Halaman rumah sakit penuh sesak. Mereka menunggu kedatangan para korban penembakan yang terjadi distudio Patriot televisi sekitar satu jam yang lalu.
Lautan kendaraan berderak perlahan menuju tujuan yang sama. Wajah resah dan sedih terlihat dimana-mana. Negeri di selimuti awan penuh duka.Adik-adik Mohzan terus berlari menuju studio. Namun dipertengahan jalan mereka berpapasan dengan rombongan ambulan yang membawa Mohzan dan korban lainnya menuju rumah sakit.Tanpa mengenal lelah serta merta mereka memutar arah mengikuti ambulan-ambulan itu. Mereka terus menangis dan memanggil nama Mohzan.Keringat yang bercucuran tidak sedikitpun mereka indahkan.Tak lama kemudian Mohzan dan korban lainnya sudah sampai dirumah sakit. Para dokter dan tenaga medis lainnya sudah dari tadi menunggu.Begitu para korban datang, mereka langsung memberikan pertolongan. Para korban langsung dibawa menuju ruang operasi.Begitu ruang operasi ditutup, bagian humas rumah sakitBab 51.Desma dan Junara mendapat kesempatan untuk masuk ke ruangan isolasi Mohzan. Desma memegang tangan Mohzan yang lemah.“Bangunlah Naak...! Katanya terdengar lirih dan setengah berbisik.Tuan Junara memperhatikan Layar monitor pendeteksi detak jantung atau yang disebut dengan Elektrokardiograf. Grafiknya terus bergerak dilevel yang sangat rendah.“Bertahanlah Mohzan... Bertahanlah demi kami.. berikan Papa waktu untuk bisa hidup bersamamu. Selama ini sudah banyak waktu yang telah terbuang..!” Tuan Junara meratap sedih.Desma mengangkat wajahnya mendengar ratapan Tuan Junara.“Apakah Mas Junara sudah tahu kalau Mohzan adalah anaknya..?” Desma bertanya di dalam hatinya.Selama ini Desma menyembunyikan kenyataan itu dari Tuan Junara agar Naira tidak mencelakai Mohzan. Tapi kini Mohzan telah dicelakai walaupun Desma telah menutup rapat-rapat rahasia itu.“Pasti ini perbuatan Kak Naira, aku harus member
“Mari Pak..!” Sopir pribadi Tuan Junara mempersilahkan Tuannya itu untuk menaiki mobil. Hari itu mereka akan melayat kerumah Pedro dan Mahesa.Tuan Junara segera memasuki kendaraannya dan duduk di jok belakang. Tak banyak yang ia ucapkan dari mulutnya. Hanya kebisuan yang menemani perjalanan mereka menuju kediaman Pedro.Sesampai dikediaman Pedro, Tuan Junara disambut oleh keluarga Pedro. Ramai sekali orang berkumpul disana. Wajah duka terlihat dimana-mana.Dengan langkah tenang namun berat di perasaan, Tuan Junara mendekati peti mati Pedro. Disana Pedro terlihat berbaring dengan tenang dan seulas senyum menghiasi bibirnya. Warna kulitnya yang hitam terlihat manis karena ia memang berasal dari wilayah Indonesia bagian timur. Pedro memakai jas hitam dengan setangkai bunga putih tersemat didada.Tuan Junara memandangi Pedro, dalam hati ia mengakui betapa manisnya wajah Pedro. Senyumnya yang damai dan ikhlas mengisyaratkan betapa lembut hati yang ia mili
Detak jantung Mohzan semakin lemah. Bahkan nyaris tiada bergerak. Skala di monitor alat pengukur detak jantung membentuk garis semakin lurus. Hanya sedikit saja gelombang yang sekali-kali terlihat.Arya dan Jery serta Dika nampak termenung. Jelas hati mereka sedang dilanda kerisauan.Tiba-tiba..“Arya...!”Ibu Aisyah datang dengan tergopoh-gopoh. Kakinya yang pincang membuat bahunya naik turun.Arya yang tadi sedang duduk segera berdiri dan bergegas mendekati ibu Aisyah dan menyalaminya.“Ada apa Nek..??” Tanya Arya yang juga risau melihat raut wajah ibu Aisyah yang sangat kacau.“Desma menghilang Arya... Nenek sudah mencarinya kemana-mana..!” Ujar ibu Aisyah dengan suara sedikit terbata-bata.“Apa Nek..? Ibu menghilang...?” Arya dan Dika berujar bersamaan.Mereka berdua sudah berdiri didepan ibu Aisyah. Sementara Jery ikut bergabung kemudian.“Nenek takut... Ada orang yang mencelakainya.” Sahut ibu Aisyah lirih.“Siapa Nek..? Siapa yang
“Aryaaa....??” Mata Desma melotot melihat kehadiran Arya yang tiba-tiba. Arya ternyata telah berhasil mengalahkan empat orang anak buah Tuan Satya yang bertugas diluar untuk berjaga-jaga.Arya segera mendekati Desma dan melindunginya dengan menggeser tubuh Desma kebelakang tubuhnya.“Ahhahahahahaaa....”“Tanpa diundang kamu datang anak muda...!! Bukannya kamu yang telah membawa Ramona pergi..?? Hahahhaa... Nyalimu boleh juga..! Tuan Satya memandang sinis kepada Arya.“Baguuus...! Kamu datang kesini dengan suka rela menjemput takdirmu. Hahahaa...!”Tuan Satya terus tertawa senang. Arya memandangnya dengan emosi yang meluap.“Bukan kami yang akan mati Tuan sombong..! Tapi Kauuu...!!” Arya langsung melompat dan menerjang Tuan Satya setelah sebelumnya mendorong tubuh Desma kepinggir.Tendangan keras Arya tepat mengenai dada Tuan Satya. Ia terjengkang ke belakang sampai 3 meter.4 orang an
Naira dan Alpan nampak mengendap-endap memasuki kamar Tuan Besar Sudarta. Naira menarik tangan Alpan agar lebih cepat lagi.Laki-laki tua itu nampak tertidur pulas. Sejenak mereka memperhatikan Tuan Besar Sudarta, lalu Naira memberi kode kepada Alpan untuk memulai aksi mereka.“Kek... Bangun Keek..!!” Alpan membangunkan Tuan Besar Sudarta.Alangkah kagetnya lelaki itu melihat Alpan dan Naira begitu lancang memasuki kamarnya.“Mau apa kalian masuk kesini..?!” Agak tergagap Tuan Besar Sudarta tersentak bangun.Ia berdiri dan memandang marah kepada Alpan yang berdiri dengan sikap tidak sopan.“Mau apa kamu Alpan..?!” Tuan Besar Sudarta membentak cucunya itu.“Mau tanda tangan Kek..!” Seru Alpan tidak kalah keras lalu menghempaskan satu bendel dokumen di meja yang terletak disudut kamar itu.Naira hanya memandangi dengan wajah sinis. Ia memang tidak menyukai ayah mertuanya itu.“Apa ini..?
Pesawat Singapore Airlines baru saja mendarat di bandara Soekarno Hatta.Dari sekian banyak penumpang yang menuruni tangga pesawat itu diantaranya adalah Ramona dan Santi.Mereka memutuskan untuk menjenguk Mohzan walau apapun resiko yang akan mereka hadapi.Dengan memakai celana jeans berwarna gelap dipadu dengan atasan berwarna putih bersih serta sebuah syal berwarna jingga dan sedikit dihiasi manik-manik melilit dileher jenjangnya.Kaca mata hitam yang bertengger dihidung mancungnya membuat penampilan Ramona semakin mempesona. Rambutnya yang panjang pirang digulung keatas dengan sebuah jepitan berwarna emas.Santi mengenakan gaun berwarna kuning gading. Ia menenteng tas besar dengan merek terkenal. Matanya yang indah juga ditutupi kaca mata hitam mewah.Mereka berharap tidak ada yang mengenali mereka di bandara itu. Kalau sampai kehadiran mereka diketahui wartawan, tentu urusan jadi akan sulit dan nyawa mereka terancam.&l
“Mengapa kita harus terbang ke Batam Mona..?” Santi tidak mengerti begitu Ramona mengambil tindakan cepat membeli tiket ke Batam.“Pesawat ke Singapura masih 3 jam lagi Ma, kita sudah terciduk wartawan. Jika mereka mengetahui bahwa kita di bandara, Mereka pasti akan mengejar kita.” Ramona menerangkan setelah mereka duduk diatas pesawat.“Tapi Tuan Satya bukankah sudah ditangkap polisi Mon..?”“Alpan dan Nyonya Naira tidak kalah berbahaya Ma. Mereka kejam dan jahat.”Santi mengangguk mengerti. Tak lama kemudian pesawat yang mereka tumpangi sudah tinggal landas.Sementara itu jalan yang sangat macet siang itu menghalangi mobil Alpan untuk sampai secepat mungkin dibandara. Alpan mengomel dan berteriak karena kesal.Tiba notifikasi ponselnya berbunyi.“Ada apa..??” Alpan menjawab panggilan teleponnya.“Mereka sudah terbang ke Batam Tuan Muda.” Jawab seseorang dari
Seorang perawat berlari menerobos kerumunan orang yang berada di depan kamar perawatan Mohzan. Dalam ruangan yang penuh sesak itu hanya tercium satu aroma saja yaitu aroma kesedihan.Para petugas keamanan bahkan polisi tidak sanggup menahan massa yang datang bagaikan air bah yang membanjiri sebuah jurang.Ruangan bahkan halaman dan sampai ke jalan raya, orang datang berbondong-bondong dengan wajah penuh duka. Macet yang cukup panjang terjadi diruas jalan didepan rumah sakit itu.Tiada senda gurau, yang terdengar hanyalah isak dan tangis. Yang terlihat hanyalah air mata yang berderai bercucuran.Para bapak dan ibu merasa kehilangan anaknya. Kakak kehilangan adiknya dan adik kehilangan kakaknya. Itulah yang tengah dirasakan sebagian besar penghuni bumi.“Tolong beri saya jalan...! Tolong beri saya jalan...!” Suster itu terus menerobos pekatnya kerumunan.Dengan susah payah perawat itu sampai diruang dokter.“Dokt
Ucapan Alpan diatas ring membuat semua keluarga besar dan orang-orang dekat Mohzan terkejut beberapa saat lalu tersenyum simpul juga beberapa detik kemudian. Tepuk tangan meriah dari semua hadirin membuat wajah Mohzan sedikit merona merah.Sementara itu Ramona terlihat gelisah. Beberapa kali gadis itu memperbaiki syal yang melilit dilehernya. Keringat dingin tiba-tiba saja membanjiri kening gadis itu. Ia sulit menggambarkan perasaannya saat ini.Dalam hati Ramona yakin kalau Mohzan akan memilih Khalista. Khalista sudah menjadi gadis yang baik dan terlihat akrab dengan Mohzan dan keluarganya.Walaupun Ramona telah mempersiapkan mentalnya sejak lama, tapi untuk melihat langsung Mohzan melamar Khalista ia merasa belum sanggup.Sementara itu Alpan dan Mohzan sudah turun dari ring. Kedua pemuda gagah itu berjalan beriringan menuju suatu titik dimana seluruh keluarga mereka duduk berderet disana.Pertama kali Mohzan menemui Desma. Ia menyalami wanita yang telah me
