“Mengapa kita harus terbang ke Batam Mona..?” Santi tidak mengerti begitu Ramona mengambil tindakan cepat membeli tiket ke Batam.
“Pesawat ke Singapura masih 3 jam lagi Ma, kita sudah terciduk wartawan. Jika mereka mengetahui bahwa kita di bandara, Mereka pasti akan mengejar kita.” Ramona menerangkan setelah mereka duduk diatas pesawat.“Tapi Tuan Satya bukankah sudah ditangkap polisi Mon..?” “Alpan dan Nyonya Naira tidak kalah berbahaya Ma. Mereka kejam dan jahat.”Santi mengangguk mengerti. Tak lama kemudian pesawat yang mereka tumpangi sudah tinggal landas.Sementara itu jalan yang sangat macet siang itu menghalangi mobil Alpan untuk sampai secepat mungkin dibandara. Alpan mengomel dan berteriak karena kesal.Tiba notifikasi ponselnya berbunyi.“Ada apa..??” Alpan menjawab panggilan teleponnya.“Mereka sudah terbang ke Batam Tuan Muda.” Jawab seseorang dariSeorang perawat berlari menerobos kerumunan orang yang berada di depan kamar perawatan Mohzan. Dalam ruangan yang penuh sesak itu hanya tercium satu aroma saja yaitu aroma kesedihan.Para petugas keamanan bahkan polisi tidak sanggup menahan massa yang datang bagaikan air bah yang membanjiri sebuah jurang.Ruangan bahkan halaman dan sampai ke jalan raya, orang datang berbondong-bondong dengan wajah penuh duka. Macet yang cukup panjang terjadi diruas jalan didepan rumah sakit itu.Tiada senda gurau, yang terdengar hanyalah isak dan tangis. Yang terlihat hanyalah air mata yang berderai bercucuran.Para bapak dan ibu merasa kehilangan anaknya. Kakak kehilangan adiknya dan adik kehilangan kakaknya. Itulah yang tengah dirasakan sebagian besar penghuni bumi.“Tolong beri saya jalan...! Tolong beri saya jalan...!” Suster itu terus menerobos pekatnya kerumunan.Dengan susah payah perawat itu sampai diruang dokter.“Dokt
“Mona... Monaaa...!!”“Coba lihat ini Mooon...!” Santi menggedor pintu kamar Ramona.Semenjak meninggalkan Jakarta kemarin, Ramona terlihat murung dan memilih mengurung diri di kamarnya.Santi dapat merasakan apa yang tengah dirasakan putrinya itu. Kenyataan yang ia lihat di rumah sakit dua hari yang lalu telah memukul semangatnya.Dengan mata kepala sendiri mereka berdua menyaksikan Khalista begitu akrab dengan keluarga Mohzan. Gadis itu juga memperlakukan Mohzan bagaikan kekasihnya.Selain itu, Danar juga nampak bersama mereka disana. Sepertinya hubungan baik sudah terjalin diantara dua keluarga itu. Tentu saja Ramona dan Santi mengira dua keluarga itu sudah terikat dan merestui hubungan Mohzan dengan Khalista.Ramona dengan lapang dada telah mengikhlaskan impiannya berpaling kepada Khalista. Namun disaat ia mulai bisa menerima kenyataan itu, beberapa jam yang lalu justru ia melihat kenyataan yang lebih membuat hatinya semakin
Mohzan sudah kembali berkumpul dengan keluarganya. Mama dan nenek serta adik-adiknya. Untuk sementara Mohzan meminta agar ia diberi waktu untuk berkumpul dulu dengan keluarganya. Dirinya belum mau ditemui awak media dari manapun.“Alhamdulillah Nak.. sekarang Mohzan sudah sehat kembali.” Desma menyendokkan nasi goreng ke piring Mohzan sebagai menu sarapan mereka pagi itu.Ibu Aisyah tersenyum memandangi cucunya. Ia tak putus-putusnya bersyukur karena Mohzan telah diberikan sebuah keajaiban dari tuhan.“Iya Ma, kita harus bersyukur dengan umur yang masih diberikan Allah kepada kita. Semoga kita bisa memanfaatkannya lebih baik lagi.” Jawab Mohzan sambil mengumpulkan nasi dalam sendok untuk suapan pertamanya.“Neeek... Nenek kok gak makan Nek. Dari tadi nenek mandangin Mohzan terus.” Mohzan menegur ibu Aisyah yang tidak bosan-bosannya memandang kearahnya.Sampai detik ini ibu Aisyah belum seutuhnya percaya kalau Mohzan masih hidup. Ibu Aisyah takut ini hanyalah seb
“Yuda senang banget abang pulang lagi..!” Yuda bergayut manja dilengan Mohzan.“Pasti Yuda pengen Abang beliin bakso lagi kaan...!” Mohzan menggoda adik terkecilnya itu.Arya, Jery dan Dika tersenyum simpul mendengar percakapan Mohzan dengan Yuda. Mereka sudah hafal tabiat Mohzan yang suka sekali mencandai adik-adik kecilnya.Yuda memang paling suka makan bakso.“Abang kok tahu aja sih Bang apa yang Yuda mau.” Jawab anak itu polos.“Hahahhaha...” Mohzan tidak dapat menahan geli hatinya. Ia tertawa terpingkal-pingkal.‘Ya udah kalau gitu Abang pulang dulu.” Jawab Mohzan pura-pura mau berdiri.“Kalau Abang pulang sekarang terus beli baksonya kapan Bang..?” Yuda tidak mau kalah. Ia terus memepet Mohzan.“Hahahhahaha...” Anak-anak yang lain ikut tertawa. Mereka sangat bahagia bisa berkumpul lagi dengan Mohzan.“Bang, pinjam kunci motor Bang..!&rdqu
Mohzan dan Arya berboncengan dengan sepeda motor. Tujuan mereka adalah rumah sakit tempat Chen dirawat. Kedua pemuda yang ganteng dan gagah itu melaju dengan kecepatan sedang.Mereka baru saja mendapat kabar kalau ada sedikit infeksi dilambung Chen pasca operasi untuk mengeluarkan peluru beberapa minggu lalu. Untuk itu Chen belum diperbolehkan pulang.Satu jam kemudian mereka berdua sudah sampai dirumah sakit dan segera memasuki gedung besar itu.Beberapa wartawan sibuk jeprat jepret dan mengajukan beberapa pertanyaan.“Halo Abang Mohzan, anda sudah terlihat pulih kembali.” Seorang wartawan menyapa dan nampaknya ingin memulai sebuah wawancara.“Seperti yang kita ketahui Tuan Junara dan keluarganya telah menghilang setelah memindah kuasakan semua hartanya kepada Alpan cucunya. Sepertinya ada yang janggal dalam kejadian ini. Kira-kira apa tanggapan anda Bang Mohzan..??”Mohzan dicegat dengan pertanyaan yang kini tengah menjadi tren
“Apa rencanamu hari ini Juna..?” Tuan Besar Sudarta sudah duduk disebuah kursi menghadap meja makan yang sangat sederhana.Ia tengah menyendok nasi putih yang ditemani tahu dan tempe goreng yang baru saja dihidangkan Tuan Junara dihadapannya.“Juna mau mencari pekerjaan Pa..! Sudah seminggu ini Juna hanya berdiam diri dirumah tanpa melakukan kegiatan apa-apa.” Jawab Tuan Junara sambil menenteng sebuah piring yang berisi menu sarapan mereka pagi itu.Tuan Junara menarik sebuah kursi lalu duduk berhadapan dengan Tuan Besar Sudarta. Mereka memulai aktivitas sarapan dengan bersemangat.“Bagus Juna...! Kita harus memulai kembali dari awal. Jatuh tidak akan membuat kita hancur dan rapuh.” Tuan Besar Sudarta terus memompa semangat putranya.Tiba-tiba..“Semua kesialan ini terjadi selalu dikarenakan si Desma itu. Kalau bukan karena kehadirannya dengan anak haramnya itu tentu sekarang kita tidak akan begini.”
