Mohzan dan Arya berboncengan dengan sepeda motor. Tujuan mereka adalah rumah sakit tempat Chen dirawat. Kedua pemuda yang ganteng dan gagah itu melaju dengan kecepatan sedang.
Mereka baru saja mendapat kabar kalau ada sedikit infeksi dilambung Chen pasca operasi untuk mengeluarkan peluru beberapa minggu lalu. Untuk itu Chen belum diperbolehkan pulang.Satu jam kemudian mereka berdua sudah sampai dirumah sakit dan segera memasuki gedung besar itu.Beberapa wartawan sibuk jeprat jepret dan mengajukan beberapa pertanyaan.“Halo Abang Mohzan, anda sudah terlihat pulih kembali.” Seorang wartawan menyapa dan nampaknya ingin memulai sebuah wawancara.“Seperti yang kita ketahui Tuan Junara dan keluarganya telah menghilang setelah memindah kuasakan semua hartanya kepada Alpan cucunya. Sepertinya ada yang janggal dalam kejadian ini. Kira-kira apa tanggapan anda Bang Mohzan..??”Mohzan dicegat dengan pertanyaan yang kini tengah menjadi tren“Apa rencanamu hari ini Juna..?” Tuan Besar Sudarta sudah duduk disebuah kursi menghadap meja makan yang sangat sederhana.Ia tengah menyendok nasi putih yang ditemani tahu dan tempe goreng yang baru saja dihidangkan Tuan Junara dihadapannya.“Juna mau mencari pekerjaan Pa..! Sudah seminggu ini Juna hanya berdiam diri dirumah tanpa melakukan kegiatan apa-apa.” Jawab Tuan Junara sambil menenteng sebuah piring yang berisi menu sarapan mereka pagi itu.Tuan Junara menarik sebuah kursi lalu duduk berhadapan dengan Tuan Besar Sudarta. Mereka memulai aktivitas sarapan dengan bersemangat.“Bagus Juna...! Kita harus memulai kembali dari awal. Jatuh tidak akan membuat kita hancur dan rapuh.” Tuan Besar Sudarta terus memompa semangat putranya.Tiba-tiba..“Semua kesialan ini terjadi selalu dikarenakan si Desma itu. Kalau bukan karena kehadirannya dengan anak haramnya itu tentu sekarang kita tidak akan begini.”
“Maa...!” Mohzan mendekati Desma yang sedang duduk sendiri di sofa.“Iya, ada apa Nak..!” Desma menjawab panggilan putranya itu dengan lembut.“Bolehkah Mohzan menanyakan sesuatu kepada Mama..?” Mohzan menatap wajah ibunya itu setelah ia duduk disamping Desma.“Tentu boleh dong sayaang..! Mohzan mau bertanya apa..?”Desma bersiap untuk mendengarkan pertanyaan anaknya. Kalau Mohzan bertanya tentang siapa sebenarnya Tuan Junara, ia sudah siap untuk menjawabnya.“Apa betul Bapak Junara itu ayah kandung Mohzan Ma..?”Pertanyaan Mohzan tidak membuat Desma kaget. Ia sudah menduga bahwa pertanyaan inilah yang akan diajukan putranya kepadanya.Setelah menghela nafas panjang Desma bersiap menjawabnya."Iya Mohzan, Mas Junara adalah ayah kandungmu Nak. Mama tidak pernah menikah selain dengan Papamu Junara.” Jawab Desma mantap.Hatinya plong karena ia telah mengatakan yang ses
“Mohzan mohon maaf Buu..! Gara-gara menyelamatkan Mohzan Ibu harus kehilangan putra Ibu Pedro.” Mohzan menunduk menyalami dan mencium punggung tangan mama Pedro.“Tidak Nak..! Jangan bicara seperti itu. Pedro sekarang sudah bahagia bersama Bapa di syurga. Kita semua harus ikut bahagia.” Ujar mama Pedro mengusap bahu Mohzan yang masih mencium tangannya.Ibu itu malah tersenyum bahagia. Keyakinan yang ia miliki bisa melebur ego yang kebanyakan dimiliki manusia.Wajahnya yang berkulit hitam terlihat manis karena balutan budi yang kemilau. Hanya ketenangan yang ia tampilkan. Bukan keresahan apalagi kemarahan.“Mohzan berhutang nyawa kepada Pedro Bu.” Mohzan tergugu sedih. Ia terbayang kebersamaan yang ia lalui bersama Pedro disaat pemuda itu masih hidup.“Jangan bicara begitu Nak. Kehidupan dan kematian itu adalah kemauan tuhan. Sebagai manusia kita harus meyakini itu.” Kembali dengan senyum ikhlasnya ibu itu menja