Mohzan, Tuan Junara dan Tuan Satya serta Tuan Besar Sudarta yang sudah berdiri berjejeran diatas ring, kini terlihat saling berpandangan. Mereka bingung harus berbuat apa, sedangkan Mr. Vincent terus saja meratap menyebut asma Allah dengan air mata berlinangan.Mohzan akhirnya mendekati Mr. Vincent dan berjongkok disisinya serta memegang lembut bahu pria bule itu.“What I can do for you.?” Tanya Mohzan lirih setengah berbisik ditelinga Mr. Vincent. Mr. Vincent menoleh ke arah Mohzan yang menatap lembut kepadanya.Dengan bibir bergetar Mr. Vincent menyahut “Help me and teach me to be a moslem.”“Are you sure..?” Mohzan kembali bertanya untuk memastikan keinginan Mr. Vincent untuk menjadi seorang muslim.“Yes.. very sure..!” Sambut Mr. Vincent tegas dan mantap.Tangan Mr. Vincent menggapai bahu Mohzan dan Mohzan mengerti kalau Mr. Vincent ingin berdiri. Mohzan membantunya lalu Tuan Satya dan Tuan Junara tanpa dikomando ikut serta pula menuntun Mr. Vincent
Bunyi lonceng dipukul satu kali menandakan ronde kedua segera akan dimulai.Mr. Vincent sudah sepenuhnya mampu menguasai dirinya. Sebagai seorang olah ragawan yang penuh pengalaman tentu stamina tubuhnya sudah terlatih dengan berbagai insiden dalam pertandingan. Namun untuk kali ini ia sudah tidak mau lagi meremehkan lawan. Hatinya sedikit mulai berangsur percaya dengan yang namanya keajaiban Tuhan. Tapi ia ingin mengujinya lebih jauh lagi. Secuil keyakinannya masih diselimuti segudang rasa tidak percaya. Prosentasenya masih sangat kecil.Mr. Vincent sudah berdiri dan Mohzan pun mengikutinya. Mereka kini tegak berhadapan. Si wasit plontos mulai memberi aba-aba. Kepalanya yang botak licin kadang memantulkan cahaya lampu yang jatuh kekepalanya sedikit membuat silau mata penonton. 😂Pada ronde kedua ini Mr. Vincent mengganti jurusnya. Ia berdiri tegak lurus dengan satu kaki diangkat dan paha datar sampai kelutut. Satu tangannya juga diangkat dan telapak tangannya
Tepuk tangan sudah mereda. Suasana semakin mencekam begitu wasit mempertemukan Mohzan dengan Mr. Vincent secara berhadap-hadapan.Lelaki berjas hitam bersiap dan kini mulai membacakan aturan main pertarungan itu dalam bahasa Inggris. Kedua petarung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.Setelah pria berstelan hitam selesai membacakan aturan main dalam bahasa Inggris, kemudian giliran lelaki berjas putih yang akan menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.“Aturan pertandingan ini adalah :1. Pertandingan akan dilaksanakan selama 12 ronde dan durasi setiap ronde adalah 3 menit, kecuali salah satu petarung menyatakan menyerah dengan mengangkat tangannya atau kode lain jika keadaan tidak berdaya.2. Waktu istirahat 1 menit.3. Pertandingan dianggap selesai jika salah satu petarung terluka parah dan dinyatakan tidak layak lagi mengikuti pertandingan.4. Petarung diperbolehkan menggunakan jurus apapun yang dikuasainya tanpa harus mengikuti jenis be
Bab 111. Duel 2.(Ramona sudah berada disini..!) Itulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Khalista. Alpan memutar kepalanya menoleh kearah deretan penonton dibelakang juri. Disana ia melihat Ramona duduk bersebelahan dengan Khalista. Alpan berfikir sejenak lalu bergegas meninggalkan tempat ia berdiri saat itu. Ia terlihat menemui beberapa orang dibelakang ring. Mereka berbincang beberapa saat dan nampak beberapa orang yang ditemui Alpan mengangguk-anggukkan kepalanya.Sementara itu waktu pertarungan tinggal sepuluh menit lagi. Mr. Vincent terus saja berkeliling ring memamerkan gerakan-gerakan karate yang tujuannya tak lain adalah untuk menjatuhkan mental lawan.Sedangkan Mohzan memilih tetap duduk disebuah bangku disudut ring. Ditangan kanannya ia memegang sebuah botol air mineral.Sikap Mohzan yang tak bergeming menciptakan berbagai pendapat orang-orang yang menonton duel itu. Baik yang berada langsung di gedung olah raga itu maupun yang sedang menonton dilayar
Gedung olah raga dipusat kota Jakarta semakin ramai dikunjungi para calon penonton yang ingin menyaksikan langsung pertandingan duel antara Mohzan dengan Mr. Vincent. Kepada setiap calon penonton dijual satu lembar tiket yang harganya tidak terlalu mahal. Hasil penjualan tiket itu sudah disepakati akan diberikan kepada masyarakat yang berekonomi lemah dan akan disalurkan melalui dinas sosial. Hal itu menjadi persyaratan mutlak dari Mohzan sebelum menyetujui pemungutan biaya dari pertunjukkan itu.Karena besarnya gedung tidak mencukupi untuk menampung semua penonton yang hadir, maka diluar gedung disediakan layar yang sangat besar agar penonton yang tidak berhasil mendapatkan tiket tetap bisa menyaksikan jalannya pertandingan.Satu persatu tamu kehormatan memasuki gedung itu. Mereka datang dari berbagai negara guna untuk menyaksikan langsung pertandingan yang sungguh tidak biasa ini. Mereka mempunyai tugas dari negara mereka masing-masing untuk memberikan keterangan resmi s
Sabtu pagi dikediaman Tuan Besar Sudarta.Kesibukan terlihat diruang makan pagi itu. Seluruh keluarga Tuan Besar Sudarta berkumpul mengelilingi meja makan. Ratmi terlihat sibuk melayani dengan menata hidangan diatas meka dibantu oleh Desma dan ibu Aisyah.Sebuah televisi dengan layar lebar puluhan inci tergantung didinding menayangkan berita pagi.Mohzan duduk berdampingan dengan Alpan dan Tuan Satya berdekatan dengan Tuan Junara. Disamping Tuan Junara ada Desma lalu ibu Aisyah. Sedangkan Tuan Besar Sudarta berdampingan dengan Astuti istrinya yang kini tengah malayaninya dengan mengoleskan slai mangga kepotongan roti yang merupakan kesukaan Tuan Besar Sudarta.“Bagaimana Mohzan..? Mohzan sudah siap menghadapi Mr. Vincent malam ini.?” Tanya Tuan Junara kepada Mohzan yang sibuk memotong roti dengan pisau kecil diatas piring datar.“Insya Allah Pa !” Jawab Mohzan tenang setenang ia mengunyah makanan dimulutnya.“Pemirsa.. hari
“Ya sudah kalau begitu Bu Anggi. Tidak apa-apa kalau Khalista main disini dulu. Asal Bu Anggi tidak direpotkan.” Sahut Danar sangat sopan.“Wuuuiiih... Inikah yang disebut dengan tobat..? Bertanyalah Anggita kepada dirinya sendiri. Ia menyoroti punggung lelaki yang baru saja berbalik badan menuju pintu pagar rumahnya lalu menghilang.Anggita memutuskan untuk kembali keruang tamu rumahnya. Ia belum puas untuk mengintrogasi anak orang. (Hmm.. kepo juga nih si Ibu..😀😀😀)“Tadi Papamu menanyakan kamu Lista..!” Ujar Anggita memberi tahu Khalista. Namun sepertinya gadis itu tiada bergeming. Ia malah menatap sebuah foto berbingkai indah yang terpajang didinding ruang tamu Anggita.“Berliana... Seandainya kamu masih ada, aku pasti bisa curhat kepadamu. Semakin besar ternyata beban hidup bukan semakin ringan Liana.” Ratap Khalista kepada foto Berliana yang merupakan teman bermain kecilnya.Anggita jadi sedih mendengar ratap
“Alhamdulillah, kita sudah bisa kembali kerumah kita Lista.” Ujar Danar setelah selesai beres-beres rumah. Khalista baru saja pulang dari sekolah.“Iya Pa, syukurlah Tuan Satya kini sudah berubah baik. Kalau tidak entah apa nasib kita selanjutnya.” Jawab Khalista yang ikut merapikan beberapa barang diruang tamu.Sepertinya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja, buktinya tidak ada barang yang berpindah tempat. Hanya debu tebal menutupi dimana-dimana.“Pa, Lista rindu sama Mama Santi dan Ramona. Kalau mereka ada disini tentu akan lebih ramai dan menyenangkan.” Kata Lista menghentikan pekerjaannya. Ia duduk bermenung diatas sofa.“Hmmm...!!” Danar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga sangat merindukan istri dan anak tirinya itu. Tapi ia tidak tahu dimana mereka berada.Danar berjalan lalu duduk disamping Khalista. Pikirannya juga ikut menerawang kemasa-masa dimana mereka masih tinggal bersama