“Maa...!” Mohzan mendekati Desma yang sedang duduk sendiri di sofa.“Iya, ada apa Nak..!” Desma menjawab panggilan putranya itu dengan lembut.“Bolehkah Mohzan menanyakan sesuatu kepada Mama..?” Mohzan menatap wajah ibunya itu setelah ia duduk disamping Desma.“Tentu boleh dong sayaang..! Mohzan mau bertanya apa..?”Desma bersiap untuk mendengarkan pertanyaan anaknya. Kalau Mohzan bertanya tentang siapa sebenarnya Tuan Junara, ia sudah siap untuk menjawabnya.“Apa betul Bapak Junara itu ayah kandung Mohzan Ma..?”Pertanyaan Mohzan tidak membuat Desma kaget. Ia sudah menduga bahwa pertanyaan inilah yang akan diajukan putranya kepadanya.Setelah menghela nafas panjang Desma bersiap menjawabnya."Iya Mohzan, Mas Junara adalah ayah kandungmu Nak. Mama tidak pernah menikah selain dengan Papamu Junara.” Jawab Desma mantap.Hatinya plong karena ia telah mengatakan yang ses
“Mohzan mohon maaf Buu..! Gara-gara menyelamatkan Mohzan Ibu harus kehilangan putra Ibu Pedro.” Mohzan menunduk menyalami dan mencium punggung tangan mama Pedro.“Tidak Nak..! Jangan bicara seperti itu. Pedro sekarang sudah bahagia bersama Bapa di syurga. Kita semua harus ikut bahagia.” Ujar mama Pedro mengusap bahu Mohzan yang masih mencium tangannya.Ibu itu malah tersenyum bahagia. Keyakinan yang ia miliki bisa melebur ego yang kebanyakan dimiliki manusia.Wajahnya yang berkulit hitam terlihat manis karena balutan budi yang kemilau. Hanya ketenangan yang ia tampilkan. Bukan keresahan apalagi kemarahan.“Mohzan berhutang nyawa kepada Pedro Bu.” Mohzan tergugu sedih. Ia terbayang kebersamaan yang ia lalui bersama Pedro disaat pemuda itu masih hidup.“Jangan bicara begitu Nak. Kehidupan dan kematian itu adalah kemauan tuhan. Sebagai manusia kita harus meyakini itu.” Kembali dengan senyum ikhlasnya ibu itu menja
Ucapan Alpan diatas ring membuat semua keluarga besar dan orang-orang dekat Mohzan terkejut beberapa saat lalu tersenyum simpul juga beberapa detik kemudian. Tepuk tangan meriah dari semua hadirin membuat wajah Mohzan sedikit merona merah.Sementara itu Ramona terlihat gelisah. Beberapa kali gadis itu memperbaiki syal yang melilit dilehernya. Keringat dingin tiba-tiba saja membanjiri kening gadis itu. Ia sulit menggambarkan perasaannya saat ini.Dalam hati Ramona yakin kalau Mohzan akan memilih Khalista. Khalista sudah menjadi gadis yang baik dan terlihat akrab dengan Mohzan dan keluarganya.Walaupun Ramona telah mempersiapkan mentalnya sejak lama, tapi untuk melihat langsung Mohzan melamar Khalista ia merasa belum sanggup.Sementara itu Alpan dan Mohzan sudah turun dari ring. Kedua pemuda gagah itu berjalan beriringan menuju suatu titik dimana seluruh keluarga mereka duduk berderet disana.Pertama kali Mohzan menemui Desma. Ia menyalami wanita yang telah me
Mohzan, Tuan Junara dan Tuan Satya serta Tuan Besar Sudarta yang sudah berdiri berjejeran diatas ring, kini terlihat saling berpandangan. Mereka bingung harus berbuat apa, sedangkan Mr. Vincent terus saja meratap menyebut asma Allah dengan air mata berlinangan.Mohzan akhirnya mendekati Mr. Vincent dan berjongkok disisinya serta memegang lembut bahu pria bule itu.“What I can do for you.?” Tanya Mohzan lirih setengah berbisik ditelinga Mr. Vincent. Mr. Vincent menoleh ke arah Mohzan yang menatap lembut kepadanya.Dengan bibir bergetar Mr. Vincent menyahut “Help me and teach me to be a moslem.”“Are you sure..?” Mohzan kembali bertanya untuk memastikan keinginan Mr. Vincent untuk menjadi seorang muslim.“Yes.. very sure..!” Sambut Mr. Vincent tegas dan mantap.Tangan Mr. Vincent menggapai bahu Mohzan dan Mohzan mengerti kalau Mr. Vincent ingin berdiri. Mohzan membantunya lalu Tuan Satya dan Tuan Junara tanpa dikomando ikut serta pula menuntun Mr. Vincent
