga, kemarin sore ada mobil yang menjemputnya."Gallen menyipitkan mata. Apa menghilangnya Paman Yu ada hubungannya dengan kematian Malik?"Bagaimana dengan keluarganya?""Mereka bahkan sudah pindah lebih dahulu. Mungkin sekitar satu bulan yang lalu.""Keterlaluan
"Gila kamu ya ... masa suami sendiri dicurigai." Sandra geleng-geleng kepala, tak percaya pada jalan pikiran Grizelle."Aku bukannya curiga, tapi ingin memastikan.""Sebelas dua belas," komentar Sandra, "Jadi, maumu ke mana?""Terserah, asal bukan bagian dari GK Group.""Oke. Ke toko kenalan papaku saja!"Sandra memberi arahan ke mana Grizelle harus memacu mobilnya."Kamu yakin toko perhiasan ini tidak bernaung di bawah bendera GK Group?" tanya Grizelle, menatap ragu pada nama toko yang hendak dimasukinya bersama Sandra."Yakinlah! Pemilik toko ini teman baik papaku.""Oh, oke."Keduanya melangkah masuk."Halo, Paman Zaki!" sapa Sandra saat melihat seorang lelaki paruh baya hendak menaiki tangga."Wah, wah. Lihat, siapa yang datang! Wajahmu makin bersinar, Sandra." Zaki mengurungkan niatnya untuk naik ke lantai atas. Ia tersenyum ramah menyambut kedatangan Sandra."Sudah lama kau tidak berbelanja. Apa yang bisa kubantu untukmu?" imbuh Zaki."Ih, Paman makin pintar membuatku tersipu,"
"Enak ya jadi pengantin baru ... hari Minggu kelayapan, sementara yang lain sibuk beberes di rumah."Miranda menyambut kepulangan Grizelle dengan kalimat sindiran. Gadis itu duduk di ruang tengah sambil membaca majalah mode edisi terbaru.Grizelle menulikan telinga. Ia meneruskan langkah menaiki tangga menuju lantai dua.Merasa diabaikan, telinga Miranda berasap. Dilemparnya majalah dipangkuannya pada Grizelle, tapi lemparannya meleset.Majalah itu jatuh ke lantai setelah membentur sebuah vas besar di sisi tangga."Heh, anak pembawa sial! Kamu budek?" Miranda tegak berkacak pinggang.Grizelle terus mengayun langkah menuju kamarnya. Biarkan saja Miranda mencak-mencak. Seekor singa tidak akan memedulikan gonggongan anjing di belakangnya.Duduk termangu di depan cermin, mata Grizelle tak berkedip menatap permata dari Gallen.Lima ratus miliar! Lima ratus miliar!Teriakan wanita yang menyebutkan harga permata itu pada hari pernikahannya terus bergema di telinga Grizelle, seperti dengungan
Saat Gallen turun dari mobil Kenzie dan hendak masuk rumah. Miranda dan Tristan sedang duduk di teras sambil menikmati secangkir teh.Gallen menyapa mereka, tetapi mereka mengabaikannya.Tristan bahkan menggaruk telinga dengan jari seolah-olah suara Gallen adalah kotoran yang masuk ke telinganya karena terbawa angin.Gallen tidak ambil pusing. Dia meneruskan langkahnya."Cih! Dasar laki-laki tak punya harga diri! Menikah bukannya memboyong istri ke rumah sendiri, malah ikut menumpang dan menjadi beban bagi keluarga istri. Grizelle benar-benar gadis pembawa sial!"Gallen tertegun. Darah pada wajahnya berubah pekat. Tak masalah jika hanya dia yang direndahkan, tapi tidak dengan Grizelle.Grizelle adalah permata hatinya yang sangat berharga. Siapa pun yang menghina Grizelle, tidak akan pernah mendapatkan rasa hormat darinya.Namun, untuk langsung bersikap frontal, Gallen juga masih mempertimbangkan perasaan Grizelle. Terpaksa dia mendekap sabar demi istrinya."Namanya juga usaha," koment