Jeruji besi berwarna hitam pekat dan kokoh kini sudah menjadi pemandangan rutin Tuan Satya setiap hari.Hampir sebulan dirinya menempati kamar tahanan, dan kini ia tengah menunggu proses pengadilan.Tuan Satya tahu bahwa hukuman berat bahkan mungkin hukuman mati tengah menunggunya. Diluar sana terus dikumandangkan massa yang mengecam kekejaman dirinya, agar pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepadanya.Dirinya sudah dianggap benalu didunia ini. Ia sangat dibenci oleh masyarakat bumi.“Aku pantas menerima semua ini...! Aku pantas untuk dibenci..!” Tuan Satya bergumam sendiri dan menangis tergugu.Prilakunya yang sangat tidak baik selama ini telah memukul hatinya dalam sebuah rasa penyesalan yang dalam. Namun seperti kata pepatah, 'pikir itu pelita hati, sesal kemudian tiada berguna’. Dan Tuan Satya adalah salah satu contoh dari sekian banyak manusia yang tidak mempedomani pepatah lama yang penuh makna tersebut.“Saudara Satya...!
Bab 67. Pengunduran diri massal.Pagi itu tidak seperti biasanya. Distudio patriot televisi dan di beberapa perusahaan yang bekas milik keluarga Sudarta grup terlihat banyak sekali karyawan dan karyawati yang berkumpulBeberapa orang diantaranya bertindak sebagai panitia yang menerima sebuah map yang diantarkan masing-masing karyawan dan karyawati itu.(Kira-kira apa yaa... isi surat dalam masing map tersebut..? 🤔)“Baik saudara saudariku sekalian....! Saya hanya membantu mengumpulkan surat-surat ini. Saya yakin keputusan ini sudah saudara saudari pikirkan matang-matang.” Ujarnya dengan menggunakan mikrofon.“Sudaaaaah....!!!” Jawab semua orang yang berada disana serempak. Mereka mengacungkan tinjunya ke udara sebagai tanda semangat.Alpan baru saja memasuki halaman studio. Ia sudah siap dengan kemarahannya karena dari semalam patriot televisi tidak menayangkan apapun.Siaran patriot televisi hilang bagaikan ditelan bumi. Y
Tuan Junara memasuki halaman kantor Wisnu dengan sepeda motornya. Ia memarkir diantara beberapa motor karyawan yang lain.Belum sempat ia meninggalkan halaman parkir itu tiba-tiba seorang laki-laki mendekatinya.“Selamat sore Tuan Junara...!! Perkenalkan nama saya Samuel. Saya adalah kepala sekuriti disini.” Lelaki yang ternyata bernama Samuel itu memperkenalkan diri dengan hormat.“Oh, selamat siang Bapak Samuel. Saya Junara akan menjadi bawahan Bapak. Sebutkan apa perintah yang harus saya laksanakan ?” Tuan Junara menyalami lelaki itu dan menanyakan tugasnya.Samuel nampak sangat grogi untuk memberi perintah kepada seorang Junara. Siapa sih yang tidak kenal dengan sosok pengusaha yang satu ini..? Selain kaya raya ia juga terkenal sangat dermawan dan berhati mulia. Wajah pemilik stasiun televisi swasta itu dikenal oleh semua orang di negeri ini karena wajahnya sering wara wiri dilayar kaca.Samuel menggaruk kepalanya yang tidak gatal
Wajah Arya langsung bersemu merah begitu melihat kehadiran Soraya ditempat itu. Pemuda itu tidak memperlihatkan wajah cemburu lagi kepada Chen. Soraya sudah menjelaskan kepada Arya bahwa dirinya dan Chen adalah kawan sejak kecil karena mereka bertetangga. Dan Arya juga bisa menerima itu dan memakluminya.“Hai Adik ipar...!!” Seru Dania sumringah menyapa Arya. Dania memang memiliki sifat yang ceplas ceplos. Dirinya sangat berbeda dengan adiknya Soraya yang bersifat pemalu.Arya tersenyum dan menyalami Dania, Soraya dan Chen. Dengan Chen seperti biasa mereka mengadu kepalan tinju sebagai simbol persaudaraan.“Oh ya, Kak Dania.. ini kenalkan Abang Mohzan..!” Soraya memperkenalkan kakaknya itu dengan Mohzan.Dalam hati sebenarnya Soraya berharap Dania dan Mohzan saling jatuh cinta.Mohzan menerima uluran tangan Dania yang menyalaminya.“Terima kasih telah menyelamatkan Mama saya..!” Ujar Mohzan membuka percakapan dengan D
"Alpan itu adalah saudara sepupumu Mohzan, hanya dialah satu-satunya saudara sedarah denganmu. Usahakan perkecil masalah dengan dia.” Desma memberi nasehat kepada putranya sambil menghidangkan makanan dimeja makan.Akhir-akhir ini, permasalahan dengan Alpan terus saja meruncing. Alpan dengan berbagai cara terus menyerang Mohzan. Mulai dengan fitnah-fitnah dan cacian yang sengaja ia sebarkan lewat media masa sampai dengan tindakan nyata yang ia lakukan bersama anak buahnya.“Iya Ma, Mohzan akan berusaha mengendalikan situasi ini agar tidak berkembang menjadi lebih buruk lagi. Bagaimanapun Mohzan harus menghargai Mas Alpan. Dia adalah satu-satunya saudara Mohzan. Tapi sayang, Mas Alpan selalu berprasangka buruk kalau kita akan menuntut hak atas semua kekayaan Kakek yang telah ia kuasai.” Sahut Mohzan menarik nafas prihatin.“Hmmm...” Ibu Aisyah yang sedari tadi hanya mendengar, kini ikut mendesah. Ia kemudian menyendokkan nasi ke piring Moh
Ucapan Alpan diatas ring membuat semua keluarga besar dan orang-orang dekat Mohzan terkejut beberapa saat lalu tersenyum simpul juga beberapa detik kemudian. Tepuk tangan meriah dari semua hadirin membuat wajah Mohzan sedikit merona merah.Sementara itu Ramona terlihat gelisah. Beberapa kali gadis itu memperbaiki syal yang melilit dilehernya. Keringat dingin tiba-tiba saja membanjiri kening gadis itu. Ia sulit menggambarkan perasaannya saat ini.Dalam hati Ramona yakin kalau Mohzan akan memilih Khalista. Khalista sudah menjadi gadis yang baik dan terlihat akrab dengan Mohzan dan keluarganya.Walaupun Ramona telah mempersiapkan mentalnya sejak lama, tapi untuk melihat langsung Mohzan melamar Khalista ia merasa belum sanggup.Sementara itu Alpan dan Mohzan sudah turun dari ring. Kedua pemuda gagah itu berjalan beriringan menuju suatu titik dimana seluruh keluarga mereka duduk berderet disana.Pertama kali Mohzan menemui Desma. Ia menyalami wanita yang telah me
Mohzan, Tuan Junara dan Tuan Satya serta Tuan Besar Sudarta yang sudah berdiri berjejeran diatas ring, kini terlihat saling berpandangan. Mereka bingung harus berbuat apa, sedangkan Mr. Vincent terus saja meratap menyebut asma Allah dengan air mata berlinangan.Mohzan akhirnya mendekati Mr. Vincent dan berjongkok disisinya serta memegang lembut bahu pria bule itu.“What I can do for you.?” Tanya Mohzan lirih setengah berbisik ditelinga Mr. Vincent. Mr. Vincent menoleh ke arah Mohzan yang menatap lembut kepadanya.Dengan bibir bergetar Mr. Vincent menyahut “Help me and teach me to be a moslem.”“Are you sure..?” Mohzan kembali bertanya untuk memastikan keinginan Mr. Vincent untuk menjadi seorang muslim.“Yes.. very sure..!” Sambut Mr. Vincent tegas dan mantap.Tangan Mr. Vincent menggapai bahu Mohzan dan Mohzan mengerti kalau Mr. Vincent ingin berdiri. Mohzan membantunya lalu Tuan Satya dan Tuan Junara tanpa dikomando ikut serta pula menuntun Mr. Vincent
Bunyi lonceng dipukul satu kali menandakan ronde kedua segera akan dimulai.Mr. Vincent sudah sepenuhnya mampu menguasai dirinya. Sebagai seorang olah ragawan yang penuh pengalaman tentu stamina tubuhnya sudah terlatih dengan berbagai insiden dalam pertandingan. Namun untuk kali ini ia sudah tidak mau lagi meremehkan lawan. Hatinya sedikit mulai berangsur percaya dengan yang namanya keajaiban Tuhan. Tapi ia ingin mengujinya lebih jauh lagi. Secuil keyakinannya masih diselimuti segudang rasa tidak percaya. Prosentasenya masih sangat kecil.Mr. Vincent sudah berdiri dan Mohzan pun mengikutinya. Mereka kini tegak berhadapan. Si wasit plontos mulai memberi aba-aba. Kepalanya yang botak licin kadang memantulkan cahaya lampu yang jatuh kekepalanya sedikit membuat silau mata penonton. 😂Pada ronde kedua ini Mr. Vincent mengganti jurusnya. Ia berdiri tegak lurus dengan satu kaki diangkat dan paha datar sampai kelutut. Satu tangannya juga diangkat dan telapak tangannya
Tepuk tangan sudah mereda. Suasana semakin mencekam begitu wasit mempertemukan Mohzan dengan Mr. Vincent secara berhadap-hadapan.Lelaki berjas hitam bersiap dan kini mulai membacakan aturan main pertarungan itu dalam bahasa Inggris. Kedua petarung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.Setelah pria berstelan hitam selesai membacakan aturan main dalam bahasa Inggris, kemudian giliran lelaki berjas putih yang akan menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.“Aturan pertandingan ini adalah :1. Pertandingan akan dilaksanakan selama 12 ronde dan durasi setiap ronde adalah 3 menit, kecuali salah satu petarung menyatakan menyerah dengan mengangkat tangannya atau kode lain jika keadaan tidak berdaya.2. Waktu istirahat 1 menit.3. Pertandingan dianggap selesai jika salah satu petarung terluka parah dan dinyatakan tidak layak lagi mengikuti pertandingan.4. Petarung diperbolehkan menggunakan jurus apapun yang dikuasainya tanpa harus mengikuti jenis be
Bab 111. Duel 2.(Ramona sudah berada disini..!) Itulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Khalista. Alpan memutar kepalanya menoleh kearah deretan penonton dibelakang juri. Disana ia melihat Ramona duduk bersebelahan dengan Khalista. Alpan berfikir sejenak lalu bergegas meninggalkan tempat ia berdiri saat itu. Ia terlihat menemui beberapa orang dibelakang ring. Mereka berbincang beberapa saat dan nampak beberapa orang yang ditemui Alpan mengangguk-anggukkan kepalanya.Sementara itu waktu pertarungan tinggal sepuluh menit lagi. Mr. Vincent terus saja berkeliling ring memamerkan gerakan-gerakan karate yang tujuannya tak lain adalah untuk menjatuhkan mental lawan.Sedangkan Mohzan memilih tetap duduk disebuah bangku disudut ring. Ditangan kanannya ia memegang sebuah botol air mineral.Sikap Mohzan yang tak bergeming menciptakan berbagai pendapat orang-orang yang menonton duel itu. Baik yang berada langsung di gedung olah raga itu maupun yang sedang menonton dilayar
Gedung olah raga dipusat kota Jakarta semakin ramai dikunjungi para calon penonton yang ingin menyaksikan langsung pertandingan duel antara Mohzan dengan Mr. Vincent. Kepada setiap calon penonton dijual satu lembar tiket yang harganya tidak terlalu mahal. Hasil penjualan tiket itu sudah disepakati akan diberikan kepada masyarakat yang berekonomi lemah dan akan disalurkan melalui dinas sosial. Hal itu menjadi persyaratan mutlak dari Mohzan sebelum menyetujui pemungutan biaya dari pertunjukkan itu.Karena besarnya gedung tidak mencukupi untuk menampung semua penonton yang hadir, maka diluar gedung disediakan layar yang sangat besar agar penonton yang tidak berhasil mendapatkan tiket tetap bisa menyaksikan jalannya pertandingan.Satu persatu tamu kehormatan memasuki gedung itu. Mereka datang dari berbagai negara guna untuk menyaksikan langsung pertandingan yang sungguh tidak biasa ini. Mereka mempunyai tugas dari negara mereka masing-masing untuk memberikan keterangan resmi s
Sabtu pagi dikediaman Tuan Besar Sudarta.Kesibukan terlihat diruang makan pagi itu. Seluruh keluarga Tuan Besar Sudarta berkumpul mengelilingi meja makan. Ratmi terlihat sibuk melayani dengan menata hidangan diatas meka dibantu oleh Desma dan ibu Aisyah.Sebuah televisi dengan layar lebar puluhan inci tergantung didinding menayangkan berita pagi.Mohzan duduk berdampingan dengan Alpan dan Tuan Satya berdekatan dengan Tuan Junara. Disamping Tuan Junara ada Desma lalu ibu Aisyah. Sedangkan Tuan Besar Sudarta berdampingan dengan Astuti istrinya yang kini tengah malayaninya dengan mengoleskan slai mangga kepotongan roti yang merupakan kesukaan Tuan Besar Sudarta.“Bagaimana Mohzan..? Mohzan sudah siap menghadapi Mr. Vincent malam ini.?” Tanya Tuan Junara kepada Mohzan yang sibuk memotong roti dengan pisau kecil diatas piring datar.“Insya Allah Pa !” Jawab Mohzan tenang setenang ia mengunyah makanan dimulutnya.“Pemirsa.. hari
“Ya sudah kalau begitu Bu Anggi. Tidak apa-apa kalau Khalista main disini dulu. Asal Bu Anggi tidak direpotkan.” Sahut Danar sangat sopan.“Wuuuiiih... Inikah yang disebut dengan tobat..? Bertanyalah Anggita kepada dirinya sendiri. Ia menyoroti punggung lelaki yang baru saja berbalik badan menuju pintu pagar rumahnya lalu menghilang.Anggita memutuskan untuk kembali keruang tamu rumahnya. Ia belum puas untuk mengintrogasi anak orang. (Hmm.. kepo juga nih si Ibu..😀😀😀)“Tadi Papamu menanyakan kamu Lista..!” Ujar Anggita memberi tahu Khalista. Namun sepertinya gadis itu tiada bergeming. Ia malah menatap sebuah foto berbingkai indah yang terpajang didinding ruang tamu Anggita.“Berliana... Seandainya kamu masih ada, aku pasti bisa curhat kepadamu. Semakin besar ternyata beban hidup bukan semakin ringan Liana.” Ratap Khalista kepada foto Berliana yang merupakan teman bermain kecilnya.Anggita jadi sedih mendengar ratap
“Alhamdulillah, kita sudah bisa kembali kerumah kita Lista.” Ujar Danar setelah selesai beres-beres rumah. Khalista baru saja pulang dari sekolah.“Iya Pa, syukurlah Tuan Satya kini sudah berubah baik. Kalau tidak entah apa nasib kita selanjutnya.” Jawab Khalista yang ikut merapikan beberapa barang diruang tamu.Sepertinya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja, buktinya tidak ada barang yang berpindah tempat. Hanya debu tebal menutupi dimana-dimana.“Pa, Lista rindu sama Mama Santi dan Ramona. Kalau mereka ada disini tentu akan lebih ramai dan menyenangkan.” Kata Lista menghentikan pekerjaannya. Ia duduk bermenung diatas sofa.“Hmmm...!!” Danar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga sangat merindukan istri dan anak tirinya itu. Tapi ia tidak tahu dimana mereka berada.Danar berjalan lalu duduk disamping Khalista. Pikirannya juga ikut menerawang kemasa-masa dimana mereka masih tinggal bersama