Bunyi lonceng dipukul satu kali menandakan ronde kedua segera akan dimulai.Mr. Vincent sudah sepenuhnya mampu menguasai dirinya. Sebagai seorang olah ragawan yang penuh pengalaman tentu stamina tubuhnya sudah terlatih dengan berbagai insiden dalam pertandingan. Namun untuk kali ini ia sudah tidak mau lagi meremehkan lawan. Hatinya sedikit mulai berangsur percaya dengan yang namanya keajaiban Tuhan. Tapi ia ingin mengujinya lebih jauh lagi. Secuil keyakinannya masih diselimuti segudang rasa tidak percaya. Prosentasenya masih sangat kecil.Mr. Vincent sudah berdiri dan Mohzan pun mengikutinya. Mereka kini tegak berhadapan. Si wasit plontos mulai memberi aba-aba. Kepalanya yang botak licin kadang memantulkan cahaya lampu yang jatuh kekepalanya sedikit membuat silau mata penonton. 😂Pada ronde kedua ini Mr. Vincent mengganti jurusnya. Ia berdiri tegak lurus dengan satu kaki diangkat dan paha datar sampai kelutut. Satu tangannya juga diangkat dan telapak tangannya
Tepuk tangan sudah mereda. Suasana semakin mencekam begitu wasit mempertemukan Mohzan dengan Mr. Vincent secara berhadap-hadapan.Lelaki berjas hitam bersiap dan kini mulai membacakan aturan main pertarungan itu dalam bahasa Inggris. Kedua petarung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.Setelah pria berstelan hitam selesai membacakan aturan main dalam bahasa Inggris, kemudian giliran lelaki berjas putih yang akan menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.“Aturan pertandingan ini adalah :1. Pertandingan akan dilaksanakan selama 12 ronde dan durasi setiap ronde adalah 3 menit, kecuali salah satu petarung menyatakan menyerah dengan mengangkat tangannya atau kode lain jika keadaan tidak berdaya.2. Waktu istirahat 1 menit.3. Pertandingan dianggap selesai jika salah satu petarung terluka parah dan dinyatakan tidak layak lagi mengikuti pertandingan.4. Petarung diperbolehkan menggunakan jurus apapun yang dikuasainya tanpa harus mengikuti jenis be
Bab 111. Duel 2.(Ramona sudah berada disini..!) Itulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Khalista. Alpan memutar kepalanya menoleh kearah deretan penonton dibelakang juri. Disana ia melihat Ramona duduk bersebelahan dengan Khalista. Alpan berfikir sejenak lalu bergegas meninggalkan tempat ia berdiri saat itu. Ia terlihat menemui beberapa orang dibelakang ring. Mereka berbincang beberapa saat dan nampak beberapa orang yang ditemui Alpan mengangguk-anggukkan kepalanya.Sementara itu waktu pertarungan tinggal sepuluh menit lagi. Mr. Vincent terus saja berkeliling ring memamerkan gerakan-gerakan karate yang tujuannya tak lain adalah untuk menjatuhkan mental lawan.Sedangkan Mohzan memilih tetap duduk disebuah bangku disudut ring. Ditangan kanannya ia memegang sebuah botol air mineral.Sikap Mohzan yang tak bergeming menciptakan berbagai pendapat orang-orang yang menonton duel itu. Baik yang berada langsung di gedung olah raga itu maupun yang sedang menonton dilayar
Gedung olah raga dipusat kota Jakarta semakin ramai dikunjungi para calon penonton yang ingin menyaksikan langsung pertandingan duel antara Mohzan dengan Mr. Vincent. Kepada setiap calon penonton dijual satu lembar tiket yang harganya tidak terlalu mahal. Hasil penjualan tiket itu sudah disepakati akan diberikan kepada masyarakat yang berekonomi lemah dan akan disalurkan melalui dinas sosial. Hal itu menjadi persyaratan mutlak dari Mohzan sebelum menyetujui pemungutan biaya dari pertunjukkan itu.Karena besarnya gedung tidak mencukupi untuk menampung semua penonton yang hadir, maka diluar gedung disediakan layar yang sangat besar agar penonton yang tidak berhasil mendapatkan tiket tetap bisa menyaksikan jalannya pertandingan.Satu persatu tamu kehormatan memasuki gedung itu. Mereka datang dari berbagai negara guna untuk menyaksikan langsung pertandingan yang sungguh tidak biasa ini. Mereka mempunyai tugas dari negara mereka masing-masing untuk memberikan keterangan resmi s
Sabtu pagi dikediaman Tuan Besar Sudarta.Kesibukan terlihat diruang makan pagi itu. Seluruh keluarga Tuan Besar Sudarta berkumpul mengelilingi meja makan. Ratmi terlihat sibuk melayani dengan menata hidangan diatas meka dibantu oleh Desma dan ibu Aisyah.Sebuah televisi dengan layar lebar puluhan inci tergantung didinding menayangkan berita pagi.Mohzan duduk berdampingan dengan Alpan dan Tuan Satya berdekatan dengan Tuan Junara. Disamping Tuan Junara ada Desma lalu ibu Aisyah. Sedangkan Tuan Besar Sudarta berdampingan dengan Astuti istrinya yang kini tengah malayaninya dengan mengoleskan slai mangga kepotongan roti yang merupakan kesukaan Tuan Besar Sudarta.“Bagaimana Mohzan..? Mohzan sudah siap menghadapi Mr. Vincent malam ini.?” Tanya Tuan Junara kepada Mohzan yang sibuk memotong roti dengan pisau kecil diatas piring datar.“Insya Allah Pa !” Jawab Mohzan tenang setenang ia mengunyah makanan dimulutnya.“Pemirsa.. hari
“Ya sudah kalau begitu Bu Anggi. Tidak apa-apa kalau Khalista main disini dulu. Asal Bu Anggi tidak direpotkan.” Sahut Danar sangat sopan.“Wuuuiiih... Inikah yang disebut dengan tobat..? Bertanyalah Anggita kepada dirinya sendiri. Ia menyoroti punggung lelaki yang baru saja berbalik badan menuju pintu pagar rumahnya lalu menghilang.Anggita memutuskan untuk kembali keruang tamu rumahnya. Ia belum puas untuk mengintrogasi anak orang. (Hmm.. kepo juga nih si Ibu..😀😀😀)“Tadi Papamu menanyakan kamu Lista..!” Ujar Anggita memberi tahu Khalista. Namun sepertinya gadis itu tiada bergeming. Ia malah menatap sebuah foto berbingkai indah yang terpajang didinding ruang tamu Anggita.“Berliana... Seandainya kamu masih ada, aku pasti bisa curhat kepadamu. Semakin besar ternyata beban hidup bukan semakin ringan Liana.” Ratap Khalista kepada foto Berliana yang merupakan teman bermain kecilnya.Anggita jadi sedih mendengar ratap
“Alhamdulillah, kita sudah bisa kembali kerumah kita Lista.” Ujar Danar setelah selesai beres-beres rumah. Khalista baru saja pulang dari sekolah.“Iya Pa, syukurlah Tuan Satya kini sudah berubah baik. Kalau tidak entah apa nasib kita selanjutnya.” Jawab Khalista yang ikut merapikan beberapa barang diruang tamu.Sepertinya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja, buktinya tidak ada barang yang berpindah tempat. Hanya debu tebal menutupi dimana-dimana.“Pa, Lista rindu sama Mama Santi dan Ramona. Kalau mereka ada disini tentu akan lebih ramai dan menyenangkan.” Kata Lista menghentikan pekerjaannya. Ia duduk bermenung diatas sofa.“Hmmm...!!” Danar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga sangat merindukan istri dan anak tirinya itu. Tapi ia tidak tahu dimana mereka berada.Danar berjalan lalu duduk disamping Khalista. Pikirannya juga ikut menerawang kemasa-masa dimana mereka masih tinggal bersama