Miranda bergeming. Matanya nyalang, melempar tatapan benci pada Erina. Dia tak percaya neneknya tega membentaknya demi membela cucu menantu yang tidak sederajat dengan mereka."Miranda!" Erina merasa panas hati melihat Miranda membangkang pada perintahnya."Tidak mau! Seharusnya dia yang Nenek usir, bukan aku!" Miranda mengacungkan telunjuk lentiknya pada Gallen.Dada Erina bergerak naik turun menahan geram. Napasnya mulai cepat."Tenang, Nek! Tenang! Tarik napas pelan-pelan!" bujuk Gallen. Jangan sampai penyakit sesak napas Erina kumat lagi.Setelah kegelapan pada raut wajah Erina berangsur pudar, Gallen berkata lembut, "Miranda berkata benar, Nek. Seharusnya aku keluar dari rumah ini dan membawa istriku ke mana pun aku pergi. Grizelle telah menjadi tanggung jawabku, bukan Nenek.""Baguslah kalau kamu sadar!" ejek Miranda lagi, " Cepat bawa dia pergi dari sini!""Miranda! Gallen dan Grizelle tidak akan meninggalkan rumah ini. Ini rumahku. Aku yang menentukan siapa yang berhak tinggal
Gallen melangkah santai di halaman belakang rumah Erina. Tidak ada lagi jejak perlengkapan pesta yang tersisa.Terik mentari melucuti tetesan peluh di setiap pori Gallen, memaksanya untuk berlindung di bawah gazebo, yang menghadap tepat ke arah kolam.Gallen duduk pada sebuah bangku dengan posisi kaki terbuka lebar. Dia membiarkan kedua sikunya bertumpu pada paha saat jari-jarinya saling rajut dan mengetuk pelan.Kasus menghilangnya Paman Yu dan pertengkaran Erina dengan cucunya berseliweran di pelupuk matanya.Mana yang harus ia dahulukan?Terlalu banyak berpikir hanya akan menunda penyelesaian. Yang diperlukan adalah sebuah tindakan nyata.Gallen mengeluarkan ponsel dan mengontak Kenzie. Namun, sebelum niatnya terlaksana, nama Kenzie telah lebih dulu muncul di layar ponselnya."Kau berhasil melacaknya?""Beres, Bos. Bergerak sekarang?""Oke. Kutunggu di depan rumah."Apa boleh buat. Menyelidiki keanehan di rumah Grizelle terpaksa ditunda dulu.Kenzie menyalakan radio untuk mengisi k
"Kau tak perlu menjemputku! Regan akan mengantarku ke rumahmu.""Oh. Oke!"Gallen buru-buru menghubungi Kenzie setelah selesai membaca kenangan Yunandar lewat kemampuan psikometrik yang dimilikinya.Dalam waktu tiga puluh menit, dia pun sudah tiba di sana."Tidak perlu menungguku. Nanti Kenzie yang akan mengantarku pulang," ujar Gallen begitu turun dari mobil Regan."Baiklah. Kutunggu berita terbaru darimu."Meskipun merasa kecewa karena Gallen tidak menawari dirinya untuk singgah, Regan pasrah. Sudah untung Gallen selalu bersedia untuk direpotkan dengan berbagai kasus.Gallen melambaikan tangan, sebagai balasan atas klakson pertanda pamit yang dibunyikan Regan."Kau di mana? Aku sudah tiba di rumahmu," beritahu Gallen melalui panggilan telepon."Langsung saja ke ruang kerjaku!"Gallen berjalan dengan setengah berlari menuju ruang kerja Kenzie yang berada di lantai tiga.Napasnya tersengal-sengal saat berdiri di tengah pintu."Kau lewat tangga?" kaget Kenzie, "Aduh, Bos ... kau kan bi
"Tidak! Aku tidak mau mati. Tolong, jangan bunuh aku!"Jerit ketakutan itu melengking tinggi berulang kali.Gallen dan Kenzie mengernyit melihat Pites meringkuk di pojok kamar.Lelaki itu menyembunyikan wajahnya di antara kedua lengannya yang mengapit kepala. Kakinya gemetar."Apa yang terjadi?" tanya Gallen pada Codet. Lelaki itu berdiri tenang di belakang Kenzie.Bibir Gallen melontar kata, tetapi tatapannya terpaku pada Pites yang terus menjerit ketakutan."Aku juga tidak tahu, Bos. Dia seperti ini setelah Tuan Kenzie pergi."Gallen mendekati Pites. Lelaki itu semakin mengerucutkan tubuhnya di pojok kamar ketika Gallen berjongkok dalam jarak dua langkah dari dirinya."Hei, tenanglah! Tidak ada yang akan membunuhmu," bujuk Gallen dengan nada lembut.Pites bergeming. Keringat yang membanjiri tubuhnya membuat kulitnya tampak berkilat, tertimpa cahaya yang menembus kaca jendela."Hei, lihat aku!" panggil Gallen, "Apa aku tampak seperti pembunuh?"Setelah berulang kali Gallen merayu, pe